“Ketimpangan”
adalah sebuah kata yang selalu negatif. Ketimpangan pembangunan antar daerah
atau antar sektor, ketimpangan antara hak dan kewajiban, ketimpangan antara
mimpi dan realita, atau apapun … ketimpangan selalu tidak mengenakkan. Contoh
gampang yang sering kita alami, pengguna jasa penerbangan jika terlambat
sedikit saja dapat terancam tidak dapat check-in
atau bahkan tertinggal pesawat. Namun penyedia jasa penerbangan seolah
boleh terlambat berapa lama-pun, sementara penumpang setia menunggu hingga saat
boarding tiba. Kasus ketimpangan lain
bisa kita lihat misalnya saat mengurus perpanjangan KTP atau Akta Kelahiran.
Dalam KTP atau UU Kependudukan diatur bahwa jika kita terlambat mengurusnya
maka akan dikenakan denda dalam jumlah tertentu. Namun jika Kecamatan atau
Dinas Kependudukan bekerja melebihi batas waktu yang ditentukan dalam SOP
mereka, seolah bukan hal yang aneh dan tidak perlu dikenakan sanksi tertentu.
Nah,
dalam program diklat-pun hal seperti ini bisa terjadi. Seperti yang saya alami
hari ini, hanya gara-gara terlambat 5 menit saya “terpaksa” menerima sanksi
absensi di kartu kuning. Padahal, begitu masuk kelas, ternyata proses
pembelajaran belum dimulai karena pembicaranya, Budiman Sujatmiko, belum hadir.
Dia baru hadir 25 menit kemudian, namun toh
tidak dianggap sebagai persoalan besar. Kasus yang lebih parah terjadi minggu
sebelumnya ketika kelas sudah menunggu selama 45 menit, tetapi pembicara yang
ditunggu-tunggu, Tomy A. Legowo, tidak kunjung menampakkan batang hidungnya
dengan alasan terjebak kemacetan Jakarta. Akhirnya, peserta-lah yang harus
menyesuaikan diri dengan pembicara, bukan pembicara yang tidak disiplin yang
dikenakan sanksi.
Kasus-kasus
ketimpangan diatas menggambarkan adanya asymmetric
position antar dua pihak yang berkepentingan. Di satu pihak, penyedia jasa
penerbangan, Kecamatan, Dinas Kependudukan, penyelenggara Diklat, atau
pembicara/nara sumber Diklat, berada pada posisi diatas, yang oleh karenanya seolah-olah
memiliki hak untuk ditaati dan tidak perlu dikenakan sanksi ketika tidak dapat
menjalankan kewajibannya. Di pihak lain, pengguna jasa penerbangan, pemohon KTP
atau Akta Kelahiran, dan peserta diklat, berada di posisi bawah, yang oleh
karenanya harus menjalankan kewajibannya dan secara otomatis akan terkena
sanksi manakala gagal memenuhi kewajibannya.
Posisi
yang tidak simetris dalam hubungan antara service
provider dengan costumer (pelanggan),
antara aparat pemerintah dengan masyarakat, dan antara penyelenggara/pembicara
diklat dengan peserta, sesungguhnya merefleksikan hubungan yang kurang
demokratis. Ketimpangan hubungan selalu identik dengan praktek dominasi,
monopoli, dan kooptasi satu pihak terhadap pihak lainnya. Kalaupun hubungan itu
tetap dipertahankan asimetris, semestinya pelanggan, masyarakat, dan peserta
diklat-lah yang harus berada diposisi atas. Paradigma “daulat modal” dan
“daulat tuanku penguasa” harus diganti secara total dengan “daulat rakyat”. Sebab,
sebuah perusahaan akan bangkrut tanpa pelanggan, suatu negara akan bubar tanpa
adanya rakyat, dan lembaga diklat tidak berarti apa-apa tanpa peserta.
Sayangnya,
jargon “pelanggan adalah raja” hanyalah bohong belaka. Buktinya adalah lahirnya
UU Konsumen untuk melindungi masyarakat dari praktek bisnis yang tidak jarang merugikan
pelanggan dibalik dalih-dalih yang melenakan. Demikian pula, jargon
“menempatkan kepentingan rakyat diatas kepentingan pribadi dan golongan” juga
belum sepenuhnya berjalan. Itulah sebabnya, akhir 2009 lalu lahir UU Pelayanan
Publik yang bertujuan untuk menjamin kepastian hukum dan pemenuhan hak-hak
masyarakat oleh aparat pemerintah. Jika sektor privat dan sektor pemerintah
sudah memiliki jargon (terlepas dari soal implementasinya), tidak ada salahnya
lembaga diklat juga memiliki jargon untuk pesertanya.
Jargon
itu jelas bukan sekedar pemanis bibir, namun harus diresapkan dalam seluruh
rangkaian perilaku perusahaan, aparat pemerintah, serta lembaga diklat guna
menciptakan tata hubungan yang lebih sejajar, egaliter, dan demokratis dengan
“konstituen”-nya. Maka, ketika terjadi keterlambatan penerbangan, sudah selayaknya
jika pihak maskapai menyediakan kompensasi yang pantas tanpa harus dikalkulasi
dengan nilai tiket yang dibeli calon penumpang. Demikian pula ketika pelayanan
KTP atau Akta Kelahiran terlambat, sikap ramah dan permohonan maaf yang tulus
harus disampaikan disertai dengan janji untuk memperbaiki kinerja pelayanannya.
Sama halnya dalam soal penyelenggaraan diklat. Ketika manajemen tidak dapat menghindari
terjadinya keterlambatan (meski diakibatkan oleh pihak luar, yakni pembicara),
tidak pada tempatnya peserta harus menerima sanksi karena keterlambatannya.
Prinsip
kesetaraan seperti inilah yang menurut saya harus dipegang teguh oleh semua
pihak yang berhubungan dengan pihak diluar dirinya, sebab prinsip ini berkaitan
erat dengan nilai keadilan (justice) dan
perlakuan yang adil (fairness) …
Kampus
Pejompongan Jakarta
Senin,
4 Juli 2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar