Sejak lama saya punya keyakinan bahwa
inovasi tidak selamanya harus sesuatu yang rumit, sulit, kompleks, njelimet, atau banyak rahasia yang hanya
diketahui oleh Doktor lulusan luar negeri. Bagi saya, inovasi justru sebuah
upaya mempermudah sesuatu yang susah, memperpendek ssesuatu yang panjang, atau
mempercepat sesuatu yang lambat. Saya juga menyampaikan sesuatu yang ilmiah
dengan bahasa populer yang gampang dipahami banyak orang adalah sebuah
keterampilan yang tidak banyak dikuasai para pakar dan ilmuwan. Bagi saya,
sistem yang rigid atau teknologi yang
tidak aplikatif sehingga tidak banyak orang bisa mengakses dan memanfaatkannya,
hanya membuktikan bahwa sistem atau teknologi tadi memiliki daya inovasi yang
rendah.
Itulah sebabnya, secara pribadi saya katakan
bahwa tidak semua perubahan atau kebaruan adalah inovasi. Suatu perubahan atau kebaruan
membutuhkan kriteria khusus untuk disebut sebagai inovasi, beberapa diantaranya
yang saya ajukan meliputi: 1) ada tidaknya dampak positif atau kemanfaatan dari
suatu inisiatif perubahan/pembaruan; 2) mampu tidaknya inisiasi perubahan
memberi solusi terhadap masalah yang ada; 3) adanya kesinambungan, dalam arti tidak
tergantung pada inisiator/konseptornya; dan 4) memiliki kompatibilitas dengan
sistem diluar dirinya, atau tidak membentur/melanggar sistem yang telah ada.
Terkait dengan kriteria diatas terutama
yang pertama dan kedua, maka simplifikasi sebuah sistem atau penyederhanaan teknologi
sangat mungkin menjadi inovasi besar. Sebagai contoh, dalam pelayanan publik
terdapat banyak sekali dokumen administratif seperti KTP. Kartu Kuning (untuk
pencari kerja), SKCK (surat keterangan catatan kepolisian), Kartu Askes, dan
lain-lain. Seandainya keempat layanan administratif tadi bisa disimplifikasi
menjadi satu layanan saja, tentu akan menjadi lompatan besar dalam sistem
administrasi negara kita. Selain menghemat waktu dan biaya bagi masyarakat
untuk mendapatkan pelayanan seperti itu, juga akan mengurangi fungsi
pemerintahan yang pada gilirannya dapat merampingkan struktur birokrasi yang
gemuk dan lamban. Perilaku koruptif dalam bentuk rent-seeking pungutan (resmi maupun tidak resmi) dari setiap jenis
layanan juga akan bisa dihilangkan. Lebih dari itu semua, integrasi sub-sub sistem
kependudukan, ketenagakerjaan, layanan asuransi kesehatan, dan layanan kepolisian
dapat terwujud yang didukung oleh data yang lebih akurat.
Simplifikasi dan integrasi sistem juga
bisa diterapkan pada kasus banyaknya laporan yang harus dibuat oleh Pemerintah
Daerah, dari Laporan Penyelenggaraan Pemerintah
Daerah (LPPD), Laporan Keterangan Pertaungg Jawaban (LKPJ), Informasi
Penyelenggaraan Pemerintah Daerah (IPPD), Laporan Keuangan Pemerintah Dareah
(LKPD), Laporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (LAKIP), hingga Evaluasi
Penyelenggaraan Pemerintah Daerah (EPPD). Itupun masih ada kemungkinan
permintaan laporan dari kementerian teknis tertentu atau laporan terkait
peristiwa tertentu atau kebutuhan khusus. Berbagai laporan tadi, tak pelak lagi
menyita energi yang teramat besar dari jajaran perangkat daerah beserta para
pejabatnya, sehingga banyak waktu dan sumber daya yang tersita hanya untuk
urusan teknis administratif. Ini jelas sebuah kerugian besar bagi upaya
pelayanan publik yang lebih baik. Oleh karena itu, berbagai peraturan yang
sifatnya rutin (bulanan, semesteran, tahunan) dan banyak kesamaan substansi
yang dilaporkan, lebih baik dilebur menjadi satu. Satu laporan yang bisa
berfungsi untuk memenuhi banyak tujuan (multi
purposes reporting system) atau memenuhi kebutuhan banyak instansi (multi users reporting system) ini,
adalah kebutuhan inovasi terbesar dalam sistem pelaporan pemerintahan dan
pembangunan di Indonesia saat ini.
Tentu masih banyak contoh yang bisa disimplifikasi
untuk tujuan meningkatkan efisiensi proses dan sumber daya, sekaligus meningkatkan
efektivitas hasil pelaksanaan fungsi pemerintahan tertentu. Struktur kelembagaan
yang berhirarkhi piramidal dan jumlah institusi yang banyak sehingga
menimbulkan overlap dan duplikasi
uraian tugas, adalah salah satu peluang besar untuk dilakukannya simplifikasi
kelembagaan. Banyaknya SOP (standard
operating procedure) di sebuah instansi adalah juga ruang ideal untuk
terjadinya simplifikasi business process.
Banyaknya aturan yang dikeluarkan oleh banyak lembaga, adalah contoh lain untuk
ditempuhnya simplifikasi regulasi. Bahkan proyek galian yang bertubi-tubi dilakukan
oleh PLN, PDAM, Telkom, dan PU pada lokasi yang sama dan berulang setiap tahun,
juga memerlukan simplifikasi dalam sistem perencanaan dan koordinasi kegiatan.
Singkatnya, simplifikasi harus menjadi mental model baru bagi seluruh pejabat
publik dari tingkat tertinggi hingga terendah di seluruh wilayah Indonesia. Sindiran
masyarakat bahwa pemerintah selalu berprinsip “jika bisa dipersulit, mengapa dipermudah”, harus dipatahkan secara
nyata dan segera. Setelah puluhan tahun kita terkungkung dalam budaya birokrasi
paternalistik yang banyak dilayani, masihkah kita tidak tergerak untuk
bertransformasi menjadi birokrasi yang lebih egaliter dan melayani?
Baiti Jannati di Villa Melati Mas
memanfaatkan hujan seharian.
Serpong, 22 Februari 2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar