Senin, 25 Juli 2011

Sekali Lagi Tentang Sinergi

Pada jurnal #17, saya sudah menulis perihal sinergi. Saya berpikir tidak ada lagi hal yang menarik dari issu yang diangkat sebagai tema Diklatpim II ini, hingga hari ini, ujian Kajian Kebijakan Publik ternyata berisi soal tentang sinergi. Nampaknya, penyelenggara Diklatpim II benar-benar ingin meyakinkan bahwa peserta telah memahami esensi sinergi dan mengetahui bagaimana menerapkannya dalam tupoksi di instansi masing-masing.
Soal yang ditanyakan dalam ujian tadi adalah tentang faktor-faktor yang potensial mengakibatkan gagalnya sinergi antar bagian atau antar instansi pemerintah. Saya sendiri memberikan jawaban bahwa efektivitas sinergi dan koordinasi akan sangat tergantung pada 6 (enam) kondisi sebagai berikut:
  • Ketidakmampuan organisasi untuk belajar (learning disabilities). Semakin tingkat tingkat ketidakmampuan organisasi untuk belajar, maka semakin sulit melakukan sinergi dan koordinasi.
  • Ketidakmampuan organisasi untuk beradaptasi dengan lingkungan. Semakin tinggi tingkat ketidakmampuan organisasi untuk beradaptasi dengan lingkungan, maka semakin sulit melakukan sinergi dan koordinasi.
  • Tingkat soliditas atau kemampuan mewujudkan shared-vision. Semakin beragam kepentingan dalam organisasi, semakin banyak perilaku oportunistik (opportunistic behavior) dalam organisasi, maka semakin sulit pula sinergi atau koordiansi dilakukan.
  • Besarnya/banyaknya unit kerja/instansi yang terlibat dalam suatu program. Semakin besar/banyak pihak yang harus dikoordinasikan, maka semakin sulit pula kemungkinan mewujudkan sinergi dan koordinasi.
  • Tingkat partisipasi dan kepedulian dalam organisasi. Semakin tinggi partisipasi dan kepedulian anggota organisasi terhadap visi dan program yang sudah disepakati, maka semakin mudah untuk melakukan koordinasi dan meraih sinergi.
  • Tingkat kejelasan otoritas dan kewenangan organisasi/pejabat tertentu. Semakin kabur batas-batas wewenang sebuah instansi atau semakin lemah seorang pejabat mengeksekusi kewenangannya, semakin sulit sinergi dan koordinasi dibangun.
Selain faktor yang berkontribusi terhadap gagalnya sinergi, soal ujian juga menanyakan solusi apa yang layak untuk dikembangkan untuk mengatasi potensi gagalnya sinergi tersebut. Dalam menjawab pertanyaan ini, saya mengajukan 3 (tiga) opsi sebagai berikut:

  • Organisasi harus melakukan proses pembelajaran secara terus menerus (continuos learning). Program pengembangan kapasitas perlu banyak dilakukan sebagai bagian dari proses pembelajaran tiada henti tersebut.
  • Setiap organisasi harus memiliki media untuk berkomunikasi dengan semua instansi/pihak yang terkait, misalnya dalam bentuk stakeholder meeting. Dengan demikian, sejak tahap perencanaan, implementasi, hingga pengukuran hasil atau kinerjanya dapat dilakukan secara sinergis.
  • Program pertukaran excgange pejabat lintas instansi secara periodic. Hal ini menurut saya akan menjadi terobosan luar biasa dalam membangun sinergi lintas instansi. Bahkan ada manfaat tambahan misalnya berupa pengayaan pengalaman, terbukanya jaringan kerja (network), serta mengurangi hambatan komunikasi (communication barrier) yang selama ini terjadi.
Terlepas dari jawaban yang telah saya kemukakan, harus saya akui bahwa saya sendiri tidak yakin bahwa 3 (tiga) opsi yang saya tawarkan benar-benar merupakan strategi yang ampuh untuk membangun sinergi lintas instansi. Keyataannya, problema sinergi adalah problema nasional yang dihadapi staf golongan 2 di kelurahan hingga Presiden RI. Tentu, sudah ratusan strategi dicoba dan ribuan konsep telah dikemukakan oleh pakar-pakar level nasional. Namun toch, masalah sinergi belum juga menghilang dari praktek pemerintahan di Indonesia. Maka, strategi yang paling baik barangkali adalah mencoba memulai diri sendiri untuk disiplin terhadap setiap aturan, dan sebesar mungkin mengurangi egoism, kemalasan, atau kecurigaan terhadap mitra/ pejabat atau pihak-pihak di sekitar kita.

Kampus Pejompongan Jakarta
Senin, 25 Juli 2011

Tidak ada komentar: