Hari
ini, ada sedikit “perdebatan” antara saya, rekan satu kelompok, dan pembimbing,
terkait struktur dan muatan KTP-2 (Karya Tulis Prestasi Perseorangan).
Perdebatan tadi berawal dari pertanyaan saya tentang sistematika KTP-2 yang
saya nilai terlalu sederhana dan tidak memililiki platform yang jelas, apakah sebagai karya tulis ilmiah seperti
skripsi/thesis/disertasi, ataukah lebih merupakan makalah kebijakan (policy paper). Pertanyaan saya
selanjutnya, apakah memang KTP-2 tidak perlu ada kerangka pikir (logical framework of thinking) dan
tinjauan teoretik konseptual? Jika perlu, pada bab mana yang paling tepat untuk
menuliskannya? Selain itu, pada buku panduan juga tidak disebutkan sama sekali
soal metodologi, padahal aspek ini menjadi roh dari sebuah karya tulis ilmiah?
Pertanyaan
diatas tidak terlepas dari pengamatan saya tentang beragamnya struktur, muatan,
pola perumusan judul, dan gaya penulisan KTP-2. Saya sempat menemukan salah
satu KTP-2 angkatan sebelumnya yang menurut saya sangat tidak layak karena
hanya berisi soal penjelasan istilah ditambah beberapa teori, sementara tidak
jelas apa sesungguhnya problematika yang ada dan ingin dipecahkan. Dalam KTP-2
tadi juga tidak jelas apa tools of analysis
yang digunakan dan bagaimana menerapkannya. Uniknya, semua dibenarkan dan
diluluskan. Inllah yang sedikit menjadikan kerisauan bagi saya.
Demikian
pula di angkatan saya. Dari tiga kelompok yang ada ternyata memiliki standar
yang sangat bervariasi. Cara penulisan judul saja sudah sangat berbeda. Di
kelompok saya diarahkan berupa formula P – Q – R (melakukan P, melalui Q, untuk
R), sementara kelompok lain lebih bebas polanya. Teknik penulisan judul dengan
formula P – Q – R ini mengadopsi salah satu langkah pada SSM (soft system methodology), yakni tahap
perumusan root definition of relevant
purposeful activities, yakni tahapan setelah merumuskan situation considered problematic dan
penyusunan problem situation expressed melalui
pembuatan rich pictures. Karena model
Q – P – R ini adalah salah satu tahapan spesifik dari SSM, maka tidak aneh jika
muncul kesan bahwa karya tulis dengan judul seperti ini akan menerapkan SSM
sebagai alat analisisnya. Kesan seperti ini sendiri sudah dibantah oleh salah
seorang pembimbing KTP-2 dengan menyatakan bahwa pola perumusan judul ini tidak
serta-merta mengharuskan penggunaan metode tertentu, dan penulis tetap memiliki
kebebasan untuk mencari metode lain selain SSM.
Selain
perbedaan dalam hal cara merumuskan judul, antar kelompok juga berbeda dalam
metode yang dianjurkan. Kalau di kelompok saya ada “penggiringan” untuk
menggunakan SSM meski secara formal dinyatakan adanya kebebasan penulis memilih
metode yang paling tepat, di kelompok lain justru ada anjuran untuk menerapkan
beragam metode secara bersamaan. Beberapa metode yang dianjurkan antara lain
teknik iceberg (gunung es), agenda setting dan perumusan masalah
dari James Anderson atau William Dunn, 7 langkah Mustopadidjaja, maupun systems dynamic dengan archetype atau CLD (causal loop diagram).
Tentang
berbagai perbedaan antar angkatan maupun antar kelompok ini, saya sangat
memahami semangat yang melandasinya. Sebagai seorang pejabat tinggi, sangat
wajar kepada peserta Diklatpim I diberi kebebasan akademik untuk merancang dan
menulis kertas kerjanya. Namun bagi saya, kebebasan tadi bukanlah kebebasan
yang sebebas-bebasnya, namun kebebasan dalam koridor kaidah akademik yang baku
pada penulisan karya tulis ilmiah. Kecuali dinyatakan secara tegas bahwa KTP-2
bukanlah karya tulis ilmiah, maka lain lagi persoalannya.
Disinilah
diperlukan ketegasan penyelenggara untuk merancang ulang KTP-2, bukan hanya
dari struktur/sistematikanya saja, namun juga platform-nya. Konkritnya, saya merekomendasikan beberapa upaya
pembenahan. Pertama, penyelenggara
wajib memberi kejelasan apakah KTP-2 adalah karya tulis ilmiah atau bukan. Jika
melihat pada struktur dan muatan yang diatur pada buku panduan saat ini, maka
teramat sulit mengatakan KTP-2 sebagai karya tulis ilmiah, mengingat hanya berisi
Latar Belakang Masalah (Bab I), Rumusan Masalah (Bab II), Pemecahan Masalah
(Bab III), Kebijakan yang Direkomendasikan (Bab IV), dan Rencana Implementasi
dan Strategi Pelaksanaan (Bab V). Dari lima bab tadi sama sekali tidak tersurat
dan tersirat muatan teoretik dan metodologinya, sehingga saya katakan sebagai
karya tulis non ilmiah. Namun bagi saya pribadi, sangat aneh jika kertas kerja
individual pada Diklatpim I tidak memiliki sense
ilmiah. Semakin tinggi jenjang jabatan seseorang bukan berarti semakin jauh
dari tradisi akademis, justru sebaliknya mereka harus semakin mahir dalam
penerapan standar-standar ilmiah dalam pembuatan karya tulis. Apa jadinya
negeri ini jika semakin tinggi tingkatan kebijakan semakin tipis pula kadar
akademis dan keilmiahnnya?
Kedua, dengan
struktur/sistematika yang ada pada buku pedoman, nampaknya KTP-2 diarahkan
sebagai makalah kebijakan (policy paper).
Jika benar dugaan saya, maka sebaiknya tidak perlu disusun dan/atau dibagi
dalam lima bab, namun cukup menjadi sebuah artikel yang mengalir dengan sub-sub
judul sesuai kebutuhan. Adapun tentang muatannya, KTP-2 dapat menggunakan skema
yang disarankan Eóin Young and Lisa Quinn dalam artikelnya berjudul “Writing Effective Public Policy Papers, A
Guide for Policy Advisers in Central and Eastern Europe”, sebagai berikut:
§ define and detail an urgent policy issue within the
current policy framework which needs to be addressed;
§ outline the possible ways (policy alternatives) in
which this issue can be addressed;
§ provide an evaluation of the probable outcomes of
these options based on an outlined framework of analysis and the evidence from
the current policy framework;
§ choose a preferred alternative (policy
recommendation) and provide a strong argument to establish why your choice is
the best possible policy option.
(Sumber: Daniel Start and Ingie Hovland,
2004, Tools for Policy Impact: A Handbook for Researchers, London:
Research and Policy in Development Programme).
Secara sekilas,
elemen yang disarankan oleh Young and Quinn ini sangat serupa dengan struktur
KTP-2 pada buku panduan. Yang diperlukan adalah penajaman dan penekanan muatan
setiap bab-nya. Pada Bab I, sebaiknya tidak hanya berisi latar belakang, namun
juga issu yang menjadi polemik di tengah masyarakat, perdebatan teoretik antar
pakar, serta kerangka kebijakan terkait issu/tema yang diangkat beserta gap
yang ada (deviasi antara norma yang berlaku dengan praktek yang terjadi).
Selanjutnya, Bab II sebaiknya tidak hanya berisi rumusan masalah, namun perlu
didahului oleh kritik terhadap kebijakan yang berlaku. Kritik disini bukan
dalam pengertian mencari kesalahan atau kelemahan, namun serupa dengan yang
dilakukan kritikus sastra terhadap karya sastra tertentu yang lebih bersifat
konstruktif, pengayaan, atau pembandingan. Termasuk dalam “kritik kebijakan”
ini adalah lesson learned apa yang
bisa ditarik dari implementasi kebijakan selama ini.
Dalam rangka
membuat kritik kebijakan hingga rumusan masalah inilah, dapat digunakan berbagai
metode, teknik, atau alat analisis yang relevan. Salah satu referensi bagus
untuk berbagai toolkit dalam analisis
kebijakan adalah artikel Ingie Hovland berjudul “Successful Communication: A Toolkit for Researchers and Civil Society
Organisations”, London: Research and Policy in Development Programme, 2005
(reprinted in 2007). Dalam hal ini. Hovland membagi dalam empat aspek tools, yakni planning tools, packaging tools, targeting tools, dan monitoring tools. Pada tahap perencanaan
(planning), tools yang dapat digunakan antara lain stakeholder analysis, social network analysis, problem tree analysis, atau
force field analysis. Sedangkan pada
tahap persiapan (packaging), ada
beberapa tools misalnya visioning scenarios atau tell a story. Kemudian pada tahap
implementasi (targeting), tersedia beberapa
media antara lain policy paper, lobbying,
the Gilbert Email Manifesto (GEM), website, dan sebagainya. Adapun pada
tahap kontrol dan evaluasi dampak (monitoring),
bisa digunakan Most Significant Changes
(MSC), outcome mapping, researcher checklist, dan CFSC integrated model.
Selanjutnya,
Bab III KTP-2 sebaiknya bukan tentang Pemecahan Masalah, melainkan alternatif
kebijakan yang layak dipertimbangkan beserta issu-issu yang ingin diselesaikan.
Sementara itu, Bab IV disarankan bukan memuat hal tentang “Kebijakan yang
Direkomendasikan”, melainkan “Rekomendasi Kebijakan”. Makna rekomendasi
kebijakan bagi saya lebih luas dari pada sekedar kebijakan yang
direkomendasikan. Sebab, rekomendasi kebijakan tidak hanya berisi kebijakan
yang direkomendasikan, namun juga kepada siapa rekomendasi ditujukan, siapa
saja pihak-pihak yang harus menjalankan rekomendasi tersebut, bagaimana cara
yang harus ditempuh, apa target yang harus dicapai jika rekomendasi tadi
dilakukan, kapan rekomendasi dilakukan dan kapan target harus tercapai,
bagaimana sistem monitoring dan evaluasi terhadap pelaksanaan rekomendasi, apa
dampak yang muncul jika rekomendasi tidak dilakukan dan apa yang harus segera
dilakukan jika situasi ini terjadi, dan seterusnya. Pendeknya, rekomendasi
tidak berisi “apa yang harus dilakukan oleh seseorang” namun juga harus
menjangkau sampai kepada jaminan hasil dari program/kegiatan yang
direkomendasikan. Selain itu, rekomendasi kebijakan juga perlu menyertakan
argumen yang kuat mengapa hal itu dipilih dan diyakini sebagai pilihan terbaik
dalam mengatasi problematika yang ada. Adapun Bab V cukup berisi Kesimpulan,
yang membuat intisari dari bab pertama hingga terakhir secara ringkas, adat,
dan informatif.
Dengan
menggunakan referensi diatas, maka KTP-2 secara tegas dapat dinyatakan sebagai policy paper yang memenuhi unsur-unsur
ilmiah, namun bukan karya tulis ilmiah sebagaimana skripsi/thesis/disertasi.
Dari
kamar B-315
Kampus
Pejompongan, 15 April 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar