Dua
hari terakhir, 9 dan 10 April 2013, suasana kelas terasa sangat informal. Hal
ini tidak terlepas dari batal hadirnya para pembicara kunci, sehingga waktu
yang lowong dijadikan jam mandiri. Sessi mandiri yang biasanya diberikan pada
malam hari, kali ini terjadi sejak siang hari, sehingga menimbulkan nuansa yang
tidak biasa. Secara umum, peserta bersyukur dengan adanya jam mandiri ini,
sebagaimana layaknya anak SD yang gembira ketika sang guru tidak masuk kelas.
Untungnya, peserta sudah dewasa sehingga dapat memanfaatkan waktu yang ada
untuk penulisan KTP-2, diskusi kelompok, atau untuk aktivitas lain yang tidak
sia-sia. Hanya saja, terbersit pertanyaan dalam benak saya. Dengan kejadian
seperti ini, apakah tujuan instruksional diklat bisa tercapai?
Saya
tidak tahu persis apakah situasi seperti ini cukup lazim dalam pelaksanaan
Diklat Kepemimpinan, mengingat saya tidak punya pengalaman mengelola program
diklat. Namun dalam pemahaman saya, hal seperti ini semestinya tidak terjadi.
Penyelenggara harus selalu memiliki contingency
plan ketika pembicara yang diundang ternyata berhalangan. Apalagi, kasus
batalnya seorang pembicara di detik-detik akhir bukan hanya terjadi di angkatan
ini saja. Ini adalah masalah rutin, yang semestinya sudah dapat diantisipasi
sejak dini dengan mencari alternatif solusi ketika masalahnya muncul. Dalam
perspektif analisis kebijakan, problem seperti ini dapat disebut sebagai structured simple problem, sehingga cara
pemecahannya relatif mudah dan tidak membutuhkan teknik-teknik khusus.
Secara
sekilas, kasus ini terlihat sepele dan berdiri sendiri alias tidak memiliki
kausalitas dengan masalah lain. Namun dampak ikutan yang mungkin timbul jika
tidak dapat diatasi, bisa menyebabkan kasus kecil ini berkembang menjadi
masalah sistemik. Kekecewaan dan turunnya kepercayaan peserta terhadap
penyelenggara adalah salah satu potensi masalah yang timbul. Dalam konteks yang
lebih besar, hal ini akan menjadi stigma bahwa lembaga penyelenggara kurang kompeten
mengelola proses pembelajaran, sehingga tingkat kinerja yang dicapai juga
relatif rendah. Jika stigma seperti ini terus berkembang menjadi postulat atau
asumsi dasar dalam benak banyak orang, maka hilanglah kewibawaan dan legitimasi
lembaga. Untuk itu, adanya “rencana cadangan” selalu dibutuhkan untuk menjamin
mutu diklat.
Situasi
informal yang kami alami selama dua hari, membuat peserta memiliki waktu luang
untuk saling berkomunikasi yang produktif, bukan sekedar omong kosong untuk
membunuh waktu. Salah satu yang saya peroleh dari salah seorang teman adalah
rasa pesimismenya terhadap civil effect dari
Diklatpim I ini. Dia menceritakan bahwa di instansinya sudah banyak yang
memiliki sertifikat Diklatpim I, namun pengangkatan pejabat Eselon I kurang
memperhatikan persyaratan ini. Teman ini tadi juga pesimis dapat promosi ke
jenjang eselon tertinggi karena merasa tidak memiliki backing dari orang kuat tertentu. Cerita ini menegaskan “rumor”
yang selama ini terjadi tentang fenomena politisasi birokrasi di lingkungan
instansi pemerintah pusat dan daerah, atau konkritnya pengangkatan pejabat yang
lebih dilandasi pada selera (favoritism)
dan kedekatan (cronyism), namun
sering mengabaikan pertimbangan merit sistem (meritocracy) dan kemampuan (competency)
pegawai.
Untuk
itu, kawan tadi menyarankan hendaknya LAN sebagai Pembina sekaligus
penyelenggara Diklatpim I dapat menerbitkan rekomendasi kepada pimpinan
instansi tentang kelayakan alumni Diklatpim I untuk menduduki jabatan Eselon I.
sesungguhnya disadari sepenuhnya bahwa urusan pengendalian diklat merupakan
wewenang BKN, sehingga dengan kewenangannya tadi semestinya BKN dapat mencegah
terjadinya politisasi birokrasi. Namun mengingat kewenangan pengangkatan
jabatan ada pada PPK (Pejabat Pembina Kepegawaian) K/L/Pemda, maka BKN tidak
sepenuhnya mampu mencegah praktek-praktek seperti ini. Dalam kaitan seperti
inilah, maka adanya rekomendasi LAN akan menjadi moral force bagi PPK untuk menjadikan Diklatpim sebagai konsideran
dalam melakukan fungsi promosi dan mutasi kepegawaian. Hal ini sekaligus untuk
mencegah terjadinya surplus alumni
yang tidak terserap pada pasar jabatan,
serta menjamin investasi SDM aparatur yang begitu mahal tidak sia-sia.
Iden
adanya endorsement LAN kepada
alumninya bagi saya patut direspon secara positif. Bagaimana isi endorsement tadi, dan kepada alumni yang
mana yang akan di-endorse, tentu tidak dapat dirumuskan secara
instan saat jurnal ini ditulis. Namun yang perlu digarisbawahi adalah
keuntungan jika hal itu dilakukan. Manfaat mikro dari sudut pandang peserta,
rekomendasi LAN jelas akan menjadi insentif yang menarik dan cenderung
“diperebutkan”. Implikasinya, peserta akan lebih sungguh-sungguh menjalani
program diklat dan menghasilkan efek kompetisi yang sehat dan positif. Jika
kompetisi antar peserta lebih kuat, maka kualitas diklatpun secara otomatis
akan meningkat. Dan jika mutu diklat meningkat, maka dampak diklat terhadap
perbaikan kinerja instansi asal peserta juga bisa diharapkan lebih cepat
terwujud. Dengan kata lain, rekomendasi LAN untuk alumni Diklatpim kepada pimpinan
K/L/Pemda akan menjadi pengungkit (leverage)
bagi pembenahan sistem pembinaan kepegawaian nasional serta sistem manajemen
kinerja SDM aparatur.
Hal
terakhir yang sangat berkesan bagi saya adalah kasus yang dihadapi oleh rekan
sekelas yang menjabat sebagai Kepala RS Bhayangkara Sulawesi Selatan. Pak Kombes
Purwadi, nama rekan ini, dimata saya adalah sosok yang sholeh, baik hati,
bersahabat, dan tidak birokratis. Dia juga pribadi yang berdisiplin tinggi dan
murah hati. Disiplin bisa dilihat dari kebiasaan berolahraga secara rutin meski
agenda pembelajaran sangat padat, sedangkan murah hatinya terlihat dari
spontanitasnya untuk mensponsori penggandaan tiga buku yang ditetapkan
widyaiswara sebagai tugas baca.
Tiba-tiba,
hari Sabtu kami digemparkan dengan kejadian penembakan beliau oleh seorang
polisi yang kecewa karena asrama yang ditinggali akan terkena proyek
pembangunan RS. Yang mencengangkan bagi saya adalah, hanya dalam waktu 3-4 hari
beliau sudah kembali ke kelas dalam keadaan seperti tidak mengalami sesuatupun.
Saya sempat menyebut beliau sebagai Hercules, sebagai ungkapan atas kekaguman
saya terhadap kekuatan fisiknya yang luar biasa. Namun dibalik kekuatan
fisiknya, saya lebih yakin bahwa beliau memiliki kekuatan jiwa dan mental yang
amat tangguh. Kekuatan mental spiritual itulah yang menyebabkan kendala fisik
seolah tidak ada artinya. Saya membayangkan, seandainya semua pejabat Republik
ini memiliki kekuatan fisik serta mental spiritual seperti beliau, betapa budaya
kerja dan kinerja instansi pemerintah akan terasa sangat istimewa.
Hal
lain yang tidak masuk akal adalah ketika penembakan dilakukan oleh orang
terlatih dan dari jarak dekat (sekitar 1 meter), namun ternyata tidak mengenai
organ-organ vital. Hebatnya lagi, dua peluru yang dilepaskan seolah
berbelok-belok mencari jalur yang tidak mematikan. Bagaimana logikanya sebutir
peluru mengenai jari kiri, kemudian menyerempet leher kiri, dan bersarang
pundak kanan? Nampaknya ada invisible
hand atau campur tangan langsung Yang Maha Kuasa.
Dan
saya yakin bahwa hal-hal metafisik atau supranatural seperti ini diijinkan
terjadi oleh Tuhan untuk suatu alasan. Alasan itu bagi saya adalah untuk menjadi
pembelajaran baik bagi yang bersangkutan, untuk pegawai di lingkungan kerjanya,
maupun untuk kami, para rekan peserta Diklatpim I. Pembelajaran pertama yang bisa ditarik adalah bahwa perilaku
seseorang akan menjadi penolong manakala ia berada dalam keadaan mendesak. Dalam
kasus pak Purwadi diatas, saya memiliki keyakinan bahwa ia diselematkan oleh
Allah karena shalatnya yang tekun, doanya yang panjang, dan sodaqohnya yang
banyak. Hal ini sesuai dengan sabda Rasulullah SAW, ”Perbanyaklah
sedekah, sebab sedekah bisa memanjangkan umur”.
Pelajaran kedua,
jagalah kebugaran fisik secara optimal, karena fisik yang prima akan dapat menjaga
sistem reflek untuk menghindarkan diri dari bahaya yang tidak terduga. Dalam buku
The Seven Habits of
Highly Effective People karya Stephen R Covey
pun dianjurkan agar kita selalu “mengasah gergaji” (Habit No. 7).
Tubuh kita adalah alat untuk mencapai tujuan, sebagaimana gergaji untuk
menebang pohon. Gergaji tersebut akan menjadi tajam jika terus diasah, dirawat,
dan dijaga dari kerusakan, sehingga akan menjadi piranti yang efektif dalam
menjalankan tugasnya. Bagaimana kita menjaga “gergaji” kita? Covey menyarankan agar
kita menyeimbangkan dimensi fisik, mental, sosial emosional, dan spiritual,
antara lain dengan melakukan meditasi atau yoga. “Meditasi” disini tentu harus
ditafsirkan dalam arti yang lebih luas mencakup aktivitas zikir, doa, dan i’tikaf
(berdiam untuk melakukan muhasabah atau introspeksi), sementara “yoga” pun
harus dimaknakan sebagai olahraga dalam arti luas.
Pelajaran ketiga,
apapun situasi yang kita hadapi dalam melaksanakan tugas, usahakan selalu
dengan tulus ikhlas, sikap ramah, dan hindari kemungkinan timbulnya
ketersinggungan apalagi sakit hati dari orang lain. Seperti diceritakan oleh pak
Pur, beliau mengakui sempat mengeluarkan ucapan yang memicu emosi pelaku
penembakan. Jika ucapan pak Pur dianggap sebagai bentuk kezaliman, tetap saja
tidak boleh dilawan dengan kezaliman, apalagi kezaliman yang jauh lebih besar.
Maka, tindakan penembakan itu jelas salah besar dilihat dari sudut manapun dan
dengan dalih apapun. Tentu saja, emosi adalah sifat yang amat manusiawi, dan
oleh karenanya dapat dimaklumi jika pak Pur dan penembaknya sempat emosi dengan
situasi yang dihadapi masing-masing. Namun seandainya keduanya sama-sama menjaga
kesejukan dalam komunikasi, maka hal yang buruk bisa dicegah sejak dini.
Jika kita cermati situasi politik
di tanah air pada tahun politik ini, betapa banyak pejabat tinggi pemerintah,
politisi, aparat keamanan, bahkan rakyat jelata yang mengumbar kemarahan dengan
cara dan bentuknya masing-masing. Kriminalitas semakin menjadi-jadi, dan
tindakan main hakim sendiri juga semakin lumrah. Bangsa ini nampaknya telah berubah
menjadi bangsa pemarah dan tak terlihat lagi gurat-gurat keramahannya. Dan ini
jelas sangat tidak menguntungkan dalam upaya membangun bangsa yang unggul dan
bermartabat. Oleh sebab itu, menjadi tugas pimpinan nasional untuk menciptakan
suasana batin antar komponen bangsa yang teduh, iklim pembangunan yang sejuk
dan kondusif, serta membangun kecerdasan emosional bangsa secara kolektif.
Terimakasih pak Pur, bapak yang
mendapatkan musibah, namun kami semua yang mendapat hikmah. Semoga hikmah yang
kami terima dari peristiwa yang bapak alami akan menjadi pahala berlimpah,
menjadi penangkal musibah-musibah berikutnya, menjadi sarana memanjangkan umur
dan memperbanyak rejeki, serta mendatangkan keberkahan dan hidup berkelimpahan
untuk bapak se keluarga.
Dari
kamar B-315
Kampus
Pejompongan, 11 April 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar