Sebagaimana segala sesuatu di alam
semesta yang selalu berputar dan berproses, inovasi-pun memiliki siklus atau
tahapan dari inisiasi hingga implementasinya. Rangkaian tahapan yang saling
berkaitan dalam mengelola inovasi ini yang kita namakan sebagai manajemen
inovasi. Sebagai sebuah ilmu dan seni, maka manajemen inovasi bukanlah sesuatu
yang hanya terjadi sekali dan selesai (einmalig,
peacemeal, linier), yang terjadi tiba-tiba tanpa upaya sistematis untuk
merencanakan, menganalisis, memonitor, mengembangkan, dan seterusnya. Inovasi
adalah bidang ilmu yang membutuhkan piranti metodologi tertentu, sesederhana
apapun itu.
Mengelola inovasi (managing innovation) sendiri bisa dilakukan dengan berbagai model,
baik merujuk pada konsepsi para pakar inovasi maupun atas dasar pemikiran
sendiri. Jika kita memasukkan kata kunci “innovation
cycle” di Google, misalnya, akan muncul banyak sekali sumber yang
mengemukakan pandangan tentang tahapan mengelola inovasi. Nah, diantara
banyaknya model tentang siklus atau manajemen inovasi tadi, saya memiliki
gagasan bahwa mengelola inovasi dapat dilakukan melalui lima tahap utama, yakni
koleksi dan seleksi inovasi, inkubasi inovasi, diseminasi inovasi,
adopsi/replikasi/modifikasi inovasi, serta aktualisasi inovasi. Tahapan ini
terutama cocok untuk lembaga yang memiliki fungsi dan tugas memfasilitasi dan
mempromosikan inovasi seperti LAN. Sedangkan untuk instansi yang langsung
dituntut untuk mencari inovasi terkait fungsi dan tugas di instansinya masing-masing,
boleh jadi tahap pertama tidak diperlukan dan cukup diganti dengan eksplorasi
ide dan kebutuhan inovasi melalui serangkaian diskusi.
Tahap pertama adalah seleksi dan koleksi inovasi. Sepanjang
pengetahuan saya, selama ini belum ada instansi pemerintah yang memiliki bank
data yang lengkap tentang inovasi yang terjadi di lapangan administrasi negara.
Inovasi yang berbasis teknologi mungkin sudah menjadi tanggungjawab Kementerian
Ristek dan LPNK dibawah koordinasinya. Namun administrasi sosial, atau lebih
spesifik lagi inovasi administrasi negara, rasanya belum tersentuh sama sekali.
Oleh karena itu, hasil utama dari tahap ini adalah sebuah direktori inovasi yang
akan memberi informasi tentang daerah/instansi yang melakukan inovasi, awal
munculnya ide inovasi, tokoh dibalik inovasi, jenis inovasi yang digagas,
permasalahan yang melatarbelakangi atau memicu lahirnya inovasi, proses
pematangan inovasi, tahapan pelaksanaan inovasi, dampak yang dihasilkan, serta contact person untuk pembelajaran lebih
lanjut.
Salah satu syarat yang perlu dipenuhi
untuk membuat direktori ini adalah kriteria tentang inovasi. Sebab, tidak
setiap perubahan adalah inovasi. Tidak selamanya hal yang baru adalah inovasi.
Tanpa adanya kriteria yang jelas, maka sangat sulit melakukan penyaringan
terhadap inisiatif dan praktek-praktek manajemen yang benar-benar dikategorikan
sebagai sebuah inovasi. Tanpa adanya kriteria yang jelas, setiap orang atau
instansi dapat mengklaim bahwa apa yang mereka lakukan adalah sebuah inovasi.
Metode dalam penyusunan direktori
inovasi ini adalah dengan melakukan stock
taking. Sebagaimana sebuah manajemen logistik di sebuah pergudangan,
terhadap arus keluar masuk barang selalu dilakukan pencatatan. Demikian pula
dalam pendokumentasian inovasi, perubahan-perubahan positif akan dicatat
sebagai sebuah inovasi. Namun jika ternyata “stok inovasi” tadi tidak memenuhi
kriteria sebagai inovasi, maka akan dikeluarkan dari daftar inovasi. Adapun
sumber informasi dalam pembuatan direktori ini bisa diperoleh dari data primer
mealui kunjungan dan pengamatan terhadap sebuah praktik inovasi, atau data
sekunder dari laporan instansi tertentu, hasil penelitian, publikasi lembaga
donor, dan sebagainya. Selain itu, stock
taking inovasi juga akan dilakukan melalui forum Temu Inovasi tahunan yang
akan mengumpulkan lembaga-lembaga pemerintah pusat maupun daerah, BUMN/D, NGOs,
lembaga donor, juga kalangan perusahaan swasta nasional. Mereka akan diminta
untuk menyampaikan program-program unggulan atau inovasi yang sudah dilakukan
untuk ditelaah lebih lanjut oleh analis inovasi di LAN sebelum dimasukkan dalam
direktori inovasi. Dengan demikian, direktori ini bersifat dinamis dan harus
selalu di-update sepanjang tahun dan
setiap tahun.
Keberadaan direktori menurut saya
memiliki manfaat yang sangat besar. Informasi yang ada di dalamnya akan menjadi
basis data untuk melakukan analisis lebih lanjut, misalnya untuk menyajikan
jumlah inovasi yang paling banyak dilakukan berdasarkan bidang/kategorinya,
peringkat daerah/instansi yang paling banyak melakukan inovasi, aktor yang
paling sering melahirkan ide/inisiasi inovasi, tingkat kematangan/kesiapan
inovasi untuk diimplementasikan, perbaikan/manfaat yang dihasilkan dari sebuah
inovasi, kendala-kendala dalam mengelola inovasi, inovasi yang masih
membutuhkan pendampingan atau pematangan, dan seterusnya. Dengan kata lain,
direktori akan memberikan informasi tentang peta inovasi secara relatif
lengkap. Semakin lengkap data yang bisa dihasilkan dalam direktori tadi, maka
semakin bagus pula peta inovasi yang akan disajikan.
Tahap kedua adalah inkubasi inovasi. Tahap ini dimaksudkan sebagai tahapan untuk mematangkan
ide/inisiatif atau benih inovasi yang masih belum jelas atau belum terstruktur.
Atau mungkin juga inovasi sudah mulai dijalankan namun menghadapi kesulitan
untuk melanjutkan, sehingga perlu dianalisis faktor-faktor penghambatnya serta
upaya untuk mengatasinya, antara lain dengan pendampingan dari pakar atau dari
institusi lain yang memiliki pengalaman sejenis. Termasuk dalam tahap inkubasi
ini adalah diberikannya pelatihan (training)
atau program-program lain dalam rangka penguatan kapasitas inovasi. Ibarat
sebuah biji yang ditanam, meski sudah muncul tunas-tunasnya, namun masih
bersifat rentan terhadap berbagai hal sehingga harus dipupuk, dirawat, dan
dipantau secara terus-menerus agar tidak layu dan mati ditengah jalan.
Bagaimana metode inkubasi secara lebih detail dan apa saja yang harus dilakukan
pada tahap ini, akan saya elaborasi di kesempatan lain.
Tahap ketiga adalah diseminasi inovasi. Ketika inisiatif inovasi sudah mulai berjalan, perlu
dikomunikasikan kepada pihak-pihak terkait. Selain untuk mendapatkan feedback dan enrichment dari pihak luar, diseminasi ini juga bertujuan untuk
menginspirasi pihak lain untuk melakukan inovasi sesuai dengan interest maupun cakupan pekerjaannya
masing-masing. Termasuk dalam fungsi diseminasi ini adalah dilakukannya
publikasi baik melalui web, newsletter, innovation brief, maupun press
release. Rangkaian dialog inovasi (innovation
dialogue) juga dapat dipilih sebagai instrumen yang efektif untuk
mempercepat pergerakan dan pertukaran informasi tentang inovasi.
Tahap
selanjutnya adalah adopsi/replikasi/modifikasi
inovasi. Dengan telah dilakukannya diseminasi, diharapkan akan mengungkit
kesadaran dan kemauan untuk berinovasi dari pihak-pihak yang belum berinovasi.
Mereka tidak perlu memulai dari tahap menumbuhkan ide/inisiatif untuk inovasi,
namun langsung bisa mengadopsi inovasi yang sudah berjalan di tempat lain. Yang
harus mereka lakukan hanyalah menentukan area untuk inovasi, misalnya akan
dilakukan pada sektor pelayanan perijinan. Selanjutnya, jika area inovasi sudah
ditetapkan, maka perlu segera disusul dengan menyusun kerangka kerja inovasi
(metode, rencana capaian, peran masing-masing aktor, pembiayaan, dan lain-lain).
Tahap terakhir
adalah aktualisasi inovasi. Tahap ini
adalah pelaksanaan inovasi dalam praktek penyelenggaraan pemerintahan. Tentu
saja, dalam pelaksanaan tadi harus dilakukan kegiatan mobitoring dan evaluasi
ataupun impact assessment terhadap
inovasi yang telah dijalankan. Dari sini diharapkan akan dapat ditemukan lessons learned untuk menggulirkan
inovasi berikutnya yang jauh lebih baik.
Dari uraian
diatas, dapat dikatakan bahwa inovasi adalah sebuah program yang harus direncanakan
secara matang dan terus dikawal secara cermat hingga tahap aktualisasinya.
Meskipun Peter F. Drucker mengatakan bahwa salah satu sumber inovasi adalah the unexpected, namun saya yakin bahwa
inovasi akan dapat diproduksi secara lebih sistematis jika dirancang dengan
sengaja (by design) untuk
menghasilkan manfaat yang diinginkan.
Sepanjang jalan Serpong – Kantor Menpan,
Jakarta, 6 Februari 2014.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar