Latar Belakang
· Ibukota suatu negara pada hakikatnya merupakan representasi / simbol dari
eksistensi suatu negara. Itulah sebabnya, penentuan lokasi Ibukota menjadi
sangat strategis dan harus dipikirkan secara masak dan mendalam. Sebab,
kesalahan dalam menetapkan lokasi akan dapat berimplikasi pada tidak optimalnya
penyelenggaraan fungsi-fungsi kenegaraan dan kepemerintahan.
· Fungsi Ibukota dalam prakteknya terus berkembang tidak saja sebagai Pusat
Pemerintahan, namun juga pusat perdagangan dan industri, pusat permukiman, pusat
hiburan / kesenian dan budaya, serta pusat pendidikan dan jasa-jasa lainnya.
Selain itu, data Bank Dunia menunjukkan bahwa 70 % uang beredar di Indonesia
ada di Jakarta, sehingga Jakarta menjadi pusat seluruh aktivitas perekonomian
Indonesia. Hal ini pulalah yang menyebabkan Kota Jakarta menjadi tujuan pertama
dan utama para urbanisasi dengan segala problemanya. Berbagai hal tadi menjadikan
wilayah Ibukota semakin lama semakin jenuh sekaligus menurunkan daya dukung
lingkungan (carrying capacity). Dampak
lanjutannya, tidak dapat dihindari terjadinya pemusatan / konsentrasi aktivitas
yang cenderung menyebabkan people
generator (bangkitan pertambahan penduduk), land use generator (bangkitan penggunaan lahan) dan traffic generator (bangkitan lalu
lintas) yang tinggi. Inilah awal munculnya kerumitan penduduk, kepenatan tata
ruang, dan kekacauan lalu-lintas (people
congestion, land-use congestion, and traffic congestion).
·
Sebagai dampak dari kepenatan sosial dan lingkungan di Ibukota, lahirlah
berbagai fenomena alam yang tidak bersahabat seperti banjir, produksi sampah
diluar daya tampung, polusi, peningkatan suhu udara, dan sebagainya. Dampak
ikutan dari fenomena alam tadi adalah munculnya berbagai jenis penyakit,
kebutuhan terhadap pembangunan lokasi pengungsi, rusaknya jaringan komunikasi
dan transportasi, serta kerugian materiil dan moril (immateriil) yang tidak
terhingga.
· Atas dasar berbagai fakta dan prakondisi diatas, maka muncullah kemudian
gagasan untuk merelokasi Ibukota negara, DKI Jakarta, ke wilayah baru yang jauh
lebih layak secara sosial, ekonomis, ekologis, maupun pertahanan dan keamanan.
· Ide atau wacana untuk meneliti kemungkinan dapat dipindahnya Ibukota Negara
RI sendiri mula-mula dilontarkan pada pertemuan FKKD di Balitbangda Kaltim di
Samarinda oleh anggota FKKD Regional Tengah secara non-formal, kemudian
dilanjutkan lagi pada saat berlangsungnya Rakornas Litbang ke VI di Semarang.
Pada acara Rakornas Iptek di Bandung pada bulan November 2006, ide tersebut
dibahas pada sidang paripurna dan menjadi agenda yang perlu ditindak lanjuti
melalui langkah nyata dengan melakukan penelitian dilapangan.
Prinsip Umum Pemindahan Ibukota
· Upaya pemindahan Ibukota bukan merupakan upaya reaktif terhadap sebuah
persoalan aktual yang tengah dihadapi, tetapi merupakan kerangka strategi umum
dalam rangka mengatasi persoalan multidimensional (poleksosbudhankam) serta
meningkatkan fungsi-fungsi kenegaraan dan kepemerintahan pada umumnya.
· Pemindahan Ibukota bukan merupakan sebuah keanehan atau kemustahilan.
Berbagai negara telah sangat berpengalaman memindahkan Ibukotanya, misalnya
Nigeria memindahkan Lagos ke Abuja tahun 1991, New Zealand (dari Auckland ke
Wellington, tahun 1865), Australia (dari Melbourne ke Canberra, tahun 1927),
Jepang (dari Kyoto ke Tokyo, tahun 1868), Pakistan (dari Karachi ke Islamabad,
tahun 1967), India (dari Calcutta ke New Delhi, tahun 1912), Malaysia (dari Kuala
Lumpur ke Putrajaya, tahun 2002), Philipina (dari Quezon City ke Manila, tahun
1976), Rusia (dari Saint Petersburg ke Moscow, tahun 1918), Amerika Serikat
(dari Philadelphia – New York ke Washington DC, tahun 1800). Negara-negara
tersebut juga berpengalaman dalam pemindahan Ibukota Negara Bagian / Provinsi dalam
wilayahnya.
· Selain itu, beberapa negara memiliki lebih dari satu Ibukota. Sebagai contoh Malaysia memiliki dua kota yang berfungsi sebagai Ibukota: Kuala Lumpur dan Putrajaya, atau Belanda yang memiliki Amsterdam dan Den Haag. Bahkan Afrika Selatan memiliki tiga buah Ibukota sekaligus: Pretoria, Cape Town, dan Bloemfontein.
·
Sementara di dalam negeri sendiri, pemindahan Ibukota juga cukup sering
terjadi terutama di level Kabupaten/Kota. Sebagai contoh, Ibukota Kab. Musi
Rawas dipindahkan dari Lubuk Linggau ke Muara Beliti (PP No. 46/2005), Kab.
Lombok Barat (dari Mataram ke Gerung, PP No. 62/2000), Kab. Kupang (dari Kupang
ke Oelamasi, PP No. 3/2006), Kab. Luwu (dari Palopo ke Balopa, PP No. 80/2005),
Kab. Cirebon (dari Cirebon ke Sumber, PP No. 33/1979), Kab. Jayapura (dari
Jayapura ke Sentani, PP No. 15/2000), Kab. Limapuluh Kota (dari Payakumbuh ke
Sarilamak / Harau, PP No. 40/2004), Kab. Solok (dari Solok ke Arosuka, PP No. 39/2004),
Kab. Semarang (dari Semarang ke Ungaran, PP No. 29/1993), Kab. Aceh Utara (dari
Lhokseumawe ke Lhoksukon, PP No. 18/2003), dan sebagainya. Sedangkan di tingkat
provinsi, Ibukota Sumatera Barat pernah dipindah dari Bukittinggi ke Padang (PP
No. 29/1979), dan sebagainya.
·
Pemindahan Ibukota Negara harus memiliki landasan teoretik pragmatik yang
kuat, serta alasan, argumentasi, dan tujuan yang jelas dan terukur. Iran, misalnya, sedang mempertimbangkan pemindahan Teheran
ke Kota Isfahan, karena Ibukota yang lama sangat rentan terhadap gempa bumi (tahun
2003 telah terjadi gempa di kota bam yang menewaskan lebih dari 41.000 jiwa,
dan diprediksikan akan muncul gempa susulan dengan kekuatan 6.8 skala richter
yang dapat menewaskan 720.000 jiwa). Sementara Korsel berencara memindahkan
Ibukota di Seoul ke barat Kota Taejon yang menawarkan
kondisi transportasi dan lingkungan yang lebih baik, sehingga menciptakan
pembangunan yang lebih seimbang di Korsel.
·
Pro dan kontra terhadap sebuah rencana kebijakan adalah hal yang biasa dan
alamiah. Namun pemindahan Ibukota juga merupakan hal biasa dan alamiah, sehingga
sebaiknya tidak disikapi secara apriori. Yang terpenting adalah mencari strategi dan metode
terbaik tentang keputusan dipindahkan atau tidak dipindahkannya Ibukota
Jakarta. Inilah sikap rasional yang harus dijunjung tinggi atas dasar kajian
yang cermat, komprehensif, visioner, obyektif, multidisipliner, lintas
pendekatan, dan lintas sektoral.
·
Pemindahan Ibukota adalah sebuah ”proyek” raksasa sehingga tidak dapat
dilakukan dalam waktu singkat secara instan. Pengkajian terhadap kelayakan (feasibility study) pemindahan Ibukota
minimal membutuhkan waktu 1 dekade (10 tahun) secara bertahap. Ini berarti,
pemindahan Ibukota hanya dapat dilakukan jika disertai dengan Perencanaan
Strategis (strategic planning), termasuk kerangka waktu (time-frame) yang jelas dengan target-target tahunannya.
Faktor Pendorong (push-factors)
Pemindahan Ibukota
·
Pertambahan penduduk yang tidak terkendali. Jumlah penduduk di kawasan Jabodetabek saat ini 11,2 juta jiwa dengan laju
pertambahan penduduk periode 1995-2005 rata-rata sebesar 3,6%, dengan angka
migrasi masuk rata-rata 1,6 juta jiwa per tahun. Jumlah penduduk yang
membengkak dan tidak diimbangi oleh pelayanan sosial, jelas akan menimbulkan
krisis dan penyakit pembangunan (development
pain).
·
Keadaan kependudukan seperti diatas dapat menimbulkan implikasi di bidang
kehidupan lainnya, seperti lingkungan hidup yang terganggu, merebaknya
pengangguran, masyarakat miskin, kriminalitas, dan kerawanan sosial lainnya
semakin meningkat dan suatu saat bisa sampai pada satu keadaan yang diluar
kendali dan menimbulkan tragedi kemanusiaan.
·
Dari tinjauan geografis, Kota Jakarta terletak diantara lempengan benua Asia
dan Australia (lempeng Auresia) yang merupakan lempeng patahan kerak bumi yang
sangat berpotensi terjadi gempa tektonis dan vulkanis serta potensi tsunami.
Sedangkan dari tinjauan elevasi, Kota Jakarta terletak di ketinggian dari muka
laut Minus 2 Meter DPL sampai 10 meter DPL. Keadaan ini memberikan peluang Kota
Jakarta akan selalu mengalami banjir karena letaknya berada dibawah permukaan
laut.
Faktor Penarik (pull-factors)
Pemindahan Ibukota
·
Ketersediaan lahan yang masih luas di wilayah lain, khususnya diluar Pulau Jawa. Hal ini dapat dimanfaatkan untuk mendesain
sebuah kota baru yang modern, ramah lingkungan, aman dan nyaman, sekaligus
menjamin tetap terjaganya daya dukung (carrying
capacity) lingkungan secara lestari.
· Kebutuhan untuk melakukan redistribusi sumber-sumber ekonomi dan
mengakselerasi pembangunan wilayah tertentu, sehingga tercipta keseimbangan
pusat-pusat pertumbuhan (growth poles)
dalam suatu negara. Prinsip pemerataan (distribution)
dan keadilan (equity) sosial ekonomi
ini, pada gilirannya akan membawa konsekuensi politis yang positif, yakni
memperkuat jalinan persatuan bangsa dalam koridor NKRI.
Opsi Penanganan Permasalahan Ibukota
Pemindahan Ibukota pada
dasarnya hanya salah satu pilihan (option)
untuk mengatasi persoalan yang terlanjur membelit Kota Jakarta. Namun masih ada
opsi lain yang dapat dipertimbangkan secara matang, yakni revitalisasi kota.
Pemindahan Ibukota sendiri dapat dibagi dalam beberapa pilihan yang lebih
spesifik. Dengan demikian, paling tidak dapat diidentifikasikan beberapa opsi
penanganan permasalahan Ibukota sebagai berikut:
·
Revitalisasi dan Pembaharuan Kota, yang ditempuh melalui program pembangunan
terintegrasi (integrated development),
misalnya pembangunan kanal-kanal, pembersihan dan pengerukan sungai, pembatasan
jumlah penduduk dan pengendalian pertumbuhan penduduk, pengetatan perijinan
IMB, pengalihan kegiatan industri diluar kota, dan sebagainya, yang
dilaksanakan secara simultan dan berkesinambungan. Dengan strategi city renewal program ini, pemindahan Ibukota
dapat ditangguhkan sehingga dapat menekan pembiayaan yang tidak perlu. Salah
satu success story yang dapat
dijadikan sebagai benchmarking adalah
Curitiba. Tercatat sebagai salah satu kota terkumuh dan termacet di Brasil pada
dasawarsa 1970-an, Curitiba mampu bersolek diri secara radikal. Kota itu kini
menjadi kawasan paling apik di Negeri Samba. Bahkan, pada 1996, Curitiba
dianugerahi predikat the most innovative city in the world.
Banyak pemerintah kota di berbagai dunia yang saat ini melirik Curitiba, yang
dibangun dengan konsep Eco-city (kota
berwawasan lingkungan).
·
Pemindahan Ibukota ke wilayah yang masih berdekatan. Pilihan ini memiliki kelebihan dapat memanfaatkan
prasarana yang sudah ada di ibukota yang lama, sehingga yang diperlukan
hanyalah membangun jaringan transportasi yang memadai dari Ibukota lama ke Ibukota
yang baru. Opsi inilah yang dipakai Pemerintah Malaysia dalam memindahkan
fungsi ibukota dari Kuala Lumpur ke Putrajaya secara bertahap. Dalam konteks
wacara pemindahan DKI Jakarta, wilayah penyangga (buffer zone atau hinterland)
di wilayah Jawa Barat menjadi pilihan terbaik opsi kedua ini.
·
Pemindahan Ibukota ke wilayah yang relatif jauh dari lokasi awal. pilihan
kedua jauh lebih mahal karena semua infrastruktur harus dibuat dari awal,
tetapi lebih baik secara politis karena letaknya berada di tengah-tengah
negara. Dalam hal ini, Brazil memilih pilihan kedua dengan membuat kota Brasilia di tengah-tengah negara. Kabarnya, pilihan Brazil ini sempat melilit
negara ini ke dalam jeratan hutang, namun saat ini Brasilia adalah salah satu
kota terbaik di Brazil, dan pembangunan di seluruh negara Brazil menjadi lebih
merata. Dalam konteks wacara pemindahan DKI Jakarta, wilayah yang ideal menurut
opsi ini adalah kota-kota di Kalimantan seperti Palangkaraya atau Balikpapan.
Alternatif Kota Pengganti Ibukota
·
Kota-kota yang sudah banyak diwacanakan sebagai calon pengganti DKI Jakarta
antara lain Jonggol, Bogor, dan Bekasi (semuanya berada di wilayah Jawa Barat
sebagai penyangga Ibukota). Selain itu, Palangkaraya sudah lama dipersiapkan
oleh Presiden Soekarno sebagai calon Ibukota pengganti Jakarta. Pemancangan
tiang pendirian Kota Palangkaraya pada tahun 1957 merupakan awal ide untuk
menggagas Palangkaraya sebagai ibu kota negara. Pertimbangan yang digunakan,
ditinjau dari posisi geografisnya, posisi Palangkaraya cukup unik karena kota
tersebut letaknya kira-kira berada tepat di tengah-tengah Indonesia. Dan
apabila ditarik sumbu imajinernya, beberapa bangunan penting dari kota seluas
sekitar 2.678,51 kilometer persegi ini segaris atau mengarah ke Jakarta.
·
Diluar kota-kota yang sudah masuk ”nominasi”, masih banyak pula kota-kota
yang sangat layak untuk dipertimbangkan sebagai kandidat kuat, misalnya Balikpapan. Beberapa argumen yang dapat
disampaikan adalah bahwa Kalimantan umumnya dan Balikappan khususnya merupakan
wilayah yang sangat aman dan minim dengan kasus bencana, seperti tsunami
(karena terlindung oleh pulau-pulau lain dan jauh dari jalur patahan bawah
laut), atau letusan gunung (karena tidak ada gunung berapi di Kalimantan).
Selain itu, secara infrastruktur Balikpapan sudah relatif lengkap, namun masih
memiliki lahan yang luas untuk pemekaran wilayah. Balikpapan juga sangat
strategis karena memiliki laut dan selat sebagai media pertumbuhan ekonomi
kawasan. Apalagi jika sudah terbangun jembatan yang menghubungkan Balikpapan
dengan Kab. Penajam dan Kab. Pasir, maka nantinya akan dapat terbangun koridor
Balikpapan – Kalsel (Koridor Barat). Ditambah dengan kemungkinan pembangunan
jalan tol Samarinda – Bontang, maka akan terbangun Koridor Selatan – Utara. Dua
jalur koridor ini jelas sangat penting untuk pengembangan wilayah secara
komprehensif dan cepat (rapid development).
·
Yang terpenting untuk dilakukan adalah membuat cost and benefit analysis atau model-model analisis lainnya, dengan
menggunakan parameter, kriteria atau indikator yang obyektif, reliabel, dan
akurat untuk menghitung tingkat probabilitas dari setiap kota yang potensial. Inilah
salah satu aspek yang perlu dibahas dan disepakati dalam pertemuan FKK kali
ini.
Landasan Teoretik
·
Dewasa ini, disparitas regional atau kesenjangan antar daerah/wilayah
secara signifikan terlihat dalam peta regional pembangunan kita. Ini
menunjukkan bahwa tingkat pembangunan di Pulau Jawa (plus Bali dan Sumatera)
ternyata jauh lebih maju dibandingkan daerah-daerah lainnya di wilayah
Indonesia Bagian Timur. Kesenjangan pembangunan tersebut akan lebih nyata
terlihat secara jelas jika unit pengamatan kita turunkan hingga ke tingkat
kabupaten, apalagi tingkat pedesaan.
·
Pendekatan perencanaan regional yang konvensional, berpendapat bahwa
tindakan pemerintah sangat diperlukan untuk mencegah terjadinya apa yang
disebut Gunnar Myrdal (1957)
dengan backwash effect dari pembangunan di pusat-pusat pertumbuhan, yang
akan menguras habis sumber-sumber ekonomi dan tenaga kerja yang relatif
terlatih dari daerah (periphery). Untuk mengatasi hal tersebut, strategi
"efek menetes kebawah" (trickle-down effect) disarankan untuk
mengurangi dan menghilangkan kesenjangan antar wilayah. Konsepsi ini lebih
lanjut dijabarkan oleh John Friedmann
(1966) dalam model pembangunan wilayah yang disebutnya sebagai the four
stage of spatial development. Model atau pendekatan Friedmann tersebut tampaknya
diilhami oleh teori Rostow
(1960) tentang pertumbuhan ekonomi sebagai suatu tahapan linier.
·
Pendekatan efek menetes kebawah ini cenderung menempatkan pemerintah pusat
pada peranan yang dominan. Pendekatan yang bersifat top-down ini, pada
kenyataan lebih berfokus pada upaya pembangunan untuk mendorong tingkat
pertumbuhan ekonomi di beberapa pusat pertumbuhan, di beberapa kota besar
tertentu atau beberapa wilayah tertentu yang kaya dengan berbagai faktor
produksi, atau yang memiliki kemudahan akses terhadap infrastruktur ekonomi.
Kecenderungan seperti ini malah semakin memperbesar kesenjangan antara
pusat-pusat pertumbuhan dengan daerah pedalaman, antara masyarakat perkotaan
yang semakin sejahtera dengan masyarakat daerah pedesaan dan pedalaman yang tetap
miskin. Sebagaimana kritik yang dikemukakan oleh Michael Lipton (1977) dalam bukunya yang berjudul Why Poor
People Stay Poor: Urban Bias in World Development, juga kritik Robert Chambers (1983) dalam
tulisannya Rural Development - Putting the Last First.
·
Berdasarkan kritik atas pendekatan perencanaan dan pembangunan regional
yang bersifat top-down tersebut, maka kemudian dikembangkan pendekatan dan
kebijaksanaan desentralisasi dan dekonsentrasi yang mengarahkan perencanaan dan
pelaksanaan pembangunan lebih ke daerah-daerah pinggiran atau daerah periferi,
sehingga lebih mencerminkan terakomodasikannya aspirasi masyarakat, serta lebih
mencerminkan proses yang bersifat bottom up. Pendekatan yang antara lain
dipelopori oleh World Bank dan ILO pada tahun 1970-an ini, kemudian dikenal
sebagai strategi "redistribution with growth".
·
Khususnya dalam perencanaan kota dan wilayah, secara teknis ada beberapa
teori yang bisa dipertimbangkan, misalnya the concentric zone theory
dari Burgess, the sector
theory dari Homer Boyt, the
theory of natural areas dari Harvey
Zorbaugh, the theory of symbolical values dari Walter Firey, the transportation
theory dari A. Weber, the
statistical approach dari Calvin
Schmid, dan sebagainya (Koesoemahatmadja,
1986). Diantara berbagai teori diatas, yang paling sederhana adalah teori
Burges (semula dimaksudkan untuk membangun kota Chicago) yang membagi wilayah
kota atau daerah menjadi 5 (lima) zona.
·
Dari berbagai teori tersebut, maka pemindahan Ibukota negara sesungguhnya
sangat logis dan memiliki dasar konseptual yang cukup kuat, yakni dalam rangka
membangun kapasitas perkotaan guna menunjang fungsi-fungsi sosial ekonomi umat
manusia.
Tindak Lanjut Rencana Pemindahan Ibukota DKI Jakarta
·
Oleh karena memiliki arti sangat strategis, maka wacana pemindahan Ibukota
ini perlu diteruskan sebagai bola salju (snowball
effect), salah satunya melalui penyusunan Agenda Riset untuk mendukung
framework pemindahan Ibukota. Agenda riset ini selanjutnya perlu
disepakati dan kemudian di distribusikan secara merata kepada komunitas
kelitbangan (anggota FKK Wilayah Tengah). Cara ini akan memiliki efek sinergis
dan menjadi basis yang obyektif untuk pengambilan keputusan tentang rencana
pemindahan Ibukota RI.
·
Agenda Riset tersebut harus menyentuh keseluruhan dimensi / sektor
pembangunan dan harus mampu menawarkan formula kebijakan yang manjur, sehingga
mampu menjamin Ibukota yang baru tidak terjangkiti penyakit-penyakit
sebagaimana Ibukota yang lama. Adapun beberapa agenda riset yang dibutuhkan
untuk mendukung framework pemindahan Ibukota antara lain adalah sebagai berikut
(tentatif):
o
Kajian Perencanaan Makro dan Perencanaan Teknis Pemindahan Ibukota.
o
Kajian Biaya Manfaat (CBA – Cost
Benefit Analysis) Pemindahan Ibukota.
o
Kajian Tata Ruang Wilayah Calon Ibukota Negara.
o
Kajian Analisis Kebutuhan Pembangunan Infrastruktur Ibukota Negara Baru.
o
Kajian Analisis Strategi Pembangunan Sektor Pertahanan dan Keamanan.
o
Kajian Dampak Sektor Demografis dan Sosiologis Kebijakan Pemindahan
Ibukota.
o
Kajian Dampak Sektor Ekonomi (Perdagangan, Industri, Investasi, dll)
Kebijakan Pemindahan Ibukota Negara.
o
Kajian Dampak Lingkungan dan Kelayakan Ekologis Pembangunan
o Kajian Prospek Hubungan Internasional dan Fungsi Diplomasi Pasca Pemindahan
Ibukota Negara.
o Kajian Efektivitas Koordinasi dan Hubungan Antar Lembaga Negara dan Lembaga
Pemerintahan Pasca Pemindahan Ibukota Negara.
o Kajian Kemampuan Anggaran dan Sumber-Sumber Pembiayaan Dalam Pemindahan
Ibukota Negara.
o Kajian Akseptabilitas dan Responsivitas Stakeholder Dalam Upaya Memindahkan
Ibukota Negara.
o Kajian Sistem Transportasi (Darat/Udara/Laut/Sungai) Untuk Mendukung
Kelancaran Tugas-Tugas Kenegaran dan Pemerintahan di Wilayah Baru.
o
Dan sebagainya.
Penutup
Pemindahan Ibukota Negara memiliki nilai strategis
nasional, bahkan internasional. Itulah sebabnya, rencana kebijakan ini perlu
didukung oleh komitmen yang kuat dari berbagai stakeholder, baik dari kalangan pemerintahan maupun
non-pemerintahan (pelaku bisnis, media, LSM, dan sebagainya). Komitmen ini
salah satunya dapat dibuktikan dengan penyusunan kerangka kerja yang lebih
baik.
DAFTAR REFERENSI
Azis, Iwan Jaya, Ilmu Ekonomi Regional dan
Beberapa Aplikasinya di Indonesia, Jakarta :
LP FE UI, 1994
Chambers, Robert, Rural Development: Putting the
Last First, New York :
Longman, 1983
Fritschi, Bep, Agnes T. Kristayani dan Florian
Steinberg, Partisipasi Masyarakat Dalam Operasionalisasi Pendekatan P3KT,
dalam Nana Rukmana, Florian Steinberg dan Robert van der Hoff (ed.), Manajemen
Pembangunan Prasarana Perkotaan, Jakarta : LP3ES, 1993
The
Guardian, Iran considers moving capital from quake zone,
January 6, 2004 http://www.guardian.co.uk/naturaldisasters/story/0,7369,1116676,00.html
Jawa Pos, Edisi 8 Februari, 2007, Ibu Kota Diusulkan Pindah ke
Subang,
http://www.jawapos.co.id/index.php?act=detail_c&id=270393
______________, Edisi 6 Februiari 2007, Masih Layakkah Jakarta Jadi Ibu
Kota? http://www.jawapos.co.id/index.php?act=detail_c&id=270043
Kartasasmita, Ginandjar, 1996,
Pembangunan Untuk Rakyat: Memadukan Pertumbuhan dan Pemerataan, Jakarta:
CIDES.
Koesoemahatmadja, R.D.H., Peranan
Kota Dalam Pembangunan : Ditinjau Secara Historis, Yudidis, Komparatif,
Sosiologis, Ekonomis dan Politik, Cet. Kedua, Bandung : Bina Cipta, 1986
Lipton, Michael, 1977, Why Poor People Stay
Poor: Urban Bias in World Development.
Nurcahyo, Priyadi Imam, Memindahkan Ibukota dari Jakarta? Personal Blog’s, Edisi 29 September 2006, http://priyadi.net/archives/2006/09/29/memindahkan-ibukota-dari-jakarta/
Pikiran
Rakyat, RUU DKI
tak Terkait Megapolitan, 10 Tahun Lagi Ibu Kota Negara Harus Dipindah ke Lokasi
Lain, Edisi 16 Juni 2006, http://pikiran-rakyat.com/cetak/2006/062006/16/0209.htm
Republika, 6 Februari 2007, Ketua DPR: Pemindahan Ibukota tak Pecahkan Masalah Jakarta, http://www.republika.co.id/online_detail.asp?id=281669&kat_id=23
Rozi, Syafuan, Memindahkan
Ibukota Negara, dalam Republika, Ed. 04-03-2006, http://www.republika.co.id/koran_detail.asp?id=237954&kat_id=16&kat_id1=&kat_id2=
Setiawan, Danny, Menyikapi Gagasan
Megapolitan, dalam HU Pikiran Rakyat,
edisi 14 Februari 2006, http://pikiran-rakyat.com/cetak/2006/022006/14/0901.htm Lihat juga, mailing-list archive, yahoo-groups Ki
Sunda, http://www.mail-archive.com/kisunda@yahoogroups.com/msg03686.html
Suara Merdeka, Ibu Kota Korsel Tetap Akan Dipindah, Edisi 12 Agustus 2004, http://www.suaramerdeka.com/harian/0408/12/int07.htm
Tjahjati, Budhi, 1996, Arah
Pengembangan Kota-Kota Baru Dalam Perspektif Kebijaksaaan Tata Ruang, dalam
Analisis, Edisi Khusus Tahun II, Jakarta : BPPT.
Utomo, Tri Widodo W., 2003, Does Moving Capital Matter for Reducing
Developmental Complexities in a State Capital – Jakarta Case, dalam Jurnal Wacana Kinerja, Vol.
6 No. 4, hal. 19 – 26, Bandung : PKP2A I LAN
(ISSN 1411-4917).
Website Departemen PU, Pemindahan
Ibukota Negara Dapat Masuk Dalam RUU PR, http://www.pu.go.id/index.asp?link=Humas/news2003/ppw080606rnd.htm
Wijanarka, Meraba
Calon Ibukota Negara yang Tersisih, dalam acara
Bedah Buku ‘Soekarno dan Desain Rencana Ibukota di Palangkaraya’, 3 Agustus
2006, Lemlit UNIKA Semarang, http://www.unika.ac.id/warta/05082006.htm