Kemaren
sore kepada peserta Diklatpim II dibagikan lembar pengesahan judul KTP-2 yang
ditandatangani oleh Kapusdiklat SPIMNAS Bidang Kepemimpinan. Pengesahan ini
merupakan tahap lanjutan dari tahap pertama yang telah kami lalui, yakni
bimbingan judul dan TOR KTP-2 dengan Widyaiswara pembimbing.
Sebelumnya,
kami berasumsi bahwa Kapusdiklat tinggal melakukan pengesahan mengingat
Widyaiswara pembimbing telah menyetujui judul dan TOR yang diajukan peserta. Tentunya,
seorang Widyaiswara ditunjuk sebagai pembimbing KTP-2 atas dasar kompetensinya,
sehingga ketika dia menyetujui judul tertentu, judul tersebut sudah layak
secara akademis berdasarkan pengalaman dan pengetahuannya. Namun kenyataannya,
lembar yang kami terima tadi bukan sekedar mengesahkan, namun juga melakukan
perubahan judul. Di kelompok saya sendiri ada 5 (lima) peserta yang mengalami
perubahan.
Awalnya,
saya tidak merasa ada yang aneh dengan keputusan Kapusdiklat merubah judul
KTP-2, sampai ada teman dari kelompok lain yang “curhat” karena judulnya
dirubah secara sepihak sementara dia sudah menulis hingga Bab II berdasarkan
judul yang sudah disetujui Widyaiswara pembimbingnya. Maka, ketika Widyaiswara
meminta untuk merubah Bab I dan II yang sudah jadi, teman saya ini langsung
menolak, bahkan minta si Widyaiswara untuk memeriksa terlebih dahulu draft yang
diajukan (Catatan: agenda pertemuan
ke-2 dan ke-3 kemaren memang konsultasi Bab I dan II).
Atas
dasar kasus yang dialami teman tadi, saya baru terpikir banyak hal. Pertama, keputusan perubahan tadi
berarti memveto keputusan widyaiswara yang telah memberi persetujuan terhadap
judul dan TOR KTP-2. Selain terkesan tidak etis, dalam dunia akademik rasanya
juga tidak pernah terjadi birokrat kampus mengintervensi kemandirian dan hak intelektual
seorang pembimbing. Jika hal ini diteruskan, akan dapat mengurangi kewibawaan
pembimbing di mata siswa atau peserta dibawah bimbingannya. Akan lebih elegan
jika Widyaiswara tersebut diberi panduan pembimbingan dan rambu-rambunya pada
saat sebelum ditetapkan sebagai pembimbing. Namun, sekali dia dipercaya menjadi
pembimbing KTP-2, sebaiknya diberikan otoritas penuh untuk menjalankan tugasnya
selaku pembimbing.
Kedua, keputusan
perubahan juga menimbulkan disorientasi bagi peserta. Peserta sebagai pelaku
kebijakan di instansi masing-masing diasumsikan lebih tahu permasalahan,
kebijakan, dan kebutuhan pengembangannya. Dengan perubahan yang tidak
dikonfirmasikan terlebih dahulu kepada peserta, peserta harus menyesuaikan
dengan pola pikir penyelenggara Dikaltpim. Dalam kasus teman yang “komplain”
tadi, kesulitan baru juga muncul karena harus mengulang penulisan Bab I dan II
meski tidak secara total.
Ketiga, proses
berpikir akademis nampaknya menjadi jungkir balik. Dalam penulisan karya tulis
seperti skripsi, thesis, disertasi, bahkan paper untuk publikasi jurnal, judul
awal hanyalah sebuah usulan yang bersifat sangat tentative, dan masih
memungkinkan perubahan hingga karya tulis tersebut mencapai proses akhir.
Justru yang harus dimatangkan pada tahap awal adalah problematika atau
perumusan masalah yang dihadapi suatu organisasi dan ingin dipecahkan melalui
penulisan KTP-2. Hal ini juga sesuai dengan tahapan analisis kebijakan atau perumusan
masalah model William Dunn. Dengan kata lain, judul bukanlah elemen utama pada
tahap awal berpikir akademis, dan dapat dijadikan sebagai tahap akhir dari
seluruh rangkaian penulisan karya tulis.
Mengingat
pemilihan dan penetapan judul merupakan ranah akademis, maka alangkah bijaknya
jika dipisahkan dari urusan teknis, apalagi non-teknis. Jikapun penyelenggara
akan masuk dalam substansi KTP-2, akan jauh lebih indah jika dibahas secara
terbuka dengan calon penulisnya. Sebab, tanggungjawab akhir dari substansi
KTP-2 tetaplah penulisnya, sehingga kepadanya perlu diberi ruang kebebasan
untuk mengekspresikan konsep dan pemikirannya.
Kampus
Pejompongan Jakarta
Rabu,
20 Juli 2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar