Hari
Kamis, tanggal 26 April 2013 kemaren, saya mendapat giliran untuk memaparkan ringkasan
buku tulisan Dr. Riant Nugroho berjudul “Public Policy: Dinamika Kebijakan,
Analisis Kebijakan, Manajemen Kebijakan”. Bagi saya, ada satu hal yang sangat
menarik dari buku ini, yakni Bab 1 yang menyebutkan bahwa sejak 2 dasawarsa
terakhir ini telah terjadi perang kebijakan antar negara-negara di dunia. Negara
yang lebih kuat “memaksa” negara yang lebih lemah untuk membuat kebijakan yang
menguntungkan negara maju, terutama berkenaan dengan investasi untuk penguasaan
sumber-sumber daya produktif. Contohnya adalah proteksi industri dalam negeri,
penguasaan atas kawasan, hingga embargo AS terhadap alutsista yang dibeli Indonesia dari AS (terutama F-16 dan
Hercules) karena Indonesia dinilai melanggar HAM.
Dalam
peperangan tersebut, hampir selalu negara berkembang berada pada posisi yang
lemah dan kalah, akibat dari ketidakmampuannya membuat dan menghasilkan
kebijakan yang unggul. Kegagalam membuat kebijakan yang unggul ini terlihat
dari dua hal, yakni: 1) tidak mengerti makna
dan substansi kebijakan publik; dan 2) tidak ada analis kebijakan; kalaupun
ada tetapi tidak bekerja dengan baik; kalaupun
sudah bekerja dengan baik tidak mampu menghasilkan
kebijakan yang hebat. Boro-boro ingin menjadi counter dan penyeimbang terhadap
kebijakan negara lain, kebijakan publik di negara berkembang justru banyak “didikte”
oleh kemauan dan kepentingan negara maju. Artinya, kebijakan di negara
berkembang boleh saja dikemas dalam sistem perundangan formal di negaranya. Namun,
substansi dan semangatnya tidak jarang melenceng jauh dari cita-cita luhur memperjuangkan
kepentingan rakyat serta membangun kemandirian dan identitas kebangsaan.
Oleh
karena kebijakan yang ada tidak unggul, maka yang terjadi kemudian adalah
kegagalan mewujudkan negara yang unggul. Kegagalan membangun negara unggul ini
pada gilirannya memperlemah daya tahan bangsa terhadap pengaruh global,
sehingga dalam iklim globalisasi, negara seperti ini tidak mampu meraih peluang
dan mengambil manfaat sebesar-besarnya untuk kesejahteraan rakyatnya.
Dalam
bahasa pengungkapan yang berbeda, Dr. Amien Rais juga menyingkap issu tentang “perang
kebijakan” ini pada ceramahnya beberapa hari yang lalu. Amien mengungkapkan
fenomena tentang korporatokrasi, yakni pemerintahan yang
dikuasai oleh korporasi besar. Di Indonesia, contoh korporasi besar adalah
Freeport Mc Moran, Chevron dan lain-lain. Korporasi ini bisa memiliki kekayaan yang
melampaui kekayaan suatu negara seperti di Afrika, Burma, dan sebagainya. Mereka
bisa berjaya karena berkolaborasi dengan empat elemen korporatokrasi lainnya, yakni
militer, pemerintah, machinery
intellectual (intelektual bayaran), mass media, dan perbankan besar. Contoh
political backup dari pemerintah negara
asal korporasi tersebut misalnya datang dari White House, dimana seorang Henry Kissinger adalah salah satu Komisioner
Freeport.
Presiden
Richard Nixon juga contoh yang sempurna untuk membuktikan betapa korporatokrasi
sudah merasuk dalam-dalam ke dalam “jaringan syaraf” dan “aliran darah” sistem pemerintahan
AS. Dalam hal ini, Nixon menginginkan kekayaan Indonesia diperas sampai kering,
karena di mata Nixon, Indonesia ibarat real estate terbesar di dunia yang
tak boleh jatuh ke tangan Soviet atau China.
Sementara
elemen mass media yang semestinya menjadi penyeimbang, dan bahkan sering
disebut sebagai the fourth power
selain Trias Politica, ternyata berubah semakin lembek dan tidak bertaji. Jika dahulu
mass media berfungsi sebagai watch dog (anjing pengawas), namun sekarang berubah menjadi guard dog (anjing pengawal), bahkan leg dog (anjing peliharaan), dan circus dog (anjing hiburan).
Korporatokrasi global itulah yang
sejatinya menjadi “panglima perang” dan melancarkan perang kebijakan di berbagai
belahan negara berkembang. Dalam buku karangan John Perkins berjudul Confession of an
Economic Hit Man: Pengakuan Seorang
Ekonom Perusak (Jakarta:
Abdi Tandur, 2005) dikatakan bahwa seorang hit
man yang menjadi boneka korporatokrasi memiliki beberapa tugas antara lain:
•
Menyebarkan
cerita bohong tentang pertumbuhan ekonomi, GNP, dan lain-lain negara target;
•
Membuat
laporan fiktif untuk IMF dan WB agar mengucurkan hutang;
•
“Memancing”
KKN di negara target untuk membangkrutkan negara penerima hutang dan menciptakan
ketergantungan (debt trap, debt web);
•
Menekan
negara pengutang untuk mendukung AS dalam hal pangkalan militer, voting di PBB,
dan sebagainya;
•
Memaksa
negara pengutang menjual kekayaan alam melalui pemberian konsesi.
Pertanyaannya,
bagaimana caranya korporatokrasi tadi dapat mencengkeram tengkuk penguasa? Menurut
Amien Rais, hal ini dilakukan dengan korupsi yang paling
canggih, yakni korupsi yang menyandera kekuasaan negara (state-captured corruption). Contoh konkritnya, perusahaan Jepang,
Korea dan lain-lain memiliki lobby di
sekitar Capitol Hill, yang kemudian
menyogok Congressman agar membuat UU
yang menguntungkan perusahaan mereka. Dalam buku John Perkins sendiri
dijelaskan bahwa dalam
melakukan tugas-tugasnya, seorang hit man
dapat menghalalkan segala cara, dari penipuan, pemerasan dan penyuapan; pembunuhan;
penggermoan; perusakan ekosistem; bahkan mereka juga sampai hati melakukan
pengingkaran terhadap Deklarasi Kemerdekaan bangsa sendiri demi kepentingan
korporatokrasi.
Uraian
diatas secara tidak langsung menjelaskan tentang fenomena military-industrial-congressional complex di negeri Paman Sam. Istilah
ini pertama kali dikemukakan oleh President Dwight
Eisenhower pada tanggal 17 Januari 1961 saat menyampaikan pidato akhir masa
jabatan. Eisenhower sangat cemas dengan semakin menguatkan pengaruh
militer-industri-legislator dalam berbagai bidang dan mengingatkan bahwa hal
ini bisa menghancurkan nilai-nilai egalitarian dan penghormatan terhadap
hak-hak warga sipil, yang selama ini dijunjung oleh Konstitusi AS. Dalam penggalan
pidatonya yang sering disebut sebagai peringatan kenabian (prophetic warning), pada bagian IV dan VI, Eisenhower mengatakan:
IV.
In the councils of government, we must guard against the acquisition of unwarranted
influence, whether sought or unsought, by the military-industrial complex. The
potential for the disastrous rise of misplaced power exists and will persist.
We
must never let the weight of this combination endanger our liberties or
democratic processes. We should take nothing for granted. Only an alert and
knowledgeable citizenry can compel the proper meshing of the huge industrial
and military machinery of defense with our peaceful methods and goals, so that
security and liberty may prosper together.
(Dalam badan pemerintahan, kita harus
waspada terhadap akuisisi pengaruh yang tidak beralasan, baik disengaja maupun
tidak, oleh kombinasi militer-industri. Potensi munculnya penggunaan kekuasaan
secara keliru muncul dan akan tetap ada. Kita tidak boleh membiarkan kombinasi
ini membahayakan kemerdekaan dan proses demokrasi. Kita tidak harus menerima sesuatu
apa adanya. Hanya warga yang waspada dan terdidik yang dapat memaksa penggunaan
mesin pertahanan militer dan industri untuk tujuan dan cara-cara perdamaian,
sehingga keamanan dan kebebaan dapat tercapai bersama).
VI.
Down the long lane of the history yet to be written America knows that this
world of ours, ever growing smaller, must avoid becoming a community of
dreadful fear and hate, and be instead, a proud confederation of mutual trust
and respect.
Such
a confederation must be one of equals. The weakest must come to the conference
table with the same confidence as do we, protected as we are by our moral,
economic, and military strength. That table, though scarred by many past
frustrations, cannot be abandoned for the certain agony of the battlefield.
(Menyusuri sejarah panjang yang belum
ditulis, penduduk Amerika tahu bahwa di dunia kita yang semakin mengecil, harus
dihindarkan dari proses menjadi masyarakat yang penuh ketakutan dan kebencian,
dan sebaliknya, kebanggaan atas sikap saling percaya dan saling menghormati. Sikap
seperti ini harus seimbang. Masyarakat yang paling lemah harus datang ke meja
konferensi dengan kepercayaan diri yang sama, dan sama-sama dilindungi oleh kekuatan
moral, ekonomi, dan militer. Meja itu, meski terluka oleh banyak frustasi masa
lalu, tidak boleh ditinggalkan untuk penderitan medan perang).
Sejak
pidato itu diucapkan, sudah 52 tahun Amerika diperingatkan oleh salah satu nenek moyang sekaligus founding fathers-nya. sayangnya, Praktek
military-industrial-congressional complex
bukannya menghilang, justru beralihrupa menjadi semakin mengerikan karena
bergabungnya kekuatan mass media. Kombinasi kekuatan itu sekarang menjadi military-industrial-congressional-mass media
complex, yang nampaknya akan semakin melanggengkan rezim korporatokrasi dan
perang kebijakan global. Amerika (dan para sekutunya) nampaknya belum bisa
mengambil pelajaran dari peristiwa 9-11 (nine-eleven)
yakni luluh lantaknya twin tower gedung
WTC. Aksi ini menurut John Perkins adalah wujud kebencian mendalam dari
negara-negara korban korporatokrasi AS, dan merupakan konsekuensi logis atas
perang kebijakan yang dilancarkan AS.
Dalam
situasi dimana kebijakan publik (negara berkembang) sangat lemah dan
menyebabkan kegagalan membangun negara yang unggul, peran seorang pemimpin
menjadi sangat penting. Sebab, sedemokratis apapun formulasi kebijakan publik,
pada akhirnya yang memutuskan adalah pemimpin. Selain itu, seorang pemimpin selalu
berada pada setiap tahapan kebijakan, semenjak formulasi, implementasi, hingga evaluasi
kebijakan. Maka, wajarlah jika pemimpinlah yang menentukan apakah sebuah
kebijakan akan menjadi kebijakan yang unggul atau tidak, dan pemimpin pula yang
menentukan apakah negara akan menjadi negara yang unggul atau tidak. Pemimpinlah
yang harus mengambil peran terbesar untuk melindungi rakyatnya dari intervensi
asing, sekaligus menjamin kesejahteraannya.
Konsep
politik yang memberikan peran besar kepada negara/pemerintah untuk membangun
kesejahteraan ini sering dikenal dengan istilah welfare state (negara kesejahteraan). Namun situasi kontemporer
dewasa ini mengilustrasikan semakin lemahnya welfare state di satu sisi dan semakin menguatnya neo-liberalisme disisi lain. Negara kesejahteraan
terbukti tidak mampu menghadapi perang kebijakan yang dilakukan oleh negara
maju dengan korporatokrasinya. Akibatnya, kebijakan yang semestinya dirumuskan
untuk kepentingan dan kesejahteraan rakyat negerinya sendiri, justru terbalik
menguntungkan kepentingan kapitalis, liberalis, dan kolonialis barat. Inilah barangkali
yang sering dikatakan sebagai krisis negara kesejahteraan.
Situasi
problematiknya-pun kemudian menjadi lingkaran setan (vicious circle). Negara berkembang tidak memiliki keberanian dan
kepercayaan diri berhadapan dengan kekuatan asing, sehingga cenderung mengikuti
segala kemauannya, sehingga kebijakan yang dihasilkan menjadi sangat rapuh, yang
membawa dampak buruk berupa kepentingan nasional yang menjadi semakin terjepit.
Pemerintah negara berkembang (termasuk Indonesia) seolah kebingungan mencari
jalan keluar karena seluruh pintu-pintu keluar sudah dikuasai dan dikunci oleh aktor-aktor
hit man.
Bagi
saya, materi-materi mengenai kebijakan publik dan perang kebijakan,
korporatokrasi dan kegagalan welfare
state, sangatlah mencerahkan. Ini memberi kesadaran baru tentang mafia
kebijakan tingkat global dan permainan jahat negara-negara maju. Dan saya
yakin, bahwa kesadaran dan pencerahan seperti ini juga sudah diterima oleh
banyak kalangan, dari birokrasi, akademisi, penggiat kerja sosial, militer,
pengusaha lokal, hingga para politisi dan pimpinan nasional. Namun yang menjadi
pertanyaan, mengapa kesadaran seperti ini tidak menjelma menjadi gerakan
nasional melawan korporatokrasi, neo-liberalisme dan neo-kolonialisme? Mengapa
mereka – termasuk saya – tidak tergerak untuk menyelamatkan Indonesia untuk
generasi mendatang? Apakah kekuatan civil
society kita terlalu lembek di hadapan state?
Ataukah sistem politik kita sudah benar-benar tersandera oleh para elit dan
politisi? Ataukah penduduk negeri ini sudah benar-benar tidak peduli negaranya
tergadai di pasar internasional yang kejam?
Terlalu sulit untuk menjawabnya,
dan terlalu seram untuk membayangkan jawaban yang jujur. Nampaknya kita perlu
pemimpin yang kuat. Merujuk pada ceramah Prof. Jimly Ashshidiqie, mungkin kita
perlu sosok pimpinan seperti Hitler, namun tidak sepenuhnya, cukup
seperempatnya saja. Sebagaimana diketahui, Jerman pada periode 1919-1933 sering
dikenal sebagai Republik Weimar yang mendeklarasikan diri sebagai negara
demokrasi parlementer dan memberlakukan Konstitusi Weimar. Konstitusi ini
dikenal sebagai the most liberal
constitution in the world. Setelah 13 tahun, muncul kebosanan bahkan
kebencian rakyat Jerman terhadap kebebasan yang berlebihan. Pada momentum
kebencian yang memuncak terhadap kebebasan itulah, muncul Hitler. Hitler melakukan
banyak kampanye tentang anti kebebasan dan anti demokrasi. Pada saat Partai
Nazi yang dipimpin Hitler ikut Pemilu, ternyata menang. Dan pekerjaan pertama
yang dilakukan Nazi/Hitler setelah menang Pemilu adalah membubarkan
partai-partai politik.
Banyak hal buruk yang dilakukan
Hitler, namun tetap ada yang bisa dicontoh, yakni soal keberanian dan
ketegasannya dalam memperjuangkan prinsip yang diyakini. Selain Hitler, tentu
masih banyak kepala-kepala negara yang bisa dicontoh karena keberaniannya
melawan dominasi hingga agresi negara maju terutama AS, misalnya Presiden Jaime
Roldos dari Ekuador yang terbunuh tahun 1981 karena melawan intervensi AS di
negaranya. Nasib yang sama dialami oleh Presiden Omar Torrijos dari Panama yang
juga terbunuh pada tahun yang sama dan dengan alasan yang serupa dengan Jaime
Roldos. Komitmen yang luar biasa untuk menjaga integritas negerinya dari campur
tangan asing juga ditunjukkan pemimpin dunia lainnya seperti Presiden Hugo
Chavez dari Venezuela, Presiden Ahmadinejad dari Iran, bahkan juga Presiden
Soekarno.
Apakah saat ini kita bisa berkata
“tidak” untuk intervensi asing? Kalau kita mau, saya yakin, kita PASTI BISA !!
Dari
kamar B-315
Kampus
Pejompongan, 26 April 2013