Latar Belakang
Adanya
kebijakan Pimpinan di berbagai organisasi pemerintahan tentang penghentian
kontrak kerja bagi pegawai di lingkungannya masing-masing.
Perspektif Yuridis (HAN)
Perjanjian kerja (kontrak) antara
individu pegawai dengan badan/pejabat tata usaha negara (pemerintah) dilihat
secara berbeda oleh ahli hukum tata negara.
1.
Disatu pihak, beberapa ahli mengatakan bahwa pemerintah
dapat melakukan perbuatan dalam lapangan hukum privat. Ini berarti bahwa
perjanjian itu diatur oleh hukum privat (perdata), dimana ketentuan-ketentuan
dalam perjanjian berlaku sebagai undang-undang bagi pihak yang mengaturnya.
Atas dasar ini, maka perjanjian dapat berakhir seketika pada saat batas
waktunya berakhir. Artinya, hak dan kewajiban pihak-pihak menjadi hapus, dan tidak
ada kewajiban pihak yang satu untuk memberikan sesuatu dalam bentuk apapun
kepada pihak yang lain. Namun, jika terjadi persoalan (baca: sengketa),
maka penyelesaiannya harus tetap menggunakan hukum publik. Dengan kata
lain, berakhirnya masa waktu perjanjian tidak dapat dijadikan alasan untuk
melakukan penghentian kontrak kerja.
2.
Dipihak lain, beberapa ahli
mengatakan bahwa pemerintah tidak dapat melakukan perjanjian dua pihak, karena
pemerintah tunduk pada hukum publik yang bersifat sepihak. Atas dasar ini, maka
pemerintah dapat melakukan penghentian kontrak kerja atau perjanjian secara
sepihak, karena inisiatif pembuatan perjanjian juga datang sepihak dari
pemerintah. Meskipun
demikian, pemerintah tetap harus memperhatikan norma-norma atau asas, antara
lain:
a. Asas Kepastian Hukum.
Asas
ini menghendaki dihormatinya hak yang telah diperoleh seseorang berdasarkan
keputusan badan/pejabat administrasi negara. Artinya, keputusan untuk
mengangkat seseorang pada posisi sebagai honorer/pegawai kontrak pada lembaga
pemerintah, telah menimbulkan konsekuensi sebagaimana halnya pada pengangkatan
pegawai non honorer. Oleh karena itu, sesungguhnya tidak terdapat perbedaan
hak dan kewajiban antara pegawai honorer dengan pegawai non honorer,
kecuali pada status hukumnya (kepangkatan, penggajian, dsb).
b.
Asas Kesamaan Dalam Mengambil Keputusan.
Asas ini menghendaki agar dalam menghadapi kasus/fakta
yang sama, badan/pejabat administrasi negara dapat mengambil tindakan yang
sama. Ini mensyaratkan bahwa kebijakan penghentian kontrak kerja bagi sarjana
tidak hanya berlaku di LAN Perwakilan Jawa Barat, tetapi juga di LAN Pusat dan
LAN Perwakilan Ujung Pandang. Disamping itu, jika ternyata masih ada kebijakan
rekrutmen PNS dan atau honorer, maka ini juga menunjukkan tidak adanya kesamaan/konsistensi
c. Asas Bertindak Cermat.
Asas ini menghendaki administrasi negara senantiasa
bertindak secara hati-hati agar tidak menimbulkan kerugian bagi masyarakat.
Contoh di Medan beberapa waktu yang lalu: seorang pengendara sepeda motor
terjerembab ke gorong-gorong/galian jalan karena tidak dipasang tanda yang
menunjukkan disitu sedang dilakukan perbaikan jalan. Orang tersebut menuntut
Walikota untuk memberikan ganti rugi, yang dikabulkan oleh Pengadilan. Padahal,
pada kasus tadi tidak terdapat hubungan hukum (perjanjian) antara Walikota
dengan warganya, namun ternyata Walikota tetap dipersalahkan.
d. Asas Keadilan dan Kewajaran.
Asas
ini menghendaki agar dalam melakukan tindakannya, badan/pejabat administrasi
negara tidak berlaku sewenang-wenang.
e. Asas Menanggapi Pengharapan yang Wajar.
Asas
ini menghendaki agar tindakan badan/pejabat administrasi negara dapat memenuhi
harapan-harapan yang wajar. Konkritnya, tuntutan ganti rugi, pesangon, dan
sejenisnya adalah hal yang wajar jika terjadi penghentian kontrak kerja.
Implikasi Kebijakan
Dari perspektif HAN diatas, dapat
disimpulkan bahwa kebijakan penghentian kontrak kerja mengandung sensitivitas
yang cukup tinggi, sehingga perlu dilakukan secara hati-hati dan bijaksana.
Beberapa implikasi dan atau kemungkinan yang muncul adalah:
1.
Pegawai yang bersangkutan menerima
kebijakan secara baik dan legawa, tanpa menuntut sesuatu.
2.
Pegawai yang bersangkutan menerima
kebijakan secara baik dan legawa, dengan menuntut sesuatu.
3.
Pegawai yang bersangkutan tidak
menerima (menolak) kebijakan yang diberlakukan, dengan kemungkinan berikutnya
melibatkan pihak ketiga (PTUN).
Saran Tindak (Follow-up)
Jika kemungkinan pertama
yang terjadi, maka pimpinan organisasi instansi pemerintah disarankan menempuh
beberapa hal sebagai berikut:
1.
Tetap memberikan penghargaan (bisa
dalam bentuk piagam pengabdian, tunjangan minimum 3 kali gaji total per bulan,
pemberian surat rekomendasi untuk mencari kerja, dsb) atas jasa dan pengabdian
mereka selama ini.
2.
Tetap memberikan kesempatan yang
seluas-luasnya untuk berpartisipasi dalam berbagai kegiatan lain (crash
program) yang diselenggarakan oleh unit kerja organisasi, yakni
kegiatan-kegiatan yang tidak terstruktur dalam program instansi yang
bersangkutan.
Jika kemungkinan kedua yang
terjadi, maka pimpinan organisasi instansi pemerintah disarankan menempuh
beberapa hal sebagai berikut:
1.
Melaksanakan butir no. 1 dan 2 pada kemungkinan pertama.
2.
Mengadakan negosiasi dengan pegawai yang bersangkutan
tentang bentuk dan besarnya tuntutan yang diajukan.
3.
Memenuhi tuntutan pegawai yang bersangkutan, sepanjang
dalam batas kemampuan lembaga dan tidak menyimpang dari ketentuan yang berlaku.
4.
Atas persetujuan Rapat Anggota Istimewa, melakukan
penggantian beberapa pengurus. Dalam hal ini, pengurus PNS digantikan dengan
pegawai yang bersangkutan. Disamping itu, kompetensi koperasi perlu diperluas,
misalnya sebagai ‘perusahaan’ penyedia jasa cleaning service.
Jika kemungkinan
ketiga yang terjadi, maka pimpinan organisasi instansi pemerintah disarankan
menempuh beberapa hal sebagai berikut:
1.
Melaksanakan butir no. 1 dan 2 pada kemungkinan pertama.
2.
Mengadakan negosiasi dengan pegawai yang bersangkutan,
dengan alternatif penundaan kebijakan untuk jangka waktu tertentu, sampai
dengan pegawai yang bersangkutan memperoleh pekerjaan lain atau di tempat lain.
3.
Sedapat mungkin mencari jalan penyelesaian damai sebelum
menyiapkan penasihat hukum.
Langkah-langkah diatas – khususnya
kemungkinan pertama dan kedua – dapat pula dijadikan sebagai bentuk
penawaran lembaga kepada pegawai yang bersangkutan.
Langkah-Langkah Antisipasi:
Terlepas dari
ketiga bentuk kemungkinan diatas, sebelum “mengumumkan secara resmi” kebijakan
tersebut, pimpinan organisasi instansi pemerintah perlu mempertimbangkan
hal-hal sebagai berikut:
1.
Alasan/Latar Belakang/Dasar
Pemikiran.
Pimpinan
harus memiliki alasan atau latar belakang atau dasar pemikiran yang kuat
mengenai mengapa kebijakan tertentu diambil. Termasuk dalam hal ini,
pimpinan perlu menyiapkan jawaban atas kemungkinan timbulnya
pertanyaan-pertanyaan sebagai berikut:
a. Apakah tidak ada alternatif lain, selain kebijakan
tersebut?
b.
Mengapa kebijakan tersebut tidak
diberlakukan juga untuk pegawai berpendidikan SLTA?
c.
Apakah kinerja mereka lebih rendah
dibanding pegawai yang berstatus PNS? Jika tidak, apakah kebijakan tersebut
dapat diterima akal sehat?
d.
Di tengah krisis dan banyaknya
pengangguran, apakah kebijakan ini tidak menambah parah keadaan?
Beberapa
alasan/reasoning/judgement/konsideran yang dapat dipergunakan, adalah sebagai
berikut:
·
Perampingan SDM Aparatur merupakan
political will pemerintah, tidak hanya untuk kelompok sarjana, terlebih
lagi justru untuk kelompok SLTA kebawah, namun pelaksanaannya secara
bertahap. Hal ini termaktub dalam Kebijakan Menpan yang terkenal dengan
istilah zero growth, bahkan dilanjutkan dengan minus growth.
·
Organisasi modern yang hidup dalam
situasi perubahan yang amat cepat harus bersifat fleksibel serta akordion,
yakni berkembang atau menciut sesuai dengan kebutuhan. Pengembangan atau
penciutan ini meliputi dimensi struktur, SDM, tugas pokok/fungsi, dan
sebagainya.
·
Meskipun demikian, secara intern organisasi
instansi pemerintah memberikan kompensasi berupa penghargaan langsung dan atau
peluang bagi pegawai yang bersangkutan untuk masih terlibat dalam beberapa
kegiatan.
·
Beban anggaran negara yang semakin
berat, membutuhkan tindakan efisiensi secara ketat.
·
Beban kerja organisasi instansi
pemerintah relatif dapat ditangung oleh PNS yang ada (hal ini memerlukan suatu
analisis tersendiri).
·
Kebijakan ini ibarat “pil pahit” yang harus ditelan untuk
menyembuhkan penyakit yang kronis, yaitu krisis moneter. Jika kondisi makin
membaik, tidak menutup kemungkinan pada masa yang akan datang kerjasama dengan
mantan honorer akan makin ditingkatkan.
·
Mempertahankan status honorer tanpa kepastian
pengangkatan justru menimbulkan harapan semu serta ketidakpastian bagi pegawai
yang bersangkutan.
2.
Melakukan restrukturisasi
kegiatan.
Untuk
memberikan kesempatan pegawai yang bersangkutan untuk berpartisiapsi dalam
kegiatan di lingkungan organisasi instansi pemerintah, maka perlu dikaji
tentang jenis-jenis tugas/kegiatan, baik rutin maupun proyek, yang harus
dilaksanakan sendiri oleh PNS di lingkungan organisasi instansi pemerintah atau
oleh pegawai honorer. Selain itu, pada waktu yang akan datang perlu dipikirkan
adanya kerjasama dengan mereka secara institusional, bukan secara individual.
3.
Mengurangi sekecil mungkin
kemungkinan keputusan yang “cacat hukum” dan mudah digugat.
Ada
3 (tiga) hal yang perlu diperhatikan agar suatu keputusan tidak mengandung
cacat hukum, yaitu: prosedur penetapan, bentuk keputusan, serta pemberitahuan
kepada pihak yang berkepentingan.
Dilihat
dari aspek prosedur, kebijakan penghentian kontrak kerja bagi sarjana ini harus
benar-benar telah dibahas secara matang di tingkat pimpinan serta telah
dikonsultasikan dengan berbagai pihak yang terkait.
Selanjutnya
dilihat dari aspek bentuk keputusan, kebijakan tersebut harus dituangkan dalam
keputusan pimpinan organisasi instansi pemerintah atau Pejabat yang mengangkat
pegawai kontrak/honorer tersebut. Adapun aspek pemberitahuan kepada pihak yang
berkepentingan, kami pandang tidak menjadi persoalan.
Bandung, 25 Februari 1999
Tidak ada komentar:
Posting Komentar