Minggu, 07 April 2013

Tentang "Peran" Peserta Diklat dan Penilaian Kinerjanya


Sore hari ini setelah selesai sessi pemaparan pembulatan kajian pertama, saya mendapat kejutan dari salah seorang widyaiswara. Dia menyarankan saya agar lebih aktif dalam diskusi di kelas, karena itu merupakan dasar penilaian widyaiswara terhadap peserta. Terus terang, saya terkejut karena dua alasan. Pertama, saya merasa bahwa widyaiswara tersebut “sayang” kepada saya dan ingin memberi nilai bagus, namun karena saya tidak terlalu aktif, maka dengan terpaksa dia tidak bisa melakukannya. Kedua, saya lebih terkejut karena ucapan sang widyaiswara tadi mengandung arti bahwa penilaian kinerja peserta diklat masih sangat tradisional, dengan mengandalkan frekuensi peserta dalam mengajukan pertanyaan atau memberi komentar.  

Dalam pemikiran saya, penilaian berdasarkan banyaknya seseorang bicara di kelas harusnya diberi bobot yang rendah, kecuali penyampaian pandangan/pertanyaan tadi memang berbobot, kontekstual dengan wacana yang sedang didiskusikan, tidak ada tendensi untuk menonjolkan diri, dan seimbang (tidak menyudutkan seseorang, tidak bersifat menguji, dan sebagainya). Selain itu, harus dilakukan redefinisi tentang bentuk-bentuk peran atau kontribusi peserta dalam proses penyelenggaraan diklat. Apa sesungguhnya peran/kontribusi yang diharapkan penyelenggara dari seorang peserta diklat? Nampaknya, pertanyaan sangat elementer ini tidak pernah mendapat perhatian yang cukup, sehingga akhirnya peran direduksi menjadi aktivitas tanya jawab di kelas. Padahal, peran seorang peserta diklat bisa dikembangkan dalam beragam variasi, seperti “pengabdian” sebagai pengurus kelas, kontribusi teknis untuk kelompok, bantuan individual untuk meringankan beban peserta lain, kesungguhan dalam mengikuti diklat termasuk dalam membuat produk-produk pembelajaran, dan sebagainya. 

Maka, bijakkah menjadikan “hobby” bicara seorang peserta sebagai indikator kinerja, sementara pada indikator lain peserta tersebut tidak begitu peduli? Jika paradigm “makin banyak bicara, maka makin tinggi nilai”, maka Diklat Kepemimpinan sama artinya hanya memproduksi aparatur tipe talker, dan bukan worker. Dan bahayanya, orang yang banyak bicara sering terjebak pada sindrom not action talk only alias tong kosong nyaring bunyinya. Padahal idealnya, alumni Diklat Kepemimpinan harus dibentuk menjadi tipe talk less do more and walk the talk 

Oleh karena itu, model penilaian kinerja peserta diklat nampaknya sudah mendesak untuk diperbaiki. Kriteria yang selama ini digunakan seperti kepemimpinan, prakarsa, kerjasama, dan sejenisnya, tidak relevan lagi karena tidak memiliki parameter yang jelas dan terukur. Salah satu alternatif penilaian adalah berdasarkan aktivitas nyata yang dijalani peserta.  

Kembali ke nasihat widyaiswara diatas, saya menyatakan bahwa tidak masalah bagi saya kehilangan poin karena tujuan saya mengikuti Diklatpim I ini bukan untuk mencari nilai atau menjadi juara, namun mencari ilmu dan berbagai pelajaran kehidupan yang mungkin akan sangat bermanfaat bagi diri saya dalam menempuh profesi PNS di LAN. Saya sendiri merasakan perubahan pada diri saya yang tidak lagi terlalu ingin show off dengan selalu bicara di setiap kesempatan. Saya merasa bahwa sikap seperti itu tidaklah bijak, meski faktanya cukup mujarab untuk meraih ranking tinggi diantara para peserta. Saya juga lebih membenarkan persepsi bahwa selaku (calon) pemimpin, kemampuan mendengar (listening competency) harus lebih diasah dibanding kemampuan bicara (oral / speech competency). Ini seiring dengan anugerah Tuhan YMK yang memberikan dua telinga kepada manusia, dan hanya satu mulut.  

Sayangnya, kesadaran bahwa pendengaran adalah piranti pembelajaran yang terpenting belum tumbuh dikalangan desainer dan penyelenggara pendidikan (dalam arti luas, meliputi pendidikan formal dan informal). Coba kita renungkan, telinga ternyata adalah indera pertama yang berfungsi ketika seorang bayi lahir. Itulah sebabnya, Allah memerintahkan dibacakan adzan dan iqamat untuk bayi yang baru lahir. Lebih hebatnya lagi, telinga adalah juga indera yang masih berfungsi ketika seorang hamba Tuhan menghadapi ajal. Itulah sebabnya, Allah memerintahkan talqin atau dibacakan tahlil untuk orang yang menghadapi sakaratul-maut. Maka, tidaklah aneh jika telinga berkontribusi lebih besar terhadap kesuksesan dan produktivitas seseorang dibanding mulutnya. Ini yang dikatakan oleh Bernard M. Baruch bahwa “most of the successful people I’ve known are the ones who do more listening than talking”. Pernyataan ini sejalan dengan pandangan Lynn O. Cooper bahwa “listening is a desirable skill in organizational settings; good listening can improve worker productivity and satisfaction” (“Listening Competency in the Workplace: A Model for Training”, Business Communication QuarterlyDecember 1997 vol. 60 no. 4 pp. 75-84). 

Oleh sebab itu, menjadi ironis jika kemampuan mendengar tidak mendapat porsi penilaian dalam menentukan kinerja seorang peserta diklat, sementara “kecerewetan” yang seringkali mengganggu kenyamanan peserta lain justru dihargai tinggi. Cara berpikir seperti ini jelas harus dibongkar karena bisa jadi hanya menghasilkan para pemimpin yang suka berdebat dari pada menghasilkan konsensus. Semakin tinggi jabatan seseorang, maka harus semakin “lebar” pula telinga yang dimilikinya, dan semakin “sempit” mulutnya. Pemimpin yang baik adalah mereka yang rajin dan sungguh-sungguh mendengarkan curahan hati bawahannya atau rakyatnya, bukan sebaliknya. Semakin tinggi jabatan seseorang, maka harus semakin sering pula ia menyerap aspirasi, harapan, keluhan, dan permasalahan orang lain, terutama orang-orang yang menjadi kewajibannya untuk dilayani. 

Dengan perspektif itu pula, maka saya cukup bahagia dengan diri saya ketika bisa menahan diri untuk tidak mengobral verbalisme saya. Dalam beberapa hal, saya bahkan merasa lebih “dewasa” dibanding orang lain yang lebih tua dan lebih tinggi jenjang jabatannya, namun mereka belum mampu menahan nafsu bicaranya. Kualitas orasi seseorang bisa jadi menunjukkan kualitas seutuhnya dari orang tersebut, seperti sosok Bung Karno. Namun untuk manusia rata-rata, kebanyakan bicara malah bisa merendahkan derajatnya. Dari pada banyak bicara namun kurang makna, lebih baik diam. Dalam kondisi seperti inilah diam adalah emas. Diam yang dilakukan dengan maksud untuk memberi kesempatan orang lain mengungkapkan pemikirannya, adalah juga emas. Singkatnya, tidak semua diam harus dimaknai sebagai pasif, tidak punya sikap, tidak punya ide, atau tidak peduli.  

Disitulah dibutuhkan seorang penilai (widyaiswara) yang peka dan jeli, serta bisa membedakan omongan yang berbobot dengan omongan yang sekedar menjadi omongan belaka; serta membedakan diam yang pasif atau tidak peduli (ignorance silent) dan mana diam yang didasarkan pada tujuan tertentu (purposive silent). Pendekatan kuantitas berupa frekuensi seseorang mengemukakan pendapat, sudah waktunya diganti menjadi pendekatan yang berpihak pada kualitas.  

Dari kamar B-315
Kampus Pejompongan, 4 April  2013

Tidak ada komentar: