Tema
Diklatpim Tingkat II Angkatan XXXI adalah “Akselerasi Sinergi Instansi
Pemerintah Dalam Mewujudkan Pembangunan Berkeadilan”. Munculnya tema ini
dilatarbelakangi oleh keprihatinan adanya mis-koordinasi antar instansi dalam
menjalankan program pemerintah. Hal ini diakui sendiri oleh Presiden yang pada Rakernas III tanggal 5 Agustus 2010, menyebutkan adanya permasalahan dalam
koordinasi antar institusi pemerintah termasuk antar kementerian. Kelemahan koordinasi ini terjadi dalam tataran horizontal antar kementerian maupun dalam tataran vertikal antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah, antar
pemerintah provinsi, dan antara pemerintah provinsi dengan pemerintah kabupaten/kota.
Maka,
mengangkat tema sinergi dalam Diklatpim II adalah sebuah keputusan yang sangat
tepat. Paling tidak ada dua alasan mengapa keputudsan ini dipandang sangat
tepat. Pertama, secara actual issu sinergi memang sedang menjadi problem bersama
di semua lini pemerintahan. Kedua, peserta Dikaltpim II adalah para
pejabat yang sedikit banyak bertanggungjawab terhadap berhasil atau gagalnya
sinergi antar instansi pemerintah.
Dengan
mengusung tema sinergi antar instansi tersebut, sesungguhnya program Diklatpim II
mengemban misi yang sangat berat. Mengapa demikian? Sebab, para peserta yang
dididik selama 11 minggu, pada saat kembali ke instansinya diharapkan menjadi
motor-motor penggerak yang melicinkan jalannya roda organisasi, yang memuluskan
perencanaan program hingga implementasinya, yang membuka sekat-sekat komunikasi
antar lembaga yang selama ini mampet atau tersendat, yang menjadi akselerator
pencapaian tujuan dan visi organisasi. Menciptakan kompetensi tersebut hanya
dalam 11 minggu, sesungguhnya adalah sebuah Mission
Impossible. Faktanya, sudah puluhan ribuan alumni Diklatpim berbagai
jenjang dihasilkan, tetap saja koordinasi menjadi masalah klasik yang tak
kunjung teratasi. “Koordinasi” dan “sinergi” benar-benar menjadi dua kata yang
sangat indah dan enak dibicarakan, namun teramat sulit untuk dilaksanakan.
Jangankan
dalam konteks organisasi yang besar seperti kementerian, provinsi, maupun
kabupaten/kota, dalam kelompok kecil seperti Kelas Diklatpim II yang terdiri
dari 60 orang, atau bahkan kelompok yang terdiri dari 15 orang, koordinasi-pun
sangat sulit dicapai. Kesulitan tadi makin membesar ketika tingkat keragaman
atau perbedaan dalam kelompok semakin membesar. Kesulitan dalam mencapai
kesamaan persepsi antar orang yang memiliki pandangan berbeda – apalagi ekstrem
– adalah salah satu contoh. Kesulitan juga dapat timbul saat ada anggota
kelompok/organisasi yang tidak peduli dengan kelompok/organisasinya, dan mencoba
mencari keuntungan di tengah berbagai kondisi dan kesempatan. Belum lagi jika
ada iklim persaingan yang tidak sehat, atau hasrat saling menjatuhkan diantara
anggota organisasi, maka koordinasi yang sinergis adalah kemustahilan belaka.
Ketika
kami bekerja dalam kelompok, sejatinya adalah sebuah miniatur dari organisasi
riil yang lebih besar. Jika kami gagal menjalin kerjasama dan koordinasi di
tingkat kelompok, sudah pasti kami-pun akan gagal melakukannya di tingkat yang
lebih besar. Namun jika kami berhasil melakukan koordinasi dengan baik di level
kelompok, hal itu belum merupakan jaminan untuk kami keberhasilan di level yang
lebih tinggi. Dalam situasi seperti itu, yang harus kami lakukan adalah
mengidentifikasikan faktor-faktor yang menjadi determinan sukses tidaknya
koordinasi. Hasilnya, tentu saja harus kami adopsi ke tingkat permanent system agar persoalan koordinasi
selama ini dapat diurai meski tidak secara signifikan.
Berdasarkan
pencermatan saya dari proses kerja kelompok selama ini, koordinasi akan
berkembang positif jika terpenuhi beberapa prasyarat, antara lain: anggota
kelompok memiliki rasa saling percaya diantara anggota, ada hasrat untuk saling
mengisi, didukung kemampuan mengendalikan diri untuk tidak mendominasi, ada kemauan
untuk berpartisipasi agar tidak menjadi free
rider bagi kelompok lain, dan selalu berpikiran positif (positive thinking).
Dalam
alam realita, hampir mustahil kondisi ideal tersebut ditemukan. Selalu saja ada
orang yang ingin menonjol namun sebaliknya ada pula yang cenderung introvert.
Selain itu, ada saja orang yang tidak senang orang lain maju sehingga berusaha
untuk menjegal di tengah jalan. Namanya hidup dan kehidupan, selalu penuh
dengan dinamika hingga intrik yang membuat hidup dan kehidupan menjadi tidak
monoton dan penuh tantangan. Dalam kondisi seperti itu, maka adanya otoritas
yang jelas dan dilaksanakan oleh orang yang kuat, akan menjadi solusi untuk
membangun koordinasi dan sinergi dalam interaksi antar manusia. Jika otoritas
tadi tidak kokoh dan tidak dihormati, maka akan cenderung muncul
kekuatan-kekuatan tandingan yang menolak berada dibawah hegemoni kekuatan
tertentu. Inilah barangkali yang menjelaskan mengapa pada sistem yang
sentralistis, koordinasi dan sinergi justru lebih mudah dijaga dibanding pada
sistem yang demokratis dan terdesentralisasi. Semakin demokratis sebuah negeri,
maka semakin dibutuhkan pemimpin yang kuat. Jika tidak, maka hancurnya sinergi
dan koordinasi akan menjadi harga (cost)
yang terpaksa harus diterima.
Kampus
Pejompongan Jakarta
Rabu,
6 Juli 2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar