Rabu, 10 April 2013

Pernik-Pernik Diklat


Dua hari terakhir, 9 dan 10 April 2013, suasana kelas terasa sangat informal. Hal ini tidak terlepas dari batal hadirnya para pembicara kunci, sehingga waktu yang lowong dijadikan jam mandiri. Sessi mandiri yang biasanya diberikan pada malam hari, kali ini terjadi sejak siang hari, sehingga menimbulkan nuansa yang tidak biasa. Secara umum, peserta bersyukur dengan adanya jam mandiri ini, sebagaimana layaknya anak SD yang gembira ketika sang guru tidak masuk kelas. Untungnya, peserta sudah dewasa sehingga dapat memanfaatkan waktu yang ada untuk penulisan KTP-2, diskusi kelompok, atau untuk aktivitas lain yang tidak sia-sia. Hanya saja, terbersit pertanyaan dalam benak saya. Dengan kejadian seperti ini, apakah tujuan instruksional diklat bisa tercapai? 

Saya tidak tahu persis apakah situasi seperti ini cukup lazim dalam pelaksanaan Diklat Kepemimpinan, mengingat saya tidak punya pengalaman mengelola program diklat. Namun dalam pemahaman saya, hal seperti ini semestinya tidak terjadi. Penyelenggara harus selalu memiliki contingency plan ketika pembicara yang diundang ternyata berhalangan. Apalagi, kasus batalnya seorang pembicara di detik-detik akhir bukan hanya terjadi di angkatan ini saja. Ini adalah masalah rutin, yang semestinya sudah dapat diantisipasi sejak dini dengan mencari alternatif solusi ketika masalahnya muncul. Dalam perspektif analisis kebijakan, problem seperti ini dapat disebut sebagai structured simple problem, sehingga cara pemecahannya relatif mudah dan tidak membutuhkan teknik-teknik khusus. 

Secara sekilas, kasus ini terlihat sepele dan berdiri sendiri alias tidak memiliki kausalitas dengan masalah lain. Namun dampak ikutan yang mungkin timbul jika tidak dapat diatasi, bisa menyebabkan kasus kecil ini berkembang menjadi masalah sistemik. Kekecewaan dan turunnya kepercayaan peserta terhadap penyelenggara adalah salah satu potensi masalah yang timbul. Dalam konteks yang lebih besar, hal ini akan menjadi stigma bahwa lembaga penyelenggara kurang kompeten mengelola proses pembelajaran, sehingga tingkat kinerja yang dicapai juga relatif rendah. Jika stigma seperti ini terus berkembang menjadi postulat atau asumsi dasar dalam benak banyak orang, maka hilanglah kewibawaan dan legitimasi lembaga. Untuk itu, adanya “rencana cadangan” selalu dibutuhkan untuk menjamin mutu diklat. 

Situasi informal yang kami alami selama dua hari, membuat peserta memiliki waktu luang untuk saling berkomunikasi yang produktif, bukan sekedar omong kosong untuk membunuh waktu. Salah satu yang saya peroleh dari salah seorang teman adalah rasa pesimismenya terhadap civil effect dari Diklatpim I ini. Dia menceritakan bahwa di instansinya sudah banyak yang memiliki sertifikat Diklatpim I, namun pengangkatan pejabat Eselon I kurang memperhatikan persyaratan ini. Teman ini tadi juga pesimis dapat promosi ke jenjang eselon tertinggi karena merasa tidak memiliki backing dari orang kuat tertentu. Cerita ini menegaskan “rumor” yang selama ini terjadi tentang fenomena politisasi birokrasi di lingkungan instansi pemerintah pusat dan daerah, atau konkritnya pengangkatan pejabat yang lebih dilandasi pada selera (favoritism) dan kedekatan (cronyism), namun sering mengabaikan pertimbangan merit sistem (meritocracy) dan kemampuan (competency) pegawai. 

Untuk itu, kawan tadi menyarankan hendaknya LAN sebagai Pembina sekaligus penyelenggara Diklatpim I dapat menerbitkan rekomendasi kepada pimpinan instansi tentang kelayakan alumni Diklatpim I untuk menduduki jabatan Eselon I. sesungguhnya disadari sepenuhnya bahwa urusan pengendalian diklat merupakan wewenang BKN, sehingga dengan kewenangannya tadi semestinya BKN dapat mencegah terjadinya politisasi birokrasi. Namun mengingat kewenangan pengangkatan jabatan ada pada PPK (Pejabat Pembina Kepegawaian) K/L/Pemda, maka BKN tidak sepenuhnya mampu mencegah praktek-praktek seperti ini. Dalam kaitan seperti inilah, maka adanya rekomendasi LAN akan menjadi moral force bagi PPK untuk menjadikan Diklatpim sebagai konsideran dalam melakukan fungsi promosi dan mutasi kepegawaian. Hal ini sekaligus untuk mencegah terjadinya surplus alumni yang tidak terserap pada pasar jabatan, serta menjamin investasi SDM aparatur yang begitu mahal tidak sia-sia. 

Iden adanya endorsement LAN kepada alumninya bagi saya patut direspon secara positif. Bagaimana isi endorsement tadi, dan kepada alumni yang mana yang akan di-endorse, tentu tidak dapat dirumuskan secara instan saat jurnal ini ditulis. Namun yang perlu digarisbawahi adalah keuntungan jika hal itu dilakukan. Manfaat mikro dari sudut pandang peserta, rekomendasi LAN jelas akan menjadi insentif yang menarik dan cenderung “diperebutkan”. Implikasinya, peserta akan lebih sungguh-sungguh menjalani program diklat dan menghasilkan efek kompetisi yang sehat dan positif. Jika kompetisi antar peserta lebih kuat, maka kualitas diklatpun secara otomatis akan meningkat. Dan jika mutu diklat meningkat, maka dampak diklat terhadap perbaikan kinerja instansi asal peserta juga bisa diharapkan lebih cepat terwujud. Dengan kata lain, rekomendasi LAN untuk alumni Diklatpim kepada pimpinan K/L/Pemda akan menjadi pengungkit (leverage) bagi pembenahan sistem pembinaan kepegawaian nasional serta sistem manajemen kinerja SDM aparatur. 

Hal terakhir yang sangat berkesan bagi saya adalah kasus yang dihadapi oleh rekan sekelas yang menjabat sebagai Kepala RS Bhayangkara Sulawesi Selatan. Pak Kombes Purwadi, nama rekan ini, dimata saya adalah sosok yang sholeh, baik hati, bersahabat, dan tidak birokratis. Dia juga pribadi yang berdisiplin tinggi dan murah hati. Disiplin bisa dilihat dari kebiasaan berolahraga secara rutin meski agenda pembelajaran sangat padat, sedangkan murah hatinya terlihat dari spontanitasnya untuk mensponsori penggandaan tiga buku yang ditetapkan widyaiswara sebagai tugas baca. 

Tiba-tiba, hari Sabtu kami digemparkan dengan kejadian penembakan beliau oleh seorang polisi yang kecewa karena asrama yang ditinggali akan terkena proyek pembangunan RS. Yang mencengangkan bagi saya adalah, hanya dalam waktu 3-4 hari beliau sudah kembali ke kelas dalam keadaan seperti tidak mengalami sesuatupun. Saya sempat menyebut beliau sebagai Hercules, sebagai ungkapan atas kekaguman saya terhadap kekuatan fisiknya yang luar biasa. Namun dibalik kekuatan fisiknya, saya lebih yakin bahwa beliau memiliki kekuatan jiwa dan mental yang amat tangguh. Kekuatan mental spiritual itulah yang menyebabkan kendala fisik seolah tidak ada artinya. Saya membayangkan, seandainya semua pejabat Republik ini memiliki kekuatan fisik serta mental spiritual seperti beliau, betapa budaya kerja dan kinerja instansi pemerintah akan terasa sangat istimewa.  

Hal lain yang tidak masuk akal adalah ketika penembakan dilakukan oleh orang terlatih dan dari jarak dekat (sekitar 1 meter), namun ternyata tidak mengenai organ-organ vital. Hebatnya lagi, dua peluru yang dilepaskan seolah berbelok-belok mencari jalur yang tidak mematikan. Bagaimana logikanya sebutir peluru mengenai jari kiri, kemudian menyerempet leher kiri, dan bersarang pundak kanan? Nampaknya ada invisible hand atau campur tangan langsung Yang Maha Kuasa.  

Dan saya yakin bahwa hal-hal metafisik atau supranatural seperti ini diijinkan terjadi oleh Tuhan untuk suatu alasan. Alasan itu bagi saya adalah untuk menjadi pembelajaran baik bagi yang bersangkutan, untuk pegawai di lingkungan kerjanya, maupun untuk kami, para rekan peserta Diklatpim I. Pembelajaran pertama yang bisa ditarik adalah bahwa perilaku seseorang akan menjadi penolong manakala ia berada dalam keadaan mendesak. Dalam kasus pak Purwadi diatas, saya memiliki keyakinan bahwa ia diselematkan oleh Allah karena shalatnya yang tekun, doanya yang panjang, dan sodaqohnya yang banyak. Hal ini sesuai dengan sabda Rasulullah SAW, ”Perbanyaklah sedekah, sebab sedekah bisa memanjangkan umur”.  

Pelajaran kedua, jagalah kebugaran fisik secara optimal, karena fisik yang prima akan dapat menjaga sistem reflek untuk menghindarkan diri dari bahaya yang tidak terduga. Dalam buku The Seven Habits of Highly Effective People karya Stephen R Covey pun dianjurkan agar kita selalu “mengasah gergaji” (Habit No. 7). Tubuh kita adalah alat untuk mencapai tujuan, sebagaimana gergaji untuk menebang pohon. Gergaji tersebut akan menjadi tajam jika terus diasah, dirawat, dan dijaga dari kerusakan, sehingga akan menjadi piranti yang efektif dalam menjalankan tugasnya. Bagaimana kita menjaga “gergaji” kita? Covey menyarankan agar kita menyeimbangkan dimensi fisik, mental, sosial emosional, dan spiritual, antara lain dengan melakukan meditasi atau yoga. “Meditasi” disini tentu harus ditafsirkan dalam arti yang lebih luas mencakup aktivitas zikir, doa, dan i’tikaf (berdiam untuk melakukan muhasabah atau introspeksi), sementara “yoga” pun harus dimaknakan sebagai olahraga dalam arti luas. 

Pelajaran ketiga, apapun situasi yang kita hadapi dalam melaksanakan tugas, usahakan selalu dengan tulus ikhlas, sikap ramah, dan hindari kemungkinan timbulnya ketersinggungan apalagi sakit hati dari orang lain. Seperti diceritakan oleh pak Pur, beliau mengakui sempat mengeluarkan ucapan yang memicu emosi pelaku penembakan. Jika ucapan pak Pur dianggap sebagai bentuk kezaliman, tetap saja tidak boleh dilawan dengan kezaliman, apalagi kezaliman yang jauh lebih besar. Maka, tindakan penembakan itu jelas salah besar dilihat dari sudut manapun dan dengan dalih apapun. Tentu saja, emosi adalah sifat yang amat manusiawi, dan oleh karenanya dapat dimaklumi jika pak Pur dan penembaknya sempat emosi dengan situasi yang dihadapi masing-masing. Namun seandainya keduanya sama-sama menjaga kesejukan dalam komunikasi, maka hal yang buruk bisa dicegah sejak dini. 

Jika kita cermati situasi politik di tanah air pada tahun politik ini, betapa banyak pejabat tinggi pemerintah, politisi, aparat keamanan, bahkan rakyat jelata yang mengumbar kemarahan dengan cara dan bentuknya masing-masing. Kriminalitas semakin menjadi-jadi, dan tindakan main hakim sendiri juga semakin lumrah. Bangsa ini nampaknya telah berubah menjadi bangsa pemarah dan tak terlihat lagi gurat-gurat keramahannya. Dan ini jelas sangat tidak menguntungkan dalam upaya membangun bangsa yang unggul dan bermartabat. Oleh sebab itu, menjadi tugas pimpinan nasional untuk menciptakan suasana batin antar komponen bangsa yang teduh, iklim pembangunan yang sejuk dan kondusif, serta membangun kecerdasan emosional bangsa secara kolektif. 

Terimakasih pak Pur, bapak yang mendapatkan musibah, namun kami semua yang mendapat hikmah. Semoga hikmah yang kami terima dari peristiwa yang bapak alami akan menjadi pahala berlimpah, menjadi penangkal musibah-musibah berikutnya, menjadi sarana memanjangkan umur dan memperbanyak rejeki, serta mendatangkan keberkahan dan hidup berkelimpahan untuk bapak se keluarga. 

Dari kamar B-315
Kampus Pejompongan, 11 April  2013

Tidak ada komentar: