Kamis, 21 Juli 2011

Penetapan Judul KTP-2: Soal Teknis atau Akademis?

Kemaren sore kepada peserta Diklatpim II dibagikan lembar pengesahan judul KTP-2 yang ditandatangani oleh Kapusdiklat SPIMNAS Bidang Kepemimpinan. Pengesahan ini merupakan tahap lanjutan dari tahap pertama yang telah kami lalui, yakni bimbingan judul dan TOR KTP-2 dengan Widyaiswara pembimbing.

Sebelumnya, kami berasumsi bahwa Kapusdiklat tinggal melakukan pengesahan mengingat Widyaiswara pembimbing telah menyetujui judul dan TOR yang diajukan peserta. Tentunya, seorang Widyaiswara ditunjuk sebagai pembimbing KTP-2 atas dasar kompetensinya, sehingga ketika dia menyetujui judul tertentu, judul tersebut sudah layak secara akademis berdasarkan pengalaman dan pengetahuannya. Namun kenyataannya, lembar yang kami terima tadi bukan sekedar mengesahkan, namun juga melakukan perubahan judul. Di kelompok saya sendiri ada 5 (lima) peserta yang mengalami perubahan.

Awalnya, saya tidak merasa ada yang aneh dengan keputusan Kapusdiklat merubah judul KTP-2, sampai ada teman dari kelompok lain yang “curhat” karena judulnya dirubah secara sepihak sementara dia sudah menulis hingga Bab II berdasarkan judul yang sudah disetujui Widyaiswara pembimbingnya. Maka, ketika Widyaiswara meminta untuk merubah Bab I dan II yang sudah jadi, teman saya ini langsung menolak, bahkan minta si Widyaiswara untuk memeriksa terlebih dahulu draft yang diajukan (Catatan: agenda pertemuan ke-2 dan ke-3 kemaren memang konsultasi Bab I dan II).

Atas dasar kasus yang dialami teman tadi, saya baru terpikir banyak hal. Pertama, keputusan perubahan tadi berarti memveto keputusan widyaiswara yang telah memberi persetujuan terhadap judul dan TOR KTP-2. Selain terkesan tidak etis, dalam dunia akademik rasanya juga tidak pernah terjadi birokrat kampus mengintervensi kemandirian dan hak intelektual seorang pembimbing. Jika hal ini diteruskan, akan dapat mengurangi kewibawaan pembimbing di mata siswa atau peserta dibawah bimbingannya. Akan lebih elegan jika Widyaiswara tersebut diberi panduan pembimbingan dan rambu-rambunya pada saat sebelum ditetapkan sebagai pembimbing. Namun, sekali dia dipercaya menjadi pembimbing KTP-2, sebaiknya diberikan otoritas penuh untuk menjalankan tugasnya selaku pembimbing.

Kedua, keputusan perubahan juga menimbulkan disorientasi bagi peserta. Peserta sebagai pelaku kebijakan di instansi masing-masing diasumsikan lebih tahu permasalahan, kebijakan, dan kebutuhan pengembangannya. Dengan perubahan yang tidak dikonfirmasikan terlebih dahulu kepada peserta, peserta harus menyesuaikan dengan pola pikir penyelenggara Dikaltpim. Dalam kasus teman yang “komplain” tadi, kesulitan baru juga muncul karena harus mengulang penulisan Bab I dan II meski tidak secara total.

Ketiga, proses berpikir akademis nampaknya menjadi jungkir balik. Dalam penulisan karya tulis seperti skripsi, thesis, disertasi, bahkan paper untuk publikasi jurnal, judul awal hanyalah sebuah usulan yang bersifat sangat tentative, dan masih memungkinkan perubahan hingga karya tulis tersebut mencapai proses akhir. Justru yang harus dimatangkan pada tahap awal adalah problematika atau perumusan masalah yang dihadapi suatu organisasi dan ingin dipecahkan melalui penulisan KTP-2. Hal ini juga sesuai dengan tahapan analisis kebijakan atau perumusan masalah model William Dunn. Dengan kata lain, judul bukanlah elemen utama pada tahap awal berpikir akademis, dan dapat dijadikan sebagai tahap akhir dari seluruh rangkaian penulisan karya tulis.

Mengingat pemilihan dan penetapan judul merupakan ranah akademis, maka alangkah bijaknya jika dipisahkan dari urusan teknis, apalagi non-teknis. Jikapun penyelenggara akan masuk dalam substansi KTP-2, akan jauh lebih indah jika dibahas secara terbuka dengan calon penulisnya. Sebab, tanggungjawab akhir dari substansi KTP-2 tetaplah penulisnya, sehingga kepadanya perlu diberi ruang kebebasan untuk mengekspresikan konsep dan pemikirannya.

Kampus Pejompongan Jakarta
Rabu, 20 Juli 2011

Tidak ada komentar: