Diantara
banyaknya materi yang disampaikan narasumber dari Bappenas, saya memberi
perhatian khusus pada fenomena terputusnya rantai proses antara fungsi perencanaan yang menjadi domein
Bappenas dan biasa dilakukan pada periode Januari-Mei, dengan fungsi penganggaran yang menjadi domein Kemenetrian
Keuangan yang biasa berlangsung pada periode Juni hingga Desember. Dengan
adanya gap antara perencanaan dengan
penganggaran ini, Bappenas sering “kehilangan jejak” untuk menjaga konsistensi perancanaan dengan dukungan anggaran.
Bagi saya, fakta diatas adalah sebuah ironi besar
dalam sistem pembangunan nasional. Ada sebuah ungkapan dari Miguel de Cervantes Saavedra yang berbunyi “to be prepared is half of the victory”,
yang maknanya kurang lebih bahwa ketika kita telah memiliki perencanaan yang
baik, maka kita sudah menuju setengah dari kemenangan. Namun jika hanya
perencanaan yang baik, sementara pada implementasinya terjadi gap yang lebar antara perencanaan
(Bappenas) dengan penganggaran (Kementerian Keuangan), maka perencanaan
tersebut bisa menjadi sia-sia. Dan faktanya, memang terjadi deviasi RPJM ketika
dijabarkan dalam Renstra K/L. Selanjutnya, deviasi terjadi secara beruntun pada
saat Renstra K/L diterjemahkan dalam RKP, RKP diturunkan menjadi Renja K/L,
Renja K/L dioperasionalisasikan dalam DIPA K/L, dan DIPA diimplementasikan
dalam realisasi fisik dan anggaran. Dengan banyaknya deviasi pada mata rantai
perencanaan dan penganggaran tersebut, bisa dibayangkan berapa besarnya deviasi
dari RPJM menjadi realisasi fisik dan anggaran?
Tingginya deviasi tersebut diperparah dengan rendahnya konsistensi
indikator dan target RKP 2013 dengan RPJM 2010-2014. Sebagai contoh, jumlah indikator outcome RKP 2013 yang sama dengan indikator outcome RPJM 2010-2014 hanya sebesar 75,61%, sementara target outcome RKP 2013 yang sama dengan target outcome RPJM hanya sebesar 48,78 %. Di tingkat output, jumlah indikator output RKP 2013 yang sama debgan indikator output RPJM hanya sebesar 21,58 %,
sementara target output RKP 2013 yang sama dengan RPJM hanya sebesar 11,37 % (Bappenas, Perspektif
Perencanaan Dalam Sistem Manajemen Pembangunan Nasional, 2013).
Terjadinya
deviasi dan lemahnya konsistensi itu sendiri tidak lepas dari sinergi yang
kurang optimal dari Bappenas dan Kementerian Keuangan. Kedua institusi ini
memiliki kewenangan yang spesifik namun sesungguhnya memiliki keterkaitan yang
erat. Ketika koordinasi gagal dilakukan dan ketika egoisme institusi terus
dipertahankan, maka yang terjadi adalah inefisiensi dan inefektivitas sistem
pembangunan nasional kita. Sungguh saya miris melihat situasi seperti ini.
Lantas,
terpikir oleh saya bahwa perlu ada suatu forum yang bisa mempertemukan berbagai
pihak yang terkait dengan situasi problematik tertentu secara intens tanpa
sekat jabatan, institusi, maupun hambatan ruang dan waktu. Nah, satu-satunya
forum yang memenuhi kriteria tadi menurut saya adalah Diklat. Maka, diklat by design dapat dijadikan sebagai melting pot yang mempertemukan berbagai
pihak untuk membahas masalah bersama hingga menemukan solusinya. Dalam hal ini,
melting pot didefinisikan sebagai “a metaphor for a heterogeneous
society becoming more homogeneous, the different elements melting together into
a harmonious whole with a common culture” (Wikipedia).
Konsekuensinya
sebagai melting pot, maka diklat
diselenggarakan dengan maksud tertentu (purposive
training), dan tidak dibuka peluang yang sama bagi peserta dari instansi
yang tidak terkait dengan masalah yang hendak diselesaikan. Disini, “inti
masalah” akan dijadikan sebagai tema dalam pelaksanaan diklat dengan tujuan
khusus tadi. Dalam kasus fragmentasi fungsi perencanaan dengan penganggaran
tadi, misalnya, maka (calon) peserta yang dipanggil mengikuti diklat adalah
yang berasal dari Bappenas, Kementerian Keuangan, dan beberapa dari K/L/Pemda
untuk case study terjadinya
fragmentasi kebijakan. Atas dalam kasus konflik horizontal yang dipicu oleh
perbedaan agama/keyakinan, maka (calon) peserta dari Kementerian Dalam Negeri,
Kemenetrian Agama, dan Pemda tempat terjadinya konflik, harus menjadi
prioritas. Dengan demikian, peserta kertas kerja bersama yang berisi konsensus
atau general agreement untuk
menerapkan solusi terhadap masalah yang dihadapi bersama.
Dengan
memfungsikan diklat sebagai melting pot
tadi, bukan hanya permasalahan aktual yang dapat diselesaikan, namun juga
mendobrak mekanisme formal yang kaku dalam hubungan antar lembaga. Sebagaimana
lazimnya, sesama alumni biasanya memiliki ikatan batin yang lebih erat sehingga
komunikasi interpersonal akan dapat mengatasi communication barrier yang selama ini dalam hubungan kedinasan.
Dengan modal kedekatan emosional inilah, egoisme sektoral dapat diminimalisir
sehingga akan meningkatkan efektivitas dan efisiensi pelaksanaan tugas dan
fungsi seorang pejabat.
Sebenarnya
diklat yang sekarang juga sudah mencerminkan terjadinya proses peleburan
berbagai potensi dan latarbelakang yang berbeda dari setiap peserta. Hanya
saja, melting pot yang ada saat ini
tidak didesain secara terfokus untuk memecahkan situasi problematik yang
dihadapi instansi asal peserta. Artinya, kurang jelas output dan outcomes apa
yang ingin dicapai dengan bahan dasar atau material yang beragam tadi.
Ibaratnya sebuah industri peleburan, harus jelas apakah material yang dilebur
akan menghasilkan keramik, besi baja cor, emas batangan, atau hanya onggokan
yang tidak bernilai strategis? Sama halnya dengan Diklat Kepemimpinan, akan
jauh lebih baik jika produk pembelajaran tidak hanya yang berhubungan dengan
instansinya, namun juga hasil yang lebih strategis menyangkut masalah dan
kepentingan yang lebih luas, baik secara ekonomi, politik, sosial budaya, dan
seterusnya. Jika produk utama Diklat Kepemimpinan hanya KTP-2, sementara KKT/KKA
disusun hanya sekedar untuk “menggugurkan kewajiban”, maka KTP-2 tadi hanya
akan menjadi onggokan di perpustakaan yang tidak terlalu signifikan sebagai
produk intelektualitas dalam memecahkan permasalahan bangsa. Diklat adalah
“industri peleburan” yang akan mengkonversi bahan dasar menjadi bahan jadi,
mereformulasi inkompetensi menjadi kompetensi, dan mentransformasi onggokan
menjadi sesuatu yang serba sistem.
Jika
pola melting pot ini tidak diterima,
maka dapat pula dicoba cara lain untuk mengatasi gap, barrier, dan
kebuntuan komunikasi antar instansi, yakni dengan membudayakan courtesy call atau undangan kehormatan.
Sebagai contoh, Menteri Keuangan mengundang Bappenas dan beberapa pimpinan K/L
dalam sebuah coffee morning untuk
membicarakan secara “hati ke hati” masalah yang dihadapi bersama. Hal yang sama
dapat dilakukan oleh Menteri PPN/Kepala Bappenas atau pimpinan K/L manapun
sesuai dengan ruang lingkup tugasnya. Dengan kata lain, untuk melakukan
koordinasi tidak harus menunggu forum resmi seperti Musrenbangnas, Rakorpannas,
dan yang sejenisnya.
Pertanyaannya,
maukah kita membuat tradisi yang lebih smooth
and soft dalam komunikasi lintas kementerian? Semua akan kembali kepada
komitmen pimpinan K/L yang bersangkutan. Namun sebagai orang LAN, ada baiknya
LAN memelopori hal ini sebagai konvensi baru dalam sistem penyelenggaraan
pemerintahan.
Dari
kamar B-315
Kampus
Pejompongan, 12 April 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar