Dalam
dunia pendidikan dan pengajaran, sebuah persaingan adalah hal yang lumrah dan
bahkan dianjurkan. Namun, lazimnya persaingan itu terjadi antar siswa atau
peserta diklat, dan kurang lazim jika terjadi diantara para pendidik. Disamping
itu, persaingan juga akan menjadi indah jika dilakukan dengan cara-cara sehat
dan terhormat.
Nah,
ada hal baru yang saya temui dan ketahui tentang psikologi widyaiswara.
Ternyata, mereka tidak sekedar menyampaikan materi, membimbing, atau menjadi
mitra pembelajaran bagi peserta Diklatpim II. Lebih dari itu, mereka juga
memiliki “ambisi” untuk menjadi yang terbaik dibanding widyaiswara lainnya,
baik dimata peserta maupun penilaian penyelenggara. Dengan kata lain, ada
persaingan tersembunyi dibalik kekompakan para widyaiswara tersebut. Uniknya,
hasrat menjadi yang terbaik tadi dikemas dengan target menjadikan kelompok yang
dibimbing agar lebih baik dibanding kelompok bimbingan widyaiswara yang lain.
Lebih unik lagi, empat widyaiswara pembimbing memiliki semangat yang sama untuk
menjadi yang terbaik melalui penampilan terbaik dari kelompok binaannya. Hal
ini saya ketahui dari hasil bincang-bincang dengan anggota kelompok yang lain
dalam kesempatan informal seperti makan malam, foto copy, dan lain-lain.
Tentu
saja, target menjadikan peserta didiknya menjadi yang terbaik adalah sebuah
misi yang sangat mulia dari seorang pendidik, asalkan jalan menuju yang terbaik
tadi benar-benar ditempuh melalui proses pembelajaran yang terbaik pula. Namun
yang kami alami tidaklah seperti itu. Untuk mewujudkan dirinya sebagai yang
terbaik melalui penampilan kelompok yang terbaik tadi, seorang widyaiswara sampai
merasa perlu memberikan trik cara menjawab pertanyaan kelompok lain, atau
memberikan seluruh materi ajarnya di awal-awal pertemuan, atau bahkan turut
mengoreksi hasil kerja kelompok meski terhitung koreksi tidak bermakna. Saya
sempat terhenyak ketika slide powerpoint
kelompok tertentu masih ada footer bertuliskan:
“Created by … (nama salah seorang
widyaiswara)”. Maknanya jelas, peserta meng-copy
file widyaiswara dan tinggal mengganti bagian-bagian tertentu sesuai
kebutuhan. Seorang teman di kelompok lain juga mengeluh dengan “intervensi”
widyaiswara yang hanya merubah penulisan B4 (misalnya) menjadi B-4. Disisi
lain, ada widyaiswara yang mengkritik pertanyaan anggota kelompok lain yang
dinilainya tidak tepat. Masih banyak lagi penggalan-penggalan cerita yang
menarik dibalik persaingan terselubung tadi.
Singkatnya,
peserta diklat pada fase pembelajaran Kajian Kebijakan Publik saat ini merasa
agak “bergairah” dibanding pada tahap pembelajaran sebelumnya yakni Kajian
Paradigma. Peserta terlihat sangat enjoy
mengikuti irama widyaiswara pembimbingnya masing-masing dan memberikan tepuk
tangan setiap kali mereka memuji kelompok sendiri dan merendahkan kelompok
lain. Jika didalami lebih cermat, yang terjadi bukanlah widyaiswara yang
memanfaatkan peserta untuk membangun citra dirinya, melainkan pesertalah yang
mendapatkan tontonan dan permainan yang menyegarkan ditengah-tengah himpitan
tugas yang makin menggila.
Selain
aura persaingan tadi, saya melihat peserta agak merasa janggal ketika di akhir
presentasi DIT (Diskusi Issu Terpilih), hanya koordinator widyaiswara yang
memberikan komentar umum terhadap paparan keempat kelompok, sementara ketiga
widyaiswara lainnya tetap duduk di barisan belakang peserta dan tidak diberikan
hak untuk memberi komentar, tanggapan atau saran perbaikan. Kesan yang muncul,
sang koordinator memiliki kemampuan lebih dibanding widyaiswara lainnya dan
memanfaatkan posisinya untuk memperkuat diri pada peta persaingan yang ada.
Saya sendiri langsung mengasosiasikan pemandangan ini dengan cara kerja
birokrasi yang sangat menghormati struktur dan jabatan, bukan kompetensi dan
profesionalitas. Mestinya, dunia widyaiswara yang notabene adalah jabatan fungsional tidak lagi terjangkiti penyakit
birokrasi, namun faktanya masih saja ada widyaiswara yang bergaya birokrat
murni.
Situasi
seperti ini sangat kontras dibanding gaya yang diperagakan empat widyaiswara
pada sessi Kajian Paradigma. Kekompakan mereka bukan lagi di permukaan, namun
nampaknya lebih merasuk dalam bentuk penjiwaan profesi. Jikapun diantara merea
masih ada persaingan, peserta tidak bisa mendeteksi sekecil apapun. Koordinator
widyaiswara waktu itu juga memberi kesempatan yang sama kepada seluruh
widyaiswara untuk memberi komentar terhadap hasil kerja kelompok binaannya maupun
kelompok lainnya. Komentar-komentar mereka juga sangat berimbang, memberi apresiasi
terhadap prestasi namun juga memberi koreksi terhadap kekurangan disana-sini. Mereka
juga kompak dan saling memperkuat dalam memberi tanggapan, tidak terlihat adanya
hasrat saling mengungguli, saling menggurui, atau saling memotong.
Dalam
upaya transfer of knowledge, mereka cenderung
membiarkan peserta untuk melakukan segala upaya dan menggali kreativitasnya masing-masing.
Maka, bahan-bahan ajar dalam bentuk soft-files
baru mereka berikan di akhir pembelajaran. Meski peserta saat itu merasa seperti
tidak diarahkan sebagaimana mestinya, ternyata cara itu saat ini dirasakan jauh
efektif dalam menumbuhkan semangat belajar. Hasilnya-pun ternyata relatif lebih
baik dibanding pola yang saat ini berlangsung, yakni widyaiswara menyediakan template dan peserta tinggal melengkapinya.
Meskipun
gaya widyaiswara di Kajian Kebijakan Publik ini sangat kontras dengan widyaiswara
sebelumnya, dan meskipun kebanyakan peserta merasakan adanya shock therapy, namun semuanya kami sikapi
sebagai bentuk pembelajaran. Perubahan kelompok, perubahan widyaiswara, perubahan
gaya belajar, perubahan materi, dan berbagai perubahan lainnya, kami yakini sebagai
bentuk latihan yang sangat baik guna mempersiapkan diri kembali ke permanent system nantinya. Seringkali, kita
justru akan dapat banyak mengambil kebaikan dari situasi dimana kita tidak menginginkannya.
Yang terpenting adalah mental model kita yang harus siap menghadapi perubahan, apapun
bentuknya, dan seberapa pun tinggi intensitasnya. Dengan mental model yang baik,
jangankan sebuah kebaikan, suatu kondisi yang tidak diharapkanpun akan selalu menjelma
menjadi peluang meraih kebaikan. Inilah esensi seorang pembelajar, sekaligus tantangan
seorang pemimpin …
Kampus
Pejompongan Jakarta
Kamis,
14 Juli 2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar