Hari
ini, Rabu (13/7/2011), saya menerima “surat cinta” dari penyelenggara Diklatpim
II. Isinya sungguh diluar dugaan saya dan sempat membuat saya sangat tidak
mempercayainya. Surat itu berisi teguran karena ketidakhadiran saya telah mencapai
10 sesi.
Sekedar
untuk mengklarifikasi isi surat dan mencoba melakukan pembelaan terhadap
keyakinan saya, maka saya kemudian menghadap kepada salah seorang pejabat dan
menanyakan bagaimana cara perhitungan 10 sesi tersebut? Jika 10 sesi itu
mencakup sesi senam pagi, sesi kegiatan mandiri di malam hari, dan ditambah
dengan keterlambatan, mungkin saja ada benarnya. Namun pejabat tersebut
menjawab bahwa 10 sesi itu dihitung dari sesi pembelajaran saja. Tentu saja,
saya merasa keberatan. Saya bukan hanya ingat, namun juga haqqul yaqin, bahwa saya tidak sekalipun kehilangan sesi
pembelajaran. Saya pernah 2 atau 3 kali terlambat sekitar 10 menit dan mengisi
daftar hadir di lembaran warna kuning. Saya juga pernah terlambat 1 jam, pada
saat sesi presentasi pembulatan Kajian Paradigma tanggal 8/7/2011. Ini adalah
satu-satunya keterlambatan saya yang cukup parah, namun itupun sudah saya
informasikan kepada widyaiswara dan ada alasan kuat mengapa saya melakukannya.
Perhitungan
subyektif saya, tidak satupun sesi yang saya lewatkan, alias zero absence. Lantas mengapa saya diduga
mangkir sebanyak 10 sesi? Bisa jadi jawabannya tidak bersifat tunggal, namun
banyak faktor yang memungkinkan hal tersebut terjadi. Salah satunya adalah
keteledoran saya yang tidak mengisi daftar hadir meski secara fisik dan faktual
saya hadir di kelas. Pergantian pola absensi seiring dengan pergantian jadual
juga menyebabkan sedikit kekacauan dalam hal waktu dan tempat absensi. Kekhilafan
penyelenggara yang tidak mencocokkan antara daftar hadir diatas kertas dengan
kehadiran riil di kelas, juga turut berkontribusi terhadap munculnya kasus
seperti ini.
Terus
terang, saya sangat terusik dan terganggu dengan surat itu. Sejak awal, saya telah
bertekad untuk menyerap sebanyak mungkin ilmu, nilai tambah, pengalaman, dan
kebaikan dari program Diklatpim II yang saya ikuti. Sejujurnya, saya juga
sedikit terbebani dengan status saya sebagai satu-satunya orang LAN yang
mengikuti Diklatpim II Angkatan XXXI. Namun hal ini justru membuat saya semakin
termotivasi untuk membuktikan bahwa orang LAN tidak manja dan diperlakukan sama
seperti peserta lainnya. Saya ingin membuktikan bahwa orang LAN dapat dijadikan
sebagai contoh yang baik, baik dalam perilaku sehari-hari maupun dalam proses
pembelajaran. Salah satu contoh perilaku saya tunjukkan sesaat setelah upacara
pembukaan, dimana ada salah seorang penyelenggara yang menawari saya untuk
menempati kamar seorang diri. Tawaran yang sangat simpatik ini harus saya
tolak, dan saya lebih memilih membaur dengan peserta lain. Bukti lain dari
komitmen bulat saya dalam mengikuti Diklatpim ini adalah hasrat saya untuk
dapat menghasilkan produk pembelajaran “plus”. Artinya, sejak awal sudah
terpikir dalam benak saya bahwa di ujung program diklat nantinya, saya tidak
hanya akan menyerahkan KTP-2 namun juga sebuah kumpulan tulisan berupa
pemikiran tentang strategi mereformasi sistem diklat aparatur. Inilah nilai
tambah minimal yang ingin saya hasilkan dari partisipasi saya di Diklatpim II (Catatan: rencana ini sebenarnya tidak akan saya
ungkap sekarang, namun dengan adanya kasus teguran diatas memaksa saya untuk
mengemukakan melalui jurnal ini).
Dengan komitmen seperti itu, tidak sedikitpun terbersit niat untuk meninggalkan sesi pembelajaran. Bahkan dari nara sumber yang kadang kurang mampu memuaskan dahaga intelektual saya-pun, saya tetap berusaha mengambil pembelajaran sebesar mungkin (baca Jurnal #7).
Kembali
ke kasus teguran yang saya terima, alasan apapun rasanya tidak akan membawa
perubahan. Secara faktual, dalam beberapa lembar absensi tidak terdapat tanda
tangan saya, dan oleh karena itu patut dianggap saya tidak hadir. Inilah
kebenaran formal itu. Meskipun saya benar-benar hadir di kelas (kebenaran
substantif, kebenaran material), tetap saja pendekatan formal yang dijadikan
acuan. Singkatnya, kebenaran formal seringkali mengalahkan kebenaran material. Dalam
lingkungan yang mementingkan formalitas, nampaknya mereka yang rajin absen atau
titip absen namun tidak hadir jauh lebih beruntung dari pada mereka yang
terlewat absen meski nyatanya hadir secara fisik.
Dalam kurikulum Diklatpim II,
sebenarnya kami banyak diajarkan metode berpikir serba sistem, teknik mengenali
gejala di permukaan (symptom) dan
membedakannya dengan masalah fundamental, dan juga diajarkan untuk melakukan
identifikasi masalah secara mendalam dan cermat. Sayangnya, dalam dunia nyata
kita sering mengabaikan hal-hal yang sifatnya mendasar dan cenderung berfokus
pada fenomena diatas permukaan (Iceberg
Theory). Dalam kaitan ini, kebenaran formal hanyalah symptom atau fakta kasar yang seringkali tidak merefleksikan
kebenaran dibaliknya, yakni kebenaran material.
Yang
lebih menyedihkan, fenomena formalisasi ini terjadi pula dalam permanent system organisasi pemerintah. Ilustrasi
berikut mungkin dapat memberi gambaran yang lebih gamblang. Dalam kasus
pengelolaan dan pertanggungjawaban keuangan, misalnya, jika
digunakan pendekatan yuridis, maka setiap pertanggungjawaban keuangan yang
dapat dibuktikan secara formal tidak dapat dikatakan telah terjadi potensi korupsi,
meskipun secara materiil sangat mungkin telah terjadi tindakan yang merugikan
keuangan negara. Demikian pula dalam kasus penambangan, seorang pengusaha yang
telah memiliki ijin dapat seenaknya mengeruk tambang demi keuntungan
pribadinya. Sementara penambang liar dalam skala kecil justru sering ditangkap
dengan tuduhan merusak lingkungan hanya karena tidak memiliki ijin formal.
Padahal jika dianalisis, penyebab kerusakan yang paling parah adalah pengusaha
tambang skala besar.
Demikian pula dalam dunia hukum
dan kebijakan publik di Indonesia, sindrom dan mentalitas mengejar formalitas
ini sudah begitu membudaya. Saat ini hukum dan kebijakan publik lebih menonjolkan
nilai-nilai benar – salah, dan kurang
mengembangkan nilai-nilai baik – buruk.
Pendekatan yuridis formal (wetmatigheid)
dengan gampang menderogasi pendekatan etik (rechtmatigheid)
yang bersumber dari sistem dan tata nilai. Padahal, suatu tindakan yang benar
menurut hukum atau aturan tertentu, belum tentu baik secara moral dan etis.
Nah, apakah selamanya kita akan menjadi bangsa yang mengagungkan formalitas? Jika
ya, alangkah malangnya negeri ini … L
Catatan kecil ini hanyalah
sekedar “eksepsi” saya sebagai warga negara yang berhak untuk membela diri dan
berhak pula mendapat perlakuan yang sama dimuka hukum. Persoalan apakah eksepsi
ini akan didengar atau tidak, bukan lagi urusan saya. Namun akan jauh lebih
arif jika sebelum sebuah sanksi (dalam bentuk teguran atau apapun) dilayangkan,
pejabat atau institusi yang berwenang menjatuhkan sanksi melakukan klarifikasi
terlebih dahulu untuk menghindari sekecil mungkin kesalahan akibat ditetapkannya
kebijakan pemberian sanksi tersebut. Wallahu’alam …
Kampus
Pejompongan Jakarta
Rabu,
13 Juli 2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar