Pada
sessi diskusi “studi kasus” hari ini, suasana sempat memanas gara-gara kata
“tersesat”. Awalnya, seorang peserta dari kelompok 3 mengomentari paparan
kelompok 1. Beliau mengungkapkan perbedaan pandangannya dengan kelompok 1 dan
menyatakan kebingungannya apakah dia atau kelompok yang sedang presentasi yang
tersesat. Kemudian, penanya lain dari kelompok 1 juga mengungkapkan hal kurang
lebih sama, dan menyebutkan “jika kita tersesat di ujung jalan, kembalilah ke
pangkal jalan”. Kebetulan sekali, saya saat itu bertindak sebagai moderator.
Ketika pertanyaan dan tanggapan selesai, sebelum mempersilahkan kelompok 1
untuk menjawab saya katakan agar kelompok 1 menjawab pertanyaan hanya yang ada
dalam substansi paparan, dan tidak perlu menjawab pertanyaan diluar kontrol
kelompok, dalam hal ini tentang “ketersesatan”. Saya juga sampaikan agar soal
tersesat atau tidaknya kelompok kita serahkan kepada Widyaiswara selaku
pembimbing kelompok.
Ternyata,
himbauan saya tidak diikuti oleh kelompok 1. Salah seorang anggota kelompok
bahkan menegaskan tidak ada yang tersesat dan jangan pernah lagi menggunakan
kata “tersesat” di dalam forum. Celakanya, saat itu ada celetukan yang secara
pasti entah dari mana, yang mengatakan: “Widyaiswara yang tersesat”. Sesaat
setelah ketiga kelompok menyelesaikan paparannya, seperti biasa para
widyaiswara tampil kedepan. Salah satu diantaranya, yang menjadi koordinator,
menyebutkan bahwa penanya pertama memberikan tanggapan yang terus terang,
sedangkan saya dan penanya kedua disebutkan lebih halus dalam berbicara namun
lebih nylekit.
Setelah
sessi presentasi selesai, kata tersesat masih berkembang menjadi komoditas
menarik dan obrolan yang mengasyikkan di saat istirahat maupun saat santai. Namun
yang tidak kami sadari, ternyata ada seorang Widyaiswara yang sangat
tersinggung dengan kata ini. Saya bisa memahami, mungkin saja beliau ingin
menjaga citra sebagai pihak yang membimbing dan mengarahkan peserta kearah
jalan yang benar dan lebih baik. Meski kata “tersesat” tadi sebenarnya sama
sekali tidak ditujukan kepada beliau, namun beliau terlalu sensitif dan menilai
peserta telah menyindirnya. Beliau kemudian memberi “ceramah” agar kami tidak
mudah memvonis sesuatu sebagai tersesat, karena mungkin saja kebenaran akan
ditemukan dalam perjalanan di depan kami. Beliau sangat tidak menyetujui
ungkapan rekan kami bahwa “jika kita tersesat di ujung jalan, kembalilah ke
pangkal jalan”. Bagi beliau, ini adalah langkah mundur atau setback, dan kita sangat tidak
dibenarkan untuk mundur. Beliau bahkan melibatkan emosinya dengan mengatakan
“maaf, saya lebih tua dari anda”, dan seolah-olah mencari pembenaran bahwa usia
yang lebih tua selamanya lebih benar.
Tentu
saya sangat menyesalkan sikap widyaiswara tadi yang saya nilai kurang matang
dan terlalu cepat menyimpulkan secara keliru maksud ucapan teman-teman,
termasuk ucapan saya sendiri selaku moderator. “Tersesat” tadi lebih banyak
mengilustrasikan adanya kebingungan peserta tertentu terhadap substansi pembelajaran,
metode yang digunakan, atau format presentasi yang baik. Kalaupun benar-benar
tersesat, maka tersesat dalam ilmu pengetahuan bukanlah sebuah aib. Justru
ketersesatan dalam ilmu pengetahuan akan menjadi awal dari penemuan ilmiah yang
bernilai sangat tinggi. Coba kita ingat, berapa eksperimen yang harus dilalui
Thomas Alva Edison untuk menemukan bola lampu atau lampu pijar? Konon, dia
berhasil menemukan bola lampu pada eksperimen yang ke-1000. Jika kita gunakan
terminologi “tersesat”, maka dia telah mengalami ketersesatan sebanyak 1000
kali. Namun, bukankah Edison tidak mengatakan bahwa 1000 eksperimen yang
dilalui bukan sebuah kegagalan? Dia justru mengatakan: “saya berhasil menemukan
1000 cara yang salah untuk menemukan bola lampu”, dan tidak pernah mengatakan
“saya gagal 1000 kali dalam menemukan bola lampu”.
Saya
juga tidak sepenuhnya menyetujui ucapan widyaiswara tadi bahwa “kembali ke
pangkal jalan” adalah langkah mundur atau setback.
Ada kalanya untuk maju dan berlari kencang kita harus mundur sejenak mengatur
strategi yang lebih tepat. Dalam learning
organization, bukankah kita tidak hanya diajarkan untuk learn dan unlearn, namun juga relearn?
Makna relearn adalah bahwa kita dapat
menerapkan kembali wisdom kita dimasa
lalu yang pernah kita tinggalkan padahal memiliki nilai filosofis yang luhur
dan masih terus aktual dengan kekinian kita.
Selain
itu, widyaiswara ini juga harus paham dengan konteks yang disampaikan teman
saya ini. Untuk diketahui, teman saya ini alumni Fakultas Hukum UII dan
memiliki dasar agama yang sangat kuat. Ketika dia mengungkapkan “jika kita
tersesat di ujung jalan, kembalilah ke pangkal jalan”, dia sudah menjelaskan
bahwa ungkapan ini lazim terjadi di pesantren. Nah, anak-anak pesantren yakin
benar dengan Sabda Nabi SAW yang berbunyi: “Aku tinggalkan dua perkara, yang
jika engkau pegang teguh, maka engkau tidak akan tersesat selamanya. Dua
perkara itu adalah Alquran dan Hadist”. Maka, mutlak benar adanya jika
seseorang tersesat dalam hidupnya, maka satu-satunya jalan menuju jalan yang
lurus dan benar adalah Alquran dan Hadist sebagai “pangkal”nya. Dalam hal ini,
jika seseorang sudah mulai tersesat namun meneruskan langkahnya, maka langkah
itu akan tersesat semakin jauh.
Ini
bukan berarti bahwa apa yang disampaikan Widyaiswara tadi salah. Ajakan untuk
tidak mundur ke belakang dan maju terus sampai menemukan keberhasilan adalah
benar dilihat dari sisi ikhtiar manusia. Kadang manusia memang tidak sadar
bahwa keberhasilannya sudah amat dekat dengan dirinya, dan ketika dia berhenti,
menyerah, dan putus asa, akhirnya yang sudah dilakukan menjadi tidak berarti
apa-apa. Maka, benar sekali bahwa kita harus terus berusaha keras dan yakin
bahwa keberhaslan akan kita peroleh. Namun secara akidah, prinsip, tata nilai,
dan keyakinan/keimanan, maka pedomannya tidak berubah, tidak dicari-cari di
depan kita, dan tidak boleh kita tinggalkan. Sama logikanya untuk konteks
bangsa Indonesia, jika bangsa ini sudah merasa jauh dari nilai-nilai Pancasila
dan UUD 1945, maka solusinya adalah kembali kepada Pancasila dan UUD 1945,
bukan melanjutkan jalan dan berharap akan menemukan Pancasila dan UUD 1945 yang
lain di depan sana.
Kasus
“tersesat” ini hendaknya menjadi pelajaran bagi seluruh elemen diklat, terutama
Widyaiswara. Sebagai orang yang dituakan secara usia biologis maupun pengalaman
dan keilmuan, hendaknya bisa lebih arif menyikapi ungkapan dan perilaku peserta
yang terkadang masih “mentah” dan emosional. Jika Widyaiswara lebih mentah dan
lebih emosional dibanding peserta, bagaimana mungkin mereka bisa melakukan
tugasnya membimbing peserta? Widyaiswara juga perlu selalu menempatkan sesuatu
pada konteks yang tepat, sehingga ucapannya tidak menimbulkan kesalahpahaman
dan menciptakan suasana yang cenderung kurang menguntungkan bagi proses pembelajaran
selanjutnya. Bahkan dalam beberapa hal, seorang Widyaiswara yang baik adalah
mereka yang memiliki kemampuan “diplomasi” tingkat tinggi. Sebagai contoh,
ketika dihadapkan pada soal ketersesatan ini, akan lebih bijak jika Widyaiswara
menyatakan kegembiraannya jika peserta merasa tersesat, karena tersesat di
belantara ilmu sama artinya akan selalu mendapatkan ilmu baru kemanapun peserta
melangkahkan kakinya. Samudera ilmu begitu luas tidak berbatas, dan orang-orang
yang tidak tersesat dalam rimba raya pengetahuan justru mereka yang hanya
memiliki wawasan sempit bagaikan kuda dengan kacamatanya yang sempit.
Dari
kamar B-315
Kampus
Pejompongan, 17 April 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar