Bakat, mungkin benar adalah
anugerah dan kemurahan Tuhan YME yang telah diberikan kepada seorang hamba semenjak
lahir. Dengan sifat Maha Agung dan Maha Adil-Nya, Tuhan memberi bakat kepada
semua manusia, meski dengan bakat yang berbeda-beda, sebagaimana Tuhan
menciptakan manusia secara berbeda-beda pula. Boleh jadi, semua ini adalah
wujud keadilan Tuhan Yang Maha Kreatif, agar manusiapun menggunakan bakatnya
secara kreatif untuk menunaikan tugas-tugasnya. Persoalan apakah bakat itu
berkembang atau tidak, itu bukan lagi urusan Tuhan. Manusialah yang harus
mengenali, menggali, dan mengembangkan bakatnya.
Maka, saya sepakat jika bakat
dikatakan sebagai bawaan lahir. Namun sangat berbeda kasusnya dengan
kreativitas. Jika bakat bersifat taken
for granted from the heaven untuk ditumbuh kembangkan lebih lanjut, maka kreativitas
adalah murni upaya sadar dan logis untuk membangun bakat tadi menjadi kebiasaan.
Dalam bahasa Robert Sternberg (dalam Jane Porter, How to Cultivate a Creative Thinking Habit, Feb. 2014, www.fastcompany.com), “Creative people are creative … not as a result of any particular inborn
trait, but, rather, through an attitude toward life”.
Dengan demikian, kadar
kreativitas seseorang adalah agregat dari tekat, kesungguhan, dan usaha tiada
henti (tentu juga doa) dari seseorang untuk selalu menjadi lebih baik.
Kreativitas tidak pernah muncul tiba-tiba, melainkan hasil dari proses yang
relatif panjang dan sungguh-sungguh. Ketika Isaac Newton menemukan Teori Gravitasi
dari peristiwa jatuhnya apel saat ia duduk di bawah pohon apel, itu bukanlah
kreativitas yang datang tiba-tiba, namun lebih karena ia sudah melakukan banyak
riset yang mendukung teorinya. Sama halnya ketika Archimedes berendam di bak
mandi dan tiba-tiba berteriak “eureka”
karena telah menemukan hukum Archimedes, itupun bukan hal yang kebetulan. Dalam
kesendirian di bawah pohon apel maupun di bak mandi, ada proses berpikir
kreatif dalam otak kedua manusia istimewa tadi. Dan ketika terjadi fenomena lumrah
seperti jatuhnya apel atau melubernya air saat ada benda masuk kedalam bak
mandi, mereka dapat membaca gejala alam tadi secara berbeda. Kejadian yang
teramat biasa itu oleh orang-orang kreatif dapat menjadi contoh yang
menjelaskan teori besar.
Jadi, kreativitas sangat berbeda
dengan ilham. Apa yang dialami Newton dan Archimedes boleh saja kita sebut
sebagai ilham. Namun bisa saja kita menyebut itu bukan ilham, karena semua
orang juga pernah mengalami peristiwa yang sama sebagaimana dialami Newton dan Archimedes,
dan tidak menyebutnya sebagai ilham. Yang membedakan kedua orang ini dengan
orang kebanyakan adalah bahwa mereka jauh lebih kreatif, sehingga mampu
mengubah “ilham” menjadi sebuah penemuan yang monumental. Dengan kata lain,
kreativitaslah yang menjadi syarat munculnya banyak penemuan (invensi) dan
inovasi-inovasi besar di dunia.
Lantas, bagaimana membangkitkan
dan menumbuhkan kreativitas itu? Bagaimana menjadikan kreativitas sebagai habit
atau kebiasaan dalam keseharian kita? Menarik mencermati pendapat Tim Wesfix (Kreativitas Itu Dipraktekin, Grasindo,
2013) bahwa kreativitas itu seperti software,
sedangkan otak ibarat hardware-nya.
Untuk itu kreativitas harus di-install
melalui pembiasaan. Dalam hal ini, ada 8 (delapan) langkah untuk menjadikan
kreativitas sebagai kebiasaan, yakni:
1. Questioning
atau selalu bertanya tentang apa yang diperlukan untuk sebuah perubahan dan
kebaikan. Mari kita lihat di sekeliling kita, anak-anak sekolah yang rajin
bertanya sejak SD, biasanya tumbuh menjadi sosok yang bukan hanya pintar, namun
juga kreatif, dalam arti memiliki ide-ide segar dan wawasan yang jauh melampaui
teman seangkatannya.
2. Exploring,
yakni mencari informasi tambahan dari yang sudah kita miliki, atau menggali
lebih dalam sebuah pemahaman agar lebih paham lagi. Rasa tidak puas dan rasa
ingin tahu (curiosity) akan menjadi
modal dasar untuk melakukan eksplorasi ini.
3. Crafting,
yakni membuat kesimpulan awal tentang ingin ditangani secara simple, atau menarik hipotesis, atau
membentuk konstruksi awal tentang situasi problematik tertentu. Kemampuan ini
dibangun dengan menghubung-hubungkan sebuah fenomena dengan fenomena lainnya,
sebuah variabel dengan variabel lainnya, serta membangun sebab akibat antar
fenomena/ variabel tersebut.
4. Playing,
artinya bermain-main dengan ide kreatif terkait sebuah masalah / kejadian yang
dihadapi. Keberanian berpikir bebas akan menjadi faktor yang membantu
memudahkan dalam mengembangkan banyak opsi untuk dipilih.
5. Cutting,
yakni keberanian untuk menentukan ide atau opsi mana yang akan dipilih untuk
dikaji lebih lanjut. Adanya intuisi bahwa sebuah pilihan adalah yang terbaik,
serta fantasi dan imajinasi tentang hasil akhir dari sebuah pilihan, akan
membantu kita mendapatkan pilihan terbaik.
6. Planning,
artinya merancang langkah-langkah konkrit yang diperlukan untuk menindaklanjuti
pilihan.
7. Sharing,
yakni berbagi dengan setiap orang tentang apa yang sudah kita rancang. Hal ini
penting untuk mendapatkan feedback sekaligus
menguji kualitas pilihan kita serta kemampuan kita dalam mempertahankan pilihan
tersebut.
8. Doing,
yakni melakukan apa yang sudah kita pilih dan kiya yakini sebagai hal terbaik.
Oleh karena kreativitas adalah
sebuah kebiasaan, maka untuk menilai kreativitas seseorang sesungguhnya teramat
mudah, yakni nilailah bagaimana kebiasaan yang dilakukan setiap harinya. Jika
ia melakukan hal-hal yang biasa dilakukan orang lain, maka dia tidak memiliki
kreativitas. Terkait hal ini, menarik untuk menyimak kasus Mavis Gallant,
seorang penulis Kanada yang meninggal pada tanggal 18 Februari 2014 yang lalu
di Perancis dalam usia 92 tahun. Dalam sebuah wawancara dengan The Paris Review (1999), ia mengatakan:
“Most days in the morning but some days
anytime, afternoon or evening. It depends on what I’m writing and the state of
the thing. It is not a burden. It is the way I live” (Jane Porter).
Kebiasaan menulis setiap hari yang dilakukan Mavis Gallant, yang tidak
dilakukan oleh orang lain bahkan yang lebih muda, memberi ilustrasi tentang
kebiasaan kreatif yang dilakukan Gallant. Bagi dia, menulis bahkan adalah jalan
hidup. Dia berani mendobrak rutinitas kaum jompo pada umumnya, dan mampu
menghasilkan sesuatu yang berbeda dan jauh lebih bermakna.
Tentu saja, kreativitas ala
Gallant ini bukanlah bawaan lahir, namun merupakan sebuah pembiasaan yang telah
dijalaninya selama berpuluh-puluh tahun. Dengan kata lain, kreativitas adalah
sebuah proses kreatif. Dan ketika proses kreatif ini sudah terbentuk pada diri
seseorang, maka tinggal menunggu lahirnya banyak inovasi dari orang tersebut.
@Kantor, Jl. Veteran 10 Jakarta.
26 Februari 2014.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar