Selama ini, inovasi lebih banyak
dipahami sebagai sebuah perubahan atau kemajuan yang berbasis teknologi. Dari
teknologi ruang angkasa hingga dasar laut, dari remote sensing (penginderaan jarak jauh) hingga ultrasonografi, dari nano-teknologi
hingga mikro-biologi, dari teknik otomotif hingga teknik informatika, dari
teknologi farmasi hingga pembenihan pertanian, dan sejenisnya, itulah yang
sering dipandang sebagai wilayah inovasi. sementara disisi lain, perbaikan
dalam sistem sosial budaya, kebijakan ekonomi dan pembangunan, atau reformasi
aspek organisasi dan manajemen, sering dipandang sebagai “perubahan” saja dan
bukannya inovasi. Inovasi menjadi sangat eksklusif karena hanya bisa terjadi di
laboratorium penelitian yang dilakukan oleh para insinyur, teknisi, atau
ilmuwan eksakta.
Fenomena tersebut menyiratkan
bahwa pemahaman masyarakat – bahkan kalangan akademisi – tentang inovasi masih
kurang tepat. Di satu sisi, pandangan seperti ini tidak memberikan insentif dan
dorongan untuk lahirnya inovasi bidang sosial. Namun disisi lain, boleh jadi
pandangan ini justru bersumber dari lambatnya ilmu-ilmu sosial dan humaniora
dalam melakukan inovasi. Situasinya menjadi seperti pertanyaan ayam dan telor,
mana yang ada terlebih dahulu? Sebuah pertanyaan yang tidak pernah terjawab
secara tuntas.
Sekedar ilustrasi, kalau kita memasukkan
frasa “inovasi sosial” di search engine-nya
Google, akan muncul 18.500 hasil yang kita temukan. Sementara kalau kita
gunakan frasa “social innovation”,
akan ditemukan jumlah input yang jauh lebih banyak, yakni 1,4 juta. Ini saja
sudah memberi gambaran bahwa inovasi sosial di Indonesia memang masih teramat
minim, jika dibanding inovasi sosial di negara lain yang lebih maju. Bandingkan
dengan keyword “inovasi teknologi”.
Kita akan menemukan 1,65 juta hasil di Google. Sekali lagi, ini mengindikasikan
ketidakseimbangan antara inovasi di bidang sosial dengan inovasi di ilmu-ilmu
pasti. Bahkan dalam publikasi Komite Inovasi Nasional (KIN) berjudul “Prospek
Inovasi Indonesia” (2012) tidak ada satupun istilah “inovasi sosial”.
Sebaliknya pada halaman 24 disebutkan bahwa inovasi teknologi adalah engine pertumbuhan baru. Juga dinyatakan
bahwa inovasi teknologi termasuk di dalam Faktor Produktivitas Total. Saya
tidak tahu persis dimana posisi inovasi sosial dalam pemikiran KIN, dan apakah
inovasi sosial include di dalam
inovasi teknologi. Saya juga tidak paham apakah inovasi sosial dianggap sebagai
sesuatu yang tidak berdampak signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi
produktivitas total bangsa ini.
Nah, jika inovasi sosial masih
demikian terabaikan, inovasi administrasi negara-pun mengalami situasi yang
kurang lebih sama. Jika kita masukkan kata kunci “inovasi administrasi negara”
di Google, akan ditemukan hasil sebanyak 14.300, sedikit dibawah inovasi
sosial. Entah harus bilang hebat ataukah sebaliknya, kalau harus saya katakan
bahwa input yang muncul di Google tentang inovasi administrasi negara ini baru
muncul sejak tahun 2013. Mungkin “hebat”, karena dalam waktu 1 (satu) tahun
sudah mampu mengumpulkan 14.300 hasil di Google. Sebaliknya, ada perasaan
“sedih” karena sudah hampir 70 tahun Indonesia merdeka namun ternyata belum
memiliki konsep tentang inovasi administrasi negara (IAN). Kemunculan konsep IAN
sendiri baru mulai berkembang setelah lahirnya Perpres No. 57/2013 tentang LAN,
yang salah satunya membentuk unit kerja khusus yakni Deputi Inovasi
Administrasi Negara. Termasuk dalam inovasi administrasi negara itu adalah
inovasi tata pemerintahan (governance
innovation), inovasi kelembagaan dan sumber daya aparatur (institutional and human resource innovation),
serta inovasi pelayanan publik (public
service innovation). Ketiga aspek dari inovasi administrasi negara ini,
tentu saja adalah hal yang sangat baru, sehingga masih memerlukan waktu untuk
mematangkan konsep dasarnya, membangun framework-nya, hingga menetapkan target-target dari berbagai program yang dilakukan.
Mengingat masih timpangnya
bidang-bidang inovasi sebagaimana uraian diatas, alangkah baiknya jika “sistem inovasi
nasional” tidak diterjemahkan sebagai inovasi teknologi belaka, namun juga
mengintegrasikan inovasi sosial budaya, inovasi administrasi negara, inovasi
ekonomi politik, dan sebagainya. Kewajiban (dan hak) melakukan inovasi bukan
lagi menjadi dominasi Kementerian Ristek dan LPNK yang ada dibawah
koordinasinya, namun harus pula dilakukan secara seimbang oleh
Kementerian/Lembaga yang lain, bahkan juga pemerintah daerah, BUMN/D, lembaga
negara, hingga organisasi kemasyarakatan. Inovasi yang datang dan tumbuh dari
berbagai penjuru dan dalam berbagai bidang ini nantinya diharapkan menjadi
mesin pertumbuhan yang sesungguhnya bagi kemakmuran bangsa Indonesia. Bukankah
peringkat Indonesia dalam Global
Innovation Index (GII) juga tidak
hanya dikontribusikan oleh kecanggihan teknologi? Justru dalam kerangka kerja GII
dijelaskan bahwa perhitungan Innovation
Efficiency Ratio dilakukan dengan mempertimbangkan komponen Institusional
yang terdiri dari political, regulatory,
and business environment. Selain itu, ada komponen human capital and research yang terdiri dari education, tertiary education, and research and development. Masih
banyak lagi komponen dan parameter yang mengukur inovasi bukan hanya sebagai
fungsi kemajuan teknologi semata.
Pemahaman secara inklusif tentang
inovasi ini semakin penting karena tahun 2014 telah dicanangkan sebagai Tahun
Inovasi Sosial oleh Institut Inovasi Sosial Indonesia (www.inovasisosial.com).
Siapa tahu, LAN pun akan mencanangkan tahun 2016 sebagai Tahun Inovasi
Administrasi Negara. Inisiatif untuk memperkuat dan mempromosikan inovasi di
bidang sosial dan administrasi negara ini tentu juga harus disambut positif oleh
pihak-pihak lain yang lebih dahulu berkutat dan berjuang dalam inovasi
(teknologi). Inovasi adalah inovasi, sementara aspek teknologi, sosial, atau
administrasi negara hanyalah ruang-ruang dimana inovasi bisa tumbuh subur dan
dikembangkan secara sistemik.
Jakarta, 26 Februari 2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar