Ketika
sudah ada konfismasi kehadiran Jusul Kalla untuk ceramah di Diklatpim I, saya
berniat akan menulis sesuatu yang unique
dari mantan Wakil Presiden ini. Namun dengan sangat tiba-tiba, pusat perhatian
saya berbalik untuk menulis suasana kelas, setelah melihat hadirnya banyak
pejabat struktural serta para widyaiswara yang sedang tidak mengampu tugas.
Saya
bertanya dalam hati: mengapa hanya gara-gara seorang “JK”, mereka
berbondong-bondong ingin menjadi pendengar? Apakah itu adalah fatsun politik dan standar protokoler yang harus diikuti secara kaku? Saya sangat
tidak percaya bahwa itu adalah SOP yang
wajib dipatuhi, terlebih kedudukan JK yang sudah tidak lagi menjabat sebagai
Wapres. Atau, apakah mereka yakin bahwa JK akan menyampaikan ide-ide baru yang
originalitas dan nilai strategis yang tinggi? Saya lantas membandingkan dengan
pembicara lain, misalnya tokoh sekaliger Sri Edi Swasono, yang tidak mendapat
perlakuan yang seimbang. Padahal, apa yang disampaikan Sri Edi jelas tidak
lebih buruk dibanding materi JK. Itulah sebabnya, seketika saya menyimpulkan
bahwa bangsa ini masih terjangkit mental lama yang cenderung menempatkan
(mantan) pejabat tinggi pada posisi yang jauh lebih tinggi dibanding siapapun
yang tidak (pernah) menduduki jabatan tinggi, secerdas apapun mereka.
Sebagai
institusi pembelajar, LAN mestinya memberi kehormatan kepada ilmu dan
kebenaran, bukan kepada individu. Sebab, ilmu dan kebenaran tidak hanya
bersumber dari orang-orang besar, melainkan juga sangat mungkin berasal dari
orang yang tidak kita perhitungkan sama sekali, sebagaimana bunyi sebuah
ungkapan “dengarkan apa yang diucapkan, bukan siapa yang mengucapkan”. Ini bukan
berarti bahwa hadirnya para struktural dan para Widyaiswara pada sessi ceramah
JK adalah hal yang keliru. Hanya saja, alangkah baiknya jika sikap positif
untuk menuntut ilmu tadi tidak diskriminatif hanya kepada JK, melainkan juga kepada
seluruh penceramah secara proporsional.
Anehnya,
ditengah-tengah acara, satu per satu pejabat struktural dan Widyaiswara tadi
meninggalkan ruangan, dan semakin membuat saya semakin bingung, apa
sesungguhnya yang mereka cari? Apakah mereka kecewa karena isi ceramah yang
tidak sesuai ekspektasi, ataukah mereka ada kesibukan lain yang lebih penting
dibanding “mendampingi” JK, atau karena alasan lain lagi?
Dari
perspektif kediklatan, arus keluar masuk ruangan adalah sesuatu yang harus
dihindari, terlebih untuk pembicara sekelas JK. Selain bisa mengganggu peserta
lain, “lalu-lintas” pada saat kelas berlangsung juga bisa diterjemahkan sebagai
kekurangsungguhan seseorang dalam mengikuti pembelajaran, sebagaimana halnya
bicara sendiri ketika penceramah tengah bicara. Oleh karena itu, ada baiknya
etika ‘sepele” seperti ini juga ditekankan sejak awal mulainya diklat. Tentu saja,
seorang peserta dapat menjadi sumber belajar bagi peserta lainnya. Namun ketika
ada orang yang khusus diundang untuk memberi ceramah, “nafsu” untuk menjadi “penceramah
tandingan” atau perilaku lain yang tidak patut, sebaiknya bisa dikendalikan.
Singkatnya,
tradisi penghormatan terhadap nara sumber – siapapun mereka – harus digalakkan,
bukan karena si narasumber adalah mantan pejabat negara. Sekali kita (peserta
diklat maupun non peserta) berniat untuk menuntut ilmu dari si narasumber,
lakukan dengan konsekuen dan tidak “kabur” ditengah jalan. Jika kita sadar
bahwa kita tidak bisa mengikuti secara penuh, lebih elegan apabila kita tidak
ikut sejak awal aagr tidak muncul kesan “menyepelekan” dari nara sumber.
Dari
kamar B-315
Kampus
Pejompongan, 24 April 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar