Kamis, 06 Februari 2014

Manajemen Inovasi


Sebagaimana segala sesuatu di alam semesta yang selalu berputar dan berproses, inovasi-pun memiliki siklus atau tahapan dari inisiasi hingga implementasinya. Rangkaian tahapan yang saling berkaitan dalam mengelola inovasi ini yang kita namakan sebagai manajemen inovasi. Sebagai sebuah ilmu dan seni, maka manajemen inovasi bukanlah sesuatu yang hanya terjadi sekali dan selesai (einmalig, peacemeal, linier), yang terjadi tiba-tiba tanpa upaya sistematis untuk merencanakan, menganalisis, memonitor, mengembangkan, dan seterusnya. Inovasi adalah bidang ilmu yang membutuhkan piranti metodologi tertentu, sesederhana apapun itu. 

Mengelola inovasi (managing innovation) sendiri bisa dilakukan dengan berbagai model, baik merujuk pada konsepsi para pakar inovasi maupun atas dasar pemikiran sendiri. Jika kita memasukkan kata kunci “innovation cycle” di Google, misalnya, akan muncul banyak sekali sumber yang mengemukakan pandangan tentang tahapan mengelola inovasi. Nah, diantara banyaknya model tentang siklus atau manajemen inovasi tadi, saya memiliki gagasan bahwa mengelola inovasi dapat dilakukan melalui lima tahap utama, yakni koleksi dan seleksi inovasi, inkubasi inovasi, diseminasi inovasi, adopsi/replikasi/modifikasi inovasi, serta aktualisasi inovasi. Tahapan ini terutama cocok untuk lembaga yang memiliki fungsi dan tugas memfasilitasi dan mempromosikan inovasi seperti LAN. Sedangkan untuk instansi yang langsung dituntut untuk mencari inovasi terkait fungsi dan tugas di instansinya masing-masing, boleh jadi tahap pertama tidak diperlukan dan cukup diganti dengan eksplorasi ide dan kebutuhan inovasi melalui serangkaian diskusi. 

Tahap pertama adalah seleksi dan koleksi inovasi. Sepanjang pengetahuan saya, selama ini belum ada instansi pemerintah yang memiliki bank data yang lengkap tentang inovasi yang terjadi di lapangan administrasi negara. Inovasi yang berbasis teknologi mungkin sudah menjadi tanggungjawab Kementerian Ristek dan LPNK dibawah koordinasinya. Namun administrasi sosial, atau lebih spesifik lagi inovasi administrasi negara, rasanya belum tersentuh sama sekali. Oleh karena itu, hasil utama dari tahap ini adalah sebuah direktori inovasi yang akan memberi informasi tentang daerah/instansi yang melakukan inovasi, awal munculnya ide inovasi, tokoh dibalik inovasi, jenis inovasi yang digagas, permasalahan yang melatarbelakangi atau memicu lahirnya inovasi, proses pematangan inovasi, tahapan pelaksanaan inovasi, dampak yang dihasilkan, serta contact person untuk pembelajaran lebih lanjut.  

Salah satu syarat yang perlu dipenuhi untuk membuat direktori ini adalah kriteria tentang inovasi. Sebab, tidak setiap perubahan adalah inovasi. Tidak selamanya hal yang baru adalah inovasi. Tanpa adanya kriteria yang jelas, maka sangat sulit melakukan penyaringan terhadap inisiatif dan praktek-praktek manajemen yang benar-benar dikategorikan sebagai sebuah inovasi. Tanpa adanya kriteria yang jelas, setiap orang atau instansi dapat mengklaim bahwa apa yang mereka lakukan adalah sebuah inovasi.  

Metode dalam penyusunan direktori inovasi ini adalah dengan melakukan stock taking. Sebagaimana sebuah manajemen logistik di sebuah pergudangan, terhadap arus keluar masuk barang selalu dilakukan pencatatan. Demikian pula dalam pendokumentasian inovasi, perubahan-perubahan positif akan dicatat sebagai sebuah inovasi. Namun jika ternyata “stok inovasi” tadi tidak memenuhi kriteria sebagai inovasi, maka akan dikeluarkan dari daftar inovasi. Adapun sumber informasi dalam pembuatan direktori ini bisa diperoleh dari data primer mealui kunjungan dan pengamatan terhadap sebuah praktik inovasi, atau data sekunder dari laporan instansi tertentu, hasil penelitian, publikasi lembaga donor, dan sebagainya. Selain itu, stock taking inovasi juga akan dilakukan melalui forum Temu Inovasi tahunan yang akan mengumpulkan lembaga-lembaga pemerintah pusat maupun daerah, BUMN/D, NGOs, lembaga donor, juga kalangan perusahaan swasta nasional. Mereka akan diminta untuk menyampaikan program-program unggulan atau inovasi yang sudah dilakukan untuk ditelaah lebih lanjut oleh analis inovasi di LAN sebelum dimasukkan dalam direktori inovasi. Dengan demikian, direktori ini bersifat dinamis dan harus selalu di-update sepanjang tahun dan setiap tahun.

Keberadaan direktori menurut saya memiliki manfaat yang sangat besar. Informasi yang ada di dalamnya akan menjadi basis data untuk melakukan analisis lebih lanjut, misalnya untuk menyajikan jumlah inovasi yang paling banyak dilakukan berdasarkan bidang/kategorinya, peringkat daerah/instansi yang paling banyak melakukan inovasi, aktor yang paling sering melahirkan ide/inisiasi inovasi, tingkat kematangan/kesiapan inovasi untuk diimplementasikan, perbaikan/manfaat yang dihasilkan dari sebuah inovasi, kendala-kendala dalam mengelola inovasi, inovasi yang masih membutuhkan pendampingan atau pematangan, dan seterusnya. Dengan kata lain, direktori akan memberikan informasi tentang peta inovasi secara relatif lengkap. Semakin lengkap data yang bisa dihasilkan dalam direktori tadi, maka semakin bagus pula peta inovasi yang akan disajikan. 

Tahap kedua adalah inkubasi inovasi. Tahap ini dimaksudkan sebagai tahapan untuk mematangkan ide/inisiatif atau benih inovasi yang masih belum jelas atau belum terstruktur. Atau mungkin juga inovasi sudah mulai dijalankan namun menghadapi kesulitan untuk melanjutkan, sehingga perlu dianalisis faktor-faktor penghambatnya serta upaya untuk mengatasinya, antara lain dengan pendampingan dari pakar atau dari institusi lain yang memiliki pengalaman sejenis. Termasuk dalam tahap inkubasi ini adalah diberikannya pelatihan (training) atau program-program lain dalam rangka penguatan kapasitas inovasi. Ibarat sebuah biji yang ditanam, meski sudah muncul tunas-tunasnya, namun masih bersifat rentan terhadap berbagai hal sehingga harus dipupuk, dirawat, dan dipantau secara terus-menerus agar tidak layu dan mati ditengah jalan. Bagaimana metode inkubasi secara lebih detail dan apa saja yang harus dilakukan pada tahap ini, akan saya elaborasi di kesempatan lain. 

Tahap ketiga adalah diseminasi inovasi. Ketika inisiatif inovasi sudah mulai berjalan, perlu dikomunikasikan kepada pihak-pihak terkait. Selain untuk mendapatkan feedback dan enrichment dari pihak luar, diseminasi ini juga bertujuan untuk menginspirasi pihak lain untuk melakukan inovasi sesuai dengan interest maupun cakupan pekerjaannya masing-masing. Termasuk dalam fungsi diseminasi ini adalah dilakukannya publikasi baik melalui web, newsletter, innovation brief, maupun press release. Rangkaian dialog inovasi (innovation dialogue) juga dapat dipilih sebagai instrumen yang efektif untuk mempercepat pergerakan dan pertukaran informasi tentang inovasi. 

Tahap selanjutnya adalah adopsi/replikasi/modifikasi inovasi. Dengan telah dilakukannya diseminasi, diharapkan akan mengungkit kesadaran dan kemauan untuk berinovasi dari pihak-pihak yang belum berinovasi. Mereka tidak perlu memulai dari tahap menumbuhkan ide/inisiatif untuk inovasi, namun langsung bisa mengadopsi inovasi yang sudah berjalan di tempat lain. Yang harus mereka lakukan hanyalah menentukan area untuk inovasi, misalnya akan dilakukan pada sektor pelayanan perijinan. Selanjutnya, jika area inovasi sudah ditetapkan, maka perlu segera disusul dengan menyusun kerangka kerja inovasi (metode, rencana capaian, peran masing-masing aktor, pembiayaan, dan lain-lain).  

Tahap terakhir adalah aktualisasi inovasi. Tahap ini adalah pelaksanaan inovasi dalam praktek penyelenggaraan pemerintahan. Tentu saja, dalam pelaksanaan tadi harus dilakukan kegiatan mobitoring dan evaluasi ataupun impact assessment terhadap inovasi yang telah dijalankan. Dari sini diharapkan akan dapat ditemukan lessons learned untuk menggulirkan inovasi berikutnya yang jauh lebih baik. 

Dari uraian diatas, dapat dikatakan bahwa inovasi adalah sebuah program yang harus direncanakan secara matang dan terus dikawal secara cermat hingga tahap aktualisasinya. Meskipun Peter F. Drucker mengatakan bahwa salah satu sumber inovasi adalah the unexpected, namun saya yakin bahwa inovasi akan dapat diproduksi secara lebih sistematis jika dirancang dengan sengaja (by design) untuk menghasilkan manfaat yang diinginkan. 

Sepanjang jalan Serpong – Kantor Menpan,
Jakarta, 6 Februari 2014.

Tidak ada komentar: