Dalam
kurikulum Diklatpim I dan II, ada materi tentang Tugas Baca. Namun uniknya,
desain program untuk Diklatpim II dan Diklatpim I sangat berbeda. Pada saat
mengikuti Diklatpim II, materi Tugas Baca dilakukan dengan mencari buku-buku di
perpustakaan untuk mempertajam tugas-tugas seperti KKT atau KTP2. Judul buku
dibebaskan dan tidak diwajibkan untuk dipresentasikan hasilnya. Sedangkan di
Diklatpim I, judul buku sudah ditentukan, dengan format presentasi yang juga
sudah dibakukan.
Sejak
Kajian 1 (Falsafah Bangsa, Paradigma Pembangunan, Kepemimpinan Nasional), sudah
muncul kebingungan ketika peserta harus menyajikan hasil bacaannya dengan
struktur yang terbagi menjadi empat aspek, yakni: “Esensi”, “Prinsip”.
“Aplikasi”, dan “Lesson Learned”. Kebetulan, dengan judul buku Negara Paripurna karangan Yudi Latif,
keempat aspek tersebut masih bisa “dipaksakan”. Namun pada Kajian 2 (Sistem
Pemerintahan dan Pembangunan Nasional), perdebatan menjadi berkepanjangan
sampai menghabiskan dua sessi secara sia-sia.
Kesia-siaan
ini bersumber dari tiga hal. Pertama,
buku yang direkomendasikan belum siap saat peserta sudah harus membaca. Masih
untung ada sponsor dari peserta sehingga penggandaan ketiga buku bisa lebih
cepat dibagikan meski agak terlambat. Kedua,
belum ada kepastian tentang buku mana yang harus dibaca. Widyaiswara memberikan
tiga judul buku, masing-masing Confession
of an Economic Hit Man: Pengakuan Seorang Ekonom Perusak (Jakarta, Abdi
Tandur, 2005), serta Pengakuan Bandit
Ekonomi John Perkins: Kelanjutan Kisah Petualangannya di Indonesia dan Negara
Dunia Ketiga (Jakarta, Ufuk Press, 2007), keduanya karya John Perkins. Selain kedua buku tadi, masih
diwajibkan juga kepada peserta untuk menyiapkan sendiri buku SANKRI, tanpa
dijelaskan diawal buku ke berapa dari tiga jilid SANKRI tersebut. Dan hal ketiga yang paling membuat peserta
bingung adalah ketidakkompakan widyaiswara tentang Tugas Baca ini. Pendeknya,
materi Tugas Baca menjadi bagian yang paling tidak terstruktur, paling tidak
jelas tujuan instruksionalnya, paling tidak
jelas metodenya, dan paling tidak jelas manfaatnya, dari seluruh mata
diklat yang ada di kurikulum Diklat Kepemimpinan.
Kebimbangan
peserta tentang kemanfaatan membedah buku-buku yang disodorkan terlihat nyata
dengan sarannya kepada widyaiswara untuk mengganti dengan buku lain karena
buku-buku diatas dinilai tidak berkorelasi dengan tugas instansinya. Namun toch tetap saja tidak ada pilihan lain
bagi peserta selain sami’na wa atho’na
(saya dengar dan saya taat). Jika model pembelajaran seperti ini masih terus
dipertahankan, lebih baik Tugas Baca dihapus saja karena hanya membuang waktu
dan energi peserta.
Sejujurnya,
saya pribadi juga merasakan bahwa tugas baca dengan skenario yang diterapkan di
Diklatpim I ini sangat tidak ada gunanya. Padahal, Tugas Baca bisa menjadi
metode pembelajaran yang lebih efektif dibanding ceramah atau diskusi kelompok,
sepanjang didesain dengan benar. Dalam hal ini, saya lebih merekomendasikan agar
peserta diberi kebebasan untuk menentukan sendiri buku yang ingin dibacanya.
Cara pemaparan hasil bacaan-pun dibebaskan, tidak dikekang dengan keharusan merangkum
dari aspek esensi, prinsip, dan aplikasinya. Munculnya tiga aspek itu sendiri
(esensi, prinsip, aplikasi) mengundang perdebatan yang tidak produktif antar
peserta dan antara peserta dengan widyaiswara. Lagi pula, seperti buku Confession of an Economic Hit Man tadi,
sangat sulit disistematisasi berdasarkan esensi, prinsip, dan aplikasinya, karena
ini lebih merupakan pengalaman hidup seseorang (John Perkins) dalam permainan
ekonomi global.
Selain
itu, penyelenggara diklat dan widyaiswara harus paham bahwa kebutuhan
pembelajaran setiap peserta tidak selalu sama. “Pemaksaan” membaca buku tertentu
tidak akan pernah menghilangkan dahaga intelektual seseorang, bahkan bisa
menimbulkan situasi kejengahan yang luar biasa. Saya merasakan betul, ketika
saya ingin banyak mencari dan membaca tentang public administration untuk mendukung penulisan KTP-2 serta
tugas-tugas yang telah menanti di unit kerja saya yang baru, tiba-tiba
petualangan hidup John Perkins-lah yang harus saya lalap. Dalam situasi ini,
maka saya memperoleh dua kerugian sekaligus yakni membaca sesuatu yang tidak
saya butuhkan, dan kehilangan waktu untuk mempercepat tugas penulisan KTP-2.
Maka,
seorang widyaiswara yang baik harus bisa “membaca” kondisi kebatinan peserta,
apakah segala yang dilakukan benar-benar karena ketulusan dan antusiasmenya,
ataukah hanya untuk memuaskan widyaiswara namun mengecewakan dirinya sendiri?
Sekali keberatan kolektif mengemuka seperti kejadian sore tadi, maka
widyaiswara harus seketika itu pula menemukan solusi yang cerdas untuk kebaikan
bersama. Disisi lain, penyelenggara juga harus mengkaji ulang dan merumuskan
kembali filosofi, metode, skenario, dan target kompetensi yang diinginkan dari
materi Tugas Baca ini.
Satu
hal yang perlu direnungkan untuk perbaikan kedepan, aktivitas “membaca” jangan
selalu diartikan membaca teks (naskah tertulis), namun bisa diarahkan untuk
membaca konteks (fenomena sunatullah, atau
tanda-tanda zaman). Proses penyadaran, aufklarung,
atau enlightment seseorang tidak
selamanya datang dari inspirasi yang didapat dari membaca teks, namun bisa juga
dari hasil kontemplasi, perenungan, dan pemaknaan terhadap sebuah gejala alam, mencari
hakekat dari sesuatu yang tidak nampak, membaca sesuatu yang tidak tersurat,
dan menembus batas-batas transendental sebuah realitas dan rasionalitas. Dari
membaca konteks ini, kemudian dikristalisasi menjadi lesson learned untuk menjalani kehidupan dengan cara yang lebih
baik dan manusiawi.
Bagaimana
konkritisasi dari tugas membaca teks menjadi tugas membaca konteks? Kita perlu
duduk bersama dan saling membuka hati dan pikiran kita.
Dari
kamar B-315
Kampus
Pejompongan, 8 April 2013
1 komentar:
Kebetulan sekali sy membaca blog Japan disaat sdg mencari buku SANKRI jilid 2 Dan 3. Ingin bertanya, dimanakah saya bisa memperolehnya? Kebetulan ditempat tempat yg saya cari, hny ada buku SANRI. Mohon bantuan infonya dimana saya bisa menemukan kedua buku tersebut. Terima Kasih.
Posting Komentar