Pengantar
Pikiran Rakyat edisi Minggu, 21 Nopember 1993 memuat kajian
menarik dengan judul Nasib Pegawai Negeri.
Kajian tersebut sedikit banyak menyesalkan keadaan Pegawai Negeri yang belum
sesuai harapan. Tulisan ini dibuat tidak dimaksudkan sebagai sanggahan atau
tanggapan atas tulisan diatas, tetapi lebih merupakan refleksi bagi seorang
Pegawai Negeri agar tidak terjebak dalam suatu keputusasaan.
Pegawai Negeri. Betapa kata itu sangat diprihatinkan
oleh banyak pihak terutama si pegawai negeri sendiri. Akan tetapi betapa pula
kata itu sangat dirindukan oleh banyak orang, terutama para penganggur dan
jutaan orang yang mendambakan kemapanan.
Ibarat SDSB yang belum lama almarhum, setiap kali bukaan,
berpuluh-puluh, beratus-ratus, bahkan beribu-ribu orang antri untuk mengadu
nasib. Apa sebenarnya yang mereka harapkan? SDSB tidak pernah sedikitpun
men-janjikan kepuasan materi, kecuali jika ada orang yang betul-betul sakti
dapat menebak nomor dengan jitu. Itulah perumpamaan Pegawai Negeri, sebuah
kedudukan kering yang selalu kebanjiran peminat.
Pertanyaannya sekarang adalah, mengapa hal itu bisa terjadi?
Apa yang mereka cari? Mungkinkah seorang pegawai negeri bisa merasa sejuk meski
berada dalam lingkungan yang kering? Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan
tersebut, ada baiknya kita runut sejarah lahir dan berkembangnya Pegawai
Negeri.
Dikotomi Priyayi - Kawula Alit
Jauh sebelum terbentuknya Negara Republik Indonesia,
tepatnya ketika sistem pemerintahan di Nusantara umumnya dan di Jawa khususnya
masih berbentuk kerajaan, struktur masyarakat terbagi menjadi dua golongan
besar, yakni priyayi (Sunda: Menak), dan Kawula Alit / Wong Cilik / rakyat
kecil.
Golongan pertama adalah struktur atas yang terdiri
dari kerabat Raja seperti istri, adik-adik atau kakak, paman, dan sebagainya (kelompok
Sentana), dan pegawai-pegawai dilingkungan istana seperti Patih, Adipati, Wedana,
Demang, prajurit, dan sebagainya (kelompok abdi dalem atau Narapraja). Sedang
struktur diluar Sentana dan Narapraja, seperti pedagang, petani, tukang dan
sebagainya, dikategorikan kedalam golongan kawula alit.
Jika diamati lebih seksama, sistem kepegawaian seperti
itu ada kemiripannya dengan sistem yang berlaku di Inggris. Orang-orang yang mempunyai
hubungan darah dengan Ratu Inggris, meskipun secara struktural tidak memiliki
jabatan, akan tetapi diakui sebagai bangsawan tinggi yang berhak atas berbagai
previlege dan tunjangan ; sedang disisi lain terdapat pejabat-pejabat tinggi
seperti Perdana Menteri, Menteri, Walikota dan sebagainya yang tidak mempunyai
hubungan darah sama sekali dengan Ratunya. Uniknya justru bahwa sistem
kepegawaian Indonesia modern tidak melanjutkan sistem lama yang sebenarnya
merupakan akar-nya sendiri.
Kembali ke pokok masalah, kedudukan narapraja sebagai birokrat
tradisional sangat vital artinya bagi kelangsungan hidup kerajaan. Ini
disebabkan karena pada hakekatnya narapraja adalah manager-manager yang secara
langsung menjalankan dan mengendalikan roda pemerintahan. Konsekuensi dari
kedudukannya sebagai birokrat ini, maka tugas narapraja meliputi perumusan
kebijaksanaan umum, penetapan kebijaksanaan teknis, pengujian kebijaksanaan,
pemberian perizinan, dan lain-lain tugas pelayanan masyarakat.
Dari uraian singkat ini dapat kita peroleh pengertian
bahwa kedudukan, fungsi dan tugas narapraja adalah identik dengan pegawai
negeri.
Mobilitas Sosial, Harga Diri dan Pengabdian.
Mobilitas sosial disini diartikan sebagai kemampuan
suatu kelompok masyarakat dari lapisan/strata sosial tertentu untuk menembus
strata yang lebih tinggi. Agaknya mudah dipahami bahwa keinginan manusia untuk
meningkatkan status dirinya merupakan sifat kodratnya sebagai makhluk rasional.
Sifat kodrat inilah yang mendorong terjadinya kompetisi tidak kentara diantara
warga masyarakat (c.q. kawula alit) untuk meningkatkan status sosialnya menjadi
priyayi. Boleh jadi ambisi mereka dilatarbelakangi oleh imbalan berupa tanah
lungguh / bengkok, namun yang lebih menonjol nampaknya adalah perasaan bangga
bahwa mereka berhasil menjadi uwong, berhasil menjadi ambtenaar.
Keberhasilan seperti ini merupakan peristiwa langka,
yang oleh karenanya akan dengan sendirinya menjelma menjadi sebuah harga diri
dan kehormatan yang jauh lebih tinggi dibanding sebelum mereka berhasil
melakukan mobilitas sosial tadi. Jadi disini hubungan harga diri dan kehormatan
berbanding lurus dengan kedudukan sosial. Semakin tinggi kedudukan seseorang,
semakin tinggi pula harga diri dan kehormatan yang disandangnya.
Apabila dicari perbandingannya secara ekonomis antara kelas
priyayi dengan kelas pedagang misalnya, jelas kaum pedagang -- terutama
kelompok keturunan Cina yang mendapat berbagai fasilitas dari pemerintah
kolonial -- lebih unggul. Fakta ini justru memunculkan permasalahan baru yang cukup
menarik, yakni mengapa mereka tidak memilih jalur niaga untuk memenuhi semua
kebutuhan hidupnya?
Jawaban pertanyaan tersebut dapat didekati dari dua
sisi, yaitu sisi politik dan sisi kultural. Dari sisi politis, akibat adanya
penggolongan penduduk kedalam golongan Eropa, golongan Timur Asing dan golongan
Pribumi, menjadikan peluang bisnis bagi golongan pribumi sangat kecil sekali,
bahkan tidak mungkin. Barangkali tidaklah salah jika golongan pribumi mencari kompensasi
atas kekalahan ekonomi yang dideritanya dengan kemenangan sosial.
Adapun secara kultural, hal ini tidak terlepas dari sikap
budaya orang Jawa (pribumi) yang lebih menitikberatkan kepada terwujudnya
keharmonisan dalam masyarakat, dari pada mengejar kepuasan pribadi. Kristalisasi
dari sikap budaya seperti ini tercermin pada ungkapan-ungkapan luwih becik
kalah wang tinimbang kalah wong (lebih baik rugi materi dari pada kehilangan
teman), mangan ora mangan asal kumpul (dalam keadaan senang maupun susah, yang
penting bersatu), dan sebagainya.
Ini berarti pula bahwa segala perbuatan, perilaku dan keputusan yang diambil,
selalu ditempatkan dalam kerangkan kepentingan umum. Suatu kegiatan yang menempatkan
kepentingan umum sebagai mahkotanya, tidak lain adalah kegiatan yang bersifat
pengabdian atau kegiatan pelayanan.
Pelayanan Dialam Modern
Akhir-akhir ini banyak orang menuntut kenaikan pendapatan bagi Pegawai
Negeri serta mempertanyakan, bagaimana mungkin kualitas pelayanan publik dan produktivitas
kerja dapat optimal jika tidak diimbangi dengan terpenuhinya tingkat kesejahteraan
pegawai secara memadai?
Pertanyaan itu tidaklah salah. Tidak salah pula orang yang melontarkan pertanyaan
tadi. Tetapi alangkah bijaksananya bila sebelumnya kita renungkan beberapa hal.
Yang pertama mengenai nafsu manusia. Sebagaimana kita maklumi, cita-cita, keinginan
dan tuntutan manusia tidak pernah berhenti pada satu titik. Manusia adalah
makhluk yang selalu merasa kurang. Oleh karenanya kita perlu introspeksi,
seandainya tuntutan kenaikan gaji riil sebesar 10 % per tahun (setelah diperhitungkan
dengan inflasi) dipenuhi, mungkinkah pegawai negeri akan merasa lebih sejahtera
dan puas sampai disitu, dan pastikah akan terjadi produktivitas kerja yang
optimal? Barangkali tidak seorangpun meyakini hal itu. Menurut penulis,
meskipun sangat penting, gaji bukanlah faktor dominan dalam karya seorang
pegawai negeri. Faktor psikologis dan faktor manajemen adalah dua faktor lain
yang harus diperhatikan secara sungguh-sungguh.
Ada pepatah Jawa berbunyi nrima ing
pandum. Pepatah ini mengandung arti bahwa manusia hendaknya mau menerima
hasil usahanya secara ikhlas. Dalam istilah agama dikatakan pasrah dan
tawwakal. Aspek kejiwaan yang mau menerima apa adanya ini haruslah digabungkan
dengan aspek pengelolaan uang yang benar. Bagaimanapun kaya dan besar penghasilan
seseorang tanpa diimbangi dengan penggunaan secara terencana, satu saat dia
akan jatuh dalam kehancuran. Sebaliknya, meskipun penghasilan pas-pasan, dengan
pengelolaan yang baik, akan terasa kecukupan. Dalam kondisi seperti inilah
pepatah sugih tanpa bandha (merasa kaya meski tanpa harta) menemukan maknanya, sehingga
kitapun akan bisa melakukan sesuatu yang bermanfaat bagi orang banyak dengan prinsip
aweh tanpa kelangan (memberi tanpa merasa kehilangan).
Hal kedua yang perlu direnungkan adalah kenyataan terdapatnya jutaan manusia
Indonesia yang masih menganggur, serta beberapa juta penduduk Indonesia yang berada
dibawah garis kemiskinan. Memang benar, tugas untuk menciptakan lapangan kerja yang
layak serta mengangkat derajat kaum dhuafa'
adalah tanggung jawab Pemerintah (baca pasal 27 ayat 2 dan pasal 34 UUD 1945). Padahal,
siapakah Pemerintah itu? Pegawai Negeri sebagai aparatur negara, justru
merupakan basis paling depan dari Pemerintah.
Lalu, pernahkah terpikir oleh kita, seandainya jumlah kenaikan gaji yang
kita tuntut dialokasikan untuk upaya-upaya perbaikan nasib pengangguran dan
fakir miskin, betapa berterima kasihnya mereka kepada kita? Barangkali ada
baiknya kita ingat kembali nasihat nenek moyang kita untuk lebih banyak melihat
kebawah, agar kita lebih dapat bersyukur.
Jadi jika ada orang yang berpendapat bahwa pandangan Pegawai Negeri sebagai
patriot harus diubah, penulis justru menganjurkan agar Pegawai Negeri kembali
ke khittah-nya sebagai patriot, sebagai abdi negara dan abdi masyarakat. Sejarah
kejayaan Indonesia tidak pernah terlepas dari patriot-patriot sejati yang rela
menyerahkan jiwa, raga dan pikirannya untuk kejayaan bangsanya.
Itulah potret sosok Pegawai Negeri dan tugas pelayanannya. Pegawai Negeri
yang ideal tidak pernah menanyakan apa yang bisa diberikan Negara kepada saya, tetapi
selalu terpatri dalam hatinya satu tekad pengabdian apa yang bisa kuberikan kepada
Negara.
Banyak Jalan Menuju Roma
Sebenarnya banyak sekali peraturan perundangan yang bertujuan menjamin
kesejahteraan Pegawai Negeri, seperti gaji, hak cuti, hak perawatan dan tunjangan
bagi yang tertimpa kecelakaan atau menderita cacat, memperoleh pensiun, menjadi
peserta ASKES, dan sebagainya. Kalaupun dirasa kurang, banyak cara yang bisa
ditempuh untuk mencukupi kebutuhan. Pejabat-pejabat tinggipun secara tidak langsung
telah memberi contoh kepada Pegawai Negeri rendahan dengan mendirikan perusahaan-perusahaan
atau bank-bak swasta, menulis disurat-surat kabar, ataupun menanam saham disuatu
perusahaan. Kalau begitu, sebelum Pegawai Negeri menuntut kenaikan gaji, mengapa
tidak mencoba dulu untuk melakukan usaha-usaha sampingan seperti beternak ikan mas
atau ayam bekisar, mengoperasikan angkutan kota, sebagai konsultan swasta
dibidang rancang bangun maupun manajemen keuangan, membuka rumah kost, atau kegiatan
lain yang sesuai dengan kondisi dan ketrampilan masing-masing, bahkan bisa saja
menanamkan modal sesuai dengan kemampuan finansial yang ada. Dahulupun para narapraja
banyak yang tidak mengolah sendiri tanahnya, melainkan menyewakannya -- baik sebagian
atau seluruhnya -- kepada perusahaan-perusahaan perkebunan (onderneming). Masalahnya adalah
bagaimana mereka bisa mengatur pembagian waktu untuk urusan publik dan urusan
pribadi, tanpa mengorbankan salah satunya.
Perlu ditekankan pula disini bahwa kesejahteraan rakyat umumnya dan kesejahteraan
Pegawai Negeri khususnya sangat erat berkaitan dengan mentalitas para pimpinan
dan sistem administrasi yang baik, termasuk di dalamnya sistem pengawasannya.
Sebagaimana dipersoalkan Plato beberapa ratus tahun yang lalu, mana yang
harus diutamakan dalam pemerintahan, personalia/aparat yang baik ataukah
sistem / hukum / administrasi yang baik? Tentu saja, keduanya harus seimbang dan
saling melengkapi.
Terjadinya kebocoran
dana pembangunan sebesar 30 % seperti disinyalir Prof. Soemitro (Kompas, 23
Nopember 1993) tentu diakibatkan oleh kurang beresnya salah satu faktor diatas,
atau mungkin kedua-duanya.
Oleh karena itu
menjadi tugas nasional untuk memikirkan bagaimana melahirkan pimpinan yang bermoral
agamis dan bermental Pancasila, serta sistem hukum, sistem administrasi dan
pengawasan yang ketat dan tidak pandang bulu. Tugas ini menjadi sangat mendesak
manakala kita semua menginginkan segera terwujudnya kesejukan lahir batin bagi Pegawai
Negeri. Sambil berpikir, sekali lagi marilah kita tundukkan kepala dan bertanya
dalam hati, apa yang sudah saya berikan kepada negara dan masyarakat?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar