Kemahiran
seorang Eko Prasojo bicara reformasi birokrasi, atau seorang Bibit Samad
Riyanto bicara pemberantasan korupsi, mungkin sama dengan kemahiran seekor
burung terbang di angkasa, atau seekor ikan berenang di lautan lepas. Maka,
beruntunglah para peserta Diklatpim I mendapat pembicara berkelas seperti
mereka.
Namun,
saya pribadi agak “kecewa” diawal, ketika mereka lebih banyak menyampaikan
hal-hal “standar” tentang definisi konsep, referensi teoretik, deskripsi
situasi, kebijakan yang cenderung normatif, atau permasalahan yang terkesan
klasik. Eko Prasojo misalnya, memulai ceramah dengan menanyakan mengapa kita
perlu reformasi administrasi, dilanjutkan dengan pengertian/konsep reformasi
administrasi, potret makro Indonesia dan masalah pokok SDM Aparatur, kemudian
banyak mengulas soal strategi reformsi birokrasi dan target-target yang ingin
dicapai, dan diakhiri dengan ajakan kepada para peserta untuk menjadi agen
perubahan di instansi masing-masing.
Dibanding
Eko Prasojo, paparan Bibit Samad Riyanto pada tanggal 4 April yang lalu terkesan
jauh lebih klasik dan lebih cocok untuk konsumsi mahasiswa Fakultas Hukum
semester 1. Ia memulai dengan pengertian korupsi, kondisi korupsi di Indonesia,
peran pemerintah dan masyarakat dalam pemberantasan korupsi, dan gerakan moral
memerangi korupsi, yang diakhiri dengan penutup.
Dengan
paparan model normatif ini, wajar jika peserta – terutama saya – tidak banyak tertarik.
Maka, pada sessi ceramah Bibit saya sampaikan harapan agar beliau lebih banyak
bicara soal-soal yang selama ini tidak diketahui khalayak (the untold stories, the unspoken realities), misalnya adakah
intervensi dan tekanan dari pihak-pihak tertentu kepada KPK dalam menjalankan
tugasnya, mengapa kasus besar seperti Century tidak bisa segera tuntas,
bagaimana sikap para politisi Senayan terhadap pemberantasan korupsi, dan
pertanyaan lain yang sejenis. Syukurlah, akhirnya beliau sempat juga mengungkap
sedikit-sedikit soal Century dan Cicak vs Buaya meski waktu tersisa tinggal
sedikit. Intinya, beliau mengatakan ada kekuatan besar mengapa muncul kasus
Cicak vs Buaya dan mengapa skandal Century masih terus berlarut-larut hingga
sekarang. Sayangnya, beliau tidak sampai mengungkap lebih detil kekuatan
seperti apa dan siapa dibalik kekuatan besar itu.
Serupa
dengan Bibit, Eko Prasojo pada sessi tanya jawab akhirnya juga banyak
mengungkap “misteri” dibalik tersendatnya capaian kinerja reformasi birokrasi. Meski
tidak secara terang-terangan, namun secara tersirat beliau membenarkan akan
sinyalemen para peserta akan berbagai dilema di sekitar reformasi.
Pertama, tentu issu
remunerasi atau tunjangan kinerja, dimana Kementerian Keuangan sudah menerima
tunjangan ini sejak 2008 sebesar 100 persen, sementara hingga saat ini masih
banyak Kementerian/Lembaga yang belum menerima sama sekali. Ironisnya, di
Kementerian Keuangan justru masih saja terus terjadi kasus-kasus penyalahgunaan
wewenang dan manipulasi pajak, yang seolah membuktikan hipotesis publik bahwa
tunjangan yang besar tadi tidak berkorelasi positif dengan berkurangnya tindak
pidana korupsi. Adalah ironis pula ketika Kemenetrian Keuangan begitu “mudah”
menyediakan anggaran besar untuk perbaikan kesejahteraan pegawainya, sementara
untuk alokasi bagi instansi lain terasa begitu sulit dan berbelit-belit.
Dampaknya, program reformasi tidak bisa berjalan selaras antar lembaga.
Kementerian Keuangan yang didukung dengan anggaran besar mampu melakukan
aktivitas apapun dalam rangka reformasi, sehingga memunculkan image seolah-olah Kementerian Keuangan
jauh lebih hebat dibanding kementerian lainnya, yang memiliki dana amat
terbatas untuk menggulirkan reformasi di instansinya. Kondisi inilah yang
dijadikan sebagai “alasan pembenar”
untuk menerima tunjangan yang besar tadi, meski instansi lain tidak menerima
sama sekali. Wajarlah jika kemudian muncul joke
bahwa birokrasi Indonesia berkasta. Dalam kasus seperti ini, nampak bahwa
Kementerian Keuangan mem-fait accompli
Kementerian PAN dan RB, untuk tidak mengatakan “menyandera”. Maksudnya,
Kementerian Keuangan yang menerima manfaat RB, namun kegagalan program
reformasi seolah menjadi tanggungjawab tunggal Kementerian PAN dan RB.
Kedua, soal
berlarutnya pembahasan dan pengesahan RUU ASN (Aparatur Sipil Negara), yang
diindikasikan ada penolakan serius dari dalam tubuh pemerintah sendiri,
terutama pada Sekretaris Jenderal Kementerian dan asosiasi Sekretaris Daerah
Provinsi dan Kabupaten/Kota. Ketidakakuran seperti ini membuktikan betapa
birokrasi kita masih dikelola dengan pola “monarki” atau “rejim”. Penolakan
terhadap RUU ASN jelas sekali mencerminkan kuatnya ego sektoral dan kepentingan
aktor-aktor tertentu yang tidak menginginkan goyah dari istana comfort zone. Maka, dengan mudah kita
bisa maklum jika kinerja pemerintahan kita teramat rendah, karena memang tidak
ada common interest, shared values and
vision, mutual understanding, dan sense
of synergy diantara instansi pemerintah tersebut. Kasus Peraturan
Pemerintah No. 48/2005 tentang Pengangkatan Tenaga Honorer Menjadi CPNS, adalah
contoh lain betapa birokrasi kita terlalu berat menanggung beban politik, dan
betapa Kementerian PAN dan RB tidak bisa berbuat sesuatu dan menolak hal yang
jelas-jelas diyakini debagai kekeliruan. Sebagai institusi yang paling
bertanggungjawab terhadap program RB, Kementerian PAN dan RB justru berubah
menjadi kambing hitam terhadap kebijakan-kebijakan keliru yang mengatasnamakan
reformasi.
Ketiga, merebaknya
lembaga-lembaga non struktural baru serta mengembangnya unit-unit kerja
kementerian, yang dilakukan di era reformasi dan desentralisasi. Desain dasar
reformasi dan desentralisasi jelas menghendaki adanya perampingan unit kerja
organisasi di tingkap pusat. Namun yang terjadi adalah sebaliknya, dimana
rata-rata kementerian semakin tambun, dan jumlah LNS semakin “menggila”.
Ditambah dengan pemekaran provinsi hingga kecamatan dan kelurahan, maka
peningkatan beban APBN dan APBD secara otomatis menjadi taruhannya. Lagi-lagi,
dalam situasi seperti itu nampaknya Kementerian PAN dan RB tidak bisa berperan
banyak. Meski gossip-nya ada silent moratorium untuk pemekaran
unit-unit organisasi K/L, namun fakta di lapangan berbicara lain. Tentu ada
“sesuatu” dibalik lemahnya Kementerian PAN dan RB sebagai filter untuk menahan
berkembangbiaknya lembaga pemerintah.
Keempat, agar RB bisa
berhasil secara optimal, maka komitmen pimpinan tertinggi negeri menjadi faktor
determinan. Beliau harus menjadikan RB sebagai the living reform, bukan sekedar reform agenda. Saat ini memang beliau sudah menerbitkan Perpres No.
81/2010 tentang Grand Design Reformasi Birokrasi, namun substansi Perpres tadi
nampaknya belum merasuk dalam jiwa, urat nadi, dan aliran darah para
penyelenggara negara. Beliau dituntut untuk menghapus reformasi sebagai wacana
atau lip service belaka, dan
menghilangkan jarak, sekat, atau tirai antara Presiden dengan program RB.
Sebab, selama ini ada kesan publik bahwa Presiden sesungguhnya tidak tahu
banyak tentang esensi dan manfaat reformasi birokrasi, sementara para
pembantunya juga gagal meyakinkan beliau bahwa RB merupakan kebutuhan utama
Kabinet Indonesia Bersatu II untuk membangun sistem tata kelola pemerintahan
yang benar-benar bersih, amanah, kompeten, dan berkinerja tinggi. Ada baiknya
Presiden membuat acara coffee morning atau
afternoon break dengan agenda khusus membahas issu reformasi
birokrasi ini.
Dalam
konteks penyelenggaraan Diklat Kepemimpinan, saya merekomendasikan agar para
penceramah diminta untuk bicara tidak hanya di level permukaan saja, namun
lebih kepada hal-hal yang tidak banyak diketahui publik. Apalagi pada jenjang
Diklatpim I, tidak masanya lagi peserta diberi kualiah teknis dan teori yang
bertumpuk. Issu-issu strategis tidak harus dimaknakan sebagai issu-issu
internasional atau issu-issu lintas disiplin saja, melainkan juga issu-issu
lokal dan spesifik, namun mempunyai nilai informasi yang tinggi. Inilah yang
saya maksudkan dengan the untold stories.
The untold stories ini sangat boleh
jadi akan menjadi the driving force untuk
sebuah perubahan yang nyata.
Dari
kamar B-315
Kampus
Pejompongan, 18 April 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar