Dari
awal pembukaan hingga memasuki minggu ke-6 penyelenggaraan Diklatpim II, setiap
penceramah selalu mengemukakan permasalahan bangsa yang begitu serius. Puluhan
penceramah seolah-olah bermain dalam sebuah simfoni yang secara kompak
memainkan nada minor terhadap kebijakan publik di tanah air tercinta. Dr. Son
Diamar, penceramah di sesi akhir minggu ke-5, memberikan contoh mengenai
perubahan UU No. 13/1968 tentang Bank Sentral menjadi UU
No. 23/1999 jo. UU No. 3/2004 tentang Bank Indonesia. Pada UU yang lama, Bank
Indonesia harus tunduk pada kebijakan pemerintah, sehingga kebijakan pemerintah
merupakan lex superiori dari
kebijakan Bank Indonesia. Namun pada aturan yang baru, ditegaskan bahwa BI
adalah lembaga negara yang independen dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya,
bebas dari campur tangan pemerintah dan/atau pihak lain. Aturan seperti ini
jelas sekali mengebiri diri sendiri
dan menjadikan pemerintah impoten dalam mengatur salah satu elemen bangsa.
Kasus
lain yang banyak dicontohkan oleh para pembicara adalah lemahnya posisi
strategis Indonesia dihadapan tekanan liberalisasi ekonomi mondial. Tekanan
internasional untuk menghapus subsidi atau untuk membuka pasar domestik
terhadap arus barang impor adalah contoh konkritnya. Dengan kebijakan
liberalisasi ekonomi ini, membuat pelaku ekonomi kecil dan menengah menjadi
semakin sulit. Ditengah kesulitan ekonomi yang berdampak meningkatnya angka
pengangguran dan kemiskinan, pemerintah justru banyak melakukan penggusuran
terhadap rakyat kecil namun memberi pelayanan istimewa kepada investor asing.
Situasi seperti ini ibarat mengencingi
diri sendiri.
Banyaknya
persoalan bangsa yang diungkapkan oleh para penceramah, ternyata menyebabkan
banyak peserta menjadi pesimis terhadap masa depan bangsa. Sebagian juga
mengkritik para pembicara karena hanya melihat dari sisi permasalahan tanpa
menawarkan solusi konkrit untuk mengatasi problematika yang ada. Bahkan ada
yang menganggap sikap kritis tadi sebagai bentuk kekecewaan karena tidak masuk
dalam lingkaran kekuasaan.
Namun
bagi saya pribadi, tumpukan masalah disampaikan tadi bukanlah sebuah keluhan.
Dalam istilah William Dunn, timbunan masalah yang belum terstruktur tadi
disebut dengan meta masalah. Ketika kita sudah mempunyai meta masalah, itu
tandanya kita sudah berhasil mengenali dan mencari masalah. Ini merupakan
tahapan yang sangat penting dalam analisis kebijakan, sebab seringkali yang
terjadi adalah kesalahan dalam mengenali masalah, sehingga lahirlah kebijakan
yang mengatasi masalah yang salah. Kenyataannya, mengenali masalah bukanlah
sesuatu yang mudah dilakukan. Sesuatu yang nampaknya masalah, bisa jadi hanya
sebuah gejala atau symptom yang
menandakan adanya masalah dibalik gejala atau symptom tersebut. Itulah sebabnya, ada sebuah pameo bahwa apabila
kita telah berhasil mengenali masalah yang sesungguhnya, kita sudah setengah
berhasil memecahkan masalah.
Tahap
selanjutnya yang dibutuhkan ketika kita sudah memiliki meta masalah adalah
melakukan pendefinisian masalah dengan membuat cluster atau klasifikasi masalah, misalnya menjadi masalah sosial,
masalah ekonomi, masalah administrasi, dan sebagainya. Kitapun bisa melakukan
pengklasifikasian berdasar tingkatan urgensi dari masalah, atau berdasar jangka
waktu pemecahan yang kita inginkan, dan sebagainya. Hasil pendefinisan dan
pengklasifikasian ini oleh William Dunn disebut dengan istilah masalah
substantif. Dari sini, kemudian dilakukan spesifikasi masalah yang ada dengan
memilah-milah kebutuhan dan kemampuan kita untuk mengatasinya. Tentu tidak
semua masalah akan dapat diselesaikan dalam waktu bersamaan, sehingga perlu
diseleksi berdasarkan prioritasnya. Hasil dari spesifikasi masalah adalah
masalah formal, atau yang disebut oleh Anderson sebagai agenda institusional.
Artinya, masalah formal itulah yang harus diangkat sebagai agenda dalam
perumusan kebijakan publik.
Kembali
ke materi ceramah yang sarat dengan permasalahan, tanpa disadari telah
menggiring peserta untuk melakukan analisis kebijakan. Setelah mendengarkan
banyak ceramah, giliran peserta untuk mengembangkan alternatif solusi,
menentukan kriteria dalam penilaian alternatif, serta menetapkan rekomendasi
kebijakan untuk mengatasi masalah kebijakan (policy problem, bukan symptomatic
problem) yang dihadapi.
Oleh
karena itu, peserta sesungguhnya cukup tertolong dengan adanya deretan masalah
yang dipampangkan oleh para penceramah. Kita semua juga harus berprasangka baik
bahwa dibalik apa-apa yang disampaikan oleh para penceramah terkandung niat
positif untuk mencari solusi atas problematika dalam kehidupan berbangsa, bukan
mencari kesalahan pihak-pihak tertentu. Inilah saya kira salah satu pembelajaran
yang sangat baik dan manfaat yang bisa diraih dari program Diklatpim II.
Kampus
Pejompongan Jakarta
Senin,
18 Juli 2011
1 komentar:
as,,pak pak,,saya sangat butuh tulisan atau materi tentang teori kebijakan institusional,,mohon srannya pak buku apa yang bisa dijadikan referensi,,trmakasi
Posting Komentar