Pengantar
Sebagaimana
diketahui, pada penghujung abad 20 yang ditandai oleh fenomena kesejagatan
(globalisasi) saat ini, negara-negara di Asia pada umumnya dan di Asia Tenggara
pada khususnya mengalami goncangan dan atau gejolak perekonomian – terutama
pada sektor moneter – yang cukup serius. Basis ekonomi makro yang lemah
ditambah dengan ulah segelintir spekulan yang mencari keuntungan pribadi, telah
menyebabkan krisis tersebut semakin parah. Bagaimanapun keadaannya, kondisi ini
secara keseluruhan jelas menimbulkan dampak buruk ke berbagai bidang, termasuk bidang pendidikan.
Salah
satu contoh empirik adalah adanya surat
keprihatinan ITB yang ditujukan kepada UNESCO beberapa waktu yang lalu mengenai
kelanjutan pembangunan pendidikan nasional (sustainable
education) dimasa depan, terutama dalam rangka mewujudkan sumber daya
manusia Indonesia
yang menguasai teknologi tinggi. Dengan adanya krisis moneter dan
pembatasan-pembatasan subsidi, tidak mengherankan banyak pihak mempertanyakan
eksistensi SDM Indonesia di dunia internasional.
Oleh
karena itu, krisis yang terjadi tidak dapat dibiarkan berkelanjutan, tetapi
harus dilakukan analisis terhadap berbagai faktor penyebabnya, sekaligus
alternatif-alternatif kebijakan untuk mengatasinya. Dalam hal ini, untuk
mendapatkan hasil analisis yang akurat, maka analisis perlu didasarkan pada
kaidah-kaidah strategic management,
khususnya yang berkaitan dengan lingkungan makro organisasi, yang terdiri dari
lingkungan politik, ekonomi, sosial budaya, teknologi dan kependudukan (Sardjudin dan Winardi, 1997: 166-169).
Sehubungan
dengan hal tersebut, maka uraian dibawah ini akan mencoba mengkaji beberapa
aspek yang terkait dengan fenomena globalisasi dan implikasinya, kemudian
dilanjutkan dengan mengemukakan kinerja pembangunan ekonomi Indonesia hingga
mendapat predikat miracle dari Bank
Dunia, strategi peningkatan kualitas dan daya saing SDM Indonesia melalui
pembangunan bidang pendidikan, serta diakhiri dengan catatan penutup.
Globalisasi
dan Implikasinya
Menurut Lodge dalam bukunya Managing Globalization In The Age Of
Interdependence (1995: 1), globalisasi adalah suatu proses dimana
masyarakat dunia menjadi semakin terhubungkan (interconnected) satu sama lainnya dalam berbagai aspek kehidupan
mereka baik dalam hal budaya, ekonomi, politik, teknologi, maupun lingkungan.
Akibatnya, dunia saat ini telah menjadi sebuah pasar global, bukan hanya untuk barang dan jasa, tetapi juga untuk
penyediaan modal dan teknologi. Atau dengan kata lain, negara-negara di dunia,
secara berangsur telah beralih kepada mekanisme pasar (market-driven) daripada campur tangan pemerintah dalam memecahkan
berbagai persoalan perekonomian nasional.
Dengan keterkaitan
antara satu negara dengan negara lainnya ini, salah satu implikasi yang muncul
adalah ketatnya persaingan antar bangsa, baik dalam hal produk barang dan jasa,
kapasitas sumber daya manusia, maupun dalam hal penyediaan fasilitas dan
prosedur yang memadai untuk kegiatan investasi dari negara tertentu. Jika suatu
negara tidak memiliki basis keunggulan berbanding (comparative advantage) apalagi
keunggulan bersaing (competitive
advantage), maka dapat dipastikan bahwa negara tersebut akan tergilas oleh
negara lain, sehingga pada gilirannya, secara internasional akan menempatkan
negara tersebut pada posisi terbelakang.
Dalam kaitan ini,
sangat menarik untuk menyimak pendapat Kristiadi
(1997: 75-76) mengenai pergeseran basis kompetitif dari komparatif menjadi kompetitif
suatu negara sebagai berikut:
“Dalam menghadapi era liberalisasi
ekonomi Asia Pasifik (APEC) dan dunia (WTO)
yang tidak mungkin dihindari, pergeseran basis kompetitif dari sumber daya alam
kepada sumber daya manusia, sudah menjadi tuntutan mutlak. Sebab, hanya
negara-negara yang memiliki sumber daya manusia yang berkualitas sajalah yang
akan mampu meningkatkan kemakmuran dan kesejahteraan masyarakatnya dengan
cepat. Negara-negara yang hanya mengandalkan kekayaan SDA tetapi mengabaikan
kualitas SDM, tidak akan mampu bersaing dalam dunia internasional dibandingkan
dengan negara yang mempunyai SDA terbatas namun memiliki SDM yang unggul”.
Untuk menghindari
kekalahan dalam persaingan global ini, maka suatu negara harus melakukan
upaya-upaya reformasi dalam kebijakan publiknya. Bahkan Abeng (1997: 91) menegaskan bahwa proses globalisasi selalu
menghendaki dilakukannya transformasi manajemen bagi setiap organisasi, baik
privat maupun organisasi publik. Tuntutan akan perlunya transformasi manajemen
atau penerapan paradigma baru manajemen ini ditekankan juga oleh Salim (1997: 18-19) yang mengatakan
sebagai berikut:
“……. proses globalisasi yang sedang
melanda dunia sekarang ini melahirkan kebutuhan mengkaji ulang pola-pola
manajemen yang dilaksanakan sekarang untuk diubah dan disesuaikan agar mampu
menanggapi tantangan jaman. ……… pola manajemen modern ini tidak hanya perlu
dikembangkan dalam lingkungan bisnis, tetapi lembaga pemerintah dan organisasi
kemasyarakatan umumnya juga perlu mengembangkan pola manajemen modern,
sungguhpun tidak serupa dengan keperluan bisnis – tetapi paling tidak – sesuai
dengan keperluan untuk menanggapi tantangan global”.
Perlunya
transformasi manajemen sektor publik ini dilatar belakangi oleh suatu masalah
yang sangat krusial, yaitu bagaimana menciptakan efisiensi kerja serta
mendorong kinerja sektor publik. Sebab, kondisi aktual maupun faktual selama
ini menunjukkan bahwa organisasi pemerintah masih cenderung bersifat organik
dengan mekanisme kerja yang tidak efisien serta kurang memiliki daya saing yang
memadai dibanding sektor privat atau swasta, apalagi dibadingkan dengan pihak
luar negeri.
Hal ini menunjukkan
adanya ironi, bahwa ditengah penilaian positif dari dunia internasional kepada Indonesia
dalam bidang ekonomi – seperti yang akan dipaparkan dibawah – ternyata kondisi
riil lebih banyak bersifat negatif. Dalam kasus ini dapat diajukan pertanyaan
apakah penilaian dunia internasional tersebut benar-benar obyektif. Sebab,
hanya dalam beberapa tahun setelah predikat “ajaib” tersebut, justru Indonesia
kembali terlempar ke jurang krisis kegelapan, kelaparan dan keterbelakangan.
Dan salah satu hantu yang membayangi dari krisis ini adalah kebodohan bangsa
secara kolektif. Inilah tantangan utama bangsa Indonesia dalam memasuki abad 21
yang penuh persaingan, terutama bagaimana memelihara konsistensi suatu
kebijakan serta menjaga keberhasilan pembangunan pada tingkat yang diharapkan.
Kinerja
Pembangunan Ekonomi Indonesia
Sebagaimana
dimaklumi bersama, semenjak tahun 1995 status ekonomi oleh Bank Dunia dinaikkan
dari kelompok negara berpendapatan rendah (low
income countries) menjadi kelompok negara berpendapatan rendah menengah (lower-middle income countries).
Peningkatan status
ini didasarkan pada beberapa indikator antara lain: laju pertumbuhan ekonomi
yang cukup tinggi (6-8 %), laju inflasi cukup rendah, ekspor non migas yang
cukup tinggi, keberhasilan swasembada pangan, upaya pengentasan kemiskinan yang
cukup berhasil, serta keberhasilan penyesuaian kebijakan ekonomi domestik untuk
menghadapi berbagai shock dalam dan
luar negeri (Hulu, 1997: 27-28).
Dengan keberhasilan ini, Bank Dunia sampai memberikan predikat menakjubkan atau
ajaib (miracle) kepada Indonesia
bersama dengan 6 negara Asia lainnya (Hongkong, Malaysia, Singapura, Korea
Selatan, Taiwan dan Thailand).
Meskipun demikian,
keberhasilan tadi tidak identik dengan stabilitas ekonomi. Artinya, meskipun
laju pertumbuhan tergolong tinggi, namun jika fundamental ekonominya tidak
kuat, maka dengan seketika pertumbuhan tersebut dapat kembali ke titik nol.
Atau menurut analisis Krugman (1994:
62-78), kinerja ekonomi yang dicerminkan oleh laju pertumbuhan yang tinggi di
negara-negara Asia tidak akan mampu bertahan
lama, yang disebabkan oleh 3 faktor penyebab sebagai berikut:
·
Rendahnya
pertumbuhan total produktivitas
(faktor pendorong peningkatan kapasitas produksi: modal & tenaga kerja)
sebagai akibat kurangnya pengaplikasian teknologi.
·
Masih
kuatnya campur tangan pemerintah
terhadap mekanisme pasar (contoh: kasus Eropa Timur dan Rusia).
·
Keterlambatan
integrasi perekonomian negara
terhadap perekonomian dunia.
Atas
dasar analisis Krugman inilah,
terjadinya krisis moneter di negara-negara Asia pada umumnya dan di Indonesia
pada khususnya dapat dijelaskan. Untuk itu, Krugman menyarankan agar negara-negara tersebut tidak terlena pada
simbol miracle, dan pada saat yang
bersamaan melakukan berbagai upaya konkrit seperti memperkuat keunggulan
berbanding (comparative advantage),
memajukan aplikasi teknologi, mengevaluasi campur tangan pemerintah agar tidak
mengganggu mekanisme pasar, meningkatkan kualitas SDM, dan memperkokoh produksi
andalan ekspor.
Dari
berbagai upaya ini, peningkatan kualitas SDM mendapatkan prioritas yang cukup
menonjol. Hal ini logis, mengingat bahwa bahwa aspek sumber daya manusia inilah
yang pertama-tama akan merasakan adanya krisis moneter, dan sekaligus juga
merupakan pihak yang paling berkompeten untuk mengatasi beserta seluruh
dampak-dampaknya. Dalam hubungan inilah maka pembangunan sektor pendidikan
memegang peran yang sangat strategis.
Kondisi
SDM Indonesia
dan Peran Sektor Pendidikan
Secara umum dapat
dikemukakan bahwa kualitas sumber daya manusia dari suatu negara ditentukan
oleh berbagai faktor, antara lain pendidikan, kesehatan, lingkungan hidup, dan
sebagainya. Sementara itu, masing-masing faktor juga dipengaruhi oleh berbagai
faktor lingkungan yang mengitarinya.
Menurut UNDP (World Bank, 1993: 12), indikator
perhitungan indeks sumber daya manusia (human
development indeks) terdiri dari 3 macam komponen, yakni: tingkat harapan
hidup penduduk, pengetahuan, dan standar hidup. Selengkapnya laporan Bank Dunia
mengenai indeks SDM ini adalah sebagai berikut:
The
human development index is a composite of three basic component: longevity,
knowledge, and standard of living. Longevity is measured by life expectancy.
Knowledge is measured by a combination of adult literacy (two-thirds weight)
and mean of years of schooling (one-thirds weight). Standar of living is
measured by purchasing power, based on real GDP per capita adjusted for the
local cost of living (purchasing power parity, PPP).
Dari definisi
diatas dapat ditunjukkan posisi dan peran sektor pendidikan dalam membentuk
sosok SDM yang berkualitas, khususnya dari sisi kemampuannya (knowledge). Akan tetapi sayangnya,
dengan mengambil perbandingan antara negara-negara tetangga yang juga
digolongkan memi-liki pertumbuhan ekonomi yang menakjubkan, ternyata indeks SDM
berada pada tingkat yang paling rendah.
Untuk itu, salah satu strategi krusial yang harus segera dilaksanakan
adalah mengintensifikasikan dan atau mereformasikan
sistem pendidikan nasionalnya. Reformasi pendidikan disini dimaksudkan
sebagai suatu konsepsi untuk mewujudkan pendidikan yang berkelanjutan (sustainable education) melalui perumusan
strategi yang komprehensif, meliputi
aspek-aspek penyempurnaan kurikulum, pemenuhan kebutuhan sarana dan prasarana,
peningkatan kualitas pengajar, sampai dengan dukungan penuh aspek anggaran,
serta penciptaan lingkungan politis (c.q. kebijakan sektor pendidikan) yang
kondusif.
Dengan menempuh
berbagai strategi diatas secara komprehensif, maka diharapkan akan tercapai
konsep link and match antara: 1)
jenis pendidikan yang diberikan pada suatu institusi dengan jenis / beban tugas;
2) jenjang pendidikan antara level rendah – menengah – tinggi; serta 3)
pendidikan umum dengan kejuruan. Dengan 3 macam konsepsi link and match ini, sistem pendidikan nasional kita akan dapat
mencapai sasaran dalam mencerdaskan kehidupan bangsa.
Namun dalam
implementasi strategi tersebut masih ditemukan beberapa permasalahan atau
kendala yang akan menggangu kelancaran strategi yang bersangkutan. Kendala yang
paling dirasakan adalah jumlah penduduk yang besar dan tersebar di seluruh
pelosok Indonesia ,
sehingga daya jangkau pemerintah ke wilayah di beberapa daerah terpencil
menjadi sulit dicapai. Hal ini masih ditambah lagi oleh adanya keterbatasan
jumlah pendidik, terutama yang memiliki kualifikasi ideal, serta ketersediaan
anggaran sektor pendidikan yang relatif kecil.
Disamping permasalahan
tersebut, satu masalah substantif yang menjadi kendala juga adalah belum
terkonsentrasinya pelaksanaan pendidikan pada orang-orang atau kelompok
masyarakat yang memiliki potensi berkembang, tetapi masih lebih berorientasi
pada pemerataan (education for all).
Artinya, dengan alasan pemerataan, pemerintah lebih memfokuskan kebijakannya
pada upaya penyebaran pendidikan tingkat dasar (6 atau 9 tahun) yang memakan
biaya besar, sementara pendidikan spesialisasi dan profesi masih kurang
terfokus.
Dalam konteks pendidikan aparatur,
keadaannya juga demikian. Penentuan calon peserta diklat (baik penjenjangan /
struktural maupun teknis fungsional) kurang diorientasikan kepada pembinaan
karier pegawai yang memang memiliki potensi berkembang, tetapi lebih kepada pemerataan
bagi seluruh jajaran PNS. Akibatnya, strategi ini lebih banyak menghamburkan
dana (hihg cost), akan tetapi dilihat
dari outputnya kurang dapat dikatakan maksimal.
Untuk
mengantisipasi dan mengatasi kendala tersebut, disarankan agar anggaran untuk
investasi sumber daya manusia (human
investment) diperbesar seiring dengan penyempurnaan dalam aspek perencanaan
sumber daya manusia (man power planning).
Secara lebih konkrit, upaya ini perlu diimbangi dengan pengiriman tenaga-tenaga
muda dan potensial untuk menempuh pendidikan luar negeri serta penggalakan
kegiatan penelitian ilmiah dan penulisan karya-karya ilmiah.
Penutup
Situasi
perkembangan dunia saat ini berubah sangat cepat dan menimbulkan berbagai
kondisi ketidakpastian (uncertainty)
yang bergejolak (hiper turbulence)
dan sangat sulit untuk diprediksikan (unpredictable).
Keadaan seperti ini jelas mensyaratkan dimilikinya sumber daya manusia yang
berkualitas bagi suatu negara, terutama untuk mampu berbicara dan bersaing
dengan negara dan masyarakat internasional. Terlebih lagi, kondisi lingkungan
makro atau eksternal organisasi makin kompleks. Pada lingkungan ekonomi misalnya, kasus-kasus inflasi, stagflasi,
resesi, depresi, monopoli dan sebagainya, membutuhkan kemampuan daya analisis
dan daya ramal (forecasting) yang
handal. Demikian juga dalam lingkungan
politik (kelembagaan pemerintah, HAM, kekuasaan, partisipasi, dll), lingkungan sosial budaya (kriminalitas,
urbanisasi, tradisi, dll), serta lingkungan
kependudukan (pertumbuhan penduduk, pengangguran, dll), akan dapat
dianalisis secara tepat jika dilakukan oleh sumber daya manusia yang
berkualitas dan profesional.
Salah satu upaya
yang perlu ditempuh untuk mendapatkan manusia sebagai unsur human capital dan tidak semata-mata
hanya human resource ini adalah
melalui penyelenggaraan pendidikan. Dalam kaitan ini perlu ditekankan bahwa
penyelenggaraan pendidikan tidak hanya diarahkan kepada penguasaan sains dan
teknologi modern yang bersifat terapan (apllied),
namun juga pengembangan ilmu-ilmu sosial yang lebih bersifat ilmu murni (pure science) seperti ilmu politik, ilmu
ekonomi, serta ilmu administrasi. Keseluruhan cabang ilmu tersebut secara
komprehensif akan membentuk sistem pendidikan nasional yang menentukan tinggi
rendahnya kualitas SDM suatu bangsa, sekaligus akan muncul sebagai tools of analysis dalam memecahkan
berbagai persoalan yang dihadapi – khususnya krisis moneter saat ini.
Daftar Pustaka
Abeng,
Tanri, Dari Meja Tanri Abeng: Gagasan,
Wawasan, Terapan dan Renungan, Jakarta :
Sinar Harapan, 1997.
Hulu,
Edison, “Kekhawatiran di Balik Keajaiban Ekonomi Indonesia ”, dalam Prisma, No. 5 tahun 1997.
Kristiadi, J.B., Dimensi
Praktis Manajemen Pembangunan di Indonesia, Jakarta : STIA LAN, 1997.
Krugman, P., “The Myth of Asia’s Miracle”, dalam Foreign Affairs, Vol. 73 No. 6/1994.
Lodge, George C., Managing
Globalization in The Age of Interdependence, Kuala
Lumpur : Golden
Books Center ,
1995.
Salim, Emil, Sri Edi Swasono, Yudo Swasono, (et.al)., Manajemen Dalam Era Globalisasi, Jakarta : Elex Media
Komputindo, 1997.
Sardjudin, Karhi Nisjar, dan Winardi, Manajemen Strategik, Bandung : Mandar Maju, 1997
World Bank, Human
Development Report, New York :
1990.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar