Dibalik
proses pembelajaran yang terstruktur, Diklatpim II sesungguhnya menawarkan
banyak keuntungan lain. Keuntungan tadi jelas bukan keuntungan material, namun
lebih banyak keutungan immaterial, dari bertambahnya kawan yang membentuk
jaringan, kesempatan untuk menunjukkan jati diri kita dihadapan pejabat dari
berbagai kementerian/lembaga dan pemerintahan daerah, serta ilmu-ilmu, hikmah,
dan semangat yang kita peroleh dari sesame peserta. Pendeknya, keberadaan
kawan-kawan peserta adalah sumber ilmu dan kearifan yang semestinya kita
manfaatkan untuk meningkatkan ilmu dan kearifan kita. Dalam konteks inilah saya
menulis jurnal ini.
Salah
seorang peserta yang saya panggil “ustadz” sering sekali memberikan
nasihat-nasihat yang menjadikan suasana Diklatpim II menjadi tidak garing. Dia mengatakan bahwa
sesungguhnya dunia ini tidak ada nilai. Jika dunia bernilai, maka orang kafir akan
diharamkan oleh Allah SWT mendapatkannya. Hal yang paling bernilai di dunia ini
adalah agama, yang hanya diberikan kepada yang beriman. Ironisnya, dalam
kehidupan kita sehari-hari, kita terlalu disibukkan untuk membicarakan memamerkan
sampah (analogi untuk dimensi duniawi yang tidak bernilai), sementara intan
berlian (analogi untuk agama dan kehidupan di alam nanti) malah tidak banyak dibicarakan
dan dipamerkan. Ini mencerminkan bahwa mata manusia tertipu oleh hal yang nampak
(material). Hal-hal yang tidak nampak tertutup oleh hujjah, yang hanya akan
terbuka jika kita dekat dengan agama dan mencari sesuatu yang immaterial
(transedental). Contoh orang yang terbutakan adalah pejabat tinggi yang tidak
bisa nyenyak meski tidur di istana, sementara orang biasa tidur pulas meski
hanya di asrama.
Pada
kesempatan lain sambil menunggu penceramah yang datang terlambat, sang ustadz
juga menceritakan bahwa sesuatu yang pasti, namun karena tidak diulang-ulang,
maka menjadi seolah-olah tidak pasti. Sebagai contoh, adalah maut. Entah kapan
dan dimana, maut akan datang kepada segala hal yang hidup. Sayangnya, meski
maut adalah hal yang mutlak kebenarannya, banyak orang yang tidak menyiapkan
diri untuk menghadapinya, seolah-olah mereka masih belum yakin bahwa maut akan
menjemputnya. Hal ini karena jarang sekali kita membicarakan soal maut dalam
kehidupan sehari-hari. Sebaliknya, sesuatu yang tidak pasti, karena
diulang-ulang, maka terlihat seolah-olah menjadi pasti. Contohnya adalah kehidupan
dunia soal karir, pendidikan, kekayaan, atau juga kondisi masa depan. Apa yang
kita lakukan dengan kerja keras dari pagi hingga malam seolah-olah sudah pasti
akan memberi keuntungan dan nilai tambah bagi hidup kita. Padahal, dunia adalah
kehidupan yang sesungguhnya semu, bahkan cenderung “menipu”, kecuali bagi
mereka yang tidak mau terjerumus kedalam permainan dunia yang penuh jebakan dan
senda-gurau.
Dalam
kasus lain, karena AS berkali-kali disebut sebagai negara super power baik secara militer maupun ekonomi, maka orang
membayangkan jika suatu negeri diserbu AS maka pasti hancur lebur dalam
hitungan hari. Namun dia tidak berpikir bahwa bencana tsunami yang
meluluhlantakkan Aceh (2004) dan Jepang (2011) hanyalah setitik abu dari
kekuasaan Allah yang begitu besar tak terbatas. Dalam kenyataannya, orang
justru mengagumi kehebatan AS dibanding kekaguman kepada Sang Pencipta alam
semesta.
Berbagai
ilustrasi tadi menyiratkan sebuah kondisi dimana nilai-nilai agama sudah mulai
tergerus oleh pragmatisme keduniawian. Saking
pendeknya pemikiran manusia, orang tua selalu menasihati anaknya agar menggantungkan
cita-cita setinggi langit. Padahal, langit hanyalah setitik ciptaan Allah yang teramat
luas diluar kemampuan akal pikiran manusia. Oleh karena itu – menurut ustadz teman
saya tadi – seharusnya kita menggantungkan cita-cita semata-mata hanya untuk menuju
kepada pencipta kita, yakni Allah SWT, dan meraih ridho-Nya.
Kondisi
serba keduniawian tadi sedikit banyak dikontribusikan oleh sistem pendidikan
formal, pendidikan informal, maupun pendidikan aparatur yang sangat sekuler dan
kurang sekali memberi porsi pendidikan akhlak, budi pekerti, etika, dan
keagamaan. Oleh karena itu, paradigma pendidikan di Indonesia semestinya lebih
memberi porsi terhadap muatan-muatan spiritualitas dan keagamaan.
Selain
teman yang ustadz tadi, saya juga beruntung mengenal seseorang yang telah cukup
sepuh (57 tahun) yang sudah saya anggap sebagai saudara bahkan orang tua bagi saya.
Ciri khas beliau adalah sangat kocak, baik hati, dan suka memotivasi orang lain.
Saya adalah salah seorang yang didukung oleh beliau untuk menjadi yang terbaik dalam
kelas kami. Beliau mengatakan bahwa pegawai seusia saya memang harus memiliki target-target
yang tinggi dan tidak boleh kendor. Beliau juga memiliki keyakinan bahwa saya memiliki
kemampuan memadai untuk menjadi yang terbaik.
Dengan
lingkungan sosial seperti si ustadz atau teman yang sudah saya anggap sebagai bapak
tadi, maka saya merasa keberadaan saya dalam program Diklatpim II begitu tidak sia-sia.
Banyak keuntungan yang benar-benar saya dapatkan, dan saya yakini sangat bermanfaat
bagi diri saya pribadi. Tentu saja, saya juga berusaha agar keberadaan saya membawa
keberuntungan dan manfaat buat teman-teman yang lain.
Kampus
Pejompongan Jakarta
Selasa, 26 Juli 2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar