Pagi
ini setelah senam pagi, ketua kelas mengumumkan bahwa pada hari Senin, 1
Agustus 2011, tidak akan ada pembelajaran, setelah mendapat persetujuan dari
Kapus Diklat SPIMNAS Bidang Kepemimpinan. Pengumuman ini menyebabkan banyak
orang merasa plong. Ada beberapa orang
yang plong karena dapat pulang
kampung dan merasakan puasa hari pertama bersama keluarga, namun beberapa orang
lain – termasuk saya – plong karena telah
tercapai kesepahaman antara kelas dengan penyelenggara, sehingga keputusan
tersebut dapat mencegah dari kemungkinan lain yang lebih buruk.
Malam
hari sebelumnya, di ruang makan sempet perbedaan pandangan yang cukup tajam
antara kelompok yang menghendaki agar pengurus kelas menghadap dengan baik-baik
kepada penyelenggara untuk menyampaikan aspirasi mayoritas peserta agar hari
pertama puasa diliburkan, dengan kelompok yang menghendaki semua peserta untuk
tidak hadir pada hari pertama puasa dengan berlindung dibalik “hak” peserta
untuk minta ijin. Perbedaan ini muncul sebagai bentuk respon yang berbeda
terhadap surat jawaban Kapus Diklat SPIMNAS Bidang Kepemimpinan yang menolak
dengan halus permohonan yang diajukan ketua kelas untuk meliburkan hari pertama
puasa.
Kelompok
yang menyarankan agar ditempuh dialog percaya bahwa selalu ada jalan keluar
terhadap setiap masalah atau tujuan bersama. Oleh karena itu, kelompok ini
tidak sepakat dengan model ijin secara massal, karena hal itu sama artinya
dengan tindakan pemboikotan. Jika diperlukan, aspirasi dapat saja didukung
dengan bukti tanda tangan peserta secara populasi (tidak melalui representasi
pengurus kelas). Sebagaimana dalam dunia politik, ada sistem demokrasi
berdasarkan perwakilan, namun ada pula sistem referendum, yakni meminta
pendapat secara langsung dari seluruh rakyat untuk hal-hal yang sangat
fundamental, atau manakala mekanisme perwakilan dinilai tidak lagi efektif.
Sementara
itu, kelompok kedua berpandangan bahwa tidak mungkin bagi Kapus Diklat SPIMNAS
Bidang Kepemimpinan menarik kembali surat penolakannya. Penolakan dipandang
sebagai keputusan akhir, dan akan sia-sia menempuh cara yang sama yakni
mengirim surat baru, meski dengan tanda tangan secara kolektif. Untuk itu,
kelompok ini menghendaki cara yang sedikit “frontal” yakni ijin secara
kolektif.
Namun,
aspirasi untuk mengajukan ijin secara kolektif ini tidak mendapat dukungan
beberapa teman, khususnya yang saya nilai masih memiliki idealism dalam
mengikuti diklat. Selain terkesan “memboikot” penyelenggara, opsi ini juga “merampas”
hak peserta yang tetap ingin mengikuti pembelajaran sesuai dengan jadual semula.
Oleh karenanya, kelompok yang tidak sepakat dengan opsi tadi justru menawarkan opsi
lain, yakni agar peserta yang akan pulang kampung pada hari pertama puasa dapat
megajukan ijin resmi kepada penyelenggara, tanpa harus mempengaruhi peserta lainnya.
Hal ini diyakini sebagai win-win solution
bagi penyelenggara dan bagi peserta.
Satu
hal yang menarik dan patut dijadikan sebagai pembelajaran adalah bahwa surat pertama
Kapus Diklat SPIMNAS Bidang Kepemimpinan yang berisi penolakan sempat menimbulkan
emosi dari beberapa teman yang berusaha melakukan “perlawanan” dengan cara mengusung
gagasan ijin massal tadi. Beberapa teman ini terkesan tidak mau menerima surat Kapus
Diklat dan ingin “memaksakan kehendak” sendiri. Kesan lain yang saya tangkap, sikap
“ngotot” beberapa teman ini dipicu oleh sikap Kapus Diklat yang dianggap tidak aspiratif
dan juga tidak konsekuen dengan sikap awalnya yang memberi harapan, namun pada akhirnya
tetap menolak.
Kesan
saling keukeuh inilah yang saya nilai
kurang mencerminkan semangat kepemimpinan, padahal baik peserta maupun penyelenggara
pada hakekatnya adalah para pemimpin. Dalam pandangan saya, semestinya peserta tetap
legawa meski permohonannya ditolak, dan
tetap menjalankan kewajiban mengikuti seluruh program diklat dengan sepenuh hati.
Sebaliknya, penyelenggara-pun akan lebih baik jika bisa lebih banyak mendengar dari
pada bicara, lebih banyak meyerap aspirasi dari pada hasrat untuk dituruti. Kedua
belah pihak seyogyanya mampu mengendalikan diri dan tidak memaksakan kehendak sendiri,
namun lebih mengedepankan empati dan mengukur diri berdasarkan “sepatu” orang lain.
Mengapa
demikian? Bagi saya, pemimpin bukanlah mereka yang harus selalu diikuti keinginannya,
namun justru yang dapat mengikuti dan memenuhi keinginan orang lain, khususnya yang
berada dibawah kepemimpinannya. Semakin tinggi kemampuan pengendalian dirinya, maka
semakin tinggi pulalah kualitas kepemimpinannya. Namun, tentu saja seorang pemimpin
tidak selamanya harus bersifat akomodatif dan kompromistis. Dalam keadaan tertentu,
mereka juga harus mampu menunjukkan diri sebagai seorang yang memiliki prinsip,
tegas, dan bahkan berani memberikan sanksi
bagi anggotanya yang tidak patuh terhadap keputusan yang diambil. Dengan kombinasi
yang seimbang antara kemampuan mengendalikan diri serta ketegasan dalam bertindak,
maka setiap keputusan yang dibuat akan memiliki kadar kewibawaan yang relatif tinggi,
sehingga mengundang semua pihak untuk mentaatinya secara sadar dan legawa.
Kampus
Pejompongan Jakarta
Rabu,
27 Juli 2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar