Minggu, 17 Juli 2011

Perlunya Mengenali Masalah Kebijakan

Dari awal pembukaan hingga memasuki minggu ke-6 penyelenggaraan Diklatpim II, setiap penceramah selalu mengemukakan permasalahan bangsa yang begitu serius. Puluhan penceramah seolah-olah bermain dalam sebuah simfoni yang secara kompak memainkan nada minor terhadap kebijakan publik di tanah air tercinta. Dr. Son Diamar, penceramah di sesi akhir minggu ke-5, memberikan contoh mengenai perubahan UU No. 13/1968 tentang Bank Sentral menjadi UU No. 23/1999 jo. UU No. 3/2004 tentang Bank Indonesia. Pada UU yang lama, Bank Indonesia harus tunduk pada kebijakan pemerintah, sehingga kebijakan pemerintah merupakan lex superiori dari kebijakan Bank Indonesia. Namun pada aturan yang baru, ditegaskan bahwa BI adalah lembaga negara yang independen dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, bebas dari campur tangan pemerintah dan/atau pihak lain. Aturan seperti ini jelas sekali mengebiri diri sendiri dan menjadikan pemerintah impoten dalam mengatur salah satu elemen bangsa.
 
Kasus lain yang banyak dicontohkan oleh para pembicara adalah lemahnya posisi strategis Indonesia dihadapan tekanan liberalisasi ekonomi mondial. Tekanan internasional untuk menghapus subsidi atau untuk membuka pasar domestik terhadap arus barang impor adalah contoh konkritnya. Dengan kebijakan liberalisasi ekonomi ini, membuat pelaku ekonomi kecil dan menengah menjadi semakin sulit. Ditengah kesulitan ekonomi yang berdampak meningkatnya angka pengangguran dan kemiskinan, pemerintah justru banyak melakukan penggusuran terhadap rakyat kecil namun memberi pelayanan istimewa kepada investor asing. Situasi seperti ini ibarat mengencingi diri sendiri.

Banyaknya persoalan bangsa yang diungkapkan oleh para penceramah, ternyata menyebabkan banyak peserta menjadi pesimis terhadap masa depan bangsa. Sebagian juga mengkritik para pembicara karena hanya melihat dari sisi permasalahan tanpa menawarkan solusi konkrit untuk mengatasi problematika yang ada. Bahkan ada yang menganggap sikap kritis tadi sebagai bentuk kekecewaan karena tidak masuk dalam lingkaran kekuasaan.

Namun bagi saya pribadi, tumpukan masalah disampaikan tadi bukanlah sebuah keluhan. Dalam istilah William Dunn, timbunan masalah yang belum terstruktur tadi disebut dengan meta masalah. Ketika kita sudah mempunyai meta masalah, itu tandanya kita sudah berhasil mengenali dan mencari masalah. Ini merupakan tahapan yang sangat penting dalam analisis kebijakan, sebab seringkali yang terjadi adalah kesalahan dalam mengenali masalah, sehingga lahirlah kebijakan yang mengatasi masalah yang salah. Kenyataannya, mengenali masalah bukanlah sesuatu yang mudah dilakukan. Sesuatu yang nampaknya masalah, bisa jadi hanya sebuah gejala atau symptom yang menandakan adanya masalah dibalik gejala atau symptom tersebut. Itulah sebabnya, ada sebuah pameo bahwa apabila kita telah berhasil mengenali masalah yang sesungguhnya, kita sudah setengah berhasil memecahkan masalah.

Tahap selanjutnya yang dibutuhkan ketika kita sudah memiliki meta masalah adalah melakukan pendefinisian masalah dengan membuat cluster atau klasifikasi masalah, misalnya menjadi masalah sosial, masalah ekonomi, masalah administrasi, dan sebagainya. Kitapun bisa melakukan pengklasifikasian berdasar tingkatan urgensi dari masalah, atau berdasar jangka waktu pemecahan yang kita inginkan, dan sebagainya. Hasil pendefinisan dan pengklasifikasian ini oleh William Dunn disebut dengan istilah masalah substantif. Dari sini, kemudian dilakukan spesifikasi masalah yang ada dengan memilah-milah kebutuhan dan kemampuan kita untuk mengatasinya. Tentu tidak semua masalah akan dapat diselesaikan dalam waktu bersamaan, sehingga perlu diseleksi berdasarkan prioritasnya. Hasil dari spesifikasi masalah adalah masalah formal, atau yang disebut oleh Anderson sebagai agenda institusional. Artinya, masalah formal itulah yang harus diangkat sebagai agenda dalam perumusan kebijakan publik.

Kembali ke materi ceramah yang sarat dengan permasalahan, tanpa disadari telah menggiring peserta untuk melakukan analisis kebijakan. Setelah mendengarkan banyak ceramah, giliran peserta untuk mengembangkan alternatif solusi, menentukan kriteria dalam penilaian alternatif, serta menetapkan rekomendasi kebijakan untuk mengatasi masalah kebijakan (policy problem, bukan symptomatic problem) yang dihadapi.

Oleh karena itu, peserta sesungguhnya cukup tertolong dengan adanya deretan masalah yang dipampangkan oleh para penceramah. Kita semua juga harus berprasangka baik bahwa dibalik apa-apa yang disampaikan oleh para penceramah terkandung niat positif untuk mencari solusi atas problematika dalam kehidupan berbangsa, bukan mencari kesalahan pihak-pihak tertentu. Inilah saya kira salah satu pembelajaran yang sangat baik dan manfaat yang bisa diraih dari program Diklatpim II.

Kampus Pejompongan Jakarta
Senin, 18 Juli 2011

1 komentar:

Anonim mengatakan...

as,,pak pak,,saya sangat butuh tulisan atau materi tentang teori kebijakan institusional,,mohon srannya pak buku apa yang bisa dijadikan referensi,,trmakasi