Tipe
peserta pertama adalah The Politician (si
politikus). Ciri dasarnya adalah sering memaksakan kehendak dalam menyampaikan
pendapat atau pertanyaan. Tanpa menunggu dipersilakan oleh moderator, manusia
tipe politisi ini langsung memencet mike
dan “memaksa” moderator untuk mengakomodir permintaannya. Dia merasa bahwa
pendapatnya-lah yang paling penting, sehingga menjadikan dirinya intoleran
terhadap hak yang sama dari peserta lain, sekaligus mengabaikan aspek etika
dialog dengan menyerobot wewenang pimpinan rapat. Dengan kata lain, manusia
tipe politikus ini kurang memahami esensi dialog, dan lebih mengedepankan debat.
Itulah sebabnya, pembahasan di sidang-sidang DPR/DPRD sering tidak efektif,
bahkan sering diwarnai dengan percekcokan hingga perkelahian.
Tipe
kedua adalah The Boss. Manusia tipe
ini ingin selalu dipatuhi dan diikuti, dan sering mengklaim bahwa orang yang
mengikuti kemauannya sedang memboikotnya. Dengan kelakuannya yang bossy, dia sering menggratiskan
teman-temannya untuk menunjukkan bahwa dia memang seorang “bos”. Manusia tipe
ini kurang bisa mengakomodir pemikiran orang lain dan menerima perbedaan pendapat.
Komunikasi cenderung bersifat searah, karena si “boss” menempatkan dirinya
sebagai pusat dari pusaran orang-orang di sekitarnya. Prinsip orang seperti ini
adalah: “orang lainlah yang harus menyimak dirinya, bukan dirinya yang perlu
mendengar orang lain”. Dikaitkan dengan teori kepemimpinan, orang dengan tipe “boss”
ini sesungguhnya lebih mencerminkan diri selaku manajer, dan bukan pemimpin.
Tipe
ketiga adalah The Common (orang
biasa-biasa saja). Ciri-ciri orang yang memiliki tipe ini adalah tidak memiliki
ambisi dan visi yang kuat, secara sadar merasa dirinya tidak punya potensi,
melihat orang lain lebih hebar, serta sering berdalih hidup secara “mengalir” padahal
esensinya adalah untuk mengelak dari tangungjawab yang lebih besar. Dengan
sikapnya yang pasif, manusia tipe ini cenderung tidak mau mengambil peran yang
lebih aktif dalam dinamika kelas maupun kelompok. Bahkan untuk dirinya
sendiri-pun mereka tidak menunjukkan usaha yang gigih, malah memilih melakukan
langkah-langkah pragmatisme yang kurang konstruktif. Prinsip yang sering keluar
dari manusia tipe ini misalnya: “dari pada pulang gila, lebih baik pulang
bodo”, atau “yang penting lulus”. Ungkapan yang lebih miris saya terima
langsung dari salah seorang peserta yang menginginkan agar diklat dipercepat,
atau kalau perlu dihentikan pada minggu ke-4 ini, dan mereka tidak akan
menuntut pengembalian uang kontribusi yang sudah disetorkan. Tanpa disadari, tipe
“orang biasa-biasa saja” seperti ini adalah para penunggang bebas (free riders; istilah Jawa: numpang mulya) dari orang-orag
disekitarnya yang bekerja lebih keras dan serius.
Tipe
selanjutnya adalah The Entertainer
(penghibur). Dengan mudah dapat diduga, manusia tipe ini jauh lebih aktif
ketika istirahat dibanding saat forum diskusi di kelas. Saat-saat istirahat
adalah waktu emas mereka karena berkesempatan mendemonstrasikan suara emasnya.
Tipe
kelima adalah The Double Face (si
muka ganda). Tipe ini adalah orang yang ingin mendapatkan keuntungan sebesar
mungkin dengan upaya seminim mungkin. Sebagai contoh, ada orang yang bermimpi
menjadi yang terbaik namun menggunakan jasa orang lain untuk menghasilkan
produk pembelajaran tertentu. Atau, terjadi beberapa kasus peserta yang mengisi
daftar hadir namun tidak berada di kelas. Artinya, dia ingin mendapat nilai
kehadiran tanpa kehadiran secara fisik.
Diluar
kelima karakter diatas, boleh jadi masih ada beberapa karakter yang lain. Salah
satunya adalah tipe pembelajar (The Learner)
atau tipe idealis. Orang seperti ini berpandangan bahwa ditengah-tengah
merebaknya pragmatisme, harus tetap ada orang yang mengusung idealism. Ditengah-tengah
disfungsi sistemik, keberadaan orang yang jujur dan lurus tetap saja sangat
dibutuhkan, meskipun orang tersebut tidak mampu merombak sistem. Meminjam
analisis Ranggawarsita, meski kita hidup di jaman edan (gila) dan diantara orang-orang edan, tetap saja orang yang eling
lan waspada (berpegang teguh pada kebenaran dan tidak mudah terseret oleh
godaan lingkungan) adalah orang yang lebih baik. Maka, prinsip orang bertipe
pembelajar ini adalah: “biarlah orang
lain … asal saya tidak”, misalnya: “biarlah
orang lain memanfaatkan jasa ghost writer, asal saya tidak; biarlah orang
memanipulasi daftar hadir, asal saya tidak”, dan seterusnya.
Dalam
konteks organisasi, perbedaan-perbedaan karakter tersebut adalah fakta yang
hampir mustahil dihindarkan. Oleh karena itu, keragaman itu adalah sesuatu yang
alamiah dan sepanjang tidak menjurus kearah persaingan yang tidak sehat,
mungkin tidak terlalu perlu dirisaukan. Namun pada komunitas pembelajar seperti
Diklatpim, tipe pertama hingga kelima rasanya kurang sesuai. Pola dasar
masing-masing orang tentu sah-sah saja untuk dilanjutkan, namun hendaknya
karakter pembelajar seyogyanya diresapkan dengan baik, sebab lingkungan diklat
memang lingkungan pembelajaran, bukan lingkungan untuk saling menunjukkan
egoisme jabatan di permanent system si
peserta.
Saya
tidak tahu apakah pada minggu-minggu selanjutnya karakter asli peserta akan
semakin menonjol ataukah kembali ke pola pembelajar. Saya pribadi memiliki
hipotesis bahwa gejala perubahan karakter pada minggu ke-4 ini membuktikan
bahwa merubah mind-set benar-benar
sebuah proses yang teramat sulit. Empat minggu penggemblengan di kampus
ternyata tidak menghilangkan perilaku lama yang kurang baik, justru
mengembalikan pada karakter aslinya. Boleh jadi, karakter-karakter aneh tadi
merupakan manifestasi dari kejenuhan yang makin menggumpal. Namun saya tetap
berharap, semoga saja di sisa tujuh minggu berikutnya akan semakin membuat
positif mental model dan mind-set peserta.
Kampus
Pejompongan Jakarta
Rabu,
6 Juli 2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar