Senin, 02 Agustus 2010

Implikasi Yuridis Penghentian Kontrak Kerja Pegawai di Lingkungan Pemerintah


Latar Belakang

Adanya kebijakan Pimpinan di berbagai organisasi pemerintahan tentang penghentian kontrak kerja bagi pegawai di lingkungannya masing-masing.


Perspektif Yuridis (HAN)

Perjanjian kerja (kontrak) antara individu pegawai dengan badan/pejabat tata usaha negara (pemerintah) dilihat secara berbeda oleh ahli hukum tata negara.

1.       Disatu pihak, beberapa ahli mengatakan bahwa pemerintah dapat melakukan perbuatan dalam lapangan hukum privat. Ini berarti bahwa perjanjian itu diatur oleh hukum privat (perdata), dimana ketentuan-ketentuan dalam perjanjian berlaku sebagai undang-undang bagi pihak yang mengaturnya. Atas dasar ini, maka perjanjian dapat berakhir seketika pada saat batas waktunya berakhir. Artinya, hak dan kewajiban pihak-pihak menjadi hapus, dan tidak ada kewajiban pihak yang satu untuk memberikan sesuatu dalam bentuk apapun kepada pihak yang lain. Namun, jika terjadi persoalan (baca: sengketa), maka penyelesaiannya harus tetap menggunakan hukum publik. Dengan kata lain, berakhirnya masa waktu perjanjian tidak dapat dijadikan alasan untuk melakukan penghentian kontrak kerja.

2.       Dipihak lain, beberapa ahli mengatakan bahwa pemerintah tidak dapat melakukan perjanjian dua pihak, karena pemerintah tunduk pada hukum publik yang bersifat sepihak. Atas dasar ini, maka pemerintah dapat melakukan penghentian kontrak kerja atau perjanjian secara sepihak, karena inisiatif pembuatan perjanjian juga datang sepihak dari pemerintah. Meskipun demikian, pemerintah tetap harus memperhatikan norma-norma atau asas, antara lain:

a.     Asas Kepastian Hukum.
Asas ini menghendaki dihormatinya hak yang telah diperoleh seseorang berdasarkan keputusan badan/pejabat administrasi negara. Artinya, keputusan untuk mengangkat seseorang pada posisi sebagai honorer/pegawai kontrak pada lembaga pemerintah, telah menimbulkan konsekuensi sebagaimana halnya pada pengangkatan pegawai non honorer. Oleh karena itu, sesungguhnya tidak terdapat perbedaan hak dan kewajiban antara pegawai honorer dengan pegawai non honorer, kecuali pada status hukumnya (kepangkatan, penggajian, dsb).

b.     Asas Kesamaan Dalam Mengambil Keputusan.
Asas ini menghendaki agar dalam menghadapi kasus/fakta yang sama, badan/pejabat administrasi negara dapat mengambil tindakan yang sama. Ini mensyaratkan bahwa kebijakan penghentian kontrak kerja bagi sarjana tidak hanya berlaku di LAN Perwakilan Jawa Barat, tetapi juga di LAN Pusat dan LAN Perwakilan Ujung Pandang. Disamping itu, jika ternyata masih ada kebijakan rekrutmen PNS dan atau honorer, maka ini juga menunjukkan tidak adanya kesamaan/konsistensi

c.     Asas Bertindak Cermat.
Asas ini menghendaki administrasi negara senantiasa bertindak secara hati-hati agar tidak menimbulkan kerugian bagi masyarakat. Contoh di Medan beberapa waktu yang lalu: seorang pengendara sepeda motor terjerembab ke gorong-gorong/galian jalan karena tidak dipasang tanda yang menunjukkan disitu sedang dilakukan perbaikan jalan. Orang tersebut menuntut Walikota untuk memberikan ganti rugi, yang dikabulkan oleh Pengadilan. Padahal, pada kasus tadi tidak terdapat hubungan hukum (perjanjian) antara Walikota dengan warganya, namun ternyata Walikota tetap dipersalahkan.

d.     Asas Keadilan dan Kewajaran.
Asas ini menghendaki agar dalam melakukan tindakannya, badan/pejabat administrasi negara tidak berlaku sewenang-wenang.

e.     Asas Menanggapi Pengharapan yang Wajar.
Asas ini menghendaki agar tindakan badan/pejabat administrasi negara dapat memenuhi harapan-harapan yang wajar. Konkritnya, tuntutan ganti rugi, pesangon, dan sejenisnya adalah hal yang wajar jika terjadi penghentian kontrak kerja.


Implikasi Kebijakan

Dari perspektif HAN diatas, dapat disimpulkan bahwa kebijakan penghentian kontrak kerja mengandung sensitivitas yang cukup tinggi, sehingga perlu dilakukan secara hati-hati dan bijaksana. Beberapa implikasi dan atau kemungkinan yang muncul adalah:

1.      Pegawai yang bersangkutan menerima kebijakan secara baik dan legawa, tanpa menuntut sesuatu.
2.      Pegawai yang bersangkutan menerima kebijakan secara baik dan legawa, dengan menuntut sesuatu.
3.      Pegawai yang bersangkutan tidak menerima (menolak) kebijakan yang diberlakukan, dengan kemungkinan berikutnya melibatkan pihak ketiga (PTUN).


Saran Tindak (Follow-up)

Jika kemungkinan pertama yang terjadi, maka pimpinan organisasi instansi pemerintah disarankan menempuh beberapa hal sebagai berikut:

1.      Tetap memberikan penghargaan (bisa dalam bentuk piagam pengabdian, tunjangan minimum 3 kali gaji total per bulan, pemberian surat rekomendasi untuk mencari kerja, dsb) atas jasa dan pengabdian mereka selama ini.
2.      Tetap memberikan kesempatan yang seluas-luasnya untuk berpartisipasi dalam berbagai kegiatan lain (crash program) yang diselenggarakan oleh unit kerja organisasi, yakni kegiatan-kegiatan yang tidak terstruktur dalam program instansi yang bersangkutan.

Jika kemungkinan kedua yang terjadi, maka pimpinan organisasi instansi pemerintah disarankan menempuh beberapa hal sebagai berikut:

1.      Melaksanakan butir no. 1 dan 2 pada kemungkinan pertama.
2.      Mengadakan negosiasi dengan pegawai yang bersangkutan tentang bentuk dan besarnya tuntutan yang diajukan.
3.      Memenuhi tuntutan pegawai yang bersangkutan, sepanjang dalam batas kemampuan lembaga dan tidak menyimpang dari ketentuan yang berlaku.
4.      Atas persetujuan Rapat Anggota Istimewa, melakukan penggantian beberapa pengurus. Dalam hal ini, pengurus PNS digantikan dengan pegawai yang bersangkutan. Disamping itu, kompetensi koperasi perlu diperluas, misalnya sebagai ‘perusahaan’ penyedia jasa cleaning service.

Jika kemungkinan ketiga yang terjadi, maka pimpinan organisasi instansi pemerintah disarankan menempuh beberapa hal sebagai berikut:

1.      Melaksanakan butir no. 1 dan 2 pada kemungkinan pertama.
2.      Mengadakan negosiasi dengan pegawai yang bersangkutan, dengan alternatif penundaan kebijakan untuk jangka waktu tertentu, sampai dengan pegawai yang bersangkutan memperoleh pekerjaan lain atau di tempat lain.
3.      Sedapat mungkin mencari jalan penyelesaian damai sebelum menyiapkan penasihat hukum.

Langkah-langkah diatas – khususnya kemungkinan pertama dan kedua – dapat pula dijadikan sebagai bentuk penawaran lembaga kepada pegawai yang bersangkutan.


Langkah-Langkah Antisipasi:

Terlepas dari ketiga bentuk kemungkinan diatas, sebelum “mengumumkan secara resmi” kebijakan tersebut, pimpinan organisasi instansi pemerintah perlu mempertimbangkan hal-hal sebagai berikut:

1.      Alasan/Latar Belakang/Dasar Pemikiran.
Pimpinan harus memiliki alasan atau latar belakang atau dasar pemikiran yang kuat mengenai mengapa kebijakan tertentu diambil. Termasuk dalam hal ini, pimpinan perlu menyiapkan jawaban atas kemungkinan timbulnya pertanyaan-pertanyaan sebagai berikut:
a.      Apakah tidak ada alternatif lain, selain kebijakan tersebut?
b.      Mengapa kebijakan tersebut tidak diberlakukan juga untuk pegawai berpendidikan SLTA?
c.       Apakah kinerja mereka lebih rendah dibanding pegawai yang berstatus PNS? Jika tidak, apakah kebijakan tersebut dapat diterima akal sehat?
d.      Di tengah krisis dan banyaknya pengangguran, apakah kebijakan ini tidak menambah parah keadaan?

Beberapa alasan/reasoning/judgement/konsideran yang dapat dipergunakan, adalah sebagai berikut:

·         Perampingan SDM Aparatur merupakan political will pemerintah, tidak hanya untuk kelompok sarjana, terlebih lagi justru untuk kelompok SLTA kebawah, namun pelaksanaannya secara bertahap. Hal ini termaktub dalam Kebijakan Menpan yang terkenal dengan istilah zero growth, bahkan dilanjutkan dengan minus growth.
·         Organisasi modern yang hidup dalam situasi perubahan yang amat cepat harus bersifat fleksibel serta akordion, yakni berkembang atau menciut sesuai dengan kebutuhan. Pengembangan atau penciutan ini meliputi dimensi struktur, SDM, tugas pokok/fungsi, dan sebagainya.
·         Meskipun demikian, secara intern organisasi instansi pemerintah memberikan kompensasi berupa penghargaan langsung dan atau peluang bagi pegawai yang bersangkutan untuk masih terlibat dalam beberapa kegiatan.
·         Beban anggaran negara yang semakin berat, membutuhkan tindakan efisiensi secara ketat.
·         Beban kerja organisasi instansi pemerintah relatif dapat ditangung oleh PNS yang ada (hal ini memerlukan suatu analisis tersendiri).
·         Kebijakan ini ibarat “pil pahit” yang harus ditelan untuk menyembuhkan penyakit yang kronis, yaitu krisis moneter. Jika kondisi makin membaik, tidak menutup kemungkinan pada masa yang akan datang kerjasama dengan mantan honorer akan makin ditingkatkan.
·         Mempertahankan status honorer tanpa kepastian pengangkatan justru menimbulkan harapan semu serta ketidakpastian bagi pegawai yang bersangkutan.

2.      Melakukan restrukturisasi kegiatan.
Untuk memberikan kesempatan pegawai yang bersangkutan untuk berpartisiapsi dalam kegiatan di lingkungan organisasi instansi pemerintah, maka perlu dikaji tentang jenis-jenis tugas/kegiatan, baik rutin maupun proyek, yang harus dilaksanakan sendiri oleh PNS di lingkungan organisasi instansi pemerintah atau oleh pegawai honorer. Selain itu, pada waktu yang akan datang perlu dipikirkan adanya kerjasama dengan mereka secara institusional, bukan secara individual.

3.      Mengurangi sekecil mungkin kemungkinan keputusan yang “cacat hukum” dan mudah digugat.
Ada 3 (tiga) hal yang perlu diperhatikan agar suatu keputusan tidak mengandung cacat hukum, yaitu: prosedur penetapan, bentuk keputusan, serta pemberitahuan kepada pihak yang berkepentingan.
Dilihat dari aspek prosedur, kebijakan penghentian kontrak kerja bagi sarjana ini harus benar-benar telah dibahas secara matang di tingkat pimpinan serta telah dikonsultasikan dengan berbagai pihak yang terkait.
Selanjutnya dilihat dari aspek bentuk keputusan, kebijakan tersebut harus dituangkan dalam keputusan pimpinan organisasi instansi pemerintah atau Pejabat yang mengangkat pegawai kontrak/honorer tersebut. Adapun aspek pemberitahuan kepada pihak yang berkepentingan, kami pandang tidak menjadi persoalan.


Bandung, 25 Februari 1999

Tri

Tidak ada komentar: