Rabu, 27 Juli 2011

Pengendalian Diri: Esensi Lain Kepemimpinan


Pagi ini setelah senam pagi, ketua kelas mengumumkan bahwa pada hari Senin, 1 Agustus 2011, tidak akan ada pembelajaran, setelah mendapat persetujuan dari Kapus Diklat SPIMNAS Bidang Kepemimpinan. Pengumuman ini menyebabkan banyak orang merasa plong. Ada beberapa orang yang plong karena dapat pulang kampung dan merasakan puasa hari pertama bersama keluarga, namun beberapa orang lain – termasuk saya – plong karena telah tercapai kesepahaman antara kelas dengan penyelenggara, sehingga keputusan tersebut dapat mencegah dari kemungkinan lain yang lebih buruk.

Malam hari sebelumnya, di ruang makan sempet perbedaan pandangan yang cukup tajam antara kelompok yang menghendaki agar pengurus kelas menghadap dengan baik-baik kepada penyelenggara untuk menyampaikan aspirasi mayoritas peserta agar hari pertama puasa diliburkan, dengan kelompok yang menghendaki semua peserta untuk tidak hadir pada hari pertama puasa dengan berlindung dibalik “hak” peserta untuk minta ijin. Perbedaan ini muncul sebagai bentuk respon yang berbeda terhadap surat jawaban Kapus Diklat SPIMNAS Bidang Kepemimpinan yang menolak dengan halus permohonan yang diajukan ketua kelas untuk meliburkan hari pertama puasa.

Kelompok yang menyarankan agar ditempuh dialog percaya bahwa selalu ada jalan keluar terhadap setiap masalah atau tujuan bersama. Oleh karena itu, kelompok ini tidak sepakat dengan model ijin secara massal, karena hal itu sama artinya dengan tindakan pemboikotan. Jika diperlukan, aspirasi dapat saja didukung dengan bukti tanda tangan peserta secara populasi (tidak melalui representasi pengurus kelas). Sebagaimana dalam dunia politik, ada sistem demokrasi berdasarkan perwakilan, namun ada pula sistem referendum, yakni meminta pendapat secara langsung dari seluruh rakyat untuk hal-hal yang sangat fundamental, atau manakala mekanisme perwakilan dinilai tidak lagi efektif.

Sementara itu, kelompok kedua berpandangan bahwa tidak mungkin bagi Kapus Diklat SPIMNAS Bidang Kepemimpinan menarik kembali surat penolakannya. Penolakan dipandang sebagai keputusan akhir, dan akan sia-sia menempuh cara yang sama yakni mengirim surat baru, meski dengan tanda tangan secara kolektif. Untuk itu, kelompok ini menghendaki cara yang sedikit “frontal” yakni ijin secara kolektif.

Namun, aspirasi untuk mengajukan ijin secara kolektif ini tidak mendapat dukungan beberapa teman, khususnya yang saya nilai masih memiliki idealism dalam mengikuti diklat. Selain terkesan “memboikot” penyelenggara, opsi ini juga “merampas” hak peserta yang tetap ingin mengikuti pembelajaran sesuai dengan jadual semula. Oleh karenanya, kelompok yang tidak sepakat dengan opsi tadi justru menawarkan opsi lain, yakni agar peserta yang akan pulang kampung pada hari pertama puasa dapat megajukan ijin resmi kepada penyelenggara, tanpa harus mempengaruhi peserta lainnya. Hal ini diyakini sebagai win-win solution bagi penyelenggara dan bagi peserta.

Satu hal yang menarik dan patut dijadikan sebagai pembelajaran adalah bahwa surat pertama Kapus Diklat SPIMNAS Bidang Kepemimpinan yang berisi penolakan sempat menimbulkan emosi dari beberapa teman yang berusaha melakukan “perlawanan” dengan cara mengusung gagasan ijin massal tadi. Beberapa teman ini terkesan tidak mau menerima surat Kapus Diklat dan ingin “memaksakan kehendak” sendiri. Kesan lain yang saya tangkap, sikap “ngotot” beberapa teman ini dipicu oleh sikap Kapus Diklat yang dianggap tidak aspiratif dan juga tidak konsekuen dengan sikap awalnya yang memberi harapan, namun pada akhirnya tetap menolak.

Kesan saling keukeuh inilah yang saya nilai kurang mencerminkan semangat kepemimpinan, padahal baik peserta maupun penyelenggara pada hakekatnya adalah para pemimpin. Dalam pandangan saya, semestinya peserta tetap legawa meski permohonannya ditolak, dan tetap menjalankan kewajiban mengikuti seluruh program diklat dengan sepenuh hati. Sebaliknya, penyelenggara-pun akan lebih baik jika bisa lebih banyak mendengar dari pada bicara, lebih banyak meyerap aspirasi dari pada hasrat untuk dituruti. Kedua belah pihak seyogyanya mampu mengendalikan diri dan tidak memaksakan kehendak sendiri, namun lebih mengedepankan empati dan mengukur diri berdasarkan “sepatu” orang lain.

Mengapa demikian? Bagi saya, pemimpin bukanlah mereka yang harus selalu diikuti keinginannya, namun justru yang dapat mengikuti dan memenuhi keinginan orang lain, khususnya yang berada dibawah kepemimpinannya. Semakin tinggi kemampuan pengendalian dirinya, maka semakin tinggi pulalah kualitas kepemimpinannya. Namun, tentu saja seorang pemimpin tidak selamanya harus bersifat akomodatif dan kompromistis. Dalam keadaan tertentu, mereka juga harus mampu menunjukkan diri sebagai seorang yang memiliki prinsip, tegas, dan bahkan berani  memberikan sanksi bagi anggotanya yang tidak patuh terhadap keputusan yang diambil. Dengan kombinasi yang seimbang antara kemampuan mengendalikan diri serta ketegasan dalam bertindak, maka setiap keputusan yang dibuat akan memiliki kadar kewibawaan yang relatif tinggi, sehingga mengundang semua pihak untuk mentaatinya secara sadar dan legawa.

Kampus Pejompongan Jakarta
Rabu, 27 Juli 2011

Tidak ada komentar: