Prinsip-prinsip
reinventing government sebagaimana dikemukakan oleh Osborne dan Gaebler
pada hakekatnya masih merupakan suatu deskripsi yang belum begitu konkrit, yang
dirumuskan dari hasil-hasil pengamatan terhadap kinerja berbagai organisasi
pemerintahan. Oleh karena itu, reinventing government ini belum
memberikan strategi-strategi yang lebih praktis dan aplikatif. Sebagai
kelanjutan dari gagasan reinventing government sekaligus untuk
memberikan langkah-langkah atau strategi untuk mengimplementasikannya, maka
terbitlah buku berjudul Banishing Bureaucracy ini.
Strategi-strategi
yang dirumuskan dalam buku tersebut sesungguhnya memiliki latar belakang dari
adanya kegagalan-kegagalan dari berbagai program reformasi atau revitalisasi
administrasi pemerintahan di berbagai negara. Kegagalan program reformasi yang
jauh dari harapan ini kemudian sering disebut sebagai mitos. Dalam kaitan ini,
terdapat lima
mitos yang berhubungan dengan program reformasi sektor publik, yakni mitos
liberal, mitos konservatif, mitos bisnis, mitos pekerja, dan mitos
masyarakat (Osborne and Plastrik, 1997 : 13).
Mitos
liberal
(the liberal myth) beranggapan bahwa pemerintah dapat ditingkatkan
kinerja atau produktivitasnya dengan cara lebih banyak membelanjakan dan lebih
banyak mengerjakan (spending more and doing more). Dalam kenyataannya,
pemakaian uang atau anggaran yang lebih banyak tidak selalu membawa hasil yang
lebih baik. Sedangkan mitos konservatif (the conservative myth)
merupakan kebalikan dari mitos liberal, yang beranggapan bahwa pemerintah yang
lebih baik adalah yang sedikit berbuat dan sedikit mengeluarkan biaya (spending
less and doing less). Namun dalam prakteknya, hal ini tidak mampu meningkatkan
performansi pemerintah, meskipun disisi lain dapat meningkatkan tabungan.
Selanjutnya
menurut mitos bisnis (the business myth), pemerintah dapat
ditingkatkan kemampuannya dengan cara mengelola pemerintah seperti perusahaan (running
government like a business). Realitasnya, meskipun metafora bisnis dan
manajemen teknologi memberi kontribusi positif, tetapi nyatanya terdapat
perbedaann yang kritis antara sektor privat dengan sektor publik. Kemudian
menurut mitos pekerja (the employee myth), para pekerja
publik akan dapat memperbaiki kinerjanya jika memiliki sumber keuangan yang
memadai. Akan tetapi kita harus mencari sumber keuangan yang lain jika kita
menginginkan hasil yang berbeda. Dan terakhir, mitos masyarakat (the
people myth) berpandangan bahwa kinerja pemerintah dapat ditingkatkan
dengan memberikan kesempatan dan peluang yang lebih besar kepada masyarakat,
atau menciptakan keberdayaan dan kualitas masyarakat yang lebih baik (hiring
better people). Namun masalah sebenarnya bukan terletak pada masyarakat,
melainkan sistemnya yang menjebak masyarakat atau masyarakat yang terperangkap
pada suatu sistem yang tidak memberikan ruang gerak bagi inovasi dan inisiatif
masyarakat.
Dengan
adanya kelima mitos yang merupakan kritik terhadap program reformasi sektor
publik yang ada selama ini, maka reinventing diarahkan sebagai suatu
transformasi mendasar terhadap organisasi dan sistem kerja sektor publik untuk
menciptakan kemajuan yang dramatis guna mewujudkan efektivitas, efisiensi,
adaptabilitas dan kemampuan berinovasi. Transformasi ini dapat tercapai dengan
merubah tujuan atau fungsinya, insentif, akuntabilitas, struktur kekuasaan,
serta kulturnya. Kutipan aslinya dari terjemahan ini adalah sebagai berikut :
“Reinvention mean the fundamental
transformation of public systems and organizations to create dramatic increases
in their effectiveness, efficiency, adaptability, and capacity to innovate.
This transformation is accomplished by changing their purpose, incentives,
accountability, power structure, and culture” (Osborne and
Plastrik, 1997 : 14).
Sehubungan
dengan hal tersebut, Osborne and Plastrik mengajukan perlunya lima strategi utama, yang
diyakini dapat mengubah “DNA” pemerintah. Kelima strategi itu terdiri dari strategi
inti (core strategy), strategi konsekuensi (consequences strategy), strategi
pelanggan (customer strategy), strategi kontrol (control strategy), serta
strategi kultur atau budaya (culture strategy).
Strategi
inti berisi program-program untuk memperjelas tujuan dan atau fungsi dari
sistem dan organisasi sektor publik (clarity of purpose). Sebab, suatu
organisasi yang belum memiliki tujuan atau fungsi yang jelas – bahkan memiliki
fungsi atau tujuan ganda dan berlawanan satu sama lain – jelas tidak akan bisa
meningkatkkan kinerjanya. Strategi memperjelas tujuan ini disebut sebagai
strategi inti sebab hal ini berhubungan dengan fungsi utama pemerintah yaitu
pengarahan (the steering functions). Sementara empat strategi lainnya
lebih memfokuskan pada upaya untuk meningkatkan peran penyelenggaraan (improving
rowing), strategi inti ini justru menonjolkan peran pengarahan atau
pengaturan (improving steering). Dengan kata lain, perlu dipikirkan
secara sungguh-sungguh apakah tujuan tersebut lebih efektif dilaksanakan oleh
badan usaha (privat atau semi privat), atau oleh organisasi pemerintah murni.
Dalam
kasus milik perusahaan-perusahaan daerah yang sebelumnya berasal dinas
misalnya, perlu ditetapkan secara jelas dan tegas tentang tujuan hakiki dari
perubahan dinas menjadi badan usaha, dalam arti apakah ada tujuan lain atau
tujuan baru yang diemban oleh organisiasi baru tersebut ataukah tidak. Jika
tidak, mengapa kelembagaan dinas harus harus diubah menjadi badan usaha ? Akan
tetapi jika memang dibebani tujuan baru, maka perlu dipastikan apakah tujuan
tadi belum dilaksanakan oleh organisasi lain, serta apakah tidak terjadi
duplikasi dalam pencapaian tujuan.
Sementara
itu, strategi konsekuensi mengkaji sekitar masalah insentif yang dibangun dalam
sistem atau sektor publik. Dalam hal ini, harus dibentuk suatu konsekuensi atau
akibat-akibat tertentu untuk meningkatkan kinerja (creating consequences for
performance). Sebagai contoh, seorang karyawan hendaknya memperoleh imbalan
atau penghargaan sesuai dengan hasil yang dicapainya. Strategi ini menghendaki
pula aplikasi dari manajemen perusahaan di sektor publik. Jika berhasil, maka
organisasi publik akan ditempatkan dalam sistem atau mekanisme pasar dimana
masyarakat sangat membutuhkan dan tergantung kepadanya. Namun jika gagal, perlu
dilakukan suatu kontrak untuk menciptakan kompetisi antara pemerintah dengan
swasta (atau antar organisiasi pemerintah). Dari sini dapat disimpulkan bahwa
pasar dan kompetisi akan memberikan pengaruh terhadap besarnya sistem insentif,
sekaligus kinerja yang lebih baik. Namun demikian harus dipahami bahwa tidak
semua aktivitas pemerintah dapat diintegrasikan kedalam mekanisme pasar atau
iklim persaingan.
Strategi
ketiga – yakni strategi pelanggan – memfokuskan pada masalah akuntabilitas
sektor publik. Hanya saja yang dipertanyakan, kepada siapakah akuntabilitas
tersebut ditujukan ? Tentu saja dalam hal ini masyarakat atau pelanggan (customer)
merupakan pihak yang paling berkompeten untuk menilai kinerja pemerintah
sekaligus sebagai pihak yang menerima responsibilitas dan akuntabilitas
pemerintah. Selama ini, akuntabilitas secara legal formal ditujukan kepada
aparatur pemerintah yang lebih tinggi, yang menentukan tujuan organisasi serta
yang membiayai penyelenggaraan kegiatan. Dan oleh karena organisasi pemerintah
seringkali berada dibawah tekanan untuk memenuhi permintaan dari kelompok
kepentingan tertentu, maka mereka lebih memikirkan kemana sumber-sumber
pembiayaan harus dibelanjakan (didistribusikan) dari pada memikirkan kinerja
dan manfaat yang dihasilkan. Dalam konteks seperti
ini, birokrasi pemerintah semestinya dibersihkan dari pengaruh-pengaruh
politis. Strategi pelanggan menolak pola demikian, dengan cara menyerahkan
akuntabilitasnya kepada pelanggan. Ini berarti bahwa pelanggan diberi kebebasan
untuk memilih atas pelayanan dari organisasi publik, sekaligus diberikan
standar pelayanan yang memuaskan. Membentuk akuntabilitas kepada pelanggan
menuntut perbaikan kualitas hasil kerja, bukan semata-mata mengelola sumber
daya yang ada. Dan yang perlu digarisbawahi adalah bahwa sasaran akhir dari
strategi ini adalah bagaimana kepuasan masyarakat (customer satisfaction)
dapat terus ditingkatkan.
Strategi kontrol berkaitan erat dengan kekuasaan (power).
Dalam sistem organisasi birokratik, sebagian besar kekuasaan berada pada atau
sekitar puncak hirarkhi, sedangkan dalam organisasi yang demokratis, kekuasaan
berasal dari rakyat yang diserahkan kepada para pejabat pemerintah yang
merupakan wakil dari rakyat. Kemudian dari para pejabat pemerintah di tingkat
Pusat ini, kekuasaan didelegasikan atau didesentralisasikan kepada pejabat /
manajer lini.
Akan tetapi biasanya, para pejabat di tingkat menengah
atau yang mengisi kotak-kotak lini ini memiliki “kebebasan” yang sangat
terbatas dalam hal pengambilan keputusan, dan fleksibilitasnya menghadapi
kendala seperti instruksi anggaran yang baku dengan sistem specific grant,
aturan kepegawaian, penerapaan inspeksi auditif yang ketat, dan sejenisnya.
Strategi kontrol menganjurkan agar sebagian kewenangan
pengambilan keputusan diserahkan ketingkat organisasi yang lebih rendah melalui
jenjang hirarkhi. Hal ini akan membawa dua keuntungan, yakni pertama
memberdayakan organisasi dengan berkurangnya pengawasan dari lembaga-lembaga
pemerintah tingkat pusat ; dan kedua memberdayakan karyawan / pegawai
dengan dimilikinya kewenangan untuk mengambil keputusan, menanggapi pelanggan,
serta dalam hal pemecahan masalah.
Adapun strategi yang terakhir – yakni strategi budaya –
menegaskan bahwa kinerja sektor publik akan sangat ditentukan oleh kultur atau
budaya yang melekat pada dirinya, seperti nilai-nilai, norma, perilaku, dan
harapan dari setiap pegawai. Budaya disini sangat dipengaruhi oleh keempat
strategi diatas, baik oleh tujuan organisasional, sistem insentif, sistem
akuntabilitas, dan oleh struktur kekuasaan. Artinya, jika salah satu dari empat
strategi ini berubah, maka budaya sektor publik juga akan mengikutinya. Akan
tetapi kadangkala, budaya juga sangat sulit berubah meskipun dikehendaki oleh
pimpinan, pelanggan maupun pembuat kebijakan sekalipun. Organisasi sektor
publik biasanya memiliki ciri-ciri khusus seperti banyaknya unit fungsional,
tata cara prosedural, dan penyusunan job description yang tegas, yang
kesemuanya ini dimaksudkan untuk menjamin bahwa pekerjaan yang dilakukan oleh
pegawai sudah sesuai dengan yang seharusnya mereka lakukan. Jika para pegawai
telah terbiasa dengan kondisi seperti ini, maka mereka akan menjadi cenderung
rentan terhadap budaya, dalam arti menjadi reaktif, tergantung dan tidak
memiliki keberanian untuk berinisiatif.
Dengan strategi budaya ini, kepada masyarakat akan
dikembangkan suatu kebiasaan dan perilaku baru yang lebih baik, dengan catatan
bahwa budaya lama yang relevan masih dapat dipertahankan. Kebiasaan atau
perilaku baru ini dapat terwujud dengan cara membantu masyarakat untuk meraih
dorongan emosionalnya seperti harapan, ketakutan dan cita-cita mereka. Selain
itu, masyarakat perlu membangun visi masa depan serta sikap mental tentang arah
dan cara suatu organisasi mencapai tujuannya.
Penerapan kelima strategi diatas hendaknya dapat
dilaksanakan secara bersamaan, sebab penerapan satu atau dua strategi saja
belum akan cukup mencapai maksud dan tujuan dari program reformasi sektor
publik, baik yang meliputi aspek tujuan (purpose), insentif (incentive),
akuntabilitas (accountability), kekuasaan (power) dan budaya (culture).
Namun jika kelima strategi tadi tidak dapat secara serentak diimplementasikan,
maka penerapannya dapat dilakukan secara inkremental, dalam arti penerapan
salah satu strategi perlu segera diikuti dengan strategi lainnya, sehingga
akhirnya kelima strategi tersebut akan menjadi strategi yang komprehensif dalam
rangka meningkatkan kinerja sektor publik. Akan tetapi perlu diperhatikan juga
agar penerapan lima strategi tadi tidak
menimbulkan kebijakan yang tumpang tindih (overlapping).
Daftar
Referensi
Osborne, David, and
Plastrik, Peter, 1996, Banishing Bureaucracy (The Five Strategies for
Reinventing Government), Addison-Wesley Publishing Company, Inc.
Osborne, David and
Ted Gaebler, 1992, Reinventing Government (How The Entrepreneurial Spirit is
Transforming The Public Sector), Addison-Wesley Publishing company, Inc.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar