Hari
ini, 3 April 2013, tidak ada substansi menarik yang bisa menjadi sumber
inspirasi penulisan jurnal. Hari ini hanya diisi dengan evaluasi penyelengaraan
diklat selama lebih kurang 3 minggu terakhir serta penjelasan KTP2 dan
penjelasan tema. Maka, saya hanya ingin memberi respon terhadap sikap beberapa
rekan peserta atas evaluasi yang dilakukan penyelenggara. Saya pribadi tidak
ada keluhan sama sekali, karena setiap kekurangan yang ada sesungguhnya adalah “vitamin”
buat peserta (lihat Jurnal #1 dan #2). Namun dari teman-teman peserta yang
lain, cukup banyak keluhan yang disampaikan, mulai dari AC yang tidak dingin,
konsumsi yang dianggap kurang sesuai selera atau komposisi nutrisi, microphone yang sering mati, dan
sebagainya, Termasuk yang dikeluhkan adalah muatan yang disampaikan oleh para
pembicara/penceramah yang lebih banyak menonjolkan permasalahan pembangunan dibanding
kinerja positif yang dicapai pemerintah.
Kritik
terhadap penceramah yang mengkritik pemerintah sangat jamak terjadi. Dulu
ketika saya mengikuti Diklatpim II, keluhan serupa juga terjadi. Demikian pula
pada jenjang Diklatpim III maupun IV. Intinya, tidak ada yang salah dengan
keluhan semacam itu. Hanya saja, peserta diklat yang kurang merasa nyaman
ketika penceramah banyak bicara soal masalah bangsa harus paham bahwa untuk
menemukan kebijakan yang baik dan berisi solusi-solusi cerdas, selalu dimulai
dari masalah.
Dalam
teori policy analysis, masalah
merupakan faktor input yang harus mampu dikenali, diidentifikasi, didefinisikan,
dispesifikasi, dan direstrukturisasi. Semua pakar analisis kebijakan seperti
Thomas Dye, Willian Dunn, James Anderson, Carl Patton and David Sawicki, dan
sebagainya, selalu memulai analisis dari kewajiban merumuskan masalah ini.
Mengapa perumusan/pengenalan masalah sangat penting dalam analisis kebijakan?
Sebab, banyak “masalah” yang sebenarnya bukan masalah, melainkan hanya sebuah symptom atau gejala adanya masalah. Maka,
kemampuan membedakan mana masalah kebijakan dan mana yang bukan masalah kebijakan,
menjadi sangat penting untuk melangkah pada tahap analisis selanjutnya. Sekali kita
keliru memetakan dan mempersepsikan sebuah masalah, maka akan keliru pula kita
dalam mengembangkan alternatif hingga memilih kebijakan terbaik. Tidak aneh
jika kemudian sering kita dengar ungkapan bahwa keberhasilan merumuskan masalah
dengan baik adalah setengah dari keberhasilan melakukan analisis kebijakan.
Oleh
karena itu, peserta diklat semestinya berbahagia ketika para penceramah dengan
gamblang menyajikan berbagai permasalahan dari optik kepakaran mereka. Tinggal tugas
peserta kemudian melakukan perumusan masalah dan melanjutkannya hingga tahap
pemilihan kebijakan terbaik (best policy
chosen). Tanpa didahului oleh kejelasan masalah yang dihadapi, maka peserta
bisa terjebak dalam perangkap blind men
and elephant, dan larut dalam debat yang kurang produktif.
Selanjutnya,
pada penjelasan penulisan KTP2 (Karya Tulis Prestasi Perorangan), sempat muncul
sedikit kebingungan di kalangan peserta termasuk saya. Kebingungan tadi
bersumber dari jenjang jabatan peserta yang mayoritas masih di Eselon 2 namun
harus menulis kertas kerja untuk lingkup Eselon 1. Terhadap pertanyaan saya
apakah materi KTP2 lebih fokus pada fungsi manajerial ataukah pada substansi
tugas dan fungsi unit kerja Eselon 1, dijawab oleh Kapusdiklat SPIMNAS Bidang
Kepemimpinan agar diarahkan ke fungsi manajemen.
Nah,
disinilah saya merasa kurang sreg. Bagi
saya jangankan jenjang Eselon 1, untuk pejabat Eselon 2 sekalipun semestinya
bisa memaknakan fungsi manajerial dalam konteks yang lebih strategis. Saya pribadi
menafsirkan fungsi manajemen menjadi dua kategori, yakni: 1) fungsi manajerial mikro seperti
perencanaan, penganggaran, pengawasan, dan lain-lain; serta 2) fungsi manajerial makro seperti berpikir
visioner, berpikir lintas sektor / lintas daerah / lintas susunan pemerintahan
/ lintas disiplin, memimpin perubahan, menemukan dan mendorong inovasi, dan
sebagainya.
Dengan
kategorisasi seperti itu, maka KTP2 untuk Diklatpim I dan II mestinya
difokuskan pada fungsi manajerial makro, sementara KKP (Kertas Kerja
Perseorangan) pada Diklatpim III dan IV cukup pada fungsi manajerial mikro. Ini
berarti pula bahwa KTP2 Diklatpim I hendaknya tidak terjebak pada penyusunan
rencana kegiatan, namun harus berupa konsep besar (big thinking) tentang rancang bangun organisasi masa depan
serta kebutuhan transformasi untuk menjamin eksistensi organisasinya ditengah tuntutan
global yang makin kompleks.
Terakhir,
sessi hari ini diakhiri dengan penjelasan Kertas Kerja Tema (KKT). Jika KTP2
adalah refleksi dari individual
intelligene peserta, maka KKT adalah produk pembelajaran secara kolektif
yang mestinya mencerminkan kecerdasan kolektif (collective intelligence) dari seluruh anggota kelompok. Namun seringkali,
KKT tidak berkorelasi dengan kecerdasan kolektif karena pembagian tugas yang
kurang merata dan lemahnya mekanisme mengadopsi ide-ide perorangan menjadi ide
bersama.
Untuk
itu, saya sangat mengapresiasi perubahan yang dilakukan oleh penyelenggara
terkait dengan target menghasilkan beragam produk pembelajaran. Penghapusan Temu
Karya atau Seminar OL dan Kertas Kerja Angkatan (integrasi dari KKT Kelompok),
diharapkan akan membuat peserta dapat mencurahkan perhatiannya dalam menghasilkan
satu produk individual (KTP2) dan satu produk kolektif (KKT) secara
berkualitas. Orientasi kuantitas telah bergeser menjadi orientasi kualitas dalam
menghasilkan produk pembelajaran. Disinilah, peserta harus memanfaatkan waktu
yang relatif “longgar” untuk menumbuhkan budaya kualitas dalam proses
pembelajaran, menjawab tantangan untuk mampu menghasilkan kertas kerja yang lebih
berkualitas dibanding angkatan-angkatan sebelumnya.
Apakah
Angkatan XXV mampu melakukannya? Semua kembali kepada niat dan komitmen setiap
peserta. Paling tidak, perubahan tadi diharapkan mampu menumbuhkan iklim dan
hasrat untuk berkompetisi secara sehat di antara para peserta.
Dari
kamar B-315
Kampus
Pejompongan, 4 April 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar