Hari
ini ada beberapa peristiwa yang berbeda dari biasanya. Pertama, seorang peserta yang Doktor Ekonomi Pertanian dan menjabat
sebagai Staf Ahli Bidang Ekonomi di sebuah Kementerian membacakan catatan
hariannya. Ia menyampaikan bahwa dari tiga sessi pembelajaran pada hari Selasa,
24-4-2013, hanya sessi ceramah Jusuf Kalla yang bermanfaat, sementara dua sessi
lain yang diisi dengan diskusi kelompok dianggap tidak bermanfaat. Ia juga
menyatakan bahwa latihan teknik scenario
planning dalam diskusi kelompok tidak ada maknanya, karena peserta sudah
bisa memahami tekni ktersebut dari ceramah Daniel Sparringa sebelumnya. Selain
dua sessi hari Selasa kemaren, teman ini juga mengganggap sessi-sessi yang
serupa sebagai sebuah kesia-siaan, sehingga durasi Diklatpim 1 sesungguhnya
bisa dipersingkat dari 10 hinggu menjadi satu bulan (4 minggu) saja.
Secara
pribadi, saya cukup setuju dan mendukung ide tersebut, karena saya merasa bisa
menerapkan teknik scenario planning
tanpa harus membahas ulang pada diskusi kelompok. Namun saya juga memiliki
catatan atas pandangan kawan saya tadi. Pertama,
tidak ada garansi bahwa seluruh peserta memiliki pemahaman yang sama seperti
saya atau kawan saya ini. Kedua,
Diklatpim bukanlah forum pengayaan pengetahuan (knowledge enrichment) semata, melainkan juga ajang melatih
keterampilan kepemimpinan. Seorang pemimpin yang baik mestinya tidak berhenti
pada kepuasan intelektual, namun harus melangkah lebih jauh untuk bisa
memuaskan hasrat, harapan, dan dahaga intelektual team-nya. Pemimpin yang baik tidak
selalu ingin berada di depan (ing ngarsa
sung tuladha), namun juga harus sering bergerak ke tengah (ing madya maungun karsa) dan ke belakang
(tut wuri handayani). Pemimpin yang
baik adalah mereka yang bisa menahan egonya, menurunkan standar pribadinya, dan
mengurangi derajat kepuasannya, demi terpenuhinya kepuasan orang lain serta naiknya
standar orang yang dipimpinnya. Pemimpin yang baik adalah yang menjadikan
team-nya sebagai pusat (pelaku inti, fokus perhatian, dan sumber energi untuk
menjalankan sebuah misi), bukannya menjadikan dirinya sebagai pusat diantara
anak buahnya. Pemimpin yang baik adalah pemimpin yang tidak berpikir untuk kesempurnaan
pribadinya, namun lebih mementingkan kesempurnaan kolektif. Pemimpin yang baik tidak
cukup hanya memiliki kecerdasan intelektual, namun harus lebih cerdas secara emosional,
dengan memiliki empati, toleransi, dan penghormatan atas segala jenis perbedaan
dan dinamika dalam kelompok. Pemimpin yang baik akan bekerja diatas dan bersama
dengan energi orang lain, tidak bekerja berdasarkan energi pribadinya, sekuat
apapun dia memiliki energi tersebut. Inilah yang saya maksudkan sebagai team-centered leadership, bukan leader-centered leadership.
Maka,
saya menilai bahwa kawan saya tadi sudah cukup sempurna dalam penguasaan teori
kepemimpinan maupun ilmu-ilmu lainnya, namun belum cukup matang dalam memainkan
seni kepemimpinan (leadership as an art).
Itu yang harus disadarinya dengan segera, untuk kemudian mengubah perspektifnya
tentang kelompok, mengubah gaya kepemimpinannya menjadi lebih situasional (contingency leadership), serta menata
ulang cara berperilaku termasuk cara berbicara dan cara mengungkapkan ekspresinya.
Peristiwa
kedua yang menarik adalah dua kali blunder
yang dibuat Ketua Kelas. Blunder pertama, dia mengkritik Menteri Negara
PPN/Kepala Bappenas yang dua kali membatalkan janji secara mendadak untuk
menjadi narasumber di Diklatpim 1. Namun sekonyong-konyong, dia berbalik
menyalahkan LAN yang dianggap tidak mampu mengelola jadual. Konyolnya, dia
kemudian membandingkan dengan Lemhannas, dan menyatakan bagaimana mungkin LAN
bisa selevel dengan Lemhannas jika urusan jadual saja tidak mampu.
Kontan
saja, pernyataannya ini mengundang respon dari kolega saya di LAN, yang
kebetulan menjadi koordinator tim reformasi diklat. Kawan saya ini sangat
tersinggung dengan statement Ketua
Kelas, dan mengatakan bahwa menilai LAN dibawah Lemhannas adalah pandangan
picik, karena Diklatpim 1 tidak bisa dibandingkan dengan KRA (Kursus Reguler
Angkatan) atau KSA (Kursus Singkat Angkatan) di Lemhannas. Dia juga menyatakan
bahwa seorang yang sudah ikut KRA tetap saja tidak eligible untuk menduduki jabatan Eselon I. Kesimpulannya, Diklatpim
I jauh lebih prestisius bagi PNS karir dibanding KRA yang lebih banyak nuansa
politisnya.
Menyikapi
kontroversi tadi, saya memaksakan diri untuk turut berbicara, dengan harapan
bisa menengahi polemik yang sempat memanas. Saya katakan bahwa memandang peristiwa
atau fenomena apapun selalu bisa dilihat dari sua sisi kontras. Sebagaimana gelas
yang berisi setengah air, kita bisa mengatakan bahwa gelas itu setengah kosong,
tapi kita juga bisa mengatakan gelas itu setengah isi. Dalam konteks ketidakhadiran
Ketua Bappenas pun demikian. Kita bisa melihat sebagai kegagalan penyelenggara
Diklatpim, namun kita juga bisa melihat dari sisi lain. Dalam hal ini, saya katakana
bahwa ketidakhadiran Bappenas adalah masalah Bappenas, jangan ditimpakan
sebagai masalah penyelenggara. Lebih baik berpikir positif bahwa
ketidakhadirannya justru menjadi peluang bagi peserta untuk berlatih mengelola
perubahan yang seringkali tidak disangka-sangka. Sebagai pemimpin yang sudah
berada di puncak karir, apa yang akan dilakukan jika terjadi perubahan: mencari
seseorang untuk disalahkan mengapa perubahan terjadi, atau segera berpikir apa
yang harus dilakukan untuk merespon perubahan itu? Nah, sikap Ketua Kelas yang
mencari black goat (kambing hitam) atas
fakta ketidakhadiran Menteri PPN menandakan bahwa dia kurang siap untuk deal with changes. Padahal, managing change dan winning the change adalah salah satu kompetensi paling mendasar
yang harus dikuasai oleh seorang pejabat level Eselon I. Jika perubahan “sepele”
di tataran temporary system saja
membuat dia kebakaran jenggot, bagaimana jika terjadi perubahan besar di permanent system-nya?
Celaka
dua belas. Setelah membuat blunder ini, sang Ketua Kelas membuat blunder kedua
pada sessi ceramah Amien Rais. Setelah berbasa-basi memberi apresiasi, dia
berbaik menanyakan, apa kontribusi Amien Rais terhadap negara? Seketika itu
juga Amien Rais balik bertanya, apa kontribusi anda sebagai birokrat? Sempat
terjadi “insiden” pokrol bambo yang menurut saya sangat tidak pantas
dipertontonkan. Disatu sisi, Ketua Kelas sangat tidak etis melontarkan
pertanyaan seperti itu, namun disisi lain saya melihat Amien Rais mudah
tersulut emosinya. Untungnya, saya menyimak Amien Rais segera menetralisir emosinya
dan memberi jawaban meski terkesan seadanya. Terlepas dari pro-kontra tentang
sosok dan peran seorang Amien Rais, saya pribadi menilai bahwa Amien Rais
tetaplah tokoh nasional yang langka, baik secara integritas kepribadiannya
maupun kontribusinya bagi Republik. Sebagai pemimpim reformasi 1998 yang
menumbangkan rezim Orde Baru, dan sebagai Ketua MPR yang berhasil mengamandemen
UUD 1945 sebanyak empat kali (1999-2002), itu sudah jauh lebih cukup untuk
membuktikan siapa Amien Rais yang sesungguhnya, belum lagi karya-karya ilmiah
yang tidak terhitung jumlahnya, atau ratusan Doktor yang sudah dihasilkannya
untuk Republik tercinta. Oleh karenanya, pertanyaan Ketua Kelas tadi sangatlah
tidak sepantasnya karena hanya mencerminkan ahistorisitas pemahamannya terhadap
sejarah kontemporer bangsa Indonesia.
Saya
tidak tahu persis mengapa hari ini muncul peristiwa “abnormal” yang dipicu oleh
dua peserta yang kebetulan sama-sama menjabat sebagai Staf Ahli tersebut. Saya menduga
bahwa keduanya sudah mengalami peningkatan tensi atas beban tugas yang semakin
menumpuk. Sayapun menyadari akan situasi overload
yang dialami seluruh peserta di minggu ke-6 ini. Sayapun sangat merasakannya,
apalagi tidak jarang tugas kelompok yang sudah dibagi merata ke setiap anggota,
balik lagi ke saya dengan berbagai alasan, dari gaptek lah, tidak terbiasa dengan tugas-tugas membaca dan menulis
lah, dan sebagainya. Namun saya mencoba menghadapi semua itu dengan sangat
serius namun tetap santai. Saya merasa masih bisa mengendalikan emosi dan
hasrat untuk ingin selalu didepan dan menunjukkan “keakuan” saya. Bagi saya,
situasi penuh tekanan seperti ini sangat sehat untuk melatih diri saya agar
terbiasa dengan siatuasi yang lebih sulit (mudah-udahan saja tidak ada) di
kemudian hari.
Maka,
bagi penyelenggara Diklatpim I, segala aspirasi tadi dapat saja dipertimbangkan
dan dianalisis sisi untung ruginya. Namun sepanjang penyelenggara memiliki
landasan berpikir yang jelas, matang, dan dapat dipertanggungjawabkan, tidak ada
kewajiban untuk menerima setiap masukan, dan penyelenggara dapat terus memegang
teguh prinsip the show just goes on …
Dari
kamar B-315
Kampus
Pejompongan, 25 April 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar