Rabu, 13 Juli 2011

Ideologi dalam Kebijakan Publik

Dua hari terakhir ini, Senin (11/7/2011) dan Selasa (12/7/2011), saya mendapat pencerahan luar biasa dari dua pembicara istimewa yakni Dr. Chusnul Mar’iyah dan Dr. Ichsanuddin Noorsy. Saya sebut luar biasa karena dua alasan. Pertama, keduanya membuat sebuah statement yang belum pernah saya dengan dan belum pernah saya dapati dari buku manapun. Kedua, pernyataan keduanya sangat mirip dan saling memperkuat, meski topik ceramah mereka sangat berbeda perspektif. Chusnul bicara kebijakan dari perspektif politik, sementara Ichsanuddin melihat dari perspektif ekonomi.

Chusnul mengatakan bahwa tidak ada kebijakan yang tidak punya ideologi, sedangkan Ichsanuddin mengatakan bahwa ideologi seharusnya mengarahkan kebijakan. Singkatnya, sebuah kebijakan pada hakekatnya adalah anak ideologi, dan seorang policy maker harus memiliki ideologi yang jelas, yang akan diperjuangkannya melalui instrument kebijakan publik. Jika pemimpin tidak memiliki ideologi, maka kebijakan yang lahir sangat mungkin merupakan produk tekanan dari kelompok tertentu, atau produk kompromi terhadap transaksi atau pertarungan antar kepentingan. Jika hal seperti itu terjadi, maka hanya segelintir orang yang akan menikmati kebijakan tadi, sementara mayoritas masyarakat justru harus menanggung beban dan biaya yang mungkin timbul.

Sebagai sebuah sistem, kebijakan sendiri terdiri dari minimal empat komponen dasar, yakni pelaku kebijakan, lingkungan kebijakan, kelompok sasaran, serta kebijakan itu sendiri. Interaksi antar aktor kebijakan dengan stakeholder-nya, ditambah dengan dinamika lingkungan kebijakan yang sangat kompleks, membuat perumusan kebijakan menjadi teramat sulit, terutama dalam mengakomodir perbedaan pemikiran, aliran, dan preferensi dari berbagai kelompok di tengah masyarakat. Dalam lingkungan yang sangat dinamis itulah, peran pemerintah/negara semakin penting untuk menjamin bahwa masyarakat yang apolitis, netral, dan tidak memiliki platform politik tertentu, harus tetap dilindungi agar tidak terlindas dan tertindas oleh kepentingan individu/kelompok tertentu. Kepentingan publik harus diutamakan dari kepentingan privat, dan kepentingan nasional harus didahulukan dibanding kepentingan internasional. Dengan kata lain, ideologi yang semestinya diperjuangkan seorang pemimpin adalah keberpihakan kepada rakyat banyak (pro-people). Pemihakan kepada rakyat sendiri merupakan amanat konstitusi, sehingga dapat dikatakan pula bahwa ideologi yang harus terkandung dalam setiap kebijakan publik adalah ideologi konstitusi.

Paham yang menghendaki adanya peran optimal negara/pemerintah untuk menciptakan keseimbangan antara tertib sosial (social order) dengan otonomi individu (personal autonomy) ini sering disebut dengan paham communitarian (Etzioni, 1995). Paham ini biasa dilawankan dengan paham libertarian yang menginginkan pemerintah keluar dari aktivitas sosial ekonomi dan percaya bahwa mekanisme privat akan memberi hasil yang lebih baik dibanding intervensi negara (Murray, 1997).

Salah satu ciri untuk mengetahui apakah pemerintah menerapkan paham libertarian atau commnunitarian adalah dalam hal subsidi.  Jika pemerintah tetap mempertahankan subsidi BBM (misalnya), berarti ideologi kerakyatan dan kolektivisme yang dianut. Namun jika terdapat rencana untuk mencabut subsidi dengan dalih menyesuaikan harga pasar, mengurangi barrier terhadap free market economy, menciptakan single price di pasar global, dan sebagainya, maka gamblang sekali bahwa paham liberal-lah yang berlaku disini.

Di era globalisasi seperti sekarang, nampaknya pemerintah dapat dengan mudah tergelincir ke paham liberal jika tidak memiliki komitmen penuh menjaga konstitusi dan melayani rakyat. Pemerintah sangat mungkin terseret oleh arus permainan dari kekuatan-kekuatan global dan melupakan peran dasarnya selaku pelindung rakyat. Pemerintah adalah wasit yang harus menciptakan sistem pasar yang adil (fair) dan berkeadilan (just), dan harus menahan diri untuk tidak turut bermain.

Pelajaran yang sangat penting pernah ditunjukkan oleh Presiden China, Hu Jintao, tentang bagaimana seharusnya seorang pemimpin memegang teguh komitmen nasionalismenya. Pada tanggal 13/4/2010 di depan Presiden Obama, Ia menyatakan: “soal nilai tukar RMB, tidak ada satu negara-pun bisa menekan dan campur tangan”. Mampukah para pemimpin Indonesia mengatakan “tidak” terhadap intervensi asing, kontrak karya yang menguntungkan asing, atau kerjasama yang berat sebelah? Jika ideologi kerakyatannya kuat, maka jawabannya “pasti bisa”!

Semoga para pemimpin bangsa ini semakin menyadari bahwa nasib jutaan rakyat Indonesia sangat tergantung dari cara mereka berpikir dan bersikap pada saat merumuskan kebijakan, dan semoga pula mereka menempatkan amanat konstitusi dan kepentingan rakyat diatas segala-galanya. Bagi saya pribadi, pemahaman baru tentang adanya ideologi dibalik sebuah kebijakan ini memberikan inspirasi dan motivasi yang sangat dahsyat. Konkritnya, jika suatu ketika nanti saya menjadi seorang pemimpin yang memegang fungsi perumusan kebijakan strategis, maka akan saya pastikan bahwa saya telah memiliki ideologi yang benar. Pada saat yang sama, saya-pun harus extra hati-hati dalam merumuskan kebijakan, karena jika kebijakan yang saya ambil ternyata merugikan rakyat banyak, itu artinya saya telah berkhianat kepada rakyat dan kepada konstitusi negara. Melalui jurnal ini, saya akan terus menanamkan dalam kalbu saya bahwa kebijakan publik dibuat adalah untuk sebesar-besarnya kemakmuran dan kebahagiaan rakyat (public policy for the sake of people’s welfare and happiness).

Kampus Pejompongan Jakarta
Selasa, 18 Juli 2011

Tidak ada komentar: