Mungkin
benar bahwa bangsa kita mengalami kesulitan mengelola potensi yang dahsyat
menjadi kebaikan bersama. Logikanya, kebaikan yang kecil, jika digabungkan
kebaikan-kebaikan kecil lain yang jumlahnya teramat banyak, maka akan berakumulasi
menjadi kebaikan yang teramat besar. Namun logika ini seringkali tidak berjalan
dalam realita. Sebagai contoh, manusia Indonesia secara individual terkenal
akan keramahannya, sikap suka menolongnya, toleransinya, dan seterusnya. Dalam perspektif
agama, masyarakat Indonesia juga bisa dikatakan saleh. Masjid, gereja, dan
tempat-tempat peribadatan sering penuh
oleh jamaahnya. Hewan korban juga kadang berlebih di musim berkorban, sebagaimana
zakat yang sering berlimpah dimusim lebaran. Bahkan sering kita lihat adanya tanda
hitam di kening banyak orang, yang menandakan bekas sujud yang amat khusyu’. Pendeknya,
kita perlu bangga dan bahagia dengan mudahnya menemukan kesalehan individual
manusia Indonesia.
Sayangnya,
kesalehan individual tadi tidak menjelma menjadi kesalehan kolektf. Kita tentu
ingat kasus pertikaian antar kelompok masyarakat yang menamakan dirinya sebagai
kelompok relijius, dengan cara-cara yang jauh dari spirit relijius. Kita juga
bisa lihat mudahnya masyarakat terbakar emosinya hanya karena
persoalan-persoalan sepele. Dalam tataran sistem, kitapun bisa mengamati
tigginya kasus korupsi dan penyalahgunaan wewenang, lambat dan berbelitnya
pelayanan, mafia peradilan yang kasat mata, dan berbagai kasus yang menunjukkan
tidak adanya kesalehan sosial (collective
piety).
Fenomena
sulitnya mengkonversi potensi individu menjadi sumber daya kolektif juga
terjadi dalam konteks diklat aparatur, peserta Diklatpim I Angkatan XXV,
misalnya, terdiri dari individu-indvidu yang memiliki kecerdasan diatas
rata-rata. Hal ini bisa diamati dari latar belakang pendidikan dimana banyak yang
sudah Doktor, dan diantaranya alumni luar negeri. Diliaht dari jabatannya juga
5 orang sudah mendudukui jabatan Eselon I, sementara yang menduduki jabatan
Eselon II juga berada pada posisi stratebis seperti Kepala Kejaksaan Tinggi, Kombes
Polisi di salah satu Mapolda, dan lain-lain. Pengalaman peserta dalam berbagai
program skala internasional juga cukup banyak, yang tercermin dari cerita-cerita
mereka.
Sayangnya,
kecerdasan individual tadi tidak menjelma menjadi kecerdasan kolektif. Jika Kertas
Kerja Tema atau Kertas Kerja Akhir dipandang sebagai wujud kecerdasan kolektif,
maka bisa dikatakan bahwa kecerdasan kolektif yang terbangun adalah kecerdasan
jauh dibwah rata-rata. Sebab, semangat kebatinan dalam menyusun KKT/KKA tidak
dilandasi oleh cita-cita menghasilkan publikasi kelas satu yang layak dijadikan
konsumsi bacaan tingkat Menteri bahkan Presiden. KKT/KKA lebih bernuansa
formalitas dengan metodologi akademik yang dipertanyakan serta rujukan teoretik
yang setengah-setengah.
Saya
membayangkan, Pusdiklat Spimnas selalu menghasilkan satu publikasi di setiap akhir
penyelenggaraan Diklatpim II dan I, dan publikasi ini menjadi rujukan nasional karena
berisi analisis terhadap issu aktual tertentu hingga solusi-solusi inovatifnya.
Faktanya, KKA/KKT selama ini hanya disimpan oleh penyelenggara dan tidak
menjadi policy recommendation kepada
pimpinan nasional. Ironisnya, KTP-2 juga bernasib serupa dengan KKT/KKA yang
hanya menjadi penghias rak-rak buku semata. Kesimpulannya, setiap angkatan Diklatpim
II dan I terbukti tidak menghasilkan sebuah dokumen yang berpengaruh (influential) terhadap reformasi
kebijakan di tanah air. Saya lebih mengidamkan bahwa setiap angkatan wajib
menghasilkan sebuah buku yang mengangkat tema diklat dan berisi bab-bab hasil
kontribusi setiap peserta. Untuk Diklatpim I Angkatan XXV misalnya, judul buku yang
harus dihasilkan adalah sama dengan tema yakni “Sinergi Pemerintah, Masyarakat dan Dunia Usaha Dalam Memasuki Era ASEAN
Community 2015”. Dengan demikian, diklat akan diawali dengan dan dijiwai
oleh tema, kemudian diakhiri dengan publikasi yang berisi semua jawaban
terhadap problematika terkait tema tersebut.
Jika
ide ini disepakati, maka perlu ada redesign
terhadap produk pembelajaran dalam Diklat Kepemimpinan. Diskusi-diskusi
kelompok tetap diperlukan sebagai ajang pertukaran gagasan (idea sharing and exchange), namun tidak
harus dikemas dalam bentuk pembuatan slide
yang dipaparkan di kelas. Proses intellectual
exercise sesungguhnya lebih banyak berjalan pada saat diskusi dibanding
saat presentasi, sehingga sessi presentasi hanya menjadi “latihan bicara” bagi
beberapa orang saja (yakni mereka yang diberi kesempatan sebagai penyaji atau
pembahas), sementara peserta yang lain cenderung diam dan “menikmati waktu
istirahat”. Yang lebih diperlukan sebenarnya adalah dokumentasi dari proses intellectual
exercise tadi, dan bukan presentasinya. Oleh karena itu, mungkin saja KKT/KKA
dihapus dan digantikan dengan menyusun buku yang mengacu tema. KTP-2 mungkin
juga bisa dihapus, mengingat peserta Diklatpim I diharapkan lebih memiliki visi
nasional yang bersifat strategis, bukan rencana kerja yang bersifat teknis instansional.
Namun
saya sangat menyadari bahwa ide ini cukup sulit ditataran aplikasinya. Sebab,
terlalu banyak pejabat tinggi birokrasi kita yang tidak punya budaya akademik
dan tidak terbiasa dengan aktivitas tulis-menulis, terlebih karya tulis ilmiah.
Jika model ini dipaksakan, bisa jadi malah menyuburkan praktek plagiarisme berupa
munculnya penulis-penulis bayangan atau para joki (ghost writers). Akan tetapi, mempertahankan produk pembelajaran
lama yang jelas-jelas tidak membawa efek kuat untuk perubahan organisasi juga
bukan pilihan tepat. Maka, boleh jadi dikembangkan pola kombinasi sesuai ekspektasi
penyelenggara dan kemampuan peserta. Esensinya, apapun produk pembelajaran yang
dihasilkan, haruslah menjadi cerminan terbaik dari intelektualitas kolektif
kelas yang semakin berbobot.
Dari
kamar B-315
Kampus
Pejompongan, 13 April 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar