Jumat, 12 April 2013

Mendambakan Munculnya Kecerdasan Kolektif


Mungkin benar bahwa bangsa kita mengalami kesulitan mengelola potensi yang dahsyat menjadi kebaikan bersama. Logikanya, kebaikan yang kecil, jika digabungkan kebaikan-kebaikan kecil lain yang jumlahnya teramat banyak, maka akan berakumulasi menjadi kebaikan yang teramat besar. Namun logika ini seringkali tidak berjalan dalam realita. Sebagai contoh, manusia Indonesia secara individual terkenal akan keramahannya, sikap suka menolongnya, toleransinya, dan seterusnya. Dalam perspektif agama, masyarakat Indonesia juga bisa dikatakan saleh. Masjid, gereja, dan tempat-tempat peribadatan  sering penuh oleh jamaahnya. Hewan korban juga kadang berlebih di musim berkorban, sebagaimana zakat yang sering berlimpah dimusim lebaran. Bahkan sering kita lihat adanya tanda hitam di kening banyak orang, yang menandakan bekas sujud yang amat khusyu’. Pendeknya, kita perlu bangga dan bahagia dengan mudahnya menemukan kesalehan individual manusia Indonesia.  

Sayangnya, kesalehan individual tadi tidak menjelma menjadi kesalehan kolektf. Kita tentu ingat kasus pertikaian antar kelompok masyarakat yang menamakan dirinya sebagai kelompok relijius, dengan cara-cara yang jauh dari spirit relijius. Kita juga bisa lihat mudahnya masyarakat terbakar emosinya hanya karena persoalan-persoalan sepele. Dalam tataran sistem, kitapun bisa mengamati tigginya kasus korupsi dan penyalahgunaan wewenang, lambat dan berbelitnya pelayanan, mafia peradilan yang kasat mata, dan berbagai kasus yang menunjukkan tidak adanya kesalehan sosial (collective piety). 

Fenomena sulitnya mengkonversi potensi individu menjadi sumber daya kolektif juga terjadi dalam konteks diklat aparatur, peserta Diklatpim I Angkatan XXV, misalnya, terdiri dari individu-indvidu yang memiliki kecerdasan diatas rata-rata. Hal ini bisa diamati dari latar belakang pendidikan dimana banyak yang sudah Doktor, dan diantaranya alumni luar negeri. Diliaht dari jabatannya juga 5 orang sudah mendudukui jabatan Eselon I, sementara yang menduduki jabatan Eselon II juga berada pada posisi stratebis seperti Kepala Kejaksaan Tinggi, Kombes Polisi di salah satu Mapolda, dan lain-lain. Pengalaman peserta dalam berbagai program skala internasional juga cukup banyak, yang tercermin dari cerita-cerita mereka. 

Sayangnya, kecerdasan individual tadi tidak menjelma menjadi kecerdasan kolektif. Jika Kertas Kerja Tema atau Kertas Kerja Akhir dipandang sebagai wujud kecerdasan kolektif, maka bisa dikatakan bahwa kecerdasan kolektif yang terbangun adalah kecerdasan jauh dibwah rata-rata. Sebab, semangat kebatinan dalam menyusun KKT/KKA tidak dilandasi oleh cita-cita menghasilkan publikasi kelas satu yang layak dijadikan konsumsi bacaan tingkat Menteri bahkan Presiden. KKT/KKA lebih bernuansa formalitas dengan metodologi akademik yang dipertanyakan serta rujukan teoretik yang setengah-setengah. 

Saya membayangkan, Pusdiklat Spimnas selalu menghasilkan satu publikasi di setiap akhir penyelenggaraan Diklatpim II dan I, dan publikasi ini menjadi rujukan nasional karena berisi analisis terhadap issu aktual tertentu hingga solusi-solusi inovatifnya. Faktanya, KKA/KKT selama ini hanya disimpan oleh penyelenggara dan tidak menjadi policy recommendation kepada pimpinan nasional. Ironisnya, KTP-2 juga bernasib serupa dengan KKT/KKA yang hanya menjadi penghias rak-rak buku semata. Kesimpulannya, setiap angkatan Diklatpim II dan I terbukti tidak menghasilkan sebuah dokumen yang berpengaruh (influential) terhadap reformasi kebijakan di tanah air. Saya lebih mengidamkan bahwa setiap angkatan wajib menghasilkan sebuah buku yang mengangkat tema diklat dan berisi bab-bab hasil kontribusi setiap peserta. Untuk Diklatpim I Angkatan XXV misalnya, judul buku yang harus dihasilkan adalah sama dengan tema yakni “Sinergi Pemerintah, Masyarakat dan Dunia Usaha Dalam Memasuki Era ASEAN Community 2015”. Dengan demikian, diklat akan diawali dengan dan dijiwai oleh tema, kemudian diakhiri dengan publikasi yang berisi semua jawaban terhadap problematika terkait tema tersebut. 

Jika ide ini disepakati, maka perlu ada redesign terhadap produk pembelajaran dalam Diklat Kepemimpinan. Diskusi-diskusi kelompok tetap diperlukan sebagai ajang pertukaran gagasan (idea sharing and exchange), namun tidak harus dikemas dalam bentuk pembuatan slide yang dipaparkan di kelas. Proses intellectual exercise sesungguhnya lebih banyak berjalan pada saat diskusi dibanding saat presentasi, sehingga sessi presentasi hanya menjadi “latihan bicara” bagi beberapa orang saja (yakni mereka yang diberi kesempatan sebagai penyaji atau pembahas), sementara peserta yang lain cenderung diam dan “menikmati waktu istirahat”. Yang lebih diperlukan sebenarnya adalah dokumentasi dari proses  intellectual exercise tadi, dan bukan presentasinya. Oleh karena itu, mungkin saja KKT/KKA dihapus dan digantikan dengan menyusun buku yang mengacu tema. KTP-2 mungkin juga bisa dihapus, mengingat peserta Diklatpim I diharapkan lebih memiliki visi nasional yang bersifat strategis, bukan rencana kerja yang bersifat teknis instansional. 

Namun saya sangat menyadari bahwa ide ini cukup sulit ditataran aplikasinya. Sebab, terlalu banyak pejabat tinggi birokrasi kita yang tidak punya budaya akademik dan tidak terbiasa dengan aktivitas tulis-menulis, terlebih karya tulis ilmiah. Jika model ini dipaksakan, bisa jadi malah menyuburkan praktek plagiarisme berupa munculnya penulis-penulis bayangan atau para joki (ghost writers). Akan tetapi, mempertahankan produk pembelajaran lama yang jelas-jelas tidak membawa efek kuat untuk perubahan organisasi juga bukan pilihan tepat. Maka, boleh jadi dikembangkan pola kombinasi sesuai ekspektasi penyelenggara dan kemampuan peserta. Esensinya, apapun produk pembelajaran yang dihasilkan, haruslah menjadi cerminan terbaik dari intelektualitas kolektif kelas yang semakin berbobot. 

Dari kamar B-315
Kampus Pejompongan, 13 April  2013

Tidak ada komentar: