Senin, 02 Agustus 2010

Analisis Strategis Mengenai Implikasi Krisis Moneter, Khususnya Sektor Pendidikan


Pengantar


Sebagaimana diketahui, pada penghujung abad 20 yang ditandai oleh fenomena kesejagatan (globalisasi) saat ini, negara-negara di Asia pada umumnya dan di Asia Tenggara pada khususnya mengalami goncangan dan atau gejolak perekonomian – terutama pada sektor moneter – yang cukup serius. Basis ekonomi makro yang lemah ditambah dengan ulah segelintir spekulan yang mencari keuntungan pribadi, telah menyebabkan krisis tersebut semakin parah. Bagaimanapun keadaannya, kondisi ini secara keseluruhan jelas menimbulkan dampak buruk ke berbagai bidang,  termasuk bidang pendidikan.

Salah satu contoh empirik adalah adanya surat keprihatinan ITB yang ditujukan kepada UNESCO beberapa waktu yang lalu mengenai kelanjutan pembangunan pendidikan nasional (sustainable education) dimasa depan, terutama dalam rangka mewujudkan sumber daya manusia Indonesia yang menguasai teknologi tinggi. Dengan adanya krisis moneter dan pembatasan-pembatasan subsidi, tidak mengherankan banyak pihak mempertanyakan eksistensi SDM Indonesia di dunia internasional.

Oleh karena itu, krisis yang terjadi tidak dapat dibiarkan berkelanjutan, tetapi harus dilakukan analisis terhadap berbagai faktor penyebabnya, sekaligus alternatif-alternatif kebijakan untuk mengatasinya. Dalam hal ini, untuk mendapatkan hasil analisis yang akurat, maka analisis perlu didasarkan pada kaidah-kaidah strategic management, khususnya yang berkaitan dengan lingkungan makro organisasi, yang terdiri dari lingkungan politik, ekonomi, sosial budaya, teknologi dan kependudukan (Sardjudin dan Winardi, 1997: 166-169).

Sehubungan dengan hal tersebut, maka uraian dibawah ini akan mencoba mengkaji beberapa aspek yang terkait dengan fenomena globalisasi dan implikasinya, kemudian dilanjutkan dengan mengemukakan kinerja pembangunan ekonomi Indonesia hingga mendapat predikat miracle dari Bank Dunia, strategi peningkatan kualitas dan daya saing SDM Indonesia melalui pembangunan bidang pendidikan, serta diakhiri dengan catatan penutup.


Globalisasi dan Implikasinya


Menurut Lodge dalam bukunya Managing Globalization In The Age Of Interdependence (1995: 1), globalisasi adalah suatu proses dimana masyarakat dunia menjadi semakin terhubungkan (interconnected) satu sama lainnya dalam berbagai aspek kehidupan mereka baik dalam hal budaya, ekonomi, politik, teknologi, maupun lingkungan. Akibatnya, dunia saat ini telah menjadi sebuah pasar global, bukan hanya untuk barang dan jasa, tetapi juga untuk penyediaan modal dan teknologi. Atau dengan kata lain, negara-negara di dunia, secara berangsur telah beralih kepada mekanisme pasar (market-driven) daripada campur tangan pemerintah dalam memecahkan berbagai persoalan perekonomian nasional.

Dengan keterkaitan antara satu negara dengan negara lainnya ini, salah satu implikasi yang muncul adalah ketatnya persaingan antar bangsa, baik dalam hal produk barang dan jasa, kapasitas sumber daya manusia, maupun dalam hal penyediaan fasilitas dan prosedur yang memadai untuk kegiatan investasi dari negara tertentu. Jika suatu negara tidak memiliki basis keunggulan berbanding (comparative advantage) apalagi     keunggulan bersaing (competitive advantage), maka dapat dipastikan bahwa negara tersebut akan tergilas oleh negara lain, sehingga pada gilirannya, secara internasional akan menempatkan negara tersebut pada posisi terbelakang.

Dalam kaitan ini, sangat menarik untuk menyimak pendapat Kristiadi (1997: 75-76) mengenai pergeseran basis kompetitif dari komparatif menjadi kompetitif suatu negara sebagai berikut:

“Dalam menghadapi era liberalisasi ekonomi Asia Pasifik (APEC) dan dunia (WTO) yang tidak mungkin dihindari, pergeseran basis kompetitif dari sumber daya alam kepada sumber daya manusia, sudah menjadi tuntutan mutlak. Sebab, hanya negara-negara yang memiliki sumber daya manusia yang berkualitas sajalah yang akan mampu meningkatkan kemakmuran dan kesejahteraan masyarakatnya dengan cepat. Negara-negara yang hanya mengandalkan kekayaan SDA tetapi mengabaikan kualitas SDM, tidak akan mampu bersaing dalam dunia internasional dibandingkan dengan negara yang mempunyai SDA terbatas namun memiliki SDM yang unggul”.

Untuk menghindari kekalahan dalam persaingan global ini, maka suatu negara harus melakukan upaya-upaya reformasi dalam kebijakan publiknya. Bahkan Abeng (1997: 91) menegaskan bahwa proses globalisasi selalu menghendaki dilakukannya transformasi manajemen bagi setiap organisasi, baik privat maupun organisasi publik. Tuntutan akan perlunya transformasi manajemen atau penerapan paradigma baru manajemen ini ditekankan juga oleh Salim (1997: 18-19) yang mengatakan sebagai berikut:

“……. proses globalisasi yang sedang melanda dunia sekarang ini melahirkan kebutuhan mengkaji ulang pola-pola manajemen yang dilaksanakan sekarang untuk diubah dan disesuaikan agar mampu menanggapi tantangan jaman. ……… pola manajemen modern ini tidak hanya perlu dikembangkan dalam lingkungan bisnis, tetapi lembaga pemerintah dan organisasi kemasyarakatan umumnya juga perlu mengembangkan pola manajemen modern, sungguhpun tidak serupa dengan keperluan bisnis – tetapi paling tidak – sesuai dengan keperluan untuk menanggapi tantangan global”.

Perlunya transformasi manajemen sektor publik ini dilatar belakangi oleh suatu masalah yang sangat krusial, yaitu bagaimana menciptakan efisiensi kerja serta mendorong kinerja sektor publik. Sebab, kondisi aktual maupun faktual selama ini menunjukkan bahwa organisasi pemerintah masih cenderung bersifat organik dengan mekanisme kerja yang tidak efisien serta kurang memiliki daya saing yang memadai dibanding sektor privat atau swasta, apalagi dibadingkan dengan pihak luar negeri.

Hal ini menunjukkan adanya ironi, bahwa ditengah penilaian positif dari dunia internasional kepada Indonesia dalam bidang ekonomi – seperti yang akan dipaparkan dibawah – ternyata kondisi riil lebih banyak bersifat negatif. Dalam kasus ini dapat diajukan pertanyaan apakah penilaian dunia internasional tersebut benar-benar obyektif. Sebab, hanya dalam beberapa tahun setelah predikat “ajaib” tersebut, justru Indonesia kembali terlempar ke jurang krisis kegelapan, kelaparan dan keterbelakangan. Dan salah satu hantu yang membayangi dari krisis ini adalah kebodohan bangsa secara kolektif. Inilah tantangan utama bangsa Indonesia dalam memasuki abad 21 yang penuh persaingan, terutama bagaimana memelihara konsistensi suatu kebijakan serta menjaga keberhasilan pembangunan pada tingkat yang diharapkan.


Kinerja Pembangunan Ekonomi Indonesia


Sebagaimana dimaklumi bersama, semenjak tahun 1995 status ekonomi oleh Bank Dunia dinaikkan dari kelompok negara berpendapatan rendah (low income countries) menjadi kelompok negara berpendapatan rendah menengah (lower-middle income countries).

Peningkatan status ini didasarkan pada beberapa indikator antara lain: laju pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi (6-8 %), laju inflasi cukup rendah, ekspor non migas yang cukup tinggi, keberhasilan swasembada pangan, upaya pengentasan kemiskinan yang cukup berhasil, serta keberhasilan penyesuaian kebijakan ekonomi domestik untuk menghadapi berbagai shock dalam dan luar negeri (Hulu, 1997: 27-28). Dengan keberhasilan ini, Bank Dunia sampai memberikan predikat menakjubkan atau ajaib (miracle) kepada Indonesia bersama dengan 6 negara Asia lainnya (Hongkong, Malaysia, Singapura, Korea Selatan, Taiwan dan Thailand).

Meskipun demikian, keberhasilan tadi tidak identik dengan stabilitas ekonomi. Artinya, meskipun laju pertumbuhan tergolong tinggi, namun jika fundamental ekonominya tidak kuat, maka dengan seketika pertumbuhan tersebut dapat kembali ke titik nol. Atau menurut analisis Krugman (1994: 62-78), kinerja ekonomi yang dicerminkan oleh laju pertumbuhan yang tinggi di negara-negara Asia tidak akan mampu bertahan lama, yang disebabkan oleh 3 faktor penyebab sebagai berikut:

·         Rendahnya pertumbuhan total produktivitas (faktor pendorong peningkatan kapasitas produksi: modal & tenaga kerja) sebagai akibat kurangnya pengaplikasian teknologi.
·         Masih kuatnya campur tangan pemerintah terhadap mekanisme pasar (contoh: kasus Eropa Timur dan Rusia).
·         Keterlambatan integrasi perekonomian negara terhadap perekonomian dunia.

Atas dasar analisis Krugman inilah, terjadinya krisis moneter di negara-negara Asia pada umumnya dan di Indonesia pada khususnya dapat dijelaskan. Untuk itu, Krugman menyarankan agar negara-negara tersebut tidak terlena pada simbol miracle, dan pada saat yang bersamaan melakukan berbagai upaya konkrit seperti memperkuat keunggulan berbanding (comparative advantage), memajukan aplikasi teknologi, mengevaluasi campur tangan pemerintah agar tidak mengganggu mekanisme pasar, meningkatkan kualitas SDM, dan memperkokoh produksi andalan ekspor.

Dari berbagai upaya ini, peningkatan kualitas SDM mendapatkan prioritas yang cukup menonjol. Hal ini logis, mengingat bahwa bahwa aspek sumber daya manusia inilah yang pertama-tama akan merasakan adanya krisis moneter, dan sekaligus juga merupakan pihak yang paling berkompeten untuk mengatasi beserta seluruh dampak-dampaknya. Dalam hubungan inilah maka pembangunan sektor pendidikan memegang peran yang sangat strategis.


Kondisi SDM Indonesia dan Peran Sektor Pendidikan


Secara umum dapat dikemukakan bahwa kualitas sumber daya manusia dari suatu negara ditentukan oleh berbagai faktor, antara lain pendidikan, kesehatan, lingkungan hidup, dan sebagainya. Sementara itu, masing-masing faktor juga dipengaruhi oleh berbagai faktor lingkungan yang mengitarinya.

Menurut UNDP (World Bank, 1993: 12), indikator perhitungan indeks sumber daya manusia (human development indeks) terdiri dari 3 macam komponen, yakni: tingkat harapan hidup penduduk, pengetahuan, dan standar hidup. Selengkapnya laporan Bank Dunia mengenai indeks SDM ini adalah sebagai berikut:

The human development index is a composite of three basic component: longevity, knowledge, and standard of living. Longevity is measured by life expectancy. Knowledge is measured by a combination of adult literacy (two-thirds weight) and mean of years of schooling (one-thirds weight). Standar of living is measured by purchasing power, based on real GDP per capita adjusted for the local cost of living (purchasing power parity, PPP).

Dari definisi diatas dapat ditunjukkan posisi dan peran sektor pendidikan dalam membentuk sosok SDM yang berkualitas, khususnya dari sisi kemampuannya (knowledge). Akan tetapi sayangnya, dengan mengambil perbandingan antara negara-negara tetangga yang juga digolongkan memi-liki pertumbuhan ekonomi yang menakjubkan, ternyata indeks SDM berada pada tingkat yang paling rendah.

Untuk itu, salah satu strategi krusial yang harus segera dilaksanakan adalah mengintensifikasikan dan atau mereformasikan sistem pendidikan nasionalnya. Reformasi pendidikan disini dimaksudkan sebagai suatu konsepsi untuk mewujudkan pendidikan yang berkelanjutan (sustainable education) melalui perumusan strategi yang komprehensif, meliputi aspek-aspek penyempurnaan kurikulum, pemenuhan kebutuhan sarana dan prasarana, peningkatan kualitas pengajar, sampai dengan dukungan penuh aspek anggaran, serta penciptaan lingkungan politis (c.q. kebijakan sektor pendidikan) yang kondusif.

Dengan menempuh berbagai strategi diatas secara komprehensif, maka diharapkan akan tercapai konsep link and match antara: 1) jenis pendidikan yang diberikan pada suatu institusi dengan jenis / beban tugas; 2) jenjang pendidikan antara level rendah – menengah – tinggi; serta 3) pendidikan umum dengan kejuruan. Dengan 3 macam konsepsi link and match ini, sistem pendidikan nasional kita akan dapat mencapai sasaran dalam mencerdaskan kehidupan bangsa.

Namun dalam implementasi strategi tersebut masih ditemukan beberapa permasalahan atau kendala yang akan menggangu kelancaran strategi yang bersangkutan. Kendala yang paling dirasakan adalah jumlah penduduk yang besar dan tersebar di seluruh pelosok Indonesia, sehingga daya jangkau pemerintah ke wilayah di beberapa daerah terpencil menjadi sulit dicapai. Hal ini masih ditambah lagi oleh adanya keterbatasan jumlah pendidik, terutama yang memiliki kualifikasi ideal, serta ketersediaan anggaran sektor pendidikan yang relatif kecil.

Disamping permasalahan tersebut, satu masalah substantif yang menjadi kendala juga adalah belum terkonsentrasinya pelaksanaan pendidikan pada orang-orang atau kelompok masyarakat yang memiliki potensi berkembang, tetapi masih lebih berorientasi pada pemerataan (education for all). Artinya, dengan alasan pemerataan, pemerintah lebih memfokuskan kebijakannya pada upaya penyebaran pendidikan tingkat dasar (6 atau 9 tahun) yang memakan biaya besar, sementara pendidikan spesialisasi dan profesi masih kurang terfokus.

Dalam konteks pendidikan aparatur, keadaannya juga demikian. Penentuan calon peserta diklat (baik penjenjangan / struktural maupun teknis fungsional) kurang diorientasikan kepada pembinaan karier pegawai yang memang memiliki potensi berkembang, tetapi lebih kepada pemerataan bagi seluruh jajaran PNS. Akibatnya, strategi ini lebih banyak menghamburkan dana (hihg cost), akan tetapi dilihat dari outputnya kurang dapat dikatakan maksimal.

Untuk mengantisipasi dan mengatasi kendala tersebut, disarankan agar anggaran untuk investasi sumber daya manusia (human investment) diperbesar seiring dengan penyempurnaan dalam aspek perencanaan sumber daya manusia (man power planning). Secara lebih konkrit, upaya ini perlu diimbangi dengan pengiriman tenaga-tenaga muda dan potensial untuk menempuh pendidikan luar negeri serta penggalakan kegiatan penelitian ilmiah dan penulisan karya-karya ilmiah.


Penutup


Situasi perkembangan dunia saat ini berubah sangat cepat dan menimbulkan berbagai kondisi ketidakpastian (uncertainty) yang bergejolak (hiper turbulence) dan sangat sulit untuk diprediksikan (unpredictable). Keadaan seperti ini jelas mensyaratkan dimilikinya sumber daya manusia yang berkualitas bagi suatu negara, terutama untuk mampu berbicara dan bersaing dengan negara dan masyarakat internasional. Terlebih lagi, kondisi lingkungan makro atau eksternal organisasi makin kompleks. Pada lingkungan ekonomi misalnya, kasus-kasus inflasi, stagflasi, resesi, depresi, monopoli dan sebagainya, membutuhkan kemampuan daya analisis dan daya ramal (forecasting) yang handal. Demikian juga dalam lingkungan politik (kelembagaan pemerintah, HAM, kekuasaan, partisipasi, dll), lingkungan sosial budaya (kriminalitas, urbanisasi, tradisi, dll), serta lingkungan kependudukan (pertumbuhan penduduk, pengangguran, dll), akan dapat dianalisis secara tepat jika dilakukan oleh sumber daya manusia yang berkualitas dan profesional.

Salah satu upaya yang perlu ditempuh untuk mendapatkan manusia sebagai unsur human capital dan tidak semata-mata hanya human resource ini adalah melalui penyelenggaraan pendidikan. Dalam kaitan ini perlu ditekankan bahwa penyelenggaraan pendidikan tidak hanya diarahkan kepada penguasaan sains dan teknologi modern yang bersifat terapan (apllied), namun juga pengembangan ilmu-ilmu sosial yang lebih bersifat ilmu murni (pure science) seperti ilmu politik, ilmu ekonomi, serta ilmu administrasi. Keseluruhan cabang ilmu tersebut secara komprehensif akan membentuk sistem pendidikan nasional yang menentukan tinggi rendahnya kualitas SDM suatu bangsa, sekaligus akan muncul sebagai tools of analysis dalam memecahkan berbagai persoalan yang dihadapi – khususnya krisis moneter saat ini.


Daftar Pustaka

Abeng, Tanri, Dari Meja Tanri Abeng: Gagasan, Wawasan, Terapan dan Renungan, Jakarta: Sinar Harapan, 1997.
Hulu, Edison, “Kekhawatiran di Balik Keajaiban Ekonomi Indonesia”, dalam Prisma, No. 5 tahun 1997.
Kristiadi, J.B., Dimensi Praktis Manajemen Pembangunan di Indonesia, Jakarta: STIA LAN, 1997.
Krugman, P., “The Myth of Asia’s Miracle”, dalam Foreign Affairs, Vol. 73 No. 6/1994.
Lodge, George C., Managing Globalization in The Age of Interdependence, Kuala Lumpur: Golden Books Center, 1995.
Salim, Emil, Sri Edi Swasono, Yudo Swasono, (et.al)., Manajemen Dalam Era Globalisasi, Jakarta: Elex Media Komputindo, 1997.
Sardjudin, Karhi Nisjar, dan Winardi, Manajemen Strategik, Bandung: Mandar Maju, 1997
World Bank, Human Development Report, New York: 1990.

Tidak ada komentar: