Senin, 02 Agustus 2010

Nasib Pegawai Negeri, Sebuah Pendekatan Budaya


Pengantar

Pikiran Rakyat edisi Minggu, 21 Nopember 1993 memuat kajian menarik dengan judul Nasib Pegawai Negeri. Kajian tersebut sedikit banyak menyesalkan keadaan Pegawai Negeri yang belum sesuai harapan. Tulisan ini dibuat tidak dimaksudkan sebagai sanggahan atau tanggapan atas tulisan diatas, tetapi lebih merupakan refleksi bagi seorang Pegawai Negeri agar tidak terjebak dalam suatu keputusasaan.

Pegawai Negeri. Betapa kata itu sangat diprihatinkan oleh banyak pihak terutama si pegawai negeri sendiri. Akan tetapi betapa pula kata itu sangat dirindukan oleh banyak orang, terutama para penganggur dan jutaan orang yang mendambakan kemapa­nan.

Ibarat SDSB yang belum lama almarhum, setiap kali bukaan, berpuluh-puluh, beratus-ratus, bahkan beribu-ribu orang antri untuk mengadu nasib. Apa sebenarnya yang mereka harapkan? SDSB tidak pernah sedikitpun men-janjikan kepuasan materi, kecuali jika ada orang yang betul-betul sakti dapat menebak nomor dengan jitu. Itulah perumpa­maan Pegawai Negeri, sebuah kedudukan kering yang selalu kebanjiran peminat.

Pertanyaannya sekarang adalah, mengapa hal itu bisa terjadi? Apa yang mereka cari? Mungkinkah seorang pegawai negeri bisa merasa sejuk meski berada dalam lingkungan yang kering? Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut, ada baiknya kita runut sejarah lahir dan berkembangnya Pegawai Negeri.

Dikotomi Priyayi - Kawula Alit

Jauh sebelum terbentuknya Negara Republik Indonesia, tepatnya ketika sistem pemerintahan di Nusantara umumnya dan di Jawa khususnya masih berbentuk kerajaan, struktur masyarakat terbagi menjadi dua golongan besar, yakni priyayi (Sunda: Menak), dan Kawula Alit / Wong Cilik / rakyat kecil.

Golongan pertama adalah struktur atas yang terdiri dari kerabat Raja seperti istri, adik-adik atau kakak, paman, dan sebagainya (kelompok Sentana), dan pegawai-pegawai dilingkungan istana seperti Patih, Adipati, Wedana, Demang, prajurit, dan sebagainya (kelompok abdi dalem atau Narapraja). Sedang struktur diluar Sentana dan Narapraja, seperti pedagang, petani, tukang dan sebagainya, dikategorikan kedalam golon­gan kawula alit.

Jika diamati lebih seksama, sistem kepegawaian seperti itu ada kemiripannya dengan sistem yang berlaku di Inggris. Orang-orang yang mempunyai hubungan darah dengan Ratu Inggris, meskipun secara struktural tidak memiliki jabatan, akan tetapi diakui sebagai bangsawan tinggi yang berhak atas berbagai previlege dan tunjangan ; sedang disisi lain terdapat pejabat-pejabat tinggi seperti Perdana Menteri, Menteri, Walikota dan sebagainya yang tidak mempunyai hubungan darah sama sekali dengan Ratunya. Uniknya justru bahwa sistem kepegawaian Indonesia modern tidak melanjutkan sistem lama yang sebenarnya merupakan akar-nya sendiri.

Kembali ke pokok masalah, kedudukan narapraja sebagai birokrat tradisional sangat vital artinya bagi kelangsungan hidup kerajaan. Ini disebabkan karena pada hake­katnya narapraja adalah manager-manager yang secara langsung menjalankan dan mengen­dalikan roda pemerintahan. Konsekuensi dari kedudukannya sebagai birokrat ini, maka tugas narapraja meliputi perumusan kebijaksanaan umum, penetapan kebijaksanaan teknis, pengujian kebijaksanaan, pemberian perizinan, dan lain-lain tugas pelayanan masyarakat.

Dari uraian singkat ini dapat kita peroleh pengertian bahwa kedudukan, fungsi dan tugas narapraja adalah identik dengan pegawai negeri.

Mobilitas Sosial, Harga Diri dan Pengabdian.

Mobilitas sosial disini diartikan sebagai kemampuan suatu kelompok masyarakat dari lapisan/strata sosial tertentu untuk menembus strata yang lebih tinggi. Agaknya mudah dipahami bahwa keinginan manusia untuk meningkatkan status dirinya merupakan sifat kodratnya sebagai makhluk rasional. Sifat kodrat inilah yang mendorong terjadinya kompetisi tidak kentara diantara warga masyarakat (c.q. kawula alit) untuk meningkatkan status sosialnya menjadi priyayi. Boleh jadi ambisi mereka dilatarbelakangi oleh imbalan berupa tanah lungguh / bengkok, namun yang lebih menonjol nampaknya adalah perasaan bangga bahwa mereka berhasil menjadi uwong, berhasil menjadi ambtenaar.

Keberhasilan seperti ini merupakan peristiwa langka, yang oleh karenanya akan dengan sendirinya menjelma menjadi sebuah harga diri dan kehormatan yang jauh lebih tinggi dibanding sebelum mereka berhasil melakukan mobilitas sosial tadi. Jadi disini hubungan harga diri dan kehormatan berbanding lurus dengan kedudukan sosial. Semakin tinggi kedudukan seseorang, semakin tinggi pula harga diri dan kehormatan yang disan­dangnya.

Apabila dicari perbandingannya secara ekonomis antara kelas priyayi dengan kelas pedagang misalnya, jelas kaum pedagang -- terutama kelompok keturunan Cina yang mendapat berbagai fasilitas dari pemerintah kolonial -- lebih unggul. Fakta ini justru memunculkan permasalahan baru yang cukup menarik, yakni mengapa mereka tidak memilih jalur niaga untuk memenuhi semua kebutuhan hidupnya?

Jawaban pertanyaan tersebut dapat didekati dari dua sisi, yaitu sisi politik dan sisi kultural. Dari sisi politis, akibat adanya penggolongan penduduk kedalam golongan Eropa, golongan Timur Asing dan golongan Pribumi, menjadikan peluang bisnis bagi golongan pribumi sangat kecil sekali, bahkan tidak mungkin. Barangkali tidaklah salah jika golongan pribumi mencari kompensasi atas kekalahan ekonomi yang dideritanya dengan kemenangan sosial.

Adapun secara kultural, hal ini tidak terlepas dari sikap budaya orang Jawa (pribumi) yang lebih menitikberatkan kepada terwujudnya keharmonisan dalam masyara­kat, dari pada mengejar kepuasan pribadi. Kristalisasi dari sikap budaya seperti ini ter­cermin pada ungkapan-ungkapan luwih becik kalah wang tinimbang kalah wong (lebih baik rugi materi dari pada kehilangan teman), mangan ora mangan asal kumpul (dalam keadaan senang maupun susah, yang penting bersatu), dan sebagainya.

Ini berarti pula bahwa segala perbuatan, perilaku dan keputusan yang diambil, selalu ditempatkan dalam kerangkan kepentingan umum. Suatu kegiatan yang menempat­kan kepentingan umum sebagai mahkotanya, tidak lain adalah kegiatan yang bersifat pengabdian atau kegiatan pelayanan.

Pelayanan Dialam Modern

Akhir-akhir ini banyak orang menuntut kenaikan pendapatan bagi Pegawai Negeri serta mempertanyakan, bagaimana mungkin kualitas pelayanan publik dan produktivitas kerja dapat optimal jika tidak diimbangi dengan terpenuhinya tingkat kesejahteraan pegawai secara memadai?

Pertanyaan itu tidaklah salah. Tidak salah pula orang yang melontarkan perta­nyaan tadi. Tetapi alangkah bijaksananya bila sebelumnya kita renungkan beberapa hal. Yang pertama mengenai nafsu manusia. Sebagaimana kita maklumi, cita-cita, keinginan dan tuntutan manusia tidak pernah berhenti pada satu titik. Manusia adalah makhluk yang selalu merasa kurang. Oleh karenanya kita perlu introspeksi, seandainya tuntutan kenai­kan gaji riil sebesar 10 % per tahun (setelah diperhitungkan dengan inflasi) dipenuhi, mungkinkah pegawai negeri akan merasa lebih sejahtera dan puas sampai disitu, dan pasti­kah akan terjadi produktivitas kerja yang optimal? Barangkali tidak seorangpun meyakini hal itu. Menurut penulis, meskipun sangat penting, gaji bukanlah faktor dominan dalam karya seorang pegawai negeri. Faktor psikologis dan faktor manajemen adalah dua faktor lain yang harus diperhatikan secara sungguh-sungguh.

Ada pepatah Jawa berbunyi nrima ing pandum. Pepatah ini mengandung arti bahwa manusia hendaknya mau menerima hasil usahanya secara ikhlas. Dalam istilah agama dikatakan pasrah dan tawwakal. Aspek kejiwaan yang mau menerima apa adanya ini haruslah digabungkan dengan aspek pengelolaan uang yang benar. Bagaimanapun kaya dan besar penghasilan seseorang tanpa diimbangi dengan penggunaan secara terencana, satu saat dia akan jatuh dalam kehancuran. Sebaliknya, meskipun penghasilan pas-pasan, dengan pengelolaan yang baik, akan terasa kecukupan. Dalam kondisi seperti inilah pepatah sugih tanpa bandha (merasa kaya meski tanpa harta) menemukan maknanya, sehingga kitapun akan bisa melakukan sesuatu yang bermanfaat bagi orang banyak dengan prinsip aweh tanpa kelangan (memberi tanpa merasa kehilangan).

Hal kedua yang perlu direnungkan adalah kenyataan terdapatnya jutaan manusia Indonesia yang masih menganggur, serta beberapa juta penduduk Indonesia yang berada dibawah garis kemiskinan. Memang benar, tugas untuk menciptakan lapangan kerja yang layak serta mengangkat derajat kaum dhuafa' adalah tanggung jawab Pemerintah (baca pasal 27 ayat 2 dan pasal 34 UUD 1945). Padahal, siapakah Pemerintah itu? Pegawai Negeri sebagai aparatur negara, justru merupakan basis paling depan dari Pemerintah.

Lalu, pernahkah terpikir oleh kita, seandainya jumlah kenaikan gaji yang kita tuntut dialo­kasikan untuk upaya-upaya perbaikan nasib pengangguran dan fakir miskin, betapa berte­rima kasihnya mereka kepada kita? Barangkali ada baiknya kita ingat kembali nasihat nenek moyang kita untuk lebih banyak melihat kebawah, agar kita lebih dapat bersyukur.

Jadi jika ada orang yang berpendapat bahwa pandangan Pegawai Negeri sebagai patriot harus diubah, penulis justru menganjurkan agar Pegawai Negeri kembali ke khittah-nya sebagai patriot, sebagai abdi negara dan abdi masyarakat. Sejarah kejayaan Indonesia tidak pernah terlepas dari patriot-patriot sejati yang rela menyerahkan jiwa, raga dan piki­rannya untuk kejayaan bangsanya.

Itulah potret sosok Pegawai Negeri dan tugas pelayanannya. Pegawai Negeri yang ideal tidak pernah menanyakan apa yang bisa diberikan Negara kepada saya, tetapi selalu terpatri dalam hatinya satu tekad pengabdian apa yang bisa kuberikan kepada Negara.

Banyak Jalan Menuju Roma

Sebenarnya banyak sekali peraturan perundangan yang bertujuan menjamin kesejahteraan Pegawai Negeri, seperti gaji, hak cuti, hak perawatan dan tunjangan bagi yang tertimpa kecelakaan atau menderita cacat, memperoleh pensiun, menjadi peserta ASKES, dan sebagainya. Kalaupun dirasa kurang, banyak cara yang bisa ditempuh untuk mencukupi kebutuhan. Pejabat-pejabat tinggipun secara tidak langsung telah memberi contoh kepada Pegawai Negeri rendahan dengan mendirikan perusahaan-perusahaan atau bank-bak swasta, menulis disurat-surat kabar, ataupun menanam saham disuatu perusa­haan. Kalau begitu, sebelum Pegawai Negeri menuntut kenaikan gaji, mengapa tidak mencoba dulu untuk melakukan usaha-usaha sampingan seperti beternak ikan mas atau ayam bekisar, mengoperasikan angkutan kota, sebagai konsultan swasta dibidang rancang bangun maupun manajemen keuangan, membuka rumah kost, atau kegiatan lain yang sesuai dengan kondisi dan ketrampilan masing-masing, bahkan bisa saja menanamkan modal sesuai dengan kemampuan finansial yang ada. Dahulupun para narapraja banyak yang tidak mengolah sendiri tanahnya, melainkan menyewakannya -- baik sebagian atau seluruhnya -- kepada perusahaan-perusahaan perkebunan (onderneming). Masalahnya adalah bagaimana mereka bisa mengatur pembagian waktu untuk urusan publik dan urusan pribadi, tanpa mengorbankan salah satunya.

Perlu ditekankan pula disini bahwa kesejahteraan rakyat umumnya dan kese­jahteraan Pegawai Negeri khususnya sangat erat berkaitan dengan mentalitas para pimpi­nan dan sistem administrasi yang baik, termasuk di dalamnya sistem pengawasannya.

Sebagaimana dipersoalkan Plato beberapa ratus tahun yang lalu, mana yang harus diuta­makan dalam pemerintahan, personalia/aparat yang baik ataukah sistem / hukum / admin­istrasi yang baik? Tentu saja, keduanya harus seimbang dan saling melengkapi.

Terjadinya kebocoran dana pembangunan sebesar 30 % seperti disinyalir Prof. Soemitro (Kompas, 23 Nopember 1993) tentu diakibatkan oleh kurang beresnya salah satu faktor diatas, atau mungkin kedua-duanya.

Oleh karena itu menjadi tugas nasional untuk memikirkan bagaimana melahirkan pimpinan yang bermoral agamis dan bermental Pancasila, serta sistem hukum, sistem administrasi dan pengawasan yang ketat dan tidak pandang bulu. Tugas ini menjadi sangat mendesak manakala kita semua menginginkan segera terwujudnya kesejukan lahir batin bagi Pegawai Negeri. Sambil berpikir, sekali lagi marilah kita tundukkan kepala dan bertanya dalam hati, apa yang sudah saya berikan kepada negara dan masyarakat?

Tidak ada komentar: