Kamis, 07 Juli 2011

Berharap Akan Sebuah Kesetaraan

“Ketimpangan” adalah sebuah kata yang selalu negatif. Ketimpangan pembangunan antar daerah atau antar sektor, ketimpangan antara hak dan kewajiban, ketimpangan antara mimpi dan realita, atau apapun … ketimpangan selalu tidak mengenakkan. Contoh gampang yang sering kita alami, pengguna jasa penerbangan jika terlambat sedikit saja dapat terancam tidak dapat check-in atau bahkan tertinggal pesawat. Namun penyedia jasa penerbangan seolah boleh terlambat berapa lama-pun, sementara penumpang setia menunggu hingga saat boarding tiba. Kasus ketimpangan lain bisa kita lihat misalnya saat mengurus perpanjangan KTP atau Akta Kelahiran. Dalam KTP atau UU Kependudukan diatur bahwa jika kita terlambat mengurusnya maka akan dikenakan denda dalam jumlah tertentu. Namun jika Kecamatan atau Dinas Kependudukan bekerja melebihi batas waktu yang ditentukan dalam SOP mereka, seolah bukan hal yang aneh dan tidak perlu dikenakan sanksi tertentu.

Nah, dalam program diklat-pun hal seperti ini bisa terjadi. Seperti yang saya alami hari ini, hanya gara-gara terlambat 5 menit saya “terpaksa” menerima sanksi absensi di kartu kuning. Padahal, begitu masuk kelas, ternyata proses pembelajaran belum dimulai karena pembicaranya, Budiman Sujatmiko, belum hadir. Dia baru hadir 25 menit kemudian, namun toh tidak dianggap sebagai persoalan besar. Kasus yang lebih parah terjadi minggu sebelumnya ketika kelas sudah menunggu selama 45 menit, tetapi pembicara yang ditunggu-tunggu, Tomy A. Legowo, tidak kunjung menampakkan batang hidungnya dengan alasan terjebak kemacetan Jakarta. Akhirnya, peserta-lah yang harus menyesuaikan diri dengan pembicara, bukan pembicara yang tidak disiplin yang dikenakan sanksi.

Kasus-kasus ketimpangan diatas menggambarkan adanya asymmetric position antar dua pihak yang berkepentingan. Di satu pihak, penyedia jasa penerbangan, Kecamatan, Dinas Kependudukan, penyelenggara Diklat, atau pembicara/nara sumber Diklat, berada pada posisi diatas, yang oleh karenanya seolah-olah memiliki hak untuk ditaati dan tidak perlu dikenakan sanksi ketika tidak dapat menjalankan kewajibannya. Di pihak lain, pengguna jasa penerbangan, pemohon KTP atau Akta Kelahiran, dan peserta diklat, berada di posisi bawah, yang oleh karenanya harus menjalankan kewajibannya dan secara otomatis akan terkena sanksi manakala gagal memenuhi kewajibannya.

Posisi yang tidak simetris dalam hubungan antara service provider dengan costumer (pelanggan), antara aparat pemerintah dengan masyarakat, dan antara penyelenggara/pembicara diklat dengan peserta, sesungguhnya merefleksikan hubungan yang kurang demokratis. Ketimpangan hubungan selalu identik dengan praktek dominasi, monopoli, dan kooptasi satu pihak terhadap pihak lainnya. Kalaupun hubungan itu tetap dipertahankan asimetris, semestinya pelanggan, masyarakat, dan peserta diklat-lah yang harus berada diposisi atas. Paradigma “daulat modal” dan “daulat tuanku penguasa” harus diganti secara total dengan “daulat rakyat”. Sebab, sebuah perusahaan akan bangkrut tanpa pelanggan, suatu negara akan bubar tanpa adanya rakyat, dan lembaga diklat tidak berarti apa-apa tanpa peserta.

Sayangnya, jargon “pelanggan adalah raja” hanyalah bohong belaka. Buktinya adalah lahirnya UU Konsumen untuk melindungi masyarakat dari praktek bisnis yang tidak jarang merugikan pelanggan dibalik dalih-dalih yang melenakan. Demikian pula, jargon “menempatkan kepentingan rakyat diatas kepentingan pribadi dan golongan” juga belum sepenuhnya berjalan. Itulah sebabnya, akhir 2009 lalu lahir UU Pelayanan Publik yang bertujuan untuk menjamin kepastian hukum dan pemenuhan hak-hak masyarakat oleh aparat pemerintah. Jika sektor privat dan sektor pemerintah sudah memiliki jargon (terlepas dari soal implementasinya), tidak ada salahnya lembaga diklat juga memiliki jargon untuk pesertanya.

Jargon itu jelas bukan sekedar pemanis bibir, namun harus diresapkan dalam seluruh rangkaian perilaku perusahaan, aparat pemerintah, serta lembaga diklat guna menciptakan tata hubungan yang lebih sejajar, egaliter, dan demokratis dengan “konstituen”-nya. Maka, ketika terjadi keterlambatan penerbangan, sudah selayaknya jika pihak maskapai menyediakan kompensasi yang pantas tanpa harus dikalkulasi dengan nilai tiket yang dibeli calon penumpang. Demikian pula ketika pelayanan KTP atau Akta Kelahiran terlambat, sikap ramah dan permohonan maaf yang tulus harus disampaikan disertai dengan janji untuk memperbaiki kinerja pelayanannya. Sama halnya dalam soal penyelenggaraan diklat. Ketika manajemen tidak dapat menghindari terjadinya keterlambatan (meski diakibatkan oleh pihak luar, yakni pembicara), tidak pada tempatnya peserta harus menerima sanksi karena keterlambatannya.

Prinsip kesetaraan seperti inilah yang menurut saya harus dipegang teguh oleh semua pihak yang berhubungan dengan pihak diluar dirinya, sebab prinsip ini berkaitan erat dengan nilai keadilan (justice) dan perlakuan yang adil (fairness) …

Kampus Pejompongan Jakarta
Senin, 4 Juli 2011

Tidak ada komentar: