Senin, 08 April 2013

Adakah Komitmen Nasional Untuk Diklat Kepemimpinan?


Saya tidak terlalu yakin bahwa para petinggi negeri ini memberi perhatian serius terhadap diklat aparatur. Saya juga tidak yakin bahwa mereka memiliki komitmen yang kuat untuk turut mencerdaskan kehidupan aparatur dan mengurai karut marut permasalahan bangsa melalui investasi SDM sektor publik.  

Ketidakyakinan saya ini muncul ketika seorang pejabat tinggi setingkat Menteri dengan seenaknya membatalkan jadual mengajar di Diklatpim, hanya karena alasan klasik dipanggil Presiden. Seperti pada hari Senin, 8 Maret 2013 ini, tiba-tiba penyelenggara membagikan revisi jadual karena Menteri Sekretaris Kabinet dan Menteri Negara Perencanaan Pembangunan berhalangan memenuhi janjinya untuk memberi materi. Sungguh saya sangat heran ketika Presiden selalu dijadikan dalih untuk mengalahkan semua agenda dan kepentingan. Saya juga heran bahwa kepentingan Presiden seolah-olah adalah kepentingan seluruh bangsa sehingga tidak ada kepentingan lain diatas kepentingan Presiden. Dengan alasan Presiden pula, banyak program yang menjadi tidak jelas dan serba tidak pasti. 

Saya sangat tidak yakin bahwa negeri ini sedang dalam keadaan genting yang memaksa, sehingga para Menteri harus siap sedia 24 jam menunggu panggilan Presiden yang serba mendadak. Saya juga tidak yakin bahwa Presiden menerapkan gaya kepemimpinan yang tidak terstruktur, tidak ada skala prioritas, tidak memiliki irama, atau serba acak dan serba mendadak. Sayapun tidak yakin bahwa Presiden begitu arogan harus dilayani para Menterinya tanpa dapat menerima pertimbangan lain. Saya masih percaya bahwa manajemen negara ini dikelola begitu indah, rapi, dan teratur, sehingga mayoritas agenda para pejabat tinggi (Menteri hingga Presiden) dapat berlangsung sesuai rencana. 

Saya lantas berandai-andai. Jika saya menjadi pembantu Presiden dan mendapat undangan memberi ceramah di sebuah acara, saya akan meyakinkan Presiden bahwa apa yang saya lakukan adalah dalam konteks membantu beliau di bidang saya. Jika saya “mangkir” dari tugas yang telah terjadual, sama artinya saya gagal membantu beliau. Dan jika saya menjadi Presiden, maka saya akan menerima argumen Menteri saya tadi, sepanjang tugas-tugas yang saya berikan dapat dijalankan dengan baik. Sebagai “Presiden”, saya justru akan senang jika para pembantu saya rajin memberi ceramah disana-sini, karena itu adalah kesempatan untuk mengkomunikasikan program kerja Presiden dengan berbagai kalangan. Sebagai pimpinan tertinggi, saya juga akan menerapkan Time Management yang baik, sehingga dengan waktu yang sama (24 jam sehari) saya minta pada Menteri untuk melakukan banyak hal dengan banyak output dan outcomes. Dari pada sekedar menemani “kesepian” saya atau mendengarkan curhat saya, akan saya biarkan para Menteri untuk berinovasi di bidangnya masing-masing. Saya justru akan marah jika para Menteri sering-sering menghadap saya untuk minta petunjuk dan arahan, karena hal itu hanya menunjukkan bahwa mereka adalah manusia dungu yang tidak bisa berpikir kreatif. Sayapun akan memberikan kebebasan kepada para Menteri untuk bertindak dalam batas-batas wewenang yang telah saya berikan. Dalam konteks kediklatan, kalau perlu saya akan turun tangan langsung dengan mengundang peserta ke Istana Kepresidenan untuk mendengarkan konsep saya dalam memimpin negara. Saya akan tunjukkan kepada mereka bahwa memimpin negara harus dilakukan dengan konsep, namun pengelolaannya harus menggunakan hati (led by concept and managed by heart). 

Kembali ke soal komitmen nasional terhadap Diklat Kepemimpinan, bagaimana mungkin diklat akan menjadi ajang yang bergengsi jika para pemimpinnya masih melihat dengan sebelah mata? Bagaimana mungkin kita bisa membangun kebanggaan menjadi peserta diklat, jika pembicara yang ditunjuk oleh pejabat tinggi negara tadi tidak lebih baik dari peserta? Maka, perlu dipikirkan cara membangun mindset nasional bahwa Diklat Kepemimpinan bukan sekedar kepentingan LAN atau kepentingan individu peserta. Diklat Kepemimpinan adalah kepentingan strategis nasional untuk menjamin estafet kepemimpinan yang mulus dan berkelanjutan. Dalam konteks menyiapkan kader pemimpin masa depan melalui transfer of knowledge, experience and wisdom dari tokoh-tokoh kunci tadi, maka memberi ceramah pada Diklat Kepemimpinan harus dimaknai sebagai Professional Social Responsibility (PSR) dari seorang tokoh nasional. Artinya, dalam jabatan seseorang tidak hanya melekat tanggungjawab moral, administratif, hukum, dan politis, namun juga tanggungjawab sosial. Semakin banyak PSR seorang tokoh atau petinggi negeri, maka semakin besar pula kontribusinya dalam membangun profil kepemimpinan yang kuat dan professional. 

Dari kamar B-315
Kampus Pejompongan, 9 April  2013

Tidak ada komentar: