Kamis, 07 Juli 2011

Mental Model di Minggu Ke-4

Tidak terasa, program Diklatpim II yang kami ikuti sudah berada di ujung minggu ke-4, atau hampir menyelesaikan 1 (satu) kajian, yakni kajian paradigma. Tidak terasa pula, perilaku beberapa peserta mengalami perubahan dan semakin menunjukkan karakter asli dari peserta tersebut.

Tipe peserta pertama adalah The Politician (si politikus). Ciri dasarnya adalah sering memaksakan kehendak dalam menyampaikan pendapat atau pertanyaan. Tanpa menunggu dipersilakan oleh moderator, manusia tipe politisi ini langsung memencet mike dan “memaksa” moderator untuk mengakomodir permintaannya. Dia merasa bahwa pendapatnya-lah yang paling penting, sehingga menjadikan dirinya intoleran terhadap hak yang sama dari peserta lain, sekaligus mengabaikan aspek etika dialog dengan menyerobot wewenang pimpinan rapat. Dengan kata lain, manusia tipe politikus ini kurang memahami esensi dialog, dan lebih mengedepankan debat. Itulah sebabnya, pembahasan di sidang-sidang DPR/DPRD sering tidak efektif, bahkan sering diwarnai dengan percekcokan hingga perkelahian.

Tipe kedua adalah The Boss. Manusia tipe ini ingin selalu dipatuhi dan diikuti, dan sering mengklaim bahwa orang yang mengikuti kemauannya sedang memboikotnya. Dengan kelakuannya yang bossy, dia sering menggratiskan teman-temannya untuk menunjukkan bahwa dia memang seorang “bos”. Manusia tipe ini kurang bisa mengakomodir pemikiran orang lain dan menerima perbedaan pendapat. Komunikasi cenderung bersifat searah, karena si “boss” menempatkan dirinya sebagai pusat dari pusaran orang-orang di sekitarnya. Prinsip orang seperti ini adalah: “orang lainlah yang harus menyimak dirinya, bukan dirinya yang perlu mendengar orang lain”. Dikaitkan dengan teori kepemimpinan, orang dengan tipe “boss” ini sesungguhnya lebih mencerminkan diri selaku manajer, dan bukan pemimpin.

Tipe ketiga adalah The Common (orang biasa-biasa saja). Ciri-ciri orang yang memiliki tipe ini adalah tidak memiliki ambisi dan visi yang kuat, secara sadar merasa dirinya tidak punya potensi, melihat orang lain lebih hebar, serta sering berdalih hidup secara “mengalir” padahal esensinya adalah untuk mengelak dari tangungjawab yang lebih besar. Dengan sikapnya yang pasif, manusia tipe ini cenderung tidak mau mengambil peran yang lebih aktif dalam dinamika kelas maupun kelompok. Bahkan untuk dirinya sendiri-pun mereka tidak menunjukkan usaha yang gigih, malah memilih melakukan langkah-langkah pragmatisme yang kurang konstruktif. Prinsip yang sering keluar dari manusia tipe ini misalnya: “dari pada pulang gila, lebih baik pulang bodo”, atau “yang penting lulus”. Ungkapan yang lebih miris saya terima langsung dari salah seorang peserta yang menginginkan agar diklat dipercepat, atau kalau perlu dihentikan pada minggu ke-4 ini, dan mereka tidak akan menuntut pengembalian uang kontribusi yang sudah disetorkan. Tanpa disadari, tipe “orang biasa-biasa saja” seperti ini adalah para penunggang bebas (free riders; istilah Jawa: numpang mulya) dari orang-orag disekitarnya yang bekerja lebih keras dan serius.

Tipe selanjutnya adalah The Entertainer (penghibur). Dengan mudah dapat diduga, manusia tipe ini jauh lebih aktif ketika istirahat dibanding saat forum diskusi di kelas. Saat-saat istirahat adalah waktu emas mereka karena berkesempatan mendemonstrasikan suara emasnya.

Tipe kelima adalah The Double Face (si muka ganda). Tipe ini adalah orang yang ingin mendapatkan keuntungan sebesar mungkin dengan upaya seminim mungkin. Sebagai contoh, ada orang yang bermimpi menjadi yang terbaik namun menggunakan jasa orang lain untuk menghasilkan produk pembelajaran tertentu. Atau, terjadi beberapa kasus peserta yang mengisi daftar hadir namun tidak berada di kelas. Artinya, dia ingin mendapat nilai kehadiran tanpa kehadiran secara fisik.

Diluar kelima karakter diatas, boleh jadi masih ada beberapa karakter yang lain. Salah satunya adalah tipe pembelajar (The Learner) atau tipe idealis. Orang seperti ini berpandangan bahwa ditengah-tengah merebaknya pragmatisme, harus tetap ada orang yang mengusung idealism. Ditengah-tengah disfungsi sistemik, keberadaan orang yang jujur dan lurus tetap saja sangat dibutuhkan, meskipun orang tersebut tidak mampu merombak sistem. Meminjam analisis Ranggawarsita, meski kita hidup di jaman edan (gila) dan diantara orang-orang edan, tetap saja orang yang eling lan waspada (berpegang teguh pada kebenaran dan tidak mudah terseret oleh godaan lingkungan) adalah orang yang lebih baik. Maka, prinsip orang bertipe pembelajar ini adalah: “biarlah orang lain … asal saya tidak”, misalnya: “biarlah orang lain memanfaatkan jasa ghost writer, asal saya tidak; biarlah orang memanipulasi daftar hadir, asal saya tidak”, dan seterusnya.

Dalam konteks organisasi, perbedaan-perbedaan karakter tersebut adalah fakta yang hampir mustahil dihindarkan. Oleh karena itu, keragaman itu adalah sesuatu yang alamiah dan sepanjang tidak menjurus kearah persaingan yang tidak sehat, mungkin tidak terlalu perlu dirisaukan. Namun pada komunitas pembelajar seperti Diklatpim, tipe pertama hingga kelima rasanya kurang sesuai. Pola dasar masing-masing orang tentu sah-sah saja untuk dilanjutkan, namun hendaknya karakter pembelajar seyogyanya diresapkan dengan baik, sebab lingkungan diklat memang lingkungan pembelajaran, bukan lingkungan untuk saling menunjukkan egoisme jabatan di permanent system si peserta.

Saya tidak tahu apakah pada minggu-minggu selanjutnya karakter asli peserta akan semakin menonjol ataukah kembali ke pola pembelajar. Saya pribadi memiliki hipotesis bahwa gejala perubahan karakter pada minggu ke-4 ini membuktikan bahwa merubah mind-set benar-benar sebuah proses yang teramat sulit. Empat minggu penggemblengan di kampus ternyata tidak menghilangkan perilaku lama yang kurang baik, justru mengembalikan pada karakter aslinya. Boleh jadi, karakter-karakter aneh tadi merupakan manifestasi dari kejenuhan yang makin menggumpal. Namun saya tetap berharap, semoga saja di sisa tujuh minggu berikutnya akan semakin membuat positif mental model dan mind-set peserta.

Kampus Pejompongan Jakarta
Rabu, 6 Juli 2011

Tidak ada komentar: