Sore
hari ini setelah selesai sessi pemaparan pembulatan kajian pertama, saya
mendapat kejutan dari salah seorang widyaiswara. Dia menyarankan saya agar lebih
aktif dalam diskusi di kelas, karena itu merupakan dasar penilaian widyaiswara
terhadap peserta. Terus terang, saya terkejut karena dua alasan. Pertama, saya merasa bahwa widyaiswara
tersebut “sayang” kepada saya dan ingin memberi nilai bagus, namun karena saya
tidak terlalu aktif, maka dengan terpaksa dia tidak bisa melakukannya. Kedua, saya lebih terkejut karena ucapan
sang widyaiswara tadi mengandung arti bahwa penilaian kinerja peserta diklat
masih sangat tradisional, dengan mengandalkan frekuensi peserta dalam
mengajukan pertanyaan atau memberi komentar.
Dalam
pemikiran saya, penilaian berdasarkan banyaknya seseorang bicara di kelas harusnya
diberi bobot yang rendah, kecuali penyampaian pandangan/pertanyaan tadi memang
berbobot, kontekstual dengan wacana yang sedang didiskusikan, tidak ada
tendensi untuk menonjolkan diri, dan seimbang (tidak menyudutkan seseorang,
tidak bersifat menguji, dan sebagainya). Selain itu, harus dilakukan redefinisi
tentang bentuk-bentuk peran atau kontribusi peserta dalam proses
penyelenggaraan diklat. Apa sesungguhnya peran/kontribusi yang diharapkan
penyelenggara dari seorang peserta diklat? Nampaknya, pertanyaan sangat
elementer ini tidak pernah mendapat perhatian yang cukup, sehingga akhirnya
peran direduksi menjadi aktivitas tanya jawab di kelas. Padahal, peran seorang peserta
diklat bisa dikembangkan dalam beragam variasi, seperti “pengabdian” sebagai
pengurus kelas, kontribusi teknis untuk kelompok, bantuan individual untuk
meringankan beban peserta lain, kesungguhan dalam mengikuti diklat termasuk
dalam membuat produk-produk pembelajaran, dan sebagainya.
Maka,
bijakkah menjadikan “hobby” bicara seorang peserta sebagai indikator kinerja,
sementara pada indikator lain peserta tersebut tidak begitu peduli? Jika paradigm
“makin banyak bicara, maka makin tinggi nilai”, maka Diklat Kepemimpinan sama
artinya hanya memproduksi aparatur tipe talker,
dan bukan worker. Dan bahayanya,
orang yang banyak bicara sering terjebak pada sindrom not action talk only alias tong
kosong nyaring bunyinya. Padahal idealnya, alumni Diklat Kepemimpinan harus
dibentuk menjadi tipe talk less do more
and walk the talk.
Oleh
karena itu, model penilaian kinerja peserta diklat nampaknya sudah mendesak
untuk diperbaiki. Kriteria yang selama ini digunakan seperti kepemimpinan,
prakarsa, kerjasama, dan sejenisnya, tidak relevan lagi karena tidak memiliki
parameter yang jelas dan terukur. Salah satu alternatif penilaian adalah
berdasarkan aktivitas nyata yang dijalani peserta.
Kembali
ke nasihat widyaiswara diatas, saya menyatakan bahwa tidak masalah bagi saya
kehilangan poin karena tujuan saya mengikuti Diklatpim I ini bukan untuk
mencari nilai atau menjadi juara, namun mencari ilmu dan berbagai pelajaran
kehidupan yang mungkin akan sangat bermanfaat bagi diri saya dalam menempuh
profesi PNS di LAN. Saya sendiri merasakan perubahan pada diri saya yang tidak lagi
terlalu ingin show off dengan selalu
bicara di setiap kesempatan. Saya merasa bahwa sikap seperti itu tidaklah bijak,
meski faktanya cukup mujarab untuk meraih ranking
tinggi diantara para peserta. Saya juga lebih membenarkan persepsi bahwa
selaku (calon) pemimpin, kemampuan mendengar (listening competency) harus lebih diasah dibanding kemampuan bicara
(oral / speech competency). Ini seiring
dengan anugerah Tuhan YMK yang memberikan dua telinga kepada manusia, dan hanya
satu mulut.
Sayangnya,
kesadaran bahwa pendengaran adalah piranti pembelajaran yang terpenting belum
tumbuh dikalangan desainer dan penyelenggara pendidikan (dalam arti luas,
meliputi pendidikan formal dan informal). Coba kita renungkan, telinga ternyata
adalah indera pertama yang berfungsi ketika seorang bayi lahir. Itulah sebabnya,
Allah memerintahkan dibacakan adzan
dan iqamat untuk bayi yang baru
lahir. Lebih hebatnya lagi, telinga adalah juga indera yang masih berfungsi
ketika seorang hamba Tuhan menghadapi ajal. Itulah sebabnya, Allah memerintahkan
talqin atau dibacakan tahlil untuk orang yang menghadapi
sakaratul-maut. Maka, tidaklah aneh jika telinga berkontribusi lebih besar
terhadap kesuksesan dan produktivitas seseorang dibanding mulutnya. Ini yang
dikatakan oleh Bernard M. Baruch bahwa “most
of the successful people I’ve known are the ones who do more listening than
talking”. Pernyataan ini sejalan dengan pandangan Lynn O. Cooper bahwa “listening is a desirable skill in organizational settings; good listening
can improve worker productivity and satisfaction” (“Listening
Competency in the Workplace: A Model for Training”, Business Communication Quarterly, December
1997 vol. 60 no. 4 pp. 75-84).
Oleh
sebab itu, menjadi ironis jika kemampuan mendengar tidak mendapat porsi
penilaian dalam menentukan kinerja seorang peserta diklat, sementara “kecerewetan”
yang seringkali mengganggu kenyamanan peserta lain justru dihargai tinggi. Cara
berpikir seperti ini jelas harus dibongkar karena bisa jadi hanya menghasilkan
para pemimpin yang suka berdebat dari pada menghasilkan konsensus. Semakin tinggi
jabatan seseorang, maka harus semakin “lebar” pula telinga yang dimilikinya,
dan semakin “sempit” mulutnya. Pemimpin yang baik adalah mereka yang rajin dan
sungguh-sungguh mendengarkan curahan hati bawahannya atau rakyatnya, bukan sebaliknya.
Semakin tinggi jabatan seseorang, maka harus semakin sering pula ia menyerap
aspirasi, harapan, keluhan, dan permasalahan orang lain, terutama orang-orang
yang menjadi kewajibannya untuk dilayani.
Dengan
perspektif itu pula, maka saya cukup bahagia dengan diri saya ketika bisa
menahan diri untuk tidak mengobral verbalisme saya. Dalam beberapa hal, saya bahkan
merasa lebih “dewasa” dibanding orang lain yang lebih tua dan lebih tinggi
jenjang jabatannya, namun mereka belum mampu menahan nafsu bicaranya. Kualitas orasi
seseorang bisa jadi menunjukkan kualitas seutuhnya dari orang tersebut, seperti
sosok Bung Karno. Namun untuk manusia rata-rata, kebanyakan bicara malah bisa
merendahkan derajatnya. Dari pada banyak bicara namun kurang makna, lebih baik
diam. Dalam kondisi seperti inilah diam adalah emas. Diam yang dilakukan dengan
maksud untuk memberi kesempatan orang lain mengungkapkan pemikirannya, adalah
juga emas. Singkatnya, tidak semua diam harus dimaknai sebagai pasif, tidak punya
sikap, tidak punya ide, atau tidak peduli.
Disitulah
dibutuhkan seorang penilai (widyaiswara) yang peka dan jeli, serta bisa
membedakan omongan yang berbobot dengan omongan yang sekedar menjadi omongan belaka;
serta membedakan diam yang pasif atau tidak peduli (ignorance silent) dan mana diam yang didasarkan pada tujuan
tertentu (purposive silent). Pendekatan
kuantitas berupa frekuensi seseorang mengemukakan pendapat, sudah waktunya
diganti menjadi pendekatan yang berpihak pada kualitas.
Dari kamar B-315
Kampus Pejompongan, 4 April 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar