Chusnul
mengatakan bahwa tidak ada kebijakan yang tidak punya ideologi, sedangkan
Ichsanuddin mengatakan bahwa ideologi seharusnya mengarahkan kebijakan.
Singkatnya, sebuah kebijakan pada hakekatnya adalah anak ideologi, dan seorang policy maker harus memiliki ideologi
yang jelas, yang akan diperjuangkannya melalui instrument kebijakan publik. Jika
pemimpin tidak memiliki ideologi, maka kebijakan yang lahir sangat mungkin
merupakan produk tekanan dari kelompok tertentu, atau produk kompromi terhadap
transaksi atau pertarungan antar kepentingan. Jika hal seperti itu terjadi, maka
hanya segelintir orang yang akan menikmati kebijakan tadi, sementara mayoritas
masyarakat justru harus menanggung beban dan biaya yang mungkin timbul.
Sebagai
sebuah sistem, kebijakan sendiri terdiri dari minimal empat komponen dasar,
yakni pelaku kebijakan, lingkungan kebijakan, kelompok sasaran, serta kebijakan
itu sendiri. Interaksi antar aktor kebijakan dengan stakeholder-nya, ditambah dengan dinamika lingkungan kebijakan yang
sangat kompleks, membuat perumusan kebijakan menjadi teramat sulit, terutama
dalam mengakomodir perbedaan pemikiran, aliran, dan preferensi dari berbagai
kelompok di tengah masyarakat. Dalam lingkungan yang sangat dinamis itulah,
peran pemerintah/negara semakin penting untuk menjamin bahwa masyarakat yang
apolitis, netral, dan tidak memiliki platform
politik tertentu, harus tetap dilindungi agar tidak terlindas dan tertindas
oleh kepentingan individu/kelompok tertentu. Kepentingan publik harus
diutamakan dari kepentingan privat, dan kepentingan nasional harus didahulukan
dibanding kepentingan internasional. Dengan kata lain, ideologi yang semestinya
diperjuangkan seorang pemimpin adalah keberpihakan kepada rakyat banyak (pro-people). Pemihakan kepada rakyat
sendiri merupakan amanat konstitusi, sehingga dapat dikatakan pula bahwa
ideologi yang harus terkandung dalam setiap kebijakan publik adalah ideologi
konstitusi.
Paham
yang menghendaki adanya peran optimal negara/pemerintah untuk menciptakan
keseimbangan antara tertib sosial (social
order) dengan otonomi individu (personal
autonomy) ini sering disebut dengan paham communitarian (Etzioni, 1995). Paham ini biasa dilawankan dengan
paham libertarian yang menginginkan
pemerintah keluar dari aktivitas sosial ekonomi dan percaya bahwa mekanisme
privat akan memberi hasil yang lebih baik dibanding intervensi negara (Murray,
1997).
Salah
satu ciri untuk mengetahui apakah pemerintah menerapkan paham libertarian atau commnunitarian adalah dalam hal subsidi. Jika pemerintah tetap mempertahankan subsidi
BBM (misalnya), berarti ideologi kerakyatan dan kolektivisme yang dianut. Namun
jika terdapat rencana untuk mencabut subsidi dengan dalih menyesuaikan harga
pasar, mengurangi barrier terhadap free market economy, menciptakan single price di pasar global, dan
sebagainya, maka gamblang sekali bahwa paham liberal-lah yang berlaku disini.
Di
era globalisasi seperti sekarang, nampaknya pemerintah dapat dengan mudah
tergelincir ke paham liberal jika tidak memiliki komitmen penuh menjaga
konstitusi dan melayani rakyat. Pemerintah sangat mungkin terseret oleh arus
permainan dari kekuatan-kekuatan global dan melupakan peran dasarnya selaku
pelindung rakyat. Pemerintah adalah wasit yang harus menciptakan sistem pasar
yang adil (fair) dan berkeadilan (just), dan harus menahan diri untuk
tidak turut bermain.
Pelajaran
yang sangat penting pernah ditunjukkan oleh Presiden China, Hu Jintao, tentang
bagaimana seharusnya seorang pemimpin memegang teguh komitmen nasionalismenya.
Pada tanggal 13/4/2010 di depan Presiden Obama, Ia menyatakan: “soal nilai tukar RMB, tidak ada satu
negara-pun bisa menekan dan campur tangan”. Mampukah para pemimpin
Indonesia mengatakan “tidak” terhadap intervensi asing, kontrak karya yang
menguntungkan asing, atau kerjasama yang berat sebelah? Jika ideologi
kerakyatannya kuat, maka jawabannya “pasti bisa”!
Semoga
para pemimpin bangsa ini semakin menyadari bahwa nasib jutaan rakyat Indonesia
sangat tergantung dari cara mereka berpikir dan bersikap pada saat merumuskan
kebijakan, dan semoga pula mereka menempatkan amanat konstitusi dan kepentingan
rakyat diatas segala-galanya. Bagi saya pribadi, pemahaman baru tentang adanya
ideologi dibalik sebuah kebijakan ini memberikan inspirasi dan motivasi yang sangat
dahsyat. Konkritnya, jika suatu ketika nanti saya menjadi seorang pemimpin yang
memegang fungsi perumusan kebijakan strategis, maka akan saya pastikan bahwa
saya telah memiliki ideologi yang benar. Pada saat yang sama, saya-pun harus
extra hati-hati dalam merumuskan kebijakan, karena jika kebijakan yang saya
ambil ternyata merugikan rakyat banyak, itu artinya saya telah berkhianat
kepada rakyat dan kepada konstitusi negara. Melalui jurnal ini, saya akan terus
menanamkan dalam kalbu saya bahwa kebijakan publik dibuat adalah untuk
sebesar-besarnya kemakmuran dan kebahagiaan rakyat (public policy for the sake of people’s welfare and happiness).
Kampus
Pejompongan Jakarta
Selasa,
18 Juli 2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar