Pengertian
Filsafat dan Filsafat Ilmu
Secara etimologis kata filsafat berasal
dari bahasa Yunani ialah filosofis. Dalam bahasa Yunani kata ini merupakan kata
majemuk yang terdiri dari dari filo dan
sofia. Filo artinya
"cinta-senang" dan sofia berarti "kebijaksanaan". Dengan
demikian filosofia artinya "cinta terhadap kebijaksanaan". Secara
harfiah filsafat bisa dijelaskan bahwa filsafat ialah usaha manusia yang selalu
mencari kebijaksanaan tingkah laku, pikiran maupun perasaannya bagi kepentingan
hidup manusia.
Secara definisi filsafat menurut
Leighton (1973: 24) bisa diartikan sebagai cara memandang dunia atau pengkajian
konsep dari jagat raya, pandangan hidup, doktrin dari nilai, pengertian dan
tujuan hidup manusia. Jadi filsafat merupakan usaha manusia secara rasional
yang bertujuan untuk mengkaji pikiran manusia sendiri yang bersifat menyeluruh
dan radikal tentang sesuatu, tujuan hidup, konsep, nilai. Sedangkan Filsafat
ilmu secara sederhana didefinisikan oleh Terry Page and Thomas (1979: 342) sebagai
teori yang mempermasalahkan asal-usul, ruang lingkup dan batasan-batasan
pengetahuan. Pada dasarnya filsafat ilmu didasarkan pada runtunan pengertian yang merupakan usaha manusia
untuk mencari hakekat ilmu dalam asal-usul, ruang lingkup dan
batas-batasnya, tujuan, metode, sistematika, nilai, kegunaan dan
masalah-masalah yang melingkupinya.
Selain itu filsafat ilmu bertugas untuk
menguji eksistensi ilmu sehingga diperoleh esensi yang utuh. Usaha ini
diperlukan untuk mengatasi eksistensi manusia itu sendiri, mengingatkan ilmu
akan fungsi normatifnya bila dihadapkan dengan kepentingan manusia. Hakekat
ilmu perlu dipertanyakan keberadaannya secara terus menerus karena dari waktu
ke waktu selalu terjadu tafsiran-tafsiran terhadap ilmu, sehingga filsafat ilmu
berperan sebagai pemberi arah terhadap pencapaian tujuan ilmu bagi kepetingan
manusia.
Di sisi lain pun filsafat ilmu bisa
menjadi penghubung antara data-data yang ada dalam ilmu dengan data di luar
ilmu. Filsafat ilmu ialah interaksi dengan data di luar ilmu, suatu interaksi
yang tidak hanya mempengaruhi ahli-ahli ilmu pengetahuan,
sesuatu hal yang kiranya diterima oleh semua, struktur ilmu juga (Van Peursen,
1985:3).
Esensi Ilmu
Faktor yang mendorong manusia mengembangkan
pengetahuannya tidak hanya untuk mengatasi kebutuhan untuk menjaga kelangsungan
hidupnya. Manusia senantiasa memikirkan hal-hal baru, menjelajah cakrawala
baru, untuk memperoleh hakikat hidup dan kehidupannya. Manusia mengembangkan
kebudayaan dan memberikan makna pada kehidupannya dalam rangka memanusiakan
diri dalam hidupnya. Hakikatnya manusia mempunyai tujuan tertentu yang lebih
tinggi
Dalam
rangka mencapai tujuan hidup yang lebih tinggi itulah manusia mengembangkan
pengetahuan. Manusia memiliki bahasa sebagai alat komunikasi informasi dan
jalan pikiran manusia serta kemampuan berpikir menurut suatu alur kerangka
berpikir tertentu, karena itulah manusia mampu mengembangkan pengetahuan lebih
jauh lagi. Untuk kemudian
pengetahuan tersebut disusun secara sistematis dengan menggunakan metode-metode
tertentu dan dapat diuji kebenarannya yang disebut ilmu.
Sumber pengetahuan itu sendiri terdiri
dari:
1.
Penalaran. Pengetahuan yang bersumber pada pada
rasio dan fakta. Hal ini telah melahirkan dua aliran yaitu rasionalisme yang
percaya sumber pengetahuan dan kebenaran adalah rasio/akal manusia; dan aliran
empirisme yang percaya bahwa sumber kebenaran adalah fakta pengalaman manusia.
2.
Instuisi yaitu pengetahuan yang didapat tanpa melalui
penalaran, secara tiba-tiba menemukan jawaban pertanyaan, bersifat personal dan
tidak dapat diramalkan.
3.
Wahyu, merupakan pengetahuan yang disampaikan Tuhan
kepada manusia. Agama merupakan pengetahuan lewat Nabi-nabi yang diutus. Dasar
penyusunannya adalah kepercayaan kepada Tuhan, Nabi dan kepada Wahyu.
Yang menjadi bidang pengkajian ilmu
adalah pengetahuan yang bersumber dari penalaran ilmiah. Karena pada
dasarnya ilmu merupakan suatu cara berpikir dalam menghasilkan suatu kesimpulan
yang berupa pengetahuan yang dapat diamalkan. Berpikir memang bukan
satu-satunya cara dalam mendapatkan pengetahuan, demikian juga ilmu bukan
satu-satunya produk dari proses berpikir. Ilmu merupakan produk dari proses
berpikir menurut langkah-langkah tertentu yang secara umum dapat
disebut sebagai berpikir ilmiah (Suriasumantri, 1993: 273).
Berpikir ilmiah merupakan kegiatan
berpikir dengan karakteristik mempercayai rasio, jalan pikirannya logis,
didukung oleh fakta empiris, bersifat obyektif, dapat diuji kebenarannya,
kritis dan terbuka terhadap koreksi. Agar kegiatan berpikir ilmiah ini
menghasilkan pengetahuan maka penarikan kesimpulannya harus dengan logika
tertentu yang disempurnakan melalui observasi baik secara induksi maupun
secara deduksi (Soekadijo, 1991: 133).
Dengan cara deduksi penalaran ditarik
dari suatu teori tertentu atau dari kejadian yang bersifat umum kepada kejadian
yang bersifat khusus. Sebaliknya secara induksi penalaran ditarik dari
fakta-fakta atau kenyataan yang ada melalui observasi yang dikembangkan atau digeneralisasikan kepada
hal-hal yang bersifat umum.
Kebenaran suatu ilmu
itu sendiri banyak kriterianya, ada tiga
teori tentang kebenaran suatu ilmu yaitu:
1.
Teori Koherensi: Pernyataan dianggap benar apabila
konsisten dengan pernyataan sebelumnya.
2.
Teori Korespondensi: Pernyataan dianggap benar bila
materi pengetahuan yang dikandung pernyataan tersebut berkorespondensi
(berhubungan) dengan obyek yang dituju.
3.
Teori Pragmatis: Kebenaran diukur dengan
kriteria apakah pernyataan itu bersifat fungsional
dalam kehidupan praktis.
Cara berpikir ilmiah menggunakan teori
koherensi dan teori korespondensi, sedang untuk proses pembuktian secara
empiris dalam bentuk pengumpulan fakta-fakta yang mendukung pernyataan tertentu
digunakan teori pragmatis.
Tinjauan
Aksiologis Ilmu Bagi Manusia
Tujuan dan Fungsi
Ilmu
Ilmu ditujukan untuk meningkatkan
kemajuan peradaban manusia. Berkat kemajuan ilmu dan teknologi, pemenuhan
kebutuhan manusia bisa dilakukan secara lebih cepat, lebih mudah dan lebih
baik. Tujuan utama mempelajari ilmu dimaksudkan untuk mendapatkan pengetahuan
yang memungkinkan manusia untuk bisa memecahkan masalah hidup dan kehidupannya
sehari-hari. Sedangkan fungsi ilmu adalah sebagai pengetahuan yang membantu
manusia dalam mencapai tujuan hidupnya. Tujuan hidup itu berkaitan erat dengan
hakekat kemanusiaan itu sendiri, bersifat otonom dan terlepas dari kajian dan
pengaruh ilmiah.
Dalam
kaitannya dengan kebudayaan, ilmu merupakan bagaian dari pengetahuan dan
pengetahuan merupakan unsur dari kebudayaan. Ilmu dan kebudayaan berada dalam posisi
saling tergantung dan saling mempengaruhi. Menurut Talcot Parsons, ilmu terpadu
secara intim dalam keseluruhan sistem dan struktur sosial serta tradisi
kebudayaan dan saling mendukung satu sama lainnya.
Dalam rangka pengembangan kebudayaan
ilmu merupakan sumber nilai yang mendukung terselenggaranya perkembangan
kebudayaan. Disamping itu merupakan sumber nilai yang mengisi pembentukan
watak. Kedua fungsi tersebut terpadu dan sulit dibedakan. Selain itu ilmu berfungsi
pula untuk dapat digunakan dalam menawarkan berbagai kemudahan kepada manusia,
sehingga dapat diibaratkan sebagai alat manusia dalam memecahkan berbagai
persoalan yang dihadapi.
Nilai Ilmu
Dalam sejarah perkembangan ilmu para
ilmuwan berjuang untuk menegakkan ilmu yang didasarkan pada penafsiran alam
sebagaimana adanya dengan semboyan ilmu yang bebas nilai. Hal tersebut
memberikan keleluasaan kepada ilmu untuk mengembangkan dirinya. Konsep ilmiah yang
diterapkan kepada masalah praktis, menjelma dalam bentuk konkrit berupa
teknologi.
Teknologi diartikan sebagai penerapan
konsep ilmiah dalam memecahkan masalah-masalah praktis baik yang beruapa
perangkat keras maupun perangkat lunak. Dalam tahap ini ilmu tidak saja
bertujuan menjelaskan gejala-gejala alam untuk tujuan pengertian dan pemahaman,
namun lebih jauh lagi bertujuan memanipulasi faktor-faktor yang terkait
dalam gejala tersebut untuk mengontrol dan mengarahkan proses yang terjadi.
Dalam tahap manipulasi inilah timbul
keterkaitan antara penggunaan ilmu dan moral. Masalah teknologi yang
mengakibatkan dampak bagi hakekat kemanusiaan yang menimbulkan
dehumanisasi sebenarnya lebih merupakan masalah kebudayaan. Artinya teknologi
tidak bertanggung jawab langsung terhadap adanya dampak-dampak negatif terhadap
manusia selama masyarakat/manusia mampu memilih teknologi yang akan digunakan, jadi masyarakatlah yang harus
menentukan sendiri strategi pengembangan teknologinya agar sesuai dengan nilai-nilai
budaya yang dijunjungnya.
Ilmuwan sendiri dalam menghadapi
keterkaitan antara moral dan penggunaan ilmu terpecah menjadi dua. Sebagian
menghendaki ilmu bersifat netral terhadap nilai-nilai. Tugas ilmuwan hanyalah
menemukan pengetahuan dan terserah kepada orang yang menggunakannya. Sebagian
lagi berpendapat bahwa netralisasi ilmu terhadap nilai hanya terbatas kepada
metafisik keilmuan, sedang dalam penggunaannya bahkan dalam memilih obyek
penelitian kegiatan keilmuan harus berlandaskan asas moral.
Dasar pemikiran Golongan kedua ini
adalah sebagai berikut:
1.
Ilmu secara faktual telah dipergunakan secara destruktif
oleh manusia yang dibuktikan dengan adanya Perang Dunia yang mempergunakan
teknologi keilmuan
2.
Ilmu telah berkembang dengan pesat dan makin esoterik
sehingga kaum ilmuwan lebih mengetahui tentang dampak-dampak yang
mungkin terjadi bila terjadi penyalahgunaan.
3.
Ilmu telah berkembang sedemikian rupa dimana
terdapat kemungkinan bahwa ilmu dapat mengubah manusia dan kemanusiaan yang
paling hakiki pada kasus revolusi genetika dan teknik rekayasa sosial
(Soeriasumantri, 1993: 235).
Memang tujuan dari Ilmu secara moral
harus ditujukan untuk kebaikan manusia tanpa merendahkan atau mengubah hakekat
kemanusiaan. Masalah moral tidak bisa dilepaskan dengan tekad manusia untuk
menemukan kebenaran dan mempertahankannya. Tanpa landasan moral ilmuwan akan
mudah tergelincir dalam melakukan prostitusi intelektual.
Secara aksiologis ilmu sangat
bermanfaat bagi kehidupan umat manusia, baik ilmu murni maupun ilmu terapan,
bahka sampai pada ilmu agama. Ilmu dapat digunakan manusia untuk tujuan-tujuan
baik, yakni membantu manusia dalam kelangsungan hidupnya. Disisi lain ilmupun sebenarnya
bisa digunakan manusia untuk menghancurkan atau memusnahkan manusia.
1.
Ilmu untuk Mencari Kebenaran
Ilmu bisa dimanfaatkan untuk mencari
kebenaran yang sifatnya relatif, yaitu kebenaran yang selalu
dipengaruhi oleh ruang dan waktu. Yaitu bahwa suatu saat ilmu itu benar, namun
pada saat lain ilmu tidak benar lagi yang kemudian diganti dengan ilmu lain. Thomas
S. Kuhn dalam buku "Peran Paradigma dalam Revolusi Sains" yang
pada intinya bahwa ilmu itu pada waktu tertentu didominasi oleh satu paradigma
tertentu, yaitu suatu pandangan yang mendasar tentang apa yang menjadi
pokok persoalan dari suatu cabang ilmu. Kuhn beranggapan bahwa
perkembangan ilmu bukanlah terjadi secara kumulatif, tetapi terjadi secara
revolusi.
Seperti telah diuraikan di
atas sumber ilmu dalam mencari kebenaran tidak hanya berdasar pada
instuisi juga padda rasio dan empiris manusia yang sifatnya relatif. Sedangkan
ilmu yang bersumber pada wahyu Tuhan bersifat absolut. Kebenaran yang
didasarkan pada rasio dan empiris diperoleh dari kenyataan-kenyataan yang ada,
kejadian-kejadian yang dikumpulkan melalui metode-metode tertentu dan hasilnya
dapat diuji kembali sehingga bersifat obyektif. Dengan demikian kebenaran
relatif dapat diperoleh, baik dengan cara deduktif maupun induktif, baik
bersumber pada rasio maupun empiris bahkan bersumber pada intuisi.
2.
Ilmu Untuk Mengembangkan Ilmu
Ilmu pun
bermanfaat untuk menjaga eksistensi suatu ilmu, dengan mengantisipasi
perubahan-perubahan yang terjadi yang mengakibatkan suatu ilmu menjadi
usang dan tidak berlaku lagi. Menghadapi perubahan-perubahan dan perkembangan
dunia maka kewajiban ilmuwan untuk segera menciptakan atau mengembangkan ilmu
baru yang berdasar ilmu yang telah usang tersebut. Hal tersebut diperlukan
untuk mengantisipasi munculnya masalah-masalah baru yang dihadapi manusia. Karena pada
intinya ilmu digunakan untuk membantu manusia dalam memecahkan permasalahan-permasalahan
dalam hidup dan kehidupannya. Ilmuwan sejati tidak pernah berhenti dalam
penyempurnaan ilmu-ilmu yang sudah usang, yang tidak berlaku dan tidak
cocok dengan keadaan sekarang. Khususnya ilmu terapan harus senantiasa
melakukan proses pencarian, tidak pernah bosan dalam melakukan revisi. Contoh sekarang adalah teknologi bidang
elektronika dan komputer yang terus menerus menciptakan produk-produk baru yang
disesuaikan dengan perkembangan dan kebutuhan manusia.
Disisi lain
pengembangan ilmu yang dilakukan oleh seorang ilmuwan mendapat kritikan dari
ilmuwan yang lain, hal ini bukanlah merupakan suatu halangan atau hambatan
justru merupakan tantangan bagi percepatan perkembangan ilmu itu sendiri. Yang
berarti selalu ada koreksi menuju kesempurnaan yang diharapkan. Apalagi menurut
paham falsificationisme dalam ilmu selalu ada ketidakcocokan dengan realita
yang ada. Hegel dengan teori "Dialektika" mengemukakan adanya tesis
(ilmu yang telah ada), yang kemudian dihadapkan pada Antitesis (kritikan terhadap
ilmu yang ada) yang memunculkan adanya Sintesis (ilmu baru sebagai hasil
penyempurnaan ilmu lama). Untuk kemudian ilmu baru tersebut menjadi tesis yang
baru demikian seterusnya suatu proses penciptaan ilmu baru. Karena itu ilmu
yang ada merupakan landasan untuk mengembangkan ilmu berikutnya, begitu
seterusnya. Dalam suatu ilmu semakin banyak ketidakcocokannya menurut faham
falsification itu semakin baik dan secara praktis semakin bermanfaat bagi umat
manusia dalam pencapaian tujuan, maka ilmu tersebut semakin baik.
3.
Ilmu untuk Membantu Manusia dalam Mencapai Tujuan.
Yang menjadi
tujuan akhir dari pada pengembangan ilmu adalah ia bisa membantu manusia dalam mencapai tujuan.
Tujuan penggunaan ilmu itu sendiri sifatnya bisa berguna dalam membangun
kehidupan manusia (konstruktif) tapi bisa juga bersifat merusak atau menghancurkan
kehidupan manusia itu sendiri atau destruktif. Lebih jelas lagi tujuan itu bisa
bersifat positif juga bisa bersifat negatif.
a.
Ilmu Untuk Tujuan Positif
Dalam hal ini ilmu
diterapkan untuk memberikan keuntungan-keuntungan, kepuasan kepada umat manusia.
Biasanya ilmu yang diterapkan ini berupa teknologi yang mencakup berbagai aspek
kehidupan manusia, baik teknologi yang sederhana maupun teknologi mutakhir. Misalnya teknologi transportasi mulai
dari sepeda sederhana sampai pada pesawat luar angkasa. Dari segi ilmu terapan berkat
tenggang teoritis, ilmu dapat meresap masuk dunia seharian secara praktis dan
teknis dalam kehidupan manusia. Teknologi sebagai hasil dari suatu kebudayaan
yang dimiliki suatu bangsa bisa merupakan cerminan dari peradaban bangsa
itu. Semakin maju penguasaan teknologi suatu bangsa, maka semakin tinggi
peradaban bangsa tersebut. Misalnya Jepang negara yang mampu menjadi
kebudayaan dan tradisi sebagai bagian utuh dalam masyarakatnya, disatu sisi
mampu mengembangkan berbagai macam terobosan teknologi. Memang tidak semua
bangsa bisa seperti Jepang, bisa menciptakan teknologinya sendiri, tapi dengan
cara mentransformasikan teknologi yang telah ada dari suatu bangsa kepada
bangsa lain. Apalagi dalam era globalisasi dewasa ini trasnformasi ilmu
dan teknologi bukan lagi hal yang sulit. Kemajuan bidang transportasi,
teknologi komunikasi dan informasi telah memudahkan suatu bangsa untuk
melakukan alih teknologi dari bangsa lain.
b.
Ilmu Untuk Tujuan Negatif
Banyak contoh
dewasa ini betapa ilmu tidak hanya dimanfaatkan untuk tujuan-tujuan positif,
yang membantu manusia dalam mencapai tujuan hakikat hidup dan kehidupannya.
Dengan kata lain ilmu pun bisa dipakai untuk tujuan-tujuan negatif. Ilmu yang
telah diciptakan dan dikembangkan tersebut pada akhirnya dipakai hanya untuk
menghancurkan kehidupan umat manusia itu sendiri. Baik secara cepat atau
lambat, langsung maupun tidak langsung ilmu digunakan dengan dampak yang merusak
manusia.
Dalam konteks
tujuan yang negatif ini ilmu sengaja diciptakan manusia sebagai mesin perusak,
penghancur dalam perang, perusak moral umat manusia, perusak lingkungan alam.
Yang pada akhirnya menimbulkan terjadinya dehumanisasi manusia, sehingga menimbulkan
perdebatan di antara berbagai kalangan dalam hal penggunaan ilmu ini. Seperti
telah diuraikan sebelumnya, adanya keterkaitan antara ilmu dan moral sebenarnya
merupakan masalah budaya. Dampak yang ditimbulkan oleh suatu teknologi sangat
tergantung dari para pemakai teknologi itu sendiri, dalam arti manusianyalah
yang harus mampu mengendalikan teknologi itu sendiri. Bukan sebaliknya
teknologi sangat menguasai kehidupan manusia. Sebab ilmu maupun teknologi
hanyalah alat bagi manusia untuk mencapai tujuan hidupnya.
Ilmu menjadi
negatif sebenarnya bila ilmu tersebut dipegang oleh orang-orang yang tidak
bertanggung jawab, orang yang lebih menyalahgunakan ilmu untuk kepentingannya
sendiri, mencapai kepuasan dan ambisi pribadi. Manusia yang demikian itu sudah
tidak mengindahkan norma-norma dan nilai etika. Tapi bisa juga ilmu menjadi
efek bumerang bagi manusia bila manusia itu sendiri tidak tahu cara penggunaan
teknologi sehingga bisa membahayakan orang lain dan dirinya sendiri.
Tanggung Jawab Sosial Ilmuwan Sebagai
Implikasi Etis
Adanya penggunaan ilmu untuk
tujuan-tujuan negatif itu berimplikasi pada adanya tanggung jawab moral dan
sosial dari suatu ilmu, baik yang harus ada pada ilmuwan sebagai pencipta ilmu maupun pada
masyarakat sebagai pemakai ilmu. Tanggung jawab sosial muncul dituntut dari
seorang ilmuwan karena ilmu itu umumnya merupakan hasil perseorangan yang
dikomunikasikan dan dikaji secara terbuka oleh masyarakat. Penciptaan ilmu itu
sendiri sifatnya individual tapi komunikasi dan penggunaan ilmu itulah yang
bersifat sosial.
Karena itu proses menemukan kebenaran
secara ilmiah mempunyai implikasi etis. Di bidang etika, tanggung jawab moral
dan sosial bagi seorang ilmuwan, bukan lagi memberikan informasi namun memberi
contoh. Ilmuwan harus tampil kedepan dengan caranya yang obyektif, terbuka,
rasional dan logis, sanggup menerima kritik dan pendapat orang lain, kukuh
dalam pendirian yang dianggapnya benar dan bila perlu berani mengakui
kesalahan. Semua sifat tersebut merupakan implikasi etis dari semua proses
penemuan kebenaran secara ilmiah. Dan kenyataanya sekarang banyak aspek etika
yang entah sengaja atau tidak sengaja terlupakan oleh kaum pendidik maupun
kalangan ilmuwan sendiri. Timbul kecenderungan untuk mencerdaskan generasi penerus tanpa
dilengkapi dengan nilai-nilai moral yang luhur. Dan
hal inilah yang bisa menimbulkan penyalahgunaan suatu ilmu.
Tinjauan Aksiologi Ilmu Dalam Filsafat
Jawa
Ngelmu Iku,
Kalakone kanthi
Laku
Lekase lawan kas
Tegese kas
nyatosani
setya budaya
pangekese dur angkara
(Ilmu adalah,
dijalankan dengan perbuatan
dimulai dengan kemauan
kemauan adalah penguat
budi setia penghancur kemurkaan)
Syair diatas adalah cuplikan dari Serat
Wedhatama pupuh 33 karangan KGPAA Mangkunagara IV yang digubah dalam tembang
Pocung yang sangat akrab di telinga masyarakat Jawa. Arti kata Wedha adalah
pengetahuan atau ajaran; sedang tama berarti utama, baik, luhur, atau tinggi
nilainya.
Dari pengertian tersebut dapatlah dikatakan
bahwa tembang tersebut berisi ajaran-ajaran "high-class", termasuk permasalahan
tentang Ilmu, apa ilmu itu, bagaimana cara kita memperoleh ilmu, apa manfaat
ilmu, dan hal-hal apa saja yang harus kita perhatikan sehubungan dengan ilmu yang kita miliki.
Pendeknya, dalam tembang itu terkandung nilai-nilai tentang Filsafat Ilmu yang
bersumber dari adat dan budaya asli bangsa Indonesia.
Pada prinsipnya metode-metode,
pengertian-pengertian dan permasalahan filsafat ilmu dalam perspektif budaya
Jawa sama dengan yang kita dapatkan dari buku-buku karangan Sarjana Barat. Akan
tetapi paling tidak ada dua manfaat yang bisa diperoleh dari penelusuran
aspek-aspek nativistik yang berhubungan dengan filsafat ilmu. Pertama adalah
mengembalikan kesadaran kita bahwa sesungguhya secara ilmiah kita memiliki
kekayaan terpendam yang belumdikembangkan secara maksimal. Dan kedua adalah
adanya penekanan segi-segi religius, moralitas, dan humanisme dalam
pengembangan ilmu pengetahuan.
Para penafsir mengemukakan bahwa
tembang tersebut mengidamkan tercapainya manusia yang utama, baik lahir maupun
batin. Manusia utama ialah orang yang suka mengheningkan cipta, menyucikan
jiwa, mawas diri dan dapat berpikir logis, serta bersikap satria dalam tingkah
lakunya, berbuat baik, pandai bergaul, dapat memikat hati sesama, dan
dapat menyenangkan orang lain. Itulah manusia utama yang sekaligus sebagai santri yang
baik.
Apa sebenarnya yang menarik dari isi
tembang diatas? Banyak sekali sebenarnya kawruh yang bisa diungkapkan, ditelaah
dan dihayati secara lebih mendalam, baik tentang ilmu dan keilmuan
itu sendiri maupun tentang kebijaksanaan pada umumnya. Akan tetapi
untuk membatasi scope yang berkaitan
dengan makalah ini, maka disini hanya akan diuraikan sebagian kecil dari
samudera kawruh tersebut.
Secara eksplisit dikatakan bahwa suatu
ilmu akan kelakon/tercapai jika didahului oleh laku. Yang menjadi pertanyaan
adalah apa pengertian laku itu, dan bagaimana cara orang menjalani laku?
Harus
diakui bahwa Ilmu yang berkembang pada masyarakat Jawa Lama sangat berbeda
dengan kondisi pada jaman modern sekarang ini. Pada masa lampau, pewarisan ngelmu
hanya mungkin dilaksanakan di pesantren-pesantren, padepokan-padepokan,
perguruan-perguruan, dan terutama di lingkungan Keraton. Dan substansi
pengajaran yang diberikan oleh para Kyai, Empu, Pandita maupun para Pujangga
sebagian besar berkenaan dengan kebatinan, kejiwaan, serta kawicaksanan (kebijaksanaan) dan kawaskithan (kewaspadaan). Ini sangat kontras sekali dengan
kenyataan sekarang yang lebih mengutamakan ilmu-ilmu murni dan terapan (pure and applied science) bahkan
cenderung mengabaikan ilmu-ilmu agama dan moral.
Untuk
mencapai tingkat kebatinan tertentu dan taraf kejiwaan tertentu, para siswa,
santri, atau cantrik harus menempuh teknik dan metode tertentu yang disebut
laku. Dalam kepustakaan historiografi tradisional disebutkan bahwa siswa,
santri dan cantrik tersebut melakukan askese, sehingga proses
pencapaian tujuan dengan melakukan askese itu disebut asketisme. Arti harfiah
askese adalah latihan berat, tetapi secara terminologis askese berarti latihan-latihan
laku tapa untuk meninggalkan pelbagai kecenderungan nafsu dan kesenangan
jasmaniah. Aliran Stoisisme yang didirikan Zeno dari Kition pada sekitar tahun
315 SM adalah salah satu aliran yang mempraktekkan cara
askese dalam penyebaran ajarannya, terutama ajaran mengenai etika.
Aliran
ini berpendapat bahwa tugas utama manusia adalah berusaha homologoumenos zen, artinya selaras dengan logos yang berupa
pengatur bahkan penentu nasib dan takdir manusia. Oleh karenanya manusia
seharusnya tunduk dan takluk kepada takdir, manusia hendaknya jangan diganggu
dan dibingungkan oleh beraneka ragam peristiwa yang menimpanya,
jangan terlalu gembira dan jangan terlalu sedih. Hendaknya manusia hidup dalam apatheia (tanpa nafsu atau perasaan yang
mendorongnya secara buta agar keinginan-keinginannya dibiarkan masuk),
meniadakan perasaan, dan hidup tak acuh terhadap segala pengaruh dari
luar. Dengan kata lain,
hiduplah sesuai dengan logos dan
bukan dengan pathos. Itulah tempat
manusia didalam kosmos, satu-satunya alasan kepuasan dan kegembiraan yang
sejati.
Kembali kepada asketisme Jawa,
metode-metode dan teknik pencapaian ilmu biasanya dilakukan dengan laku tirakat
seperti tapa (bersamadi atau kontemplasi), pasa (puasa), atau bentuk-bentuk nglakoni yang lain seperti
meng-hindarkan diri dari suatu perbutan atau benda-benda tertentu (pantangan),
keharusan melakukan suatu perbuatan dengan syarat-syarat tertentu, dan sebagainya.
Dalam banyak Kitab/Serat, berbagai laku tadi disimpulkan dengan
kalimat angirangi dhahar lan nendra (mengurangi
makan dan tidur).
Tentu
saja, ilmu yang dihasilkan dari askese semacam itu bukanlah ilmu-ilmu yang bisa
memberikan manfaat secara nyata dalam kehidupan sehari-hari umat manusia
seperti ilmu ekonomi, pertanian ataupun teknik; melainkan ilmu-ilmu yang
mengolah penajaman perasaan (angulah
lantiping ati), sehingga mendatangkan kepuasan batin dan ketenangan jiwa.
Sebagian orang menyebutnya sebagai ngelmu kabagjan/
karahayon (ilmu yang ditujukan untuk mewujudkan kebahagiaan dan
keselamatan). Mengapa demikian? Sebab, apalah artinya ilmu yang bertumpuk jika
akan mengakibatkan manusia menjadi asing terhadap lingkungannya, individualis,
mendatangkan bencana bagi sesama, serta lupa akan prinsip aja dumeh dan pepatah sangkan paraning dumadi?
Disinilah
arti pentingnya unsur-unsur religi, moral dan nilai-nilai humanisme dalam
pengembangan dan penerapan sebuah ilmu. Dalam tembang diatas ketiga unsur tersebut dirangkum dalam istilah setya
budaya. Ilmu yang tidak diimbangi sifat-sifat setya budaya, maka hukum rimba
akan tumbuh subur bagaikan cendawan dimusim hujan. Teori the struggle of the fittest yang memberi legitimasi kepada si kuat
untuk berkuasa dan menindas si lemah, akan berkembang sangat leluasa. Lalu,
peringatan Vilfredo Pareto tentang golongan kuat sebagai the lion dan the
fox adalah golongan yang mencari kesempatan untuk berkuasa, akan menjelma
menjadi kenyataan.
Ilmu harus mampu menjadikan seseorang
sebagai satria (baca: ilmuwan) yang sanggup membela kebenaran dan meluruskan
ketidakadilan. Satria yang berwatak setya budaya harus berani menghancurkan
keangkaramurkaan, bahkan kalau perlu rela mengorbankan nyawanya dalam
mempertahankan prinsip yang mereka anggap benar. Sejarah kemanusiaan dan
sejarah intelektual khususnya pernah secara tragis menyaksikan Socrates yang
dipaksa minum racun serta John Huss yang dibakar karena berpegang pada
keyakinannya. Namun usaha-usaha untuk mencari kebenaran yang berlandaskan moral
tidak akan pernah berhenti hanya karena ancaman dari pihak-pihak yang menentang
kebenaran itu sendiri. Ranggawarsita dalam Serat Kalatidha telah memprediksikan
akan timbulnya jaman edan yang penuh kemunafikan, keserakahan dan
keangkaramurkaan. Jaman edan memudahkan manusia tergelincir dalam godaan surga
dunia berupa harta, tahta dan wanita. Akan tetapi yang akan merasakan surga
yang hakiki adalah mereka yang beriman, yang eling lan waspada.
Diatas telah disebutkan bahwa sistem
pengajaran Jawa Lama lebih menitikberatkan pada ilmu yang berkenaan dengan
kepuasan batin dan ketenangan jiwa. Hal ini tidak lantas berarti bahwa
tokoh-tokoh intelektual Jawa masa itu tidak menghasilkan ilmu-ilmu lainnya.
Paling tidak, kita mencatat ada empat ilmu yang sangat berkembang bahkan berada
pada puncak kejayaannya. Ilmu-ilmu itu adalah kesusastraan, kesenian, agama,
dan ilmu peramalan.
Dalam hal ramal-meramal dapat kita
tunjuk Prabu Jayabaya dengan Jangka Jayabaya-nya, Yasadipura dan
Ranggawarsita. Dua nama terakhir juga sangat berprestasi dalam bidang
kesusastraan, disamping empu-empu yang telah mendahului mereka seperti Empu
Panuluh, Empu Kanwa, dan sebagainya. Dalam bidang kesenian kita lihat prestasi
dan kreativitas para Sultan di Yogyakarta dan Sunan di Surakarta dalam
menciptakan berbagai tarian, langgam, maupun tembang. Para penguasa
keraton bersama para Wali dan Raja-raja sebelumnya seperti Raden Patah, Sultan
Tranggono, Sultan Hadiwijoyo, dan sebagainya adalah juga para pendekar agama
yang tangguh dan tidak diragukan ke-khalifatullah-annya.
Dari uraian diatas dapat kita simpulkan
bahwa menurut paham budaya Jawa pencapaian, pengembangan dan penerapan suatu
Ilmu haruslah memenuhi syarat-syarat dan nilai-nilai sebagai berikut:
1.
Melewati tahap-tahap, teknik-teknik dan metode tertentu (laku).
2.
Ilmu harus menjadikan manusia lebih manusiawi, dan
bukan sebaliknya menjadikan manusia takabur, memuja ilmu bagaikan agama, dan
lupa kepada Pencipta-nya yang justru merupakan sumber segala sumber ilmu.
3.
Ilmu tidak dapat dipisahkan dengan norma-norma keagamaan.
Penutup
Filsafat keilmuan pada dasarnya
bersifat universal. Maka, meskipun ada segi-segi yang spesifik
tentang filosofi keilmuan berhubung dengan perbedaan lokal dan kultural,
nilai-nilai, manfaat atau tujuan dan pengertian-pengertian keilmuan
mestinya juga bersifat universal. Akan tetapi semuanya akan kembali
kepada faktor manusianya, apakah akan bertindak secara positif ataukah negatif?
Satu hal yang perlu kita renungkan
adalah, jika ternyata kita memiliki harta karun berupa filsafat keilmuan yang masih
terpendam, maka sebelum kita menengok milik orang lain, mengapa tidak kita coba
untuk membongkar dan mengembangkan milik kita sendiri?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar