Hari
ini saya sangat beruntung dapat melihat, mendengar, dan menyimak secara
langsung pidato dan pemikiran Presiden SBY. Berada satu forum dengan orang
nomor 1 di republik ini, jelas berbeda sekali suasana yang tercipta dan
semburat aura yang terpancar, dibanding ketika menyaksikan melalui layar kaca
atau membaca melalui koran. Sama halnya mendengar pertunjukan musik secara live, akan sangat berbeda dibanding saat
kita menikmatinya lewat televisi atau radio. Maka, adalah hal yang selalu
menyenangkan menyambut seorang Kepala Negara, terlepas dari berbagai
kontroversi soal gaya kepemimpinan ataupun kasus-kasus dan gossip yang tengah
menerpanya.
Bagi
saya, sessi ini juga istimewa karena Presiden melewati persis di depan saya,
bahkan sempat melirik dan mengangguk kearah saya. Inilah kali pertama saya
berada sangat dekat (± 1 meter) dengan Presiden RI. Jika saja tidak mengingat
etika dan kemungkinan yang tidak diinginkan, pasti saya sodorkan tangan saya
untuk menjabat tangannya, bukan sekedar jabat tangan antara pemimpin dengan
rakyatnya, namun lebih sebagai bentuk silaturahmi antar hamba Allah di muka
bumi. Meski pada akhirnya gagal untuk menjabat tanganya, saya sudah cukup puas
sempat berdekatan dan bertatapan dengan beliau.
Selanjutnya,
saya ingin merangkum isi pidato beliau yang membangkitkan optimism menghadapi
masa depan. Sebagai pemimpin tertinggi sebuah negeri, memang seperti itulah
yang harus dilakukan meski realita di lapangan terkadang terlalu sulit untuk
bersikap optimis, presiden SBY mengawali pidatonya dengan mengemukakan 4
(empat) alasan mengapa beliau berkenan hadir dalam konferensi ini. Keempat
alasan tersebut adalah:
1.
Konferensi
ini membahas perkembangan ekonomi Indonesia dan dunia sekaligus
mengidentifikasi tantangan yang dihadapi. Jika bicara globalisasi, yang
terbayang selama ini adalah ancaman untuk bangsa kita, padahal banyak juga opportunity yang dapat dimanfaatkan
untuk kemajuan bangsa.
2.
Konferensi
ini juga membaca issu ekonomi dari konteks regional dan global. Dinamika
ekonomi Indonesia sendiri harus ditempatkan dalam kerangka nationally interpreted dan globally
connected.
3.
Konferensi
ini dihadiri oleh peserta yang sangat beragam, seperti regulator, business leader, serta economic player and stakeholders.
4.
Topik
yang diangkat cukup komprehensif dan relevan dengan issu ekonomi yang dihadapi
bangsa Indonesia. Salah satunya adalah posisi Indonesia sebagai Chairman ASEAN dan akan mengagendakan topik
food and energy security untuk
didiskusikan dalam ASEAN Summit II Oktober mendatang sebagai wujud kontribusi Indonesia
dalam membangun food and energy security
di tingkat regional.
Presiden
berharap agar konferensi ini bebas dari berbagai kepentingan politis agar menjadi
bagian dari solusi dan bisa mendorong ditemukannya peluang-peluang baru bagi
ekonomi Indonesia, baik tahun ini maupun tahun-tahun mendatang. Selanjutnya
beliau mengemukakan tiga hal yang akan menjadi substansi pidato, yakni:
·
Apa
yang hendak dicapai oleh Indonesia pada 10 hingga 15 tahun yang akan datang pada
bidang ekonomi?
·
Peluang
dan tantangan apa yang dihadapi?
· Mengapa
kita tidak boleh menyia-nyiakan momentum pertumbuhan yang baik ini bagi
kebangkitan dan kemajuan ekonomi nasional?
Presiden
menegaskan bahwa kita semua harus memiliki optimisme dan keyakinan diri (confidence) bahwa ekonomi Indonesia bisa
tumbuh lebih baik serta berkembang lebih pesat di tahun-tahun mendatang. Ada 3 (tiga)
alasan yang membuat kita dapat optimis dan memiliki keyakinan tinggi, yakni:
1.
5
(lima) tahun terakhir trend ekonomi
Indonesia terus membaik dan progress-nya
riil, yang dapat dilihat dari indikator makro seperti economic growth, GDP, debt to GDP ratio, income per capita, poverty
reduction, dan seterusnya.
2.
Ekonomi
Indonesia keluar dengan selamat dan terhindar dari krisis ekonomi global. Saat
ini, Tiongkok, China dan Indonesia menjadi 3 negara dengan kekuatan ekonomi
baru di dunia. Pada saat terjadi krisis ekonomi global tahun 2008, telah
dilakukan respon yang tepat sehingga tidak terjadi krisis berkepanjangan seperti
pada saat krisis 1997-1999.
3.
Jika
reformasi dan perbaikan yang dilakukan secara intensif berhasil melakukan
perbaikan dalam banyak hal, dan lebih banyak infrastruktur terbangun, maka pada
tahun 2025 ekonomi Indonesia akan terus tumbuh dan menjadi kuat, inklusif dan
berkelanjutan (strong, inclusive,
sustainable).
Dengan
demikian, target yang hendak dituju dan dicapai dalam pembangunan ekonomi bukan
sekedar pertumbuhan (growth), tapi
makin baiknya standard of living, quality
of life, dan welfare of people.
Dari perspektif ekonomi, hal tersebut dapat dicapai jika ekonomi tumbuh kuat
dan berkelanjutan (growth with equity).
Pertumuhan
bagi Presiden SBY sangat penting, karena pertumbuhan akan membentuk mata rantai.
Jika pertumbuhan tinggi, maka akan dapat menciptakan lapangan kerja dan
mengurangi pengangguran, yang pada gilirannya memperbaiki pendapatan
masyarakat. Jika income masyarakat naik, maka akan mengurangi jumlah orang miskin
(growth à job à better income à less poor). Dengan kata lain, pertumbuhan (growth)
merupakan pengungkit terhadap program pengentasan kemiskinan (poverty reduction).
Meskipun
demikian, pertumbuhan yang tinggi (strong
growth) sendiri tidaklah cukup, melainkan harus disertai dengan adanya
pemerataan dan keadilan. Artinya, pembangunan ekonomi tidak boleh hanya
berorientasi pertumbuhan, namun juga harus diimbangi dengan job creation, poverty reduction, dan environment protection. Pemikiran
seperti inilah yang mendasari pemerintah pada tahun 2005 mengeluarkan triple tracks strategy yang kemudian
dikembangkan menjadi four tracks strategy.
Dalam kaitan ini terdapat 4 (empat) pendekatan untuk merealisasikan strategi growth with equity, yakni:
·
Demand side economy
(sisi
permintaan);
·
Riil Sector (sektor riil);
·
Supply side
economy
(sisi penawaran); dan
·
Production
function
(fungsi produksi).
Ke-4
strategi tersebut adalah esensi dari MP3EI yang terdiri dari 6 koridor, zona
economi, klaster industri, serta 22 kegiatan ekonomi utama. Semuanya didesain
untuk mencapai balanced, strong,
inclusive, dan sustainable economy
sebagaimana disinggung sebelumnya. Hal ini sesuai dengan Visi Indonesia 2050
yang menetapkan 3 (tiga) capaian utama, yaitu:
·
Strong and just
economy
(ekonomi yang kuat dan adil);
·
Stable and
mature democracy
(demokrasi yang stabil dan matang); dan
·
Advance
civilization
(peradaban yang makin maju).
Presiden
menyimpulkan bahwa arah dan ekonomi Indonesia sudah benar. Survey WEF tentang Global Competitiveness Index mengkonfirmasi
kemajuan ekonomi Indonesia dengan hasil survey yang terus menunjukkan
peningkatan daya saing Indonesia secara signifikan. Fakta ini telah
mengantarkan President SBY ke Davos untuk memberi pidato tentang pengalaman
Indonesia dalam pembangunan ekonomi. Namun, Presiden tetap menekankan perlunya
memperbaiki semua masalah yang ada tanpa perlu menoleh ke belakang dan tanpa
perlu saling menyalahkan.
Presiden
tidak peduli masuk kategori ideologi apa pemikiran ekonomi yang disampaikannya.
(Catatan: Majalah Warta Ekonomi menyebut konsep ekonomi SBY sebagai ideologi
ekonomi masa depan atau SBYnomics). SBY sendiri cenderung
menyebut gagasannya dengan istilah Eco-market economy with social justice.
Pada akhir pidatonya, Presiden SBY mengeluarkan himbauan untuk seluruh elemen
bangsa untuk:
·
Menjadi
pencari dan pencipta peluang (opportunity
seekers);
·
Menjaga
dan memelihara situasi dalam negeri, termasuk menjaga stabilitas sosial
politik; serta
·
Bekerja
lebih keras dan lebih keras lagi. Hanya dengan kerja keras kita bisa mengubah
keadaan.
Menyimak
apa yang disampaikan Presiden SBY, seolah tidak ada masalah yang berarti dengan
sistem ekonomi Indonesia. Semua terlihat baik-baik saja. Hal ini tentu sangat
bertolak belakang dengan ceramah-ceramah yang kami dapatkan selama
penyelenggaraan Diklatpim II. Dari berbagai ceramah yang kami terima, banyak
yang mengkritisi adanya kesalahan kebijakan, namun ada juga yang melihat konsep
kebijakan sudah baik namun implementasinya yang tidak optimal. Salah satunya
dikemukakan oleh Dr. Ichsanuddin Noorsy yang mengakui tingginya peningkatan
PDB, namun mempertanyakan siapa yang paling besar menikmati pertumbuhan PDB
tersebut? Pertanyaan mendasarnya adalah, mengapa hal demikian bisa terjadi?
Informasi
dan pendekatan yang kontras dari SBY dan para penceramah Diklatpim II dapat
dikatakan sebagai cerminan adanya kontroversi dan perbedaan cara pandang
terhadap fakta dan kebijakan yang sama. Dr. Dahrul, salah seorang penceramah,
memberi ilustrasi yang menarik mengapa terjadi gap antara konsep yang bagus
dengan buruknya implementasi. Menurutnya, Indonesia ibarat perusahaan yang
memiliki banyak komisaris atau pemegang saham yang berbeda kepentingan. Tentu
saja, menyatukan kepentingan yang berbeda, apalagi bertentangan, bukanlah
pekerjaan yang mudah. Dalam kondisi seperti ini, keberadaan pemimpin yang tegas
dan visoner (strong and visionary
leadership) sangat dibutuhkan. Pemimpin nasional haruslah imparsial dan bebas
murni dari kepentingan individual atau kepentingan kelompok, serta mampu
memfungsikan diri sebagai jembatan (bridging)
dari berbagai perbedaan yang ada diantara elemen bangsa yang dipimpinnya.
Persoalannya
kemudian, sistem politik kita nampaknya masih belum memungkinkan untuk lahirnya
seorang pemimpin nasional yang bebas dari kepentingan politis tertentu. Seorang
(calon) presiden justru merupakan usulan partai politik. Jika partai politik
masih sarat dengan anasir korupsi dan prinsip mementingkan diri sendiri, maka
selamanya tidak akan lahir pemimpin yang benar-benar kuat dan dapat diterima
oleh semua pihak. Dengan demikian, pembangunan ekonomi tidak dapat dipisahkan
dengan reformasi politik. Sampai disini, saya pribadi menarik hipotesis bahwa
pembangunan ekonomi Indonesia akan mencapai masa keemasan ketika bangsa ini
sudah mampu menyelesaikan reformasi politik (dan reformasi peradilan,
tentunya).
Kinerja
ekonomi yang cukup progresif seperti disampaikan oleh Presiden SBY memang sudah
maksimal dalam situasi politik seperti sekarang ini, dan untuk itu perlu kita
apresiasi. Namun kita masih memiliki peluang yang sangat besar untuk bisa
mencapai kinerja yang jauh lebih baik, asalkan PR di bidang politik (dan hukum)
sudah bisa kita tuntaskan. Semoga!
Kampus
Pejompongan Jakarta
Jum’at,
22 Juli 2011
2 komentar:
Saya setuju degn anda tentang "reformasi Politik", tapi bukankah politik sdh direformasi? buktinya :
- pemilihan presiden, gubrnur dll skrg langsung
- milih angg DPR juga skrg langsung
kurang apalagi???
Mas adi_ray,
Pada dasarnya hampir semua bidang kehidupan sudah di-reform, namun masih jauh dari cukup. Reformasi hukum sudah dimulai dengan manajemen hakim secara 1 atap di MA, dibentuk MK & KY, dll, tapi tetap saja mafia peradilan masih menggurita.
Reformasi birokrasi juga sudah cukup gencar, tapi korupsi & lemahnya pelayanan publik masih menjadi pemandangan sehari-hari.
Nah, reformasi politik sama saja. Betul kata mas adi-ray, tapi pilpres, pileg & pilkada langsung sj sgt tidak cukup. Di Daerah justru memunculkan fenomena miskoordinasi antar tingkatan pemerintahan dan gejala oligarkhi baru. Di tingkat pusat, parpol menjadi pusaran korupsi baru krn memang kapasitas finansial, SDM & manajerialnya belum mumpuni. Nantikan buku saya Insya Allah Oktober nanti terbit. Thx anyway for your comment. Salam.
Posting Komentar