Rabu, 24 April 2013

Leader-centered vs Team-centered Leadership


Hari ini ada beberapa peristiwa yang berbeda dari biasanya. Pertama, seorang peserta yang Doktor Ekonomi Pertanian dan menjabat sebagai Staf Ahli Bidang Ekonomi di sebuah Kementerian membacakan catatan hariannya. Ia menyampaikan bahwa dari tiga sessi pembelajaran pada hari Selasa, 24-4-2013, hanya sessi ceramah Jusuf Kalla yang bermanfaat, sementara dua sessi lain yang diisi dengan diskusi kelompok dianggap tidak bermanfaat. Ia juga menyatakan bahwa latihan teknik scenario planning dalam diskusi kelompok tidak ada maknanya, karena peserta sudah bisa memahami tekni ktersebut dari ceramah Daniel Sparringa sebelumnya. Selain dua sessi hari Selasa kemaren, teman ini juga mengganggap sessi-sessi yang serupa sebagai sebuah kesia-siaan, sehingga durasi Diklatpim 1 sesungguhnya bisa dipersingkat dari 10 hinggu menjadi satu bulan (4 minggu) saja. 

Secara pribadi, saya cukup setuju dan mendukung ide tersebut, karena saya merasa bisa menerapkan teknik scenario planning tanpa harus membahas ulang pada diskusi kelompok. Namun saya juga memiliki catatan atas pandangan kawan saya tadi. Pertama, tidak ada garansi bahwa seluruh peserta memiliki pemahaman yang sama seperti saya atau kawan saya ini. Kedua, Diklatpim bukanlah forum pengayaan pengetahuan (knowledge enrichment) semata, melainkan juga ajang melatih keterampilan kepemimpinan. Seorang pemimpin yang baik mestinya tidak berhenti pada kepuasan intelektual, namun harus melangkah lebih jauh untuk bisa memuaskan hasrat, harapan, dan dahaga intelektual team-nya. Pemimpin yang baik tidak selalu ingin berada di depan (ing ngarsa sung tuladha), namun juga harus sering bergerak ke tengah (ing madya maungun karsa) dan ke belakang (tut wuri handayani). Pemimpin yang baik adalah mereka yang bisa menahan egonya, menurunkan standar pribadinya, dan mengurangi derajat kepuasannya, demi terpenuhinya kepuasan orang lain serta naiknya standar orang yang dipimpinnya. Pemimpin yang baik adalah yang menjadikan team-nya sebagai pusat (pelaku inti, fokus perhatian, dan sumber energi untuk menjalankan sebuah misi), bukannya menjadikan dirinya sebagai pusat diantara anak buahnya. Pemimpin yang baik adalah pemimpin yang tidak berpikir untuk kesempurnaan pribadinya, namun lebih mementingkan kesempurnaan kolektif. Pemimpin yang baik tidak cukup hanya memiliki kecerdasan intelektual, namun harus lebih cerdas secara emosional, dengan memiliki empati, toleransi, dan penghormatan atas segala jenis perbedaan dan dinamika dalam kelompok. Pemimpin yang baik akan bekerja diatas dan bersama dengan energi orang lain, tidak bekerja berdasarkan energi pribadinya, sekuat apapun dia memiliki energi tersebut. Inilah yang saya maksudkan sebagai team-centered leadership, bukan leader-centered leadership. 

Maka, saya menilai bahwa kawan saya tadi sudah cukup sempurna dalam penguasaan teori kepemimpinan maupun ilmu-ilmu lainnya, namun belum cukup matang dalam memainkan seni kepemimpinan (leadership as an art). Itu yang harus disadarinya dengan segera, untuk kemudian mengubah perspektifnya tentang kelompok, mengubah gaya kepemimpinannya menjadi lebih situasional (contingency leadership), serta menata ulang cara berperilaku termasuk cara berbicara dan cara mengungkapkan ekspresinya. 

Peristiwa kedua yang menarik adalah dua kali blunder yang dibuat Ketua Kelas. Blunder pertama, dia mengkritik Menteri Negara PPN/Kepala Bappenas yang dua kali membatalkan janji secara mendadak untuk menjadi narasumber di Diklatpim 1. Namun sekonyong-konyong, dia berbalik menyalahkan LAN yang dianggap tidak mampu mengelola jadual. Konyolnya, dia kemudian membandingkan dengan Lemhannas, dan menyatakan bagaimana mungkin LAN bisa selevel dengan Lemhannas jika urusan jadual saja tidak mampu.  

Kontan saja, pernyataannya ini mengundang respon dari kolega saya di LAN, yang kebetulan menjadi koordinator tim reformasi diklat. Kawan saya ini sangat tersinggung dengan statement Ketua Kelas, dan mengatakan bahwa menilai LAN dibawah Lemhannas adalah pandangan picik, karena Diklatpim 1 tidak bisa dibandingkan dengan KRA (Kursus Reguler Angkatan) atau KSA (Kursus Singkat Angkatan) di Lemhannas. Dia juga menyatakan bahwa seorang yang sudah ikut KRA tetap saja tidak eligible untuk menduduki jabatan Eselon I. Kesimpulannya, Diklatpim I jauh lebih prestisius bagi PNS karir dibanding KRA yang lebih banyak nuansa politisnya. 

Menyikapi kontroversi tadi, saya memaksakan diri untuk turut berbicara, dengan harapan bisa menengahi polemik yang sempat memanas. Saya katakan bahwa memandang peristiwa atau fenomena apapun selalu bisa dilihat dari sua sisi kontras. Sebagaimana gelas yang berisi setengah air, kita bisa mengatakan bahwa gelas itu setengah kosong, tapi kita juga bisa mengatakan gelas itu setengah isi. Dalam konteks ketidakhadiran Ketua Bappenas pun demikian. Kita bisa melihat sebagai kegagalan penyelenggara Diklatpim, namun kita juga bisa melihat dari sisi lain. Dalam hal ini, saya katakana bahwa ketidakhadiran Bappenas adalah masalah Bappenas, jangan ditimpakan sebagai masalah penyelenggara. Lebih baik berpikir positif bahwa ketidakhadirannya justru menjadi peluang bagi peserta untuk berlatih mengelola perubahan yang seringkali tidak disangka-sangka. Sebagai pemimpin yang sudah berada di puncak karir, apa yang akan dilakukan jika terjadi perubahan: mencari seseorang untuk disalahkan mengapa perubahan terjadi, atau segera berpikir apa yang harus dilakukan untuk merespon perubahan itu? Nah, sikap Ketua Kelas yang mencari black goat (kambing hitam) atas fakta ketidakhadiran Menteri PPN menandakan bahwa dia kurang siap untuk deal with changes. Padahal, managing change dan winning the change adalah salah satu kompetensi paling mendasar yang harus dikuasai oleh seorang pejabat level Eselon I. Jika perubahan “sepele” di tataran temporary system saja membuat dia kebakaran jenggot, bagaimana jika terjadi perubahan besar di permanent system-nya? 

Celaka dua belas. Setelah membuat blunder ini, sang Ketua Kelas membuat blunder kedua pada sessi ceramah Amien Rais. Setelah berbasa-basi memberi apresiasi, dia berbaik menanyakan, apa kontribusi Amien Rais terhadap negara? Seketika itu juga Amien Rais balik bertanya, apa kontribusi anda sebagai birokrat? Sempat terjadi “insiden” pokrol bambo yang menurut saya sangat tidak pantas dipertontonkan. Disatu sisi, Ketua Kelas sangat tidak etis melontarkan pertanyaan seperti itu, namun disisi lain saya melihat Amien Rais mudah tersulut emosinya. Untungnya, saya menyimak Amien Rais segera menetralisir emosinya dan memberi jawaban meski terkesan seadanya. Terlepas dari pro-kontra tentang sosok dan peran seorang Amien Rais, saya pribadi menilai bahwa Amien Rais tetaplah tokoh nasional yang langka, baik secara integritas kepribadiannya maupun kontribusinya bagi Republik. Sebagai pemimpim reformasi 1998 yang menumbangkan rezim Orde Baru, dan sebagai Ketua MPR yang berhasil mengamandemen UUD 1945 sebanyak empat kali (1999-2002), itu sudah jauh lebih cukup untuk membuktikan siapa Amien Rais yang sesungguhnya, belum lagi karya-karya ilmiah yang tidak terhitung jumlahnya, atau ratusan Doktor yang sudah dihasilkannya untuk Republik tercinta. Oleh karenanya, pertanyaan Ketua Kelas tadi sangatlah tidak sepantasnya karena hanya mencerminkan ahistorisitas pemahamannya terhadap sejarah kontemporer bangsa Indonesia. 

Saya tidak tahu persis mengapa hari ini muncul peristiwa “abnormal” yang dipicu oleh dua peserta yang kebetulan sama-sama menjabat sebagai Staf Ahli tersebut. Saya menduga bahwa keduanya sudah mengalami peningkatan tensi atas beban tugas yang semakin menumpuk. Sayapun menyadari akan situasi overload yang dialami seluruh peserta di minggu ke-6 ini. Sayapun sangat merasakannya, apalagi tidak jarang tugas kelompok yang sudah dibagi merata ke setiap anggota, balik lagi ke saya dengan berbagai alasan, dari gaptek lah, tidak terbiasa dengan tugas-tugas membaca dan menulis lah, dan sebagainya. Namun saya mencoba menghadapi semua itu dengan sangat serius namun tetap santai. Saya merasa masih bisa mengendalikan emosi dan hasrat untuk ingin selalu didepan dan menunjukkan “keakuan” saya. Bagi saya, situasi penuh tekanan seperti ini sangat sehat untuk melatih diri saya agar terbiasa dengan siatuasi yang lebih sulit (mudah-udahan saja tidak ada) di kemudian hari. 

Maka, bagi penyelenggara Diklatpim I, segala aspirasi tadi dapat saja dipertimbangkan dan dianalisis sisi untung ruginya. Namun sepanjang penyelenggara memiliki landasan berpikir yang jelas, matang, dan dapat dipertanggungjawabkan, tidak ada kewajiban untuk menerima setiap masukan, dan penyelenggara dapat terus memegang teguh prinsip the show just goes on …  

Dari kamar B-315
Kampus Pejompongan, 25 April  2013

Tidak ada komentar: