Hari
ini saya bersama 9 rekan lain dari Kelas B mendapat tugas tambahan dari
penyelenggara Diklatpim II untuk menghadiri “Indonesia International Conference Focus on Indonesian Economy 2011:
Shifting Regional Development, From Indonesia to the World”.
Bagi
saya, ini sebuah keberuntungan besar mendapat kesempatan untuk mendengarkan
ceramah langsung dari para pengambil kebijakan di republik tercinta, serta
pakar-pakar ekonomi tingkat dunia. Saya katakan beruntung, karena kesempatan
seperti ini sangat sulit diperoleh dalam pelaksanaan tugas sehari-hari
organisasi. Kalaupun ada kesempatan, seringkali membutuhkan biaya cukup besar,
terutama bila konferensi tadi digelar di luar negeri. Nah, yang sekarang saya
alami adalah kesempatan yang datang tiba-tiba dan tanpa harus mengeluarkan
biaya sedikitpun.
Selain beruntung, saya juga menilai keikutsertaan dalam kegiatan seperti ini sangat bermanfaat untuk menambah ilmu-ilmu, kebijakan, dan perspektif baru. Meski kehadiran kami hanya di hari ke-2 konferensi, tidak mengurangi nilai strategis yang dapat kami serap dari kegiatan ini. Apalagi nara sumber yang memberikan ceramah adalah tokoh-tokoh kunci dan pelaku utama kebijakan publik di negeri ini seperti Menteri BUMN Mustafa Abubakar, Menteri PU Djoko Kirmanto, Menteri Kelautan dan Perikanan Fadel Muhammad, Ketua KEN (Komite Ekonomi Nasional) Chairul Tanjung, dan lain-lain. Tidak tanggung-tanggung, Presiden SBY sendiri berkenan hadir dan memberi Presidential Keynote Address tentang situasi dan masa depan ekonomi Indonesia. Sementara pembicara asing antara lain Executive Secretary of UN Economic and Social Commision for Asia and the Pacific Dr. Noeleen Heyzer, President of Asian Institute of Technology Prof. Said Irandoust, UNESCO Education Head for Indonesia, Mr. Anwar Al Said, ILO Country Director for Indonesia Mr. Peter van Rooij, dan lain-lain.
Sayangnya, ada sedikit hal yang membuat konferensi internasional ini kurang terasa greget-nya. Pada saat sessi pertama dimulai jam 08.00, jumlah peserta yang hadir tidak lebih dari seperlima dari jumlah tempat duduk yang tersedia. Hingga sessi kedua berakhir, kehadiran hanya bertambah sedikit namun tidak mencapai setengahnya dari kapasitas ruangan. Iseng-iseng saya hitung, jumlah kursi yang disediakan mencapai 400. Hal lain yang bagi saya cukup “menggangu” adalah kebiasaan masyarakat kita yang tidak tepat waktu. Kedatangan peserta ditengah berlangsungnya ceramah atau diskusi, membuat situasi yang tidak menyenangkan bagi peserta lain, terlebih bagi para panelis. Selain tradisi telat para peserta, ada tradisi buruk lain yang membuat forum terhormat seperti ini kehilangan “roh” akademisnya, yakni pembicara yang “kabur” segera setelah memberi ceramah. Contoh buruk ini ditunjukkan oleh Menteri BUMN dan Menteri PU. Sangat mungkin memang mereka sangat sibuk dan memiliki agenda lain yang tidak kalah penting, namun tetap saja menjadi sesuatu yang tidak lazim dan mengurangi respect audiens terhadap pembicara, khususnya audiens dari luar negeri. Satu hal lagi yang terasa “kurang” dari forum ini adalah tidak disediakannya copy bahan paparan para panelis, sementara panelis lain bahkan tidak menyiapkan bahan power-point sama sekali. Hal ini tentu mempersulit peserta dalam menangkap pesan secara memadai, khususnya bagi mereka yang kurang terbiasa berdiskusi dengan bahasa Inggris. Lebih parah lagi, forum ilmiah yang sepenuhnya didesain secara akademis namun malah tidak menyediakan sessi tanya jawab.
Terlepas
dari berbagai kekurangan yang ada, fokus terhadap manfaat yang dapat diperoleh
jauh lebih penting untuk dilakukan. Dalam konteks program Diklatpim II, saya
menganggap forum ini merupakan sarana terbaik untuk membangun kompetensi
berpikir secara global atau memberi wawasan internasional. Pada kenyatannya, sangat
sedikit kurikulum Diklatpim II yang didesain untuk membangun kompetensi ini,
padahal level kepemimpinan peserta sudah cukup tinggi dan sudah sepantasnya
dibekali dengan praktek-praktek kepemimpinan dan manajemen sektor publik dari
berbagai negara di dunia. Hal ini sesuai pula dengan level kompetensi yang
ingin dibangun oleh program Diklatpim yakni Strategic
Competence (bandingkan dengan kompetensi dari Diklatpim I yakni Visionary Competence, atau Diklatpim III
yakni Operational Competence).
Dalam pemikiran saya, jika kita ingin menghasilkan alumni Diklatpim II yang memiliki kemampuan strategis, maka wawasan regional dan global menjadi sebuah kebutuhan. Untuk mencapai tujuan tersebut, beberapa opsi dapat dipertimbangkan sebagai kurikulum tambahan atau disisipkan dalam silabus Diklatpim II, misalnya: kewajiban mengikuti seminar/konferensi internasional, partisipasi dalam publikasi internasional yang relevan dengan tupoksi di organisasi masing-masing, mengundang guest lecture dari negara tetangga, studi lapangan ke luar negeri, mengubah komposisi DIT (diskusi issu terpilih) dengan menambah issu internasional dan mengurangi issu nasional, atau opsi-opsi lain yang dianggap mampu membangun wawasan internasional.
Kampus
Pejompongan Jakarta
Kamis,
21 Juli 2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar