Kamis, 18 April 2013

"Tersesat"


Pada sessi diskusi “studi kasus” hari ini, suasana sempat memanas gara-gara kata “tersesat”. Awalnya, seorang peserta dari kelompok 3 mengomentari paparan kelompok 1. Beliau mengungkapkan perbedaan pandangannya dengan kelompok 1 dan menyatakan kebingungannya apakah dia atau kelompok yang sedang presentasi yang tersesat. Kemudian, penanya lain dari kelompok 1 juga mengungkapkan hal kurang lebih sama, dan menyebutkan “jika kita tersesat di ujung jalan, kembalilah ke pangkal jalan”. Kebetulan sekali, saya saat itu bertindak sebagai moderator. Ketika pertanyaan dan tanggapan selesai, sebelum mempersilahkan kelompok 1 untuk menjawab saya katakan agar kelompok 1 menjawab pertanyaan hanya yang ada dalam substansi paparan, dan tidak perlu menjawab pertanyaan diluar kontrol kelompok, dalam hal ini tentang “ketersesatan”. Saya juga sampaikan agar soal tersesat atau tidaknya kelompok kita serahkan kepada Widyaiswara selaku pembimbing kelompok. 

Ternyata, himbauan saya tidak diikuti oleh kelompok 1. Salah seorang anggota kelompok bahkan menegaskan tidak ada yang tersesat dan jangan pernah lagi menggunakan kata “tersesat” di dalam forum. Celakanya, saat itu ada celetukan yang secara pasti entah dari mana, yang mengatakan: “Widyaiswara yang tersesat”. Sesaat setelah ketiga kelompok menyelesaikan paparannya, seperti biasa para widyaiswara tampil kedepan. Salah satu diantaranya, yang menjadi koordinator, menyebutkan bahwa penanya pertama memberikan tanggapan yang terus terang, sedangkan saya dan penanya kedua disebutkan lebih halus dalam berbicara namun lebih nylekit. 

Setelah sessi presentasi selesai, kata tersesat masih berkembang menjadi komoditas menarik dan obrolan yang mengasyikkan di saat istirahat maupun saat santai. Namun yang tidak kami sadari, ternyata ada seorang Widyaiswara yang sangat tersinggung dengan kata ini. Saya bisa memahami, mungkin saja beliau ingin menjaga citra sebagai pihak yang membimbing dan mengarahkan peserta kearah jalan yang benar dan lebih baik. Meski kata “tersesat” tadi sebenarnya sama sekali tidak ditujukan kepada beliau, namun beliau terlalu sensitif dan menilai peserta telah menyindirnya. Beliau kemudian memberi “ceramah” agar kami tidak mudah memvonis sesuatu sebagai tersesat, karena mungkin saja kebenaran akan ditemukan dalam perjalanan di depan kami. Beliau sangat tidak menyetujui ungkapan rekan kami bahwa “jika kita tersesat di ujung jalan, kembalilah ke pangkal jalan”. Bagi beliau, ini adalah langkah mundur atau setback, dan kita sangat tidak dibenarkan untuk mundur. Beliau bahkan melibatkan emosinya dengan mengatakan “maaf, saya lebih tua dari anda”, dan seolah-olah mencari pembenaran bahwa usia yang lebih tua selamanya lebih benar. 

Tentu saya sangat menyesalkan sikap widyaiswara tadi yang saya nilai kurang matang dan terlalu cepat menyimpulkan secara keliru maksud ucapan teman-teman, termasuk ucapan saya sendiri selaku moderator. “Tersesat” tadi lebih banyak mengilustrasikan adanya kebingungan peserta tertentu terhadap substansi pembelajaran, metode yang digunakan, atau format presentasi yang baik. Kalaupun benar-benar tersesat, maka tersesat dalam ilmu pengetahuan bukanlah sebuah aib. Justru ketersesatan dalam ilmu pengetahuan akan menjadi awal dari penemuan ilmiah yang bernilai sangat tinggi. Coba kita ingat, berapa eksperimen yang harus dilalui Thomas Alva Edison untuk menemukan bola lampu atau lampu pijar? Konon, dia berhasil menemukan bola lampu pada eksperimen yang ke-1000. Jika kita gunakan terminologi “tersesat”, maka dia telah mengalami ketersesatan sebanyak 1000 kali. Namun, bukankah Edison tidak mengatakan bahwa 1000 eksperimen yang dilalui bukan sebuah kegagalan? Dia justru mengatakan: “saya berhasil menemukan 1000 cara yang salah untuk menemukan bola lampu”, dan tidak pernah mengatakan “saya gagal 1000 kali dalam menemukan bola lampu”. 

Saya juga tidak sepenuhnya menyetujui ucapan widyaiswara tadi bahwa “kembali ke pangkal jalan” adalah langkah mundur atau setback. Ada kalanya untuk maju dan berlari kencang kita harus mundur sejenak mengatur strategi yang lebih tepat. Dalam learning organization, bukankah kita tidak hanya diajarkan untuk learn dan unlearn, namun juga relearn? Makna relearn adalah bahwa kita dapat menerapkan kembali wisdom kita dimasa lalu yang pernah kita tinggalkan padahal memiliki nilai filosofis yang luhur dan masih terus aktual dengan kekinian kita.  

Selain itu, widyaiswara ini juga harus paham dengan konteks yang disampaikan teman saya ini. Untuk diketahui, teman saya ini alumni Fakultas Hukum UII dan memiliki dasar agama yang sangat kuat. Ketika dia mengungkapkan “jika kita tersesat di ujung jalan, kembalilah ke pangkal jalan”, dia sudah menjelaskan bahwa ungkapan ini lazim terjadi di pesantren. Nah, anak-anak pesantren yakin benar dengan Sabda Nabi SAW yang berbunyi: “Aku tinggalkan dua perkara, yang jika engkau pegang teguh, maka engkau tidak akan tersesat selamanya. Dua perkara itu adalah Alquran dan Hadist”. Maka, mutlak benar adanya jika seseorang tersesat dalam hidupnya, maka satu-satunya jalan menuju jalan yang lurus dan benar adalah Alquran dan Hadist sebagai “pangkal”nya. Dalam hal ini, jika seseorang sudah mulai tersesat namun meneruskan langkahnya, maka langkah itu akan tersesat semakin jauh. 

Ini bukan berarti bahwa apa yang disampaikan Widyaiswara tadi salah. Ajakan untuk tidak mundur ke belakang dan maju terus sampai menemukan keberhasilan adalah benar dilihat dari sisi ikhtiar manusia. Kadang manusia memang tidak sadar bahwa keberhasilannya sudah amat dekat dengan dirinya, dan ketika dia berhenti, menyerah, dan putus asa, akhirnya yang sudah dilakukan menjadi tidak berarti apa-apa. Maka, benar sekali bahwa kita harus terus berusaha keras dan yakin bahwa keberhaslan akan kita peroleh. Namun secara akidah, prinsip, tata nilai, dan keyakinan/keimanan, maka pedomannya tidak berubah, tidak dicari-cari di depan kita, dan tidak boleh kita tinggalkan. Sama logikanya untuk konteks bangsa Indonesia, jika bangsa ini sudah merasa jauh dari nilai-nilai Pancasila dan UUD 1945, maka solusinya adalah kembali kepada Pancasila dan UUD 1945, bukan melanjutkan jalan dan berharap akan menemukan Pancasila dan UUD 1945 yang lain di depan sana. 

Kasus “tersesat” ini hendaknya menjadi pelajaran bagi seluruh elemen diklat, terutama Widyaiswara. Sebagai orang yang dituakan secara usia biologis maupun pengalaman dan keilmuan, hendaknya bisa lebih arif menyikapi ungkapan dan perilaku peserta yang terkadang masih “mentah” dan emosional. Jika Widyaiswara lebih mentah dan lebih emosional dibanding peserta, bagaimana mungkin mereka bisa melakukan tugasnya membimbing peserta? Widyaiswara juga perlu selalu menempatkan sesuatu pada konteks yang tepat, sehingga ucapannya tidak menimbulkan kesalahpahaman dan menciptakan suasana yang cenderung kurang menguntungkan bagi proses pembelajaran selanjutnya. Bahkan dalam beberapa hal, seorang Widyaiswara yang baik adalah mereka yang memiliki kemampuan “diplomasi” tingkat tinggi. Sebagai contoh, ketika dihadapkan pada soal ketersesatan ini, akan lebih bijak jika Widyaiswara menyatakan kegembiraannya jika peserta merasa tersesat, karena tersesat di belantara ilmu sama artinya akan selalu mendapatkan ilmu baru kemanapun peserta melangkahkan kakinya. Samudera ilmu begitu luas tidak berbatas, dan orang-orang yang tidak tersesat dalam rimba raya pengetahuan justru mereka yang hanya memiliki wawasan sempit bagaikan kuda dengan kacamatanya yang sempit. 

Dari kamar B-315
Kampus Pejompongan, 17 April  2013

Tidak ada komentar: