Pada
jurnal #17, saya sudah menulis perihal sinergi. Saya berpikir tidak ada lagi
hal yang menarik dari issu yang diangkat sebagai tema Diklatpim II ini, hingga
hari ini, ujian Kajian Kebijakan Publik ternyata berisi soal tentang sinergi.
Nampaknya, penyelenggara Diklatpim II benar-benar ingin meyakinkan bahwa
peserta telah memahami esensi sinergi dan mengetahui bagaimana menerapkannya
dalam tupoksi di instansi masing-masing.
Soal
yang ditanyakan dalam ujian tadi adalah tentang faktor-faktor yang potensial
mengakibatkan gagalnya sinergi antar bagian atau antar instansi pemerintah.
Saya sendiri memberikan jawaban bahwa efektivitas sinergi dan koordinasi akan
sangat tergantung pada 6 (enam) kondisi sebagai berikut:
- Ketidakmampuan organisasi untuk belajar (learning disabilities). Semakin tingkat tingkat ketidakmampuan organisasi untuk belajar, maka semakin sulit melakukan sinergi dan koordinasi.
- Ketidakmampuan organisasi untuk beradaptasi dengan lingkungan. Semakin tinggi tingkat ketidakmampuan organisasi untuk beradaptasi dengan lingkungan, maka semakin sulit melakukan sinergi dan koordinasi.
- Tingkat soliditas atau kemampuan mewujudkan shared-vision. Semakin beragam kepentingan dalam organisasi, semakin banyak perilaku oportunistik (opportunistic behavior) dalam organisasi, maka semakin sulit pula sinergi atau koordiansi dilakukan.
- Besarnya/banyaknya unit kerja/instansi yang terlibat dalam suatu program. Semakin besar/banyak pihak yang harus dikoordinasikan, maka semakin sulit pula kemungkinan mewujudkan sinergi dan koordinasi.
- Tingkat partisipasi dan kepedulian dalam organisasi. Semakin tinggi partisipasi dan kepedulian anggota organisasi terhadap visi dan program yang sudah disepakati, maka semakin mudah untuk melakukan koordinasi dan meraih sinergi.
- Tingkat kejelasan otoritas dan kewenangan organisasi/pejabat tertentu. Semakin kabur batas-batas wewenang sebuah instansi atau semakin lemah seorang pejabat mengeksekusi kewenangannya, semakin sulit sinergi dan koordinasi dibangun.
Selain
faktor yang berkontribusi terhadap gagalnya sinergi, soal ujian juga menanyakan
solusi apa yang layak untuk dikembangkan untuk mengatasi potensi gagalnya
sinergi tersebut. Dalam menjawab pertanyaan ini, saya mengajukan 3 (tiga) opsi
sebagai berikut:
- Organisasi harus melakukan proses pembelajaran secara terus menerus (continuos learning). Program pengembangan kapasitas perlu banyak dilakukan sebagai bagian dari proses pembelajaran tiada henti tersebut.
- Setiap organisasi harus memiliki media untuk berkomunikasi dengan semua instansi/pihak yang terkait, misalnya dalam bentuk stakeholder meeting. Dengan demikian, sejak tahap perencanaan, implementasi, hingga pengukuran hasil atau kinerjanya dapat dilakukan secara sinergis.
- Program pertukaran excgange pejabat lintas instansi secara periodic. Hal ini menurut saya akan menjadi terobosan luar biasa dalam membangun sinergi lintas instansi. Bahkan ada manfaat tambahan misalnya berupa pengayaan pengalaman, terbukanya jaringan kerja (network), serta mengurangi hambatan komunikasi (communication barrier) yang selama ini terjadi.
Terlepas
dari jawaban yang telah saya kemukakan, harus saya akui bahwa saya sendiri
tidak yakin bahwa 3 (tiga) opsi yang saya tawarkan benar-benar merupakan
strategi yang ampuh untuk membangun sinergi lintas instansi. Keyataannya,
problema sinergi adalah problema nasional yang dihadapi staf golongan 2 di
kelurahan hingga Presiden RI. Tentu, sudah ratusan strategi dicoba dan ribuan
konsep telah dikemukakan oleh pakar-pakar level nasional. Namun toch, masalah sinergi belum juga
menghilang dari praktek pemerintahan di Indonesia. Maka, strategi yang paling
baik barangkali adalah mencoba memulai diri sendiri untuk disiplin terhadap
setiap aturan, dan sebesar mungkin mengurangi egoism, kemalasan, atau
kecurigaan terhadap mitra/ pejabat atau pihak-pihak di sekitar kita.
Kampus
Pejompongan Jakarta
Senin,
25 Juli 2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar