Selasa, 16 April 2013

KTP-2


Hari ini, ada sedikit “perdebatan” antara saya, rekan satu kelompok, dan pembimbing, terkait struktur dan muatan KTP-2 (Karya Tulis Prestasi Perseorangan). Perdebatan tadi berawal dari pertanyaan saya tentang sistematika KTP-2 yang saya nilai terlalu sederhana dan tidak memililiki platform yang jelas, apakah sebagai karya tulis ilmiah seperti skripsi/thesis/disertasi, ataukah lebih merupakan makalah kebijakan (policy paper). Pertanyaan saya selanjutnya, apakah memang KTP-2 tidak perlu ada kerangka pikir (logical framework of thinking) dan tinjauan teoretik konseptual? Jika perlu, pada bab mana yang paling tepat untuk menuliskannya? Selain itu, pada buku panduan juga tidak disebutkan sama sekali soal metodologi, padahal aspek ini menjadi roh dari sebuah karya tulis ilmiah? 

Pertanyaan diatas tidak terlepas dari pengamatan saya tentang beragamnya struktur, muatan, pola perumusan judul, dan gaya penulisan KTP-2. Saya sempat menemukan salah satu KTP-2 angkatan sebelumnya yang menurut saya sangat tidak layak karena hanya berisi soal penjelasan istilah ditambah beberapa teori, sementara tidak jelas apa sesungguhnya problematika yang ada dan ingin dipecahkan. Dalam KTP-2 tadi juga tidak jelas apa tools of analysis yang digunakan dan bagaimana menerapkannya. Uniknya, semua dibenarkan dan diluluskan. Inllah yang sedikit menjadikan kerisauan bagi saya. 

Demikian pula di angkatan saya. Dari tiga kelompok yang ada ternyata memiliki standar yang sangat bervariasi. Cara penulisan judul saja sudah sangat berbeda. Di kelompok saya diarahkan berupa formula P – Q – R (melakukan P, melalui Q, untuk R), sementara kelompok lain lebih bebas polanya. Teknik penulisan judul dengan formula P – Q – R ini mengadopsi salah satu langkah pada SSM (soft system methodology), yakni tahap perumusan root definition of relevant purposeful activities, yakni tahapan setelah merumuskan situation considered problematic dan penyusunan problem situation expressed melalui pembuatan rich pictures. Karena model Q – P – R ini adalah salah satu tahapan spesifik dari SSM, maka tidak aneh jika muncul kesan bahwa karya tulis dengan judul seperti ini akan menerapkan SSM sebagai alat analisisnya. Kesan seperti ini sendiri sudah dibantah oleh salah seorang pembimbing KTP-2 dengan menyatakan bahwa pola perumusan judul ini tidak serta-merta mengharuskan penggunaan metode tertentu, dan penulis tetap memiliki kebebasan untuk mencari metode lain selain SSM. 

Selain perbedaan dalam hal cara merumuskan judul, antar kelompok juga berbeda dalam metode yang dianjurkan. Kalau di kelompok saya ada “penggiringan” untuk menggunakan SSM meski secara formal dinyatakan adanya kebebasan penulis memilih metode yang paling tepat, di kelompok lain justru ada anjuran untuk menerapkan beragam metode secara bersamaan. Beberapa metode yang dianjurkan antara lain teknik iceberg (gunung es), agenda setting dan perumusan masalah dari James Anderson atau William Dunn, 7 langkah Mustopadidjaja, maupun systems dynamic dengan archetype atau CLD (causal loop diagram) 

Tentang berbagai perbedaan antar angkatan maupun antar kelompok ini, saya sangat memahami semangat yang melandasinya. Sebagai seorang pejabat tinggi, sangat wajar kepada peserta Diklatpim I diberi kebebasan akademik untuk merancang dan menulis kertas kerjanya. Namun bagi saya, kebebasan tadi bukanlah kebebasan yang sebebas-bebasnya, namun kebebasan dalam koridor kaidah akademik yang baku pada penulisan karya tulis ilmiah. Kecuali dinyatakan secara tegas bahwa KTP-2 bukanlah karya tulis ilmiah, maka lain lagi persoalannya. 

Disinilah diperlukan ketegasan penyelenggara untuk merancang ulang KTP-2, bukan hanya dari struktur/sistematikanya saja, namun juga platform-nya. Konkritnya, saya merekomendasikan beberapa upaya pembenahan. Pertama, penyelenggara wajib memberi kejelasan apakah KTP-2 adalah karya tulis ilmiah atau bukan. Jika melihat pada struktur dan muatan yang diatur pada buku panduan saat ini, maka teramat sulit mengatakan KTP-2 sebagai karya tulis ilmiah, mengingat hanya berisi Latar Belakang Masalah (Bab I), Rumusan Masalah (Bab II), Pemecahan Masalah (Bab III), Kebijakan yang Direkomendasikan (Bab IV), dan Rencana Implementasi dan Strategi Pelaksanaan (Bab V). Dari lima bab tadi sama sekali tidak tersurat dan tersirat muatan teoretik dan metodologinya, sehingga saya katakan sebagai karya tulis non ilmiah. Namun bagi saya pribadi, sangat aneh jika kertas kerja individual pada Diklatpim I tidak memiliki sense ilmiah. Semakin tinggi jenjang jabatan seseorang bukan berarti semakin jauh dari tradisi akademis, justru sebaliknya mereka harus semakin mahir dalam penerapan standar-standar ilmiah dalam pembuatan karya tulis. Apa jadinya negeri ini jika semakin tinggi tingkatan kebijakan semakin tipis pula kadar akademis dan keilmiahnnya? 

Kedua, dengan struktur/sistematika yang ada pada buku pedoman, nampaknya KTP-2 diarahkan sebagai makalah kebijakan (policy paper). Jika benar dugaan saya, maka sebaiknya tidak perlu disusun dan/atau dibagi dalam lima bab, namun cukup menjadi sebuah artikel yang mengalir dengan sub-sub judul sesuai kebutuhan. Adapun tentang muatannya, KTP-2 dapat menggunakan skema yang disarankan Eóin Young and Lisa Quinn dalam artikelnya berjudul “Writing Effective Public Policy Papers, A Guide for Policy Advisers in Central and Eastern Europe”, sebagai berikut: 

§        define and detail an urgent policy issue within the current policy framework which needs to be addressed;
§        outline the possible ways (policy alternatives) in which this issue can be addressed;
§      provide an evaluation of the probable outcomes of these options based on an outlined framework of analysis and the evidence from the current policy framework;
§    choose a preferred alternative (policy recommendation) and provide a strong argument to establish why your choice is the best possible policy option.

(Sumber: Daniel Start and Ingie Hovland, 2004, Tools for Policy Impact: A Handbook for Researchers, London: Research and Policy in Development Programme). 

Secara sekilas, elemen yang disarankan oleh Young and Quinn ini sangat serupa dengan struktur KTP-2 pada buku panduan. Yang diperlukan adalah penajaman dan penekanan muatan setiap bab-nya. Pada Bab I, sebaiknya tidak hanya berisi latar belakang, namun juga issu yang menjadi polemik di tengah masyarakat, perdebatan teoretik antar pakar, serta kerangka kebijakan terkait issu/tema yang diangkat beserta gap yang ada (deviasi antara norma yang berlaku dengan praktek yang terjadi). Selanjutnya, Bab II sebaiknya tidak hanya berisi rumusan masalah, namun perlu didahului oleh kritik terhadap kebijakan yang berlaku. Kritik disini bukan dalam pengertian mencari kesalahan atau kelemahan, namun serupa dengan yang dilakukan kritikus sastra terhadap karya sastra tertentu yang lebih bersifat konstruktif, pengayaan, atau pembandingan. Termasuk dalam “kritik kebijakan” ini adalah lesson learned apa yang bisa ditarik dari implementasi kebijakan selama ini.  

Dalam rangka membuat kritik kebijakan hingga rumusan masalah inilah, dapat digunakan berbagai metode, teknik, atau alat analisis yang relevan. Salah satu referensi bagus untuk berbagai toolkit dalam analisis kebijakan adalah artikel Ingie Hovland berjudul “Successful Communication: A Toolkit for Researchers and Civil Society Organisations”, London: Research and Policy in Development Programme, 2005 (reprinted in 2007). Dalam hal ini. Hovland membagi dalam empat aspek tools, yakni planning tools, packaging tools, targeting tools, dan monitoring tools. Pada tahap perencanaan (planning), tools yang dapat digunakan antara lain stakeholder analysis, social network analysis, problem tree analysis, atau force field analysis. Sedangkan pada tahap persiapan (packaging), ada beberapa tools misalnya visioning scenarios atau tell a story. Kemudian pada tahap implementasi (targeting), tersedia beberapa media antara lain policy paper, lobbying, the Gilbert Email Manifesto (GEM), website, dan sebagainya. Adapun pada tahap kontrol dan evaluasi dampak (monitoring), bisa digunakan Most Significant Changes (MSC), outcome mapping, researcher checklist, dan CFSC integrated model. 

Selanjutnya, Bab III KTP-2 sebaiknya bukan tentang Pemecahan Masalah, melainkan alternatif kebijakan yang layak dipertimbangkan beserta issu-issu yang ingin diselesaikan. Sementara itu, Bab IV disarankan bukan memuat hal tentang “Kebijakan yang Direkomendasikan”, melainkan “Rekomendasi Kebijakan”. Makna rekomendasi kebijakan bagi saya lebih luas dari pada sekedar kebijakan yang direkomendasikan. Sebab, rekomendasi kebijakan tidak hanya berisi kebijakan yang direkomendasikan, namun juga kepada siapa rekomendasi ditujukan, siapa saja pihak-pihak yang harus menjalankan rekomendasi tersebut, bagaimana cara yang harus ditempuh, apa target yang harus dicapai jika rekomendasi tadi dilakukan, kapan rekomendasi dilakukan dan kapan target harus tercapai, bagaimana sistem monitoring dan evaluasi terhadap pelaksanaan rekomendasi, apa dampak yang muncul jika rekomendasi tidak dilakukan dan apa yang harus segera dilakukan jika situasi ini terjadi, dan seterusnya. Pendeknya, rekomendasi tidak berisi “apa yang harus dilakukan oleh seseorang” namun juga harus menjangkau sampai kepada jaminan hasil dari program/kegiatan yang direkomendasikan. Selain itu, rekomendasi kebijakan juga perlu menyertakan argumen yang kuat mengapa hal itu dipilih dan diyakini sebagai pilihan terbaik dalam mengatasi problematika yang ada. Adapun Bab V cukup berisi Kesimpulan, yang membuat intisari dari bab pertama hingga terakhir secara ringkas, adat, dan informatif. 

Dengan menggunakan referensi diatas, maka KTP-2 secara tegas dapat dinyatakan sebagai policy paper yang memenuhi unsur-unsur ilmiah, namun bukan karya tulis ilmiah sebagaimana skripsi/thesis/disertasi. 

Dari kamar B-315
Kampus Pejompongan, 15 April  2013

Tidak ada komentar: