Secara
jujur harus saya akui bahwa pada akhir minggu ke-3 penyelenggaraan Diklatpim
II, rasa lelah telah menghinggapi fisik dan pikiran saya. Indikasi kelelahan
ini nampak sekali dari menurunnya daya konsentrasi, semakin seringnya menguap
terutama pada sessi-sessi ceramah yang kurang atraktif dan provokatif, serta
menurunnya minat dan semangat untuk berperan secara optimal dalam setiap
aktivitas di kelas maupun di kelompok. Tanpa maksud menggeneralisasi, saya
melihat bahwa kelelahan juga sudah menyambangi peserta yang lain dengan
cirri-ciri yang sama.
Jika
melihat proses selama tiga minggu ke belakang, dapat dimaklumi mengapa
kelelahan itu sudah menjangkiti banyak peserta meski diklat baru berjalan
seperempat bagian. Tugas-tugas yang harus diselesaikan begitu banyak dan
beragam. Sebelum masuk program, peserta sudah harus menulis kasus administrasi
negara. Begitu masuk program, tugas individu maupun tugas kelompok sudah antri
panjang menunggu sentuhan peserta. Tugas individu yang harus dituntaskan hingga
akhir minggu ketiga dan awal minggu keempat antara lain berupa penulisan jurnal
harian, laporan DIT (diskusi issu terpilih), dan pengajuan TOR untuk KTP2
(Karya Tulis Prestasi Perseorangan). Adapun tugas kelompok yang harus digarap
meliputi DIT 1 s/d 7, integrasi DIT 1 s/d 3, integrasi DIT 4 dan 5, dan
pengajuan TOR untuk KKT (Kertas Kerja Tema). Total tugas yang harus
diselesaikan adalah 16 tugas individual dan 10 tugas kelompok. Itulah sebabnya,
pada minggu pertama kami sudah harus kerja marathon hingga larut malam, bahkan
menjelang subuh. Ketika kelas selesai jam 16.30, selepas shalat Isya’ kami
sudah harus berkumpul untuk mengerjakan tugas kelompok hingga tengah malam.
Setelah kerja kelompok selesai, barulah kami harus memikirkan tugas harian
menyusun jurnal.
Tugas
yang begitu menggunung, tentu memiliki dampak positif untuk pembelajaran kami
semua. Akan tetapi ada juga sisi negatifnya, yakni menyedot energi peserta
secara sangat cepat. Kurva diklat
semestinya bergerak dari arah kiri bawah ke kanan atas, ibarat mesin diesel
yang semakin panas semakin bertenaga. Namun yang justru terjadi adalah kurva terbalik yang bergerak dari titik kiri
atas ke kanan bawah, seperti pemain bola yang semakin lama bermain semakin
terkuras energinya. Fenomena kelelahan diatas mencerminkan secara nyata
terjadinya penurunan daya tahan peserta diklat seiring berjalannya waktu.
Dampak
terdekat dari kelelahan fisik adalah kelelahan mental. Dan ketika dimensi
mental sudah terjangkiti kelelahan, maka akan menghasilkan umpan balik ke
dimensi fisik berupa rasa malas dan hilangnya gairah. Kelelahan mental juga
akan memicu berubahnya idealisme menjadi pragmatisme. Kualitas produk
pembelajaran menjadi cenderung terabaikan dan tergantikan oleh pemenuhan tugas
secara formalitas belaka. Jika hal ini benar-benar terjadi, maka menjadi mudah
untuk menjelaskan mengapa selalu hadir fenomena “Tuyul” dalam setiap
penyelenggaraan diklat kepemimpinan.
Syukurlah,
di tengah mulai berkeliarannya para tuyul, saya masih sanggup berdamai dengan
tuyul. Artinya, saya tidak berkolaborasi dengan mereka, namun juga tidak
memusuhinya, sehingga saya merasa tidak perlu menggunakan jasa tuyul-tuyul
tadi, namun sayapun tidak akan mengganggu usaha mereka, meski saya tahu tuyul
itu ada di depan mata saya. Saya pribadi percaya bahwa tidak ada gunanya sama
sekali memusihi apalagi memerangi para tuyul, sebagaimana mustahilnya umat
manusia memerangi penyakit masyarakat seperti pelacuran, perjudian, dan
sebagainya. Baik pelacuran, perjudian, maupun tuyul-tuyul yang bergentayangan
di semua lembaga diklat adalah penawaran (supply)
dalam konsep ilmu ekonomi, yang selalu hadir sepanjang ada permintaan pasar (demand). Maka, strategi mengeliminasi
berbagai penyakit tadi tidak akan pernah efektif jika ditempuh pada wilayah supply. Pelarangan, ancaman, atau sanksi apapun tidak akan menghasilkan
efek jera bagi para penyedia jasanya (supplier,
provider). Akan lebih bijaksana jika wilayah supply yang disentuh, dengan gerakan penyadaran bahwa jasa-jasa
tadi hanya memberikan efek kesenangan sesaat namun merusak dalam jangka
panjang. Dan ketika jumlah permintaan semakin sedikit, maka penawaran juga
makin sedikit, dan secara alami akan mati pada saatnya.
Oleh
karena itu, alangkah baiknya jika paradigma diklat aparatur pada umumnya dan
Diklatpim II pada khususnya, diubah dari orientasi kuantitas menjadi kualitas.
Artinya, lebih baik produk pembelajaran sedikit
namun berbobot, dibanding produk pembelajaran yang menumpuk namun tidak bermakna. Konkritnya, saya pribadi menyarankan
pemangkasan tugas kelompok menyusun 7 laporan DIT plus 2 DIT integrasi, hanya
menjadi 3 DIT saja. Pengurangan jumlah produk ini perlu dilakukan tanpa harus mengurangi
alokasi waktu pembelajaran, sehingga interaksi diskusi dalam kelompok dapat
berlangsung lebih lama, tidak lagi dikejar-kejar deadline untuk segera menghasilkan laporan.
Hal
ini sekaligus dimaksudkan untuk mencegah merebaknya virus kelelahan yang hanya menurunkan
kualitas dan daya saing diklat.
Kampus
Pejompongan Jakarta
Kamis,
30 Juni 2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar