Adalah
sebuah kewajaran ketika seseorang berharap mendapat tambahan ilmu-ilmu baru
dari Diklatpim I yang akan diikuti. Justru patut dipertanyakan eksistensi
seseorang yang merasa tidak ada tantangan dan antusiasme dalam mengikuti
program ini. Harapan memperoleh wawasan, konsep, maupun teori-teori baru ini
seringkali melampaui kemampuan penyelenggara maupun widyaiswara untuk
memenuhinya. Akibatnya, timbullah kekecewaan ketika harapan yang melambung
ternyata tidak terpenuhi.
Ini
pulalah yang terjadi di penghujung Kajian Falsafah Bangsa, Paradigma Pembangunan,
dan Kepemimpinan Nasional. Salah seorang teman yang kebetulan menjadi ketua
kelompok mengungkapkan kekecewaannya dalam jurnal harian selama dua hari
berturut-turut. Pada catatan pertama ia menyebutkan bahwa pembelajaran pada
hari Kamis, 28 Maret 2013, kurang efektif dan produktif, untuk tidak menyebut
tidak bermanfaat. Argumentasinya adalah bahwa sepanjang hari itu, peserta harus
melakukan diskusi kelompok secara marathon dengan menggunakan metode SSM, yang
disusul dengan pemaparan hasil diskusi. Bukan proses dan hasil diskusi yang
sesungguhnya “digugat” oleh rekan tadi, melainkan keraguan terhadap kebenaran
dari kerja kelompok. Memang hampir semua anggota kelompok memiliki pandangan
yang berbeda-beda, namun karena tuntutan harus melakukan presentasi, maka
jadilah hasil kerja kelompok yang seadanya atau sekedar mengugurkan kewajiban.
Keraguan semakin besar saat hasil kerja kelompok yang masih diragukan tadi
justru selalu dibenarkan dan diapresiasi oleh widyaiswara.
Pada
catatan kedua, teman tadi menulis bahwa alokasi yang tersedia untuk mempelajari
SSM (sejak ceramah, pendalaman, hingga presentasi) adalah 8 sessi atau
ekuivalen dengan 24 jam pelajaran. Ini dianggap terlalu lama dan membuang waktu
secara sia-sia, apalagi jika dibandingkan dengan hasilnya yang kurang memuaskan
dirinya maupun peserta lain secara keseluruhan. Ia mengatakan bahwa 3 sessi
sudah lebih dari cukup untuk mempelajari SSM. Alasannya, seorang (calon)
pejabat Eselon I tidak perlu menguasai hingga detail metode ini, namun cukup
pada kaidah kelimuan atau prinsip-prinsipnya, tahapannya, serta contoh
aplikasinya dalam menganalisis situasi problematik tertentu. Pada praktek
pengambilan keputusan di instansinya, ia cukup memberikan arahan dan melakukan
kontrol terhadap tugas-tugas yang didistribusikan kepada bawahannya.
Sebagaimana
yang dirasakan kawan tadi, sayapun merasakan kegalauan yang sama. Dan meski banyak
teman lain yang tidak berani mengungkapkan secara tertulis, namun perasaan
teman yang sudah menduduki Eselon I-b ini ternyata juga dirasakan oleh banyak peserta
yang lain. Kegundahan semacam ini sering terungkap dalam jawaban eksplisit
seseorang di forum penyajian, maupun dalam perbincangan informal antar peserta di
ruang makan, di sela-sela istirahat, atau dimanapun dan kapanpun ada
kesempatan.
Saya
pribadi pernah mencoba mengurangi rasa penasaran dengan melempar pertanyaan
kepada kelompok lain, yang sesungguhnya saya tujukan untuk para widyaiswara.
Sayangnya, tidak ada jawaban yang memuaskan saya, bahkan cenderung semakin
membingungkan karena beberapa kali widyaiswara memberi jawaban yang bertolak
belakang. Maka, hingga saat inipun saya masih tidak yakin bahwa aplikasi SSM
bisa dilakukan semudah dan sesederhana yang kami lakukan di kelompok. Saya
masih ragu bahwa mengurai situasi masalah yang kompleks cukup diselesaikan
dalam dua hingga tiga jam melalui tujuh tahap SSM, sebagaimana yang kami
lakukan di kelompok untuk tiga issu yang berbeda. Bagi saya, metode apapun
termasuk SSM, adalah alat untuk mendapatkan kebenaran ilmu. Inilah pandangan
filsafat ilmu yang saya yakini. Jika saya masih ragu dengan kebenaran ilmu yang
saya peroleh, maka kemungkinan besar ada kesalahan pada alat analisis yang
digunakan.
Mengingat
tingginya potensi ketidakpuasan peserta terhadap dimensi kediklatan, maka
penyelenggara harus menyusun dan mengembangkan instrumen untuk mengukur Indeks
Kepuasan Peserta Diklat. Evaluasi yang selama ini dilakukan hanya menyentuh
aspek persepsi, namun tidak bisa menjadi alat ukur kinerja penyelenggara dan
widyaiswara. Selanjutnya, survey untuk mengukur kepuasan peserta selaku
pelanggan (costumer) ini perlu dilakukan
baik pada setiap tahap pembejalaran maupun pada akhir program. Dengan
mengetahui secara dini tingkat kepuasan peserta, maka dapat segera diambil
langkah-langkah untuk memperbaiki, sebelum semuanya terlambat.
Dari
kamar B-315
Kampus
Pejompongan, 3 April 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar