Namun,
nampaknya himbauan tinggal sebagai himbauan, dan pakta integritas-pun hanya
menjadi formalitas belaka. Hingga saat ini belum ditemukan formula yang manjur
untuk menghapuskan fenomena ghost writer ini.
Penyakit ini rupanya sudah mengakar dalam tradisi pendidikan di Indonesia,
sehingga tidak aneh jika jasa pembuatan karya tulis terjadi di seluruh lini
pendidikan sejak tingkat Sarjana (S1), Master (S2), Doktor (S3), hingga pemenuhan
syarat sebagai Profesor atau jabatan fungsional tertentu. Jika di
lembaga-lembaga pendidikan formal yang begitu terhormat masih dijumpai praktek
menyimpang seperti itu, apalagi “hanya” di tingkat pendidikan dan pelatihan
yang seringkali tidak memberikan civil
effect bagi alumninya.
Munculnya
fenomena ini, selain karena faktor pasar bertemunya permintaan dan penawaran,
juga bisa dilihat sebagai sebuah simbiose mutualisme antara pengguna jasa dan
penyedia jasa. Disatu pihak, pengguna jasa, yakni peserta diklat, sering
dihadapkan pada permasalahan seperti kelelahan, konsentrasi yang terbelah
karena masih menjalankan tugas-tugas kantor, keterbatasan dalam mengoperasikan komputer
(gaptek) khususnya pemakaian aplikasi
vensim atau supersim, atau memang kadar inteligensia yang pas-pasan. Untungnya, pihak yang mengalami permasalahan ini pada
umumnya memiliki kemampuan finansial menengah keatas. Pada pihak lain, terdapat
sekelompok terpelajar yang memiliki kemampuan akademis cukup tinggi namun belum
memiliki sumber penghasilan yang permanen dan memadai kebutuhan hidupnya. Maka,
ibarat botol ketemu tutupnya, atau keris ketemu warangkanya, atau mur ketemu
bautnya, terjadilah interaksi dan transaksi yang saling menguntungkan kedua
belah pihak.
Yang
mengejutkan, tarif jasa intelektual ini lumayan murah, “hanya” berkisar antara 3
hingga 3,5 juta untuk seluruh produk individual, mulai dari TOR KTP-2, DIT 3
kajian (paradigma, kebijakan publik, dan manajemen strategis), serta KTP-2 itu
sendiri. Tentu, peserta juga akan dibantu dalam hal penyiapan slide
presentasinya. Dengan harga yang sangat kompetitif ini, orang yang tadinya
tidak berminat-pun jadi tergoda untuk memanfaatkan jasa si “hantu penulis”.
Godaan akan semakin besar ketika kita tahu bahwa para “hantu” tadi bukanlah
orang sembarangan, namun dapat dikatakan professional baik dalam manajemen
operasionalnya maupun SDM pelakunya. Bukti bahwa mereka bukan orang biasa,
mereka memiliki kemampuan yang tinggi dalam mengaplikasikan tools dan teknik-teknik analisis
manajemen yang diajarkan pada Diklatpim II, padahal mereka tidak pernah mengikuti
Diklatpim II sebelumnya. Lebih hebatnya lagi, mereka tidak hanya melayani
peserta selama berada di kampus, namun juga setelah kembali ke instansinya
masing-masing. Alumni yang karirnya meningkat dan menjadi kandidat Sekretaris
Daerah, atau balon (bakal calon) Kepala Daerah, biasanya akan kembali minta
bantuan jasa si “hantu” untuk pembuatan kertas kerja yang berisi tentang visi
misi calon Sekda atau Kepala Daerah.
Mencermati
peta situasi seperti itu, akan sangat sulit bagi penyelenggara diklat untuk
mencegah peserta agar tidak tergoda oleh ghost
writer tersebut. Dari pengamatan sehari-hari di asrama maupun di kelas,
saya pribadi memperkirakan bahwa pengguna jasa “illegal” ini mencapai 60 persen
dari total peserta.
Meskipun
fenomena ini sangat sulit dibasmi, bukan berarti tidak ada hal yang tidak bisa
dilakukan. Penyelenggara harus mengindentifikasi secara cermat faktor-faktor pendorongnya,
kemudian menentukan strategi yang jitu untuk mengatasinya. Sebagai contoh, jika
sejak awal sudah diketahui bahwa seorang peserta memiliki kendala dalam
mengoperasikan komputer, maka bisa saja penyelenggara menyediakan jasa resmi
pengetikan. Atau, penugasan apapun bagi peserta dengan jenis kesulitan ini
tidak perlu diketik, namun cukup dikerjakan dengan tulisan tangan. Sementara
itu jika peserta mengalami kesulitan dalam memahami materi yang diberikan, maka
kepadanya dapat diberikan penugasan lain dengan kadar kesulitan yang lebih
rendah, atau diberikan tambahan waktu untuk make-up,
atau dikelompokkan dengan peserta lain yang memiliki jenis kesulitan yang sama
agar menghasilkan produk pembelajaran secara kolektif (tidak dipaksa bekerja
secara individual). Intinya, setiap jenis kesulitan yang berbeda harus di-treatment dengan cara yang berbeda pula.
Dengan
pola penugasan yang didasarkan pada case
per case seperti ini, diharapkan para “hantu” yang bergentayangan dapat
ditekan secara signifikan. Wallahualam bissawab …
Kampus
Pejompongan Jakarta
Selasa,
5 Juli 2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar