Bagi
umat muslim seperti saya, urusan hidup, mati, jodoh, dan rejeki adalah
ketentuan Allah yang sudah digariskan sejak sebelum kita dilahirkan dimuka
bumi. Karena sudah menjadi ketetapan-Nya, maka muncul istilah bahwa rejeki tidak akan lari kemana, atau Tuhan tidak pernah keliru memberi rejeki
kepada seseorang. Meskipun demikian, rejeki tidak akan mendatangi kita jika
kita tidak melakukan upaya, laku, atau
ikhtiar apapun. Itulah sebabnya, kita tetap wajib untuk menjemput rejeki yang
telah ditetapkan untuk diri kita.
Nah,
logika tersebut saya rasakan identik dengan ilmu. Saya punya hipotesis bahwa
ilmu sesungguhnya telah dihamparkan di muka bumi oleh Sang Pencipta, sehingga
sering kita dengar ungkapan belajarlah
dari alam, pengalaman adalah guru yang terbaik, dan sebagainya. Namun, ilmu
tidak akan pernah kita kuasai jika kita tidak pernah melakukan upaya, laku, atau ikhtiar apapun. Dalam sebuah
tembang Jawa, ada sepenggal bait berbunyi: ngelmu
iku kalakone kanthi laku (ilmu itu didapatkan melalui ikhtiar). Maka,
kitapun wajib menjemput ilmu, karena segala sesuatu yang nyata maupun yang tidak
nampak didepan kita, dibelakang kita, disamping kita, diatas kita, dan
dimanapun, sesungguhnya mengandung ilmu. Semakin tekun seseorang menjemput
ilmu, maka semakin besarlah peluang untuk menguasai banyak ilmu.
Kaitannya
dengan Diklat Aparatur, tidak terbantahkan bahwa diklat adalah sumber ilmu yang
sudah tersistematisir secara substansi/materi maupun metode penyampaiannya. Maka
belajar melalui diklat akan memudahkan dan mempercepat peserta untuk menguasai
ilmi yang diajarkan dalam diklat tersebut. Namun, di sekeliling diklat yang
resmi, sesungguhnya terhampar materi dan metode “diklat” lainnya dalam jumlah yang
tidak terbatas. Salah satu sumber ilmu yang saya peroleh adalah dari ceramah
setiap selesai shalat Subuh.
Diantara
sekian banyak materi ceramah, saya mencatat satu hal yang sangat inspiratif. Saat
itu, penceramah mengingatkan bahwa sumber segala sumber ilmu adalah Alquran,
dari urusan pemerintahan, manajemen kepegawaian, pelayanan publik, dan sebagainya.
Intinya, tidak ada satupun yang terlewat oleh Alquran. Alquran adalah teori
terbesar (grand theory) untuk
menjelaskan segala fenomena alam semesta. Sayangnya, saat kita bicara reformasi
birokrasi, misalnya, adakah yang merujuk pada Alquran? Atau saat kita bicara
tentang Total Quality Management,
bukankah teori yang digunakan selalu teori yang berasal dari Barat? Lebih
ironis lagi, sering pembimbing akademik tingkat Skripsi, Thesis, atau
Disertasi, yang menolak jika ada mahasiswa bimbingannya menjadikan ayat Alquran
sebagai landasan teoretisnya.
Tanpa
terasa, sikap yang berawal dari niat baik untuk memuliakan Alquran ini, justru
telah membuat jarak yang amat lebar antara pedoman hidup yang hakiki (yakni
Alquran), dengan praktek kehidupan sehari-hari. Yang terjadi kemudian adalah
dikotomi antara nilai-nilai agama dengan praktek bermasyarakat dan bernegara. Agama
seolah-olah ditempatkan pada posisi sakral yang tidak boleh terjamah oleh ke-profan-an
duniawi. Urusan agama seakan-akan hanya berlangsung di dalam masjid atau
forum-forum pengajian, sementara dalam urusan membangun sistem kelembagaan dan ketatalaksanaan
pemerintah, sistem perencanaan dan pengawasan pembangunan, sistem integritas
aparatur, dan seterusnya, kita lebih mempercayai teori good governance, strategic
planning and management, learning
organization, reinventing and
banishing bureaucracy, dan seterusnya.
Dan
inilah yang terjadi dengan sistem Diklat Aparatur kita. Yang terjadi kemudian
adalah, desain diklat (formal) yang sangat sekuler, yang sengaja menjauhkan
diri dari muatan spiritual dengan alasan toleransi. Padahal, bukankah urusan
spiritual bukan dominasi agama tertentu? Maka, alangkah baiknya jika rancangan
diklat aparatur kedepan berani mengakomodir materi spiritualitas kedalam muatan
kurikulumnya. Soal detil materi, metode, durasi, fasilitator, hingga
evaluasinya (jika perlu), tinggal dipikirkan untuk konteks masing-masing agama.
Bagi
saya pribadi, desain Diklat Kepemimpinan yang ada saat ini tidak menjadi
masalah besar, karena defisit spiritualitas dapat saya kurangi dengan berguru
dari “diklat” yang lain. Namun untuk
rekan-rekan yang hanya menerima tambahan ilmu dari jalur diklat yang formal,
bukankah akan terjadi gap yang
semakin menganga antara kemampuan teoretis akademis yang semakin menjulang, dengan
kapasitas spiritual yang semakin kering? Saya jadi teringat perkataan Ary
Ginanjar bahwa suatu ketika nanti, bermunculan banyak sufi besar bukan dari
pesantren atau gereja, namun dari perusahaan atau instansi pemerintah. Ini hanya
bisa terjadi jika capacity building untuk
aparatur tidak dikotomis dan sekuler seperti sekarang ini.
Disamping
“diklat” model ceramah Subuh seperti diatas, masih banyak sumber ilmu lain yang
dapat digali. Salah satunya dari sesama peserta diklat, baik jenjang Pim I, II,
bahkan III. Tingginya jenjang diklat kepemimpinan yang diikuti, terbukti tidak selamanya
berkorelasi dengan tingginya kualitas dan intelektualitas seseorang. Maka,
belajar dari para “yunior” bagi saya bukanlah hal tabu atau memalukan.
Modus
lain menyedot ilmu adalah belajar dari seseorang yang pendiam. Pepatah air beriak tanda tak dalam, air tenang menghanyutkan nampaknya masih
sangat relevan dengan perkembangan teknologi dan demokratisasi dewasa ini. “Ilmu
padi” yang mengajarkan manusia untuk semakin berisi semakin menunduk, juga menjadi
pelajaran penting untuk kita. Maka, jangan pernah meremehkan orang pendiam,
karena siapa tahu dibalik sifat pendiamnya terkandung kearifan yang langka. Ini
pula yang peroleh dari seorang kawan yang bekerja di sebuah instansi sipil
namun menerapkan disiplin dan gaya militer. Sebagai pimpinan tertinggi di
tingkat provinsi, biasanya jabatan yang disadang teman saya ini cukup ditakuti.
Anak buahpun bersikap sangat hormat, sampai-sampai seorang sopir tidak berani
duduk di kemudi sebelum sang pejabat masuk kedalam mobil. Si sopir-pun harus
memberi hormat sebelum duduk di kemudi.
Namun
hebatnya sahabat yang saya panggil “abang” ini, dia berani mendobrak tradisi
yang bagi kebanyakan orang justru menjadi prestise kehormatan. Dia juga biasa
pergi ke kantor jalan kaki sejauh sekitar 2 km dari rumah dinasnya. Dan lebih hebat
lagi, si abang sangat menghayati nilai-nilai spiritual sehingga selalu berusaha
menghindarkan diri dari hal-hal yang kurang pantas, meski telah terlanjur
menjadi kelaziman di lingkungan institusinya. Dari abang pulalah saya mendapat
wejangan tentang “ilmu ikhlas” dalam menjalani peran di rumah tangga, di kantor,
maupun dalam interaksi sosial dengan masyarakat luas.
Saya
berharap, semoga para peserta Diklat Kepemimpinan di jenjang manapun, tidak
puas dengan sajian diklat formal yang disediakan oleh penyelenggara, dan terus
terobsesi untuk menggali ilmu-ilmu baru melalui “diklat” yang lain.
Dari
kamar B-315
Kampus
Pejompongan, 23 April 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar