Saya
tidak terlalu yakin bahwa para petinggi negeri ini memberi perhatian serius
terhadap diklat aparatur. Saya juga tidak yakin bahwa mereka memiliki komitmen
yang kuat untuk turut mencerdaskan kehidupan aparatur dan mengurai karut marut
permasalahan bangsa melalui investasi SDM sektor publik.
Ketidakyakinan
saya ini muncul ketika seorang pejabat tinggi setingkat Menteri dengan
seenaknya membatalkan jadual mengajar di Diklatpim, hanya karena alasan klasik
dipanggil Presiden. Seperti pada hari Senin, 8 Maret 2013 ini, tiba-tiba
penyelenggara membagikan revisi jadual karena Menteri Sekretaris Kabinet dan
Menteri Negara Perencanaan Pembangunan berhalangan memenuhi janjinya untuk
memberi materi. Sungguh saya sangat heran ketika Presiden selalu dijadikan
dalih untuk mengalahkan semua agenda dan kepentingan. Saya juga heran bahwa
kepentingan Presiden seolah-olah adalah kepentingan seluruh bangsa sehingga tidak
ada kepentingan lain diatas kepentingan Presiden. Dengan alasan Presiden pula,
banyak program yang menjadi tidak jelas dan serba tidak pasti.
Saya
sangat tidak yakin bahwa negeri ini sedang dalam keadaan genting yang memaksa,
sehingga para Menteri harus siap sedia 24 jam menunggu panggilan Presiden yang
serba mendadak. Saya juga tidak yakin bahwa Presiden menerapkan gaya
kepemimpinan yang tidak terstruktur, tidak ada skala prioritas, tidak memiliki
irama, atau serba acak dan serba mendadak. Sayapun tidak yakin bahwa Presiden
begitu arogan harus dilayani para Menterinya tanpa dapat menerima pertimbangan
lain. Saya masih percaya bahwa manajemen negara ini dikelola begitu indah,
rapi, dan teratur, sehingga mayoritas agenda para pejabat tinggi (Menteri hingga
Presiden) dapat berlangsung sesuai rencana.
Saya
lantas berandai-andai. Jika saya menjadi pembantu Presiden dan mendapat
undangan memberi ceramah di sebuah acara, saya akan meyakinkan Presiden bahwa
apa yang saya lakukan adalah dalam konteks membantu beliau di bidang saya. Jika
saya “mangkir” dari tugas yang telah terjadual, sama artinya saya gagal
membantu beliau. Dan jika saya menjadi Presiden, maka saya akan menerima
argumen Menteri saya tadi, sepanjang tugas-tugas yang saya berikan dapat
dijalankan dengan baik. Sebagai “Presiden”, saya justru akan senang jika para
pembantu saya rajin memberi ceramah disana-sini, karena itu adalah kesempatan
untuk mengkomunikasikan program kerja Presiden dengan berbagai kalangan.
Sebagai pimpinan tertinggi, saya juga akan menerapkan Time Management yang baik, sehingga dengan waktu yang sama (24 jam
sehari) saya minta pada Menteri untuk melakukan banyak hal dengan banyak output dan outcomes. Dari pada sekedar menemani “kesepian” saya atau
mendengarkan curhat saya, akan saya
biarkan para Menteri untuk berinovasi di bidangnya masing-masing. Saya justru
akan marah jika para Menteri sering-sering menghadap saya untuk minta petunjuk
dan arahan, karena hal itu hanya menunjukkan bahwa mereka adalah manusia dungu
yang tidak bisa berpikir kreatif. Sayapun akan memberikan kebebasan kepada para
Menteri untuk bertindak dalam batas-batas wewenang yang telah saya berikan.
Dalam konteks kediklatan, kalau perlu saya akan turun tangan langsung dengan
mengundang peserta ke Istana Kepresidenan untuk mendengarkan konsep saya dalam
memimpin negara. Saya akan tunjukkan kepada mereka bahwa memimpin negara harus
dilakukan dengan konsep, namun pengelolaannya harus menggunakan hati (led by concept and managed by heart).
Kembali
ke soal komitmen nasional terhadap Diklat Kepemimpinan, bagaimana mungkin
diklat akan menjadi ajang yang bergengsi jika para pemimpinnya masih melihat
dengan sebelah mata? Bagaimana mungkin kita bisa membangun kebanggaan menjadi
peserta diklat, jika pembicara yang ditunjuk oleh pejabat tinggi negara tadi
tidak lebih baik dari peserta? Maka, perlu dipikirkan cara membangun mindset nasional bahwa Diklat
Kepemimpinan bukan sekedar kepentingan LAN atau kepentingan individu peserta.
Diklat Kepemimpinan adalah kepentingan strategis nasional untuk menjamin
estafet kepemimpinan yang mulus dan berkelanjutan. Dalam konteks menyiapkan
kader pemimpin masa depan melalui transfer
of knowledge, experience and wisdom dari tokoh-tokoh kunci tadi, maka
memberi ceramah pada Diklat Kepemimpinan harus dimaknai sebagai Professional Social Responsibility (PSR)
dari seorang tokoh nasional. Artinya, dalam jabatan seseorang tidak hanya
melekat tanggungjawab moral, administratif, hukum, dan politis, namun juga
tanggungjawab sosial. Semakin banyak PSR seorang tokoh atau petinggi negeri,
maka semakin besar pula kontribusinya dalam membangun profil kepemimpinan yang
kuat dan professional.
Dari
kamar B-315
Kampus
Pejompongan, 9 April 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar