Dasar
/ Pertimbangan Pemberian Insentif
1.
Kehadiran.
- Sistem ini
mendasarkan besar kecilnya insentif pada banyaknya jumlah hari kehadiran
dalam satu bulan. Artinya, lembaga menghargai jerih payah pegawai yang
bersedia untuk datang ke kantor pada jam atau waktu yang telah ditentukan,
tanpa memandang apa yang dikerjakan – dan apa hasil kerja – pegawai tadi
saat berada di kantor.
- Sistem ini selama ini diterapkan di lingkungan Perw.
LAN Jawa Barat, dengan pertimbangan untuk me-ningkatkan kedisiplinan
pegawai, sekaligus sebagai wujud komitmen lembaga untuk memperbaiki
kesejahteraan pegawai.
- Sayangnya, sistem ini mengandung beberapa
kele-mahan, antara lain: 1) pegawai cenderung berusaha untuk memperoleh
tunjangan check clock secara penuh, meskipun tingkat kehadirannya tidak
penuh ; 2) tidak menjamin bahwa setiap pegawai selalu ada pada jam kerja ;
3) membuka kemungkinan terjadinya ketidakadilan pada sebagian pegawai ; 4)
lebih dikaitkan kepada aspek tunjangan semata dari pada pembinaan
kedisiplinan, sehingga tidak dapat dipergunakan sebagai instrumen
penilaian kinerja dan motivasi pegawai.
- Sistem ini dapat dipertahankan sepanjang telah ada
instrumen pelengkap untuk menilai prestasi pegawai. Disamping itu, sistem
ini hendaknya tidak dikaitkan dengan kebijakan insentif lain (misalnya
mobil jemputan).
2.
Prestasi.
- Sistem ini
mendasarkan besar kecilnya insentif pada unjuk kerja (performance)
dan hasil kerja (output) pegawai, baik secara individual maupun
kolegial. Oleh karena itu, sistem ini sebenarnya merupakan sistem yang
paling adil dan mampu merangsang semangat kompetisi diantara pegawai.
- Prasyarat yang
dibutuhkan adalah adanya uraian tugas individu / unit, standar prestasi
kerja, serta alat ukur dan mekanisme pengukurannya.
- Di lingkungan
Perwakilan LAN Jawa Barat, belum terdapat prasyarat diatas, sehingga perlu
segera dilakukan kajian dan analisis mengenai hal tersebut.
- Sistem ini
hendaknya dijalankan simultan dengan program pembinaan kepegawaian.
Artinya, dalam hal seorang pegawai menunjukkan kinerja atau prestasi yang
rendah, harus ada tindakan / kebijakan pimpinan untuk segera mengatasinya,
bukan dengan cara tidak membayar insentif semata kepada pegawai yang
bersangkutan. Sebab, tidak diberikannya insentif kepada pegawai yang
berprestasi kurang, tidak identik dengan penalty atau punishment.
3.
Beban Kerja.
- Sistem ini
mendasarkan besar kecilnya insentif pada berat ringan atau banyak
sedikitnya pekerjaan dan tanggung jawab seorang pegawai.
- Prasyarat yang dibutuhkan adalah adanya alat ukur
dan mekanisme pengukuran beban kerja secara in-dividual maupun kolegial.
Sayangnya, di lingkungan Perwakilan LAN Jawa Barat belum memilikinya,
sehingga jika sistem ini akan digunakan perlu dilakukan kajian dan
analisis mengenai hal tersebut.
- Sistem ini cukup adil namun secara kelembagaan
mengandung sedikit kelemahan, yakni memperlihat-kan adanya pembagian kerja
(distribution of work) yang kurang merata diantara pegawai. Hal ini
sekaligus menunjukkan adanya kesenjangan kemampuan dan kesempatan untuk
berpartisipasi dalam pencapaian tujuan organisasi.
- Sehubungan dengan hal diatas, sistem ini akan sangat
efektif jika sebelumnya telah terdapat pembagian pekerjaan dan tanggung
jawab yang relatif merata di kalangan pegawai.
4.
Sosial.
- Sistem ini
mendasarkan besar kecilnya insentif pada pertimbangan stratifikasi
pendapatan pegawai. Artinya, pegawai yang memiliki penghasilan rendah
seyogyanya mendapatkan prioritas dalam mendapatkan insentif.
- Disamping itu,
pemberian insentif dapat diberikan sewaktu-waktu pada saat terdapat
peristiwa tertentu yang dialami pegawai (misalnya pernikahan, anggo-ta
keluarga meninggal, khitanan anak, ulang tahun, dsb), sehingga membutuhkan
bantuan.
- Sistem ini
sangat baik diberikan sebagai pelengkap sistem insentif yang lain.
Artinya, sistem insentif sosial ini hanya bersifat kasuistis dan
kontingensial.
5.
Kontribusi
Pegawai terhadap Lembaga.
Sering
terjadi seorang pegawai memiliki jaringan kerja dengan instansi diluar LAN,
yang kemudian menjalin kerjasama program antar lembaga. Dalam kasus seperti
ini, lembaga akan mendapatkan kontribusi keuangan dari program kerjasama antar
lembaga tadi, sehingga sudah sepatutnya memberikan bagian insentif kepada
pegawai yang bersangkutan.
Waktu
/ Frekuensi Pembayaran Insentif
1.
Bulanan.
Pembayaran
insentif dilakukan setiap awal, tengah atau akhir bulan. Hal ini sangat
membantu kondisi keuangan pegawai, mengingat jumlah gaji yang diterima secara
umum kurang memadai. Konseku-ensinya,
jumlah insentif tidak sebesar dibanding jika insentif dibayarkan tiga bulanan
atau tahunan. Kele-mahannya adalah jika sistem insentif menggunakan dasar
prestasi, sebab prestasi pegawai belum begitu nampak dalam jangka waktu satu
bulan.
2.
Triwulanan.
Pembayaran
insentif yang dilakukan setiap tiga bulanan ini sebenarnya lebih rasional
dibanding insentif bulanan, mengingat grafik prestasi pegawai telah dapat
diketahui secara lebih akurat. Disamping itu, jumlah insentif yang diterima
akan lebih besar dibanding insentif bulanan.
3.
Tahunan.
Pembayaran
insentif tahunan ini sangat baik dilakukan sebagai pelengkap insentif lain
(bulanan / triwulanan), dan tidak dikaitkan dengan tinggi rendahnya kinerja
pegawai, melainkan lebih sebagai wujud kepedulian dan kebersamaan lembaga atas
pengabdian pegawai selama 1 tahun berjalan. Insentif ini khususnya bisa
diberikan jika terdapat “sisa anggaran” atau semacam SHU dari berbagai
kegiatan.
4.
Akhir Kegiatan.
Pembayaran insentif yang dilakukan setiap selesainya
suatu kegiatan / program ini sebenarnya sangat mencerminkan rasa keadilan.
Namun mengingat tidak semua pegawai terlibat dalam setiap kegiatan, maka akan
terbuka kemungkinan tidak meratanya insentif, disamping akan menimbulkan
peluang gap antar unit. Oleh karena itu, insentif akhir kegiatan ini
cukup dijadikan pelengkap bagi insentif lain.
5.
Special Moment (Ultah,
Nikah, dll).
Pembayaran insentif untuk peristiwa khusus ini sangat
penting dilakukan untuk menunjukkan perhatian lembaga terhadap
peristiwa-peristiwa yang bersifat pribadi (privacy). Insentif ini sangat
memungkinkan jika dijadikan sebagai kegiatan yang melekat pada program Sub
Bagian Kepegawaian dengan memanfaatkan sumber Anggaran Rutin.
Bentuk
Insentif
1.
Uang.
Uang
merupakan bentuk insentif yang paling banyak dipakai karena sifatnya yang
fleksibel (dapat dipergunakan untuk berbagai keperluan). Namun dilihat dari
maknanya, seringkali uang lebih kecil dibanding bentuk insentif lain, misalnya
barang atau surat
penghargaan.
2.
Barang.
Bentuk
insentif ini jarang dipakai untuk sistem pembayaran yang bersifat rutin /
berkala. Biasa-nya barang sebagai insentif diberikan pada waktu-waktu tertentu
seperti hari raya atau inflasi ekonomi. Dalam hal ini, untuk insentif tahunan
sangat cocok untuk diberikan barang, sebagai variasi terhadap insentif uang.
3.
Surat Penghargaan Pimpinan.
Bentuk
insentif ini jarang diberikan, karena sangat tergantung kepada prestasi yang
dicapai oleh pegawai yang dinilai layak diberi penghargaan. Padahal, tidak
semua orang mampu menunjukkan prestasi secara progresif. Meskipun demikian,
bentuk ini tetap perlu dipertahankan sebagai pelengkap insentif yang lain,
bahkan jika memungkinkan disertai dengan “uang pembinaan”.
4.
Lain-Lain: Antar
jemput, Asuransi, Beasiswa, Tiket berhaji, dll.
Bentuk insentif ini belum pernah diberikan di lingkungan
Perwakilan LAN Jawa Barat, kecuali antar jemput. Padahal, bentuk-bentuk yang
lain dapat pula diadakan mengingat frekuensinya yang sangat jarang / sedikit.
Hal ini bisa ditem-puh dengan cara menyisihkan sebagian anggaran proyek / crash
program, atau khusus dibiayai dari anggaran rutin dan dijadikan sebagai
kegiatan yang melekat pada program kerja Sub Bagian Kepegawaian. Jika bentuk
insentif ini akan dimunculkan, yang terpenting adalah membuat aturan main atau
prosedur pemilihan pegawai yang berhak mendapatkan insentif.
Sumber
Pembiayaan Insentif
1.
Anggaran Rutin.
Anggaran
rutin ini merupakan sumber yang pa-ling rasional untuk membayar
tunjangan/insentif, terutama yang bersifat bulanan. Dalam hal
ini, Sub Bagian Kepegawaian hendaknya menyusun program kerja tentang
‘peningkatan kesejahtera-an pegawai’ yang akan dibiayai dari anggaran Rutin. Dengan kata lain, pemberian insentif merupakan kegiatan yang melekat pada
program Sub Bagian Kepegawaian. Keuntungan lain dari sumber ini adalah bahwa
pemberian insentif dapat berjalan secara teratur tanpa membebani pengelola
keuangan untuk mencari dana taktis.
2.
Anggaran “Proyek”.
Anggaran
proyek ini dapat menjadi alternatif sumber pembiayaan insentif, khususnya bagi
pegawai yang terlibat dalam proyek yang ber-sangkutan. Disamping itu, sumber
proyek sangat memungkinkan untuk membayar tunjangan / insentif yang bersifat kegiatan.
3.
Crash Program.
Sumber
ini paling fleksibel, dalam arti dapat dijadikan sumber untuk membiayai semua
bentuk insentif dan dapat diberikan kapan saja. Kelemahannya, anggaran
ini merupakan sumber non budgeter yang jumlahnya tidak dapat dipastikan
sehingga menyulitkan pengelola keuangan untuk menggali / menyediakannya.
4.
Swadana Unit.
Sumber
ini dapat dijadikan alternatif peningkat-an kesejahteraan pegawai ketika sumber
lain tidak memungkinkan. Dana dari sumber ini dapat digalang dengan cara iuran
/ menyisihkan sebagian pendapatan sebagai kas / kencleng unit.
Kelemahannya, unit yang memiliki banyak kegiatan akan mampu memberi tunjangan
yang lebih besar kepada stafnya dibanding unit lain yang kurang memiliki
kegiatan. Artinya, akan timbul kesenjangan antar unit jika tidak diatur sistem
cross subsidi.
Rekomendasi
1.
Mengingat
bahwa masing-masing sistem pembayaran insentif memiliki keuntungan dan
kelemahan, maka sebaiknya dibuat suatu sistem gabungan (variasi) agar dapat
dihindarkan kelemahan yang ada pada masing-masing sistem tersebut. Dengan kata
lain, sistem pemberian insentif tidak bersifat tunggal, baik bentuknya,
frekuensinya, sistemnya, maupun sumber pembiayaannya.
2.
Karena
sifatnya yang variatif tersebut, maka dasar atau pertimbangan utama yang
hendaknya dipakai adalah prestasi kerja tanpa mengabaikan dasar pertimbangan
yang lain. Dalam hal ini, seorang pegawai akan memperoleh insentif optimal jika
:
Syarat 1 : pegawai tersebut menunjukkan skala
prestasi individual yang tinggi / baik.
Syarat 2 : pegawai
tersebut menunjukkan skala prestasi kolegial yang tinggi / baik.
Syarat 3 : pegawai
tersebut memiliki beban kerja minimal sama dengan bulan / triwulan yang lalu.
Syarat 4 : pegawai
tersebut memenuhi kewajiban hadir minimal 80 persen.
3.
Besaran
insentif disarankan tidak terlalu tinggi (namun juga tidak terlalu rendah).
Yang terpenting justru frekuensi yang cukup sering yang didukung oleh sumber
pembiayaan yang beragam. Hal ini mengandung konsekuensi perlunya pengaturan
waktu / penjadualan insentif, bentuk insentif dan sumber pembiayaannya.
4.
Sub
Bagian Kepegawaian hendaknya membuat rencana program dan kegiatan tentang
“peningkatan kesejahteraan pegawai” serta kebutuhan anggaran dan sumber pembiayaannya.
Hal ini dimaksudkan agar pengelola keuangan tidak dibebani dengan kewajiban
menggalang dana secara crash program dalam rangka memberi tunjangan / insentif
kepada pegawai.
Bandung, 1 Februari 2000
TRI
Tidak ada komentar:
Posting Komentar