Sebelum
mengikuti Diklatpim Tingkat II, saya teramat sering mendengar kritik bahwa
Diklatpim tidak bermutu baik dalam proses maupun hasilnya. Saking sinisnya kritik tersebut, sampai memunculkan ungkapan bahwa
“kambing diberi dasi-pun pasti bisa lulus
diklatpim”. Jelas, ini ungkapan yang sangat keras bahkan lebih tepat
disebut sebagai penghinaan. LAN sebagai instansi pembina diklat, tentu merasa berkepentingan
untuk membuktikan bahwa hal tersebut tidaklah benar.
Jika
dalam jurnal ini saya membantah anggapan “sesat” tadi, itu bukan karena saya
orang LAN, namun karena saya adalah peserta Diklatpim II yang mengetahui secara
persis bagaimana model pembelajaran diberikan. Harus saya akui bahwa untuk
dapat mengikuti Diklatpim II secara benar, tidak hanya dibutuhkan fisik yang kuat,
namun juga intelektualitas diatas rata-rata, kesungguhan dan konsentrasi penuh
untuk menyerap seluruh materi, ketrampilan untuk mentransfer gagasan dan
konsep, kemampuan menganalisis masalah, hingga seni memimpin orang lain.
Syarat-syarat diatas memang tidak disebutkan sebagai syarat formal untuk bisa
mengikuti Diklatpim II, namun jika kita tidak memilikinya, maka kita hanya akan
menjadi peserta biasa-biasa saja.
Saya
merasakan betul ketika diberikan materi tentang systems thinking dan disiplin learning
organization lainnya, apalagi dengan perangkat analisisnya berupa causal loop diagram dan archetype, sedikit saja kita kehilangan
konsentrasi maka butuh energi ekstra untuk mengejarnya. Saya juga merasakan
betapa sulit memimpin diskusi kelompok yang terdiri dari orang-orang yang telah
memiliki jabatan cukup tinggi dan tingkat pendidikan relatif tinggi pula.
Singkatnya, setiap agenda pembelajaran memberi pengalaman baru dan tantangan
yang cukup berat, sehingga memberi dampak positif terhadap peningkatan knowledge, skill, dan attitude (KSA). Sekecil apapun
peningkatan KSA itu, Diklatpim telah berhasil melakukannya tanpa dapat dibantah
siapapun.
Memang,
boleh jadi ada benarnya bahwa alumni Diklatpim pada umumnya dan Diklatpim II
pada khususnya belum memenuhi kompetensi. Mungkin ada benarnya juga bahwa
alumni Diklatpim tidak mampu membawa perubahan signifikan dalam permanent system-nya. Namun hal itu
tidak cukup menjadi alasan untuk menyimpulkan bahwa Diklatpim tidak bermutu,
sehingga kambing berdasi-pun akan dengan mudah melaluinya. Banyak faktor yang menyebabkan
mengapa kompetensi alumni Diklatpim masih dibawah harapan. Selain karena belum
adanya direktori kompetensi yang semestinya disusun oleh BKN, proses membangun
kompetensi dan proses mendorong perubahan bukanlah sebuah produk instan dari
program diklat yang hanya berjalan antara 5 hingga 11 minggu.
Maka,
Diklatpim saja tidaklah memadai, sebagaimana KRA Lemhanas saja tidak akan
memadai. Bahkan seseorang yang sudah meraih gelar S3 atau Profesor sekalipun, tidak
akan mudah membuat perubahan dalam organisasinya. Diklat memang penting, namun
saya pribadi yakin tidak ada satupun teori yang menyatakan bahwa diklat adalah
satu-satunya cara untuk mendorong perubahan dan membangun kompetensi
organisasi. Oleh karena itu, jika ada orang yang masih berpikir bahwa alumni
Diklatpim ibarat mobil baru yang baru keluar dari pabriknya dan siap melaju
kencang, adalah sebuah ekspektasi yang berlebihan. Harapan yang lebih realistis
adalah bahwa mereka (para alumni diklat) memiliki modal cukup untuk melanjutkan
proses pembelajaran bersama orang lain dalam lingkungannya. Maknanya, diklat
hanyalah pemicu (trigger) atau
pengungkit (leverage) untuk
terjadinya perubahan yang dicita-citakan, bukan pembuat perubahan itu sendiri.
Pertanyaan
yang relevan untuk diajukan kemudian adalah: bagaimana membuat penyelenggaraan
Diklatpim lebih berdaya guna? Atau, bagaimana menciptakan sistem yang lebih
menjamin para alumni Diklatpim memiliki kemampuan untuk mengakselerasi
perubahan di permanent system-nya
masing-masing? Secara lebih sederhana, bagaimana melakukan reformasi Diklatpim
untuk meyakinkan semua pihak bahwa program ini benar-benar program unggulan
dalam mencetak SDM aparatur yang professional?
Langkah
pertama yang diperlukan, menurut saya, adalah mencari kelemahan mendasar dari
sistem yang berjalan selama ini, dan pada sistem yang lemah itulah dilakukan
perbaikan. Saya sendiri memandang bahwa salah satu kelemahan mendasar intake atau standar kualitas calon
peserta yang tidak seragam. Faktanya, ada peserta yang hanya berpendidikan S1,
namun ada juga yang S3 bahkan Profesor. Ada yang masih berpangkat IV-a, namun
ada pula yang sudah mencapai pangkat IV-d. Ada yang masih menjabat Eselon III
baru (dibawah 2 tahun), ada pula yang sudah menduduki jabatan Eselon II senior
(3 tahun atau lebih). Ada yang telah menghasilkan banyak karya-karya besar
(menerbitkan buku, menulis di media massa nasional, memaparkan hasil penelitian
di forum internasional, dll), ada pula yang tidak memiliki track record akademik yang memadai. Ada yang sangat terbiasa dengan
aktivitas membaca dan browsing internet,
ada yang masih gaptek dengan komputer dan tidak tahu sama sekali apa itu
internet. Secara psikologis saja, kesenjangan tersebut akan menimbulkan rasa
minder bagi mereka yang kebetulan berada pada situasi yang tidak menguntungkan.
Oleh
sebab itu, alangkah baiknya jika dilakukan pemetaan awal terhadap latar
belakang peserta (tingkat pendidikan, pengalaman, jenis keterampilan yang
dikuasai, prestasi yang diraih, dll) sebelum pemanggilan mereka untuk mengikuti
Diklatpim. Penyelenggara harus benar-benar memiliki info lengkap tentang
kelebihan dan kekurangan calon peserta yang akan dipanggil. Dari pemetaan awal
tadi, kemudian dilakukan klasifikasi peserta, sehingga akan diperoleh tingkat
kemampuan peserta yang relatif berimbang, yang ketika masuk dalam program
Diklatpim nantinya dapat diharapkan muncul persaingan yang seimbang.
Tentu
masih banyak konsep reformasi yang bisa digagas. Namun dengan satu jenis
perbaikan ini saja menurut saya sudah cukup efektif untuk membuktikan bahwa
alumni Diklatpim tidak selayaknya disejajarkan dengan kambing berdasi. Alumni
Diklatpim adalah kader-kader pemimpin terbaik asset nasional yang siap menjadi agen
perubahan atau transformer bagi pembangunan organisasi publik yang jauh lebih baik.
Semoga!
Kampus
Pejompongan Jakarta
Kamis, 7 Juli 2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar