Artinya
adalah bahwa pemerintah selalu memfokuskan perhatiannya kepada proses membiayai
hasil kegiatannya (outcomes) dan bukan kepada masukannya (inputs) yang
diperoleh atau pada kepatuhan terhadap prosedur yang harus dijalankan. Dengan
kata lain, organisasi pemerintah lebih terfokus pada pencapaian kinerja yang
lebih baik. Dalam hal ini, prosedur kerja yang berbelit-belit harus
dihilangkan.
Selanjutnya
pada bagian ini akan diringkaskan mengenai pokok-pokok gagasan Osborne
dan Gaebler mengenai pemerintahan yang berorientasi hasil, yang dimulai
dengan pengertian pemerintah yang berorientasi hasil itu sendiri. Osborne
dan Gaebler mengawali dengan sebuah pertanyaan, bagaimana cara mengukur
kinerja aktivitas publik? Dalam hal ini, para pemimpin wirausaha mengembangkan
cara-cara baru untuk mengukur dan memberi penghargaan pada hasil, antara lain
sebagai berikut:
·
UU
Kemitraan Pelatihan Kerja Federal menciptakan suatu sistem yang berjalan hampir
pada seluruh kontrak keinerja: penjual jasa pelatihan dibayar sesuai dengan
jumlah orang yang meraka tempatkan dalam pekerjaan - bukan jumlah orang
mendaftar dalam pelatihan.
·
Sedikitnya
sembilan negara bagian sekarang mengkaitkan pendanaan pendidikan kejuruan
dengan tingkat penempatan kerja. Di Arkansas dan Florida , misalnya, sebuah program untuk
orang dewasa yang berulang kali gagal menempatkan 70 persen lulusannya dalam
pekerjaan kehilangan dana dari negara bagian.
·
Di
Otorita Perumahan Louisville, jika hasil pengumpulan uang sewa di bawah 97
persen, atau waktu perputran untuk apartemen yang kosong melebihi 14 hari, atau
kondisi tempat merosot di bawah standar, para manajernya diberi peringatan.
Jika masalahnya berlangsung terus, mereka diganti.
·
Di
Cook Country, Illinois ,
terbesar kedua di negara ini, pengadilan mencoba menggunakan kartu-kartu laporan
bagi para hakim, yang berdasarkan pada penilaian dari para juri, saksi, dan
pengacara. Beberapa negara bagian menggunakan sistem yang sama.
·
Enam
negara bagian menguji standar kinerja untuk seluruh pengadilan, yang
dikembangkan oleh National Center for State Courts dan Departemen Kehakiman AS.
Mereka menggunakan survai pelanggan, kelompok fokus, analisis arsip kasus, dan
metode lain untuk mengukur hal-hal seperti seberapa mudah pengadilan dapat
didatangi, sejauh mana keadilan dapat dihasilkan, seberapa netral keputusan
pengadilan, dan seberapa efektif pengadilan menjalankan tatanan mereka.
·
Pemerintah
melakukan perubahan dalam cara mereka mebiayai pembangunan jalan raya. Di masa
lampau, mereka menentukan input yang mereka harapkan dari para kontraktor:
berapa inci bahan A, dilapisi berapa inci bahan B. Sekarang ini, mereka terus
meningkatkan jumlah tahun masa ketahanan jalan raya itu dan meminta tanggung
jawab kontraktor bila gagal. Sebagian menawarkan bonus prestasi bagi para
kontraktor yang lebih cepat dari batas waktu; sebuah perusahaan di Minnesota mendapatkan
ekstra $ 1 juta karena menyelesaikan sebagian dari Interstate 94 setahun lebih
cepat.
·
Beberapa
negara bagian bahkan mendatangani persetujuan kinerja dengan prasrana yang
mengoperasikan pembangkit tenaga nuklir. Boston Edison membayar denda jika
pembangkit Pilgrim-nya beroperasi dengan kapasitas penuh kutrang dari 60 persen
pada tahun bersangkutan, tetapi memperoleh ekstra $ 15 dolar jika beroperasi
dengan kecepatan penuh lebih dari 76 persen pada tahun itu.
Untuk
melihat kekuatan penuh dari pengukuran kinerja, seseorang cukup mengunjungi
Sunnyvale, California, sebuah kota dengan penduduk 120.000 jiwa di jantung
Lembah Silikon. Pantas saja kalau Sunnyvale
seharusnya memimpin revolusi kinerja, sebab kota ini mempunyai suatu kultur yang mendalam
dalam teknologi informasi. Di tempat lain di bumi ini, hanya sedikit yang akan
mau menerima penggunaan ukuran kinerja. Tetapi
sementara Sunnyvale merintis jalan, kota-kota dan negara-negara bagian lain
sudah mulai mengikuti. Para manajer Sunnyvale mengukur kuantitas, kualitas, dan
biaya dari setiap jasa yang mereka berikan. Karena dewan kota mempunyai
informasi ini, maka ia tidak lagi mengusulkan mata anggaran: dewan memberikan
usulan pada tingkat jasa. Dewan tidak mengatakan kepada Departemen Pekerjaan
Umum: “kami ingin menghabiskan $ 1 juta untuk membangun jalan raya A, $ 500.000
untuk perbaikan jalan B, C, dan D, dan $ 250.000 untuk menutup lobang-lobang
jalan di seluruh kota” Dewan malah menentukan hasil yang diinginkannya.
Sunnyvale benar-benar menggunakan ribuan ukuran. Pada
setiap area program, kota tersebut secara jelas menyampaikan seperangkat
“sasaran“ (objectives), dan seperangkat “indikator kinerja”. Tujuan (goal)
sudah cukup jelas “memberikan lingkungan yang aman dan terjamin bagi orang dan
kekayaan dalam masyarakat”; mengendalikan jumlah dan hebatnya kebakaran serta
kejadian-kejadian karena bahan-bahan berbahaya dan memberikan informasi kepada
kota tersebut mengenai kualitas hidup saat ini. Misalnya: jumlah hari di mana
ozon melebihi standar; jumlah kecelakaan lalu lintas perjuta mil kendaraan,
jumlah orang yang menerima Bantuan untuk Anak-anak Tanggungan; dan jumlah orang
pada atau di bawah garis kemiskinan.
Indikator kinerja memberikan ukuran mutu pelayanan yang
spesipik, yang mengungkapkan seberapa berhasil masing-masing unit dalam
memenuhi sasaranya. Indikator-indikator itu meliputi angka-angka seperti:
·
Persentase
pohon yang membutuhkan peremajaan yang diganti dalam dua bulan;
·
Persentase
peserta pelatihan kerja yang memperoleh pekerjaan, gaji rata-rata mereka pada
saat penempatan, dan tingkat kepuasaan dari majikan mereka;
·
Persentase
peserta dalam program rekreasi yang memberikan peringkat “baik” atau diatasnya
terhadap program tersebut; dan
·
Jumlah keluhan
terhadap berbagai fasilitas rekreasi.
Organisasi-organisasi yang mengukur hasil kerja mereka – meskipun
mereka tidak menghubungkan pembiayaan atau imbalan dengan hasilnya – menyadari
bahwa informasi mengubah mereka. Yang harus dilakukan adalah mengukur sesuatu
sehingga orang akan memberikan respon, kata John Pratt, mantan direktur
departemen kesejahteraan Massachusetts.
Tindakan yang sederhana untuk menentukan ukuran sangatlah
memberikan penerangan kepada banyak organisasi. Biasanya, lembaga pemerintah
tidak sepenuhnya jelas mengenai tujuan mereka, atau sebenarnya mengarah ke
tujuan yang keliru. Ketika mereka harus menentukan hasil yang diinginkan dan
tolak ukur yang tepat untuk mengukur hasil-hasil tersebut, kebingungan ini
terpaksa dibuka. Orang mulai mengajukan pertanyaan yang benar, mendefinisikan
kembali masalah-masalah yang mereka coba pecahkan, dan sekali lagi mendiagnosis
masalah itu. “Ketika proses pengukuran dimulai, kata Stan Spanbauer,
presiden Fox Valley Technical College di Wisconsin, orang
segera mulai memikirkan tujuan organisasi”.
Untuk menegakkan prinsip pemerintah yang berorientasi
hasil ini, Osborne dan Gaebler mengajukan beberapa “pedoman” yang
perlu diterapkan, yaitu:
- Jika tak bisa menghargai keberhasilan, mungkin Anda
menghargai kegagalan.
- Jika Anda tidak dapat melihat keberhasilan, Anda
tidak dapat belajar darinya.
- Jika Anda tidak dapat mengenali kegagalan, Anda
tidak membetulkannya.
- Jika Anda dapat menunjukan hasil, Anda dapat
memenangkan dukungan masyarakat.
Banyak orang dalam pemerintahan Amerika menolak gagasan pengukuran
kinerja karena mereka telah melihat pengukuran dilakukan secara buruk. Ketika
UU Kemitraan Pelatihan Kerja disetujui tahun 1982, misalnya, UU itu
mengamanatkan kontrak berdasarkan kinerja kepada para penyelenggara pelatihan.
Tetapi banyak dari kontrak yang orisinil mendorong para penyelenggara untuk
melatih mereka yang paling siap kerja, karena mereka memberi imbalan kepada
para penyelenggara berdasarkan jumlah peserta pelatihan yang mereka tempatkan.
Hal ini mendorong penyelenggara untuk mendahulukan yang paling mudah untuk
dilayani, dan menimbulkan kritik yang tajam.
Pengukuran kinerja dalam pendidikan telah dikritik karena
alasan-alasan lain-terutama karena mengandalkan pada ujian-ujianyang sudah
baku, yang tidak perlu memikirkan apapun kecuali hafalan. Pola ini – penerapan ukuran
kinerja, diikuti dengan protes dan desakan untuk memperbaiki ukuran tersebut,
dan diikuti denganpengembangan ukuran yang lebih canggih – adalah umum di
manapun kinerja diukur.
Strategi yang paling umum adalah upah kinerja: sejenis
sistem penilaian jasa atau bonus bagi perorangan dan atau kelompok yang
berprestasi tinggi. Phoenix, Sunnyvale, Visalia, dan banyak lagi organisasi
lain melakukan praktek ini.
Pendekatan tradisional berjalan dengan nama Management by Objectives, atau MBO.
Meskipun pendekatan ini mencakup berbagai rencana spesifik, namun istilah
tersebut biasanya menggambarkan sebuah sistem di mana para manajer duduk
bersama para atasan mereka setiap tahun dan menegosiasikan sebuah daftar
sasaran. Seorang Manajer yang mencapai atau melampaui sasarannya berhak
mendapatkan bonus atau kenaikan nilai jasa dalam gajinya.
Para manajer di bawah sistem MBO biasa, juga cenderung
untuk menetapkan sasaran yang rendah, sehinnga mereka yakin dapat memenuhinya.
Manajer-manajer lainnya memenuhi sasaran-sasaran artifisial mereka dengan
mengorbankan sasaran organisasi yang lebih fundamental: mutu pelayanan.
Salah satu pendekatan yang digunakan oleh semakin banyak
pemerintahan adalah Manajemen Mutu Terpadu (Total Quality Management)-
Falsafah manajemen yang terutama dikembangkan oleh W. Edwards Deming.
Deming berpendapat bahwa ketika kita mempelajari kinerja (atau “mutu“, istilah
yang ia gunakan) yang buruk, kita tidak perlu mengetahui penyebabnya.
Penyebab nya mungkin saja faktor-faktor di luar kekuasaan pekerja dan manajer
seperti latar belakang keluarga siswa. Sebagaimana dinyatakan oleh salah
seorang guru Rochester, ketika menolak sebuah kontrak yang mengusulkan
pembayaran jasa, “Saya memberikan upaya yang sama untuk setiap kelas, tetapi
hasilnya tidak selalu cocok”.
Management berdasarkan Hasil dan MMT (manajemen mutu
terpadu) keduanya merupakan sarana yang efektif untuk memaksa organisasi
bertindak menurut informasi kinerja yang mereka terima.Tetapi dalam
pemerintahan, pendongkrak yang paling penting – sistem yang paling kuat
mendorong perilaku – adalah anggaran. Bagaimanapun juga, kebanyakan manajer
bekerja dalam pemerintahan bukan untuk memperkaya diri melainkan untuk memiliki
suatu dampak positif pada masyarakat Contoh trend serupa terlihat jelas di
negara-negara lain.
Pada bulan November 1989, rekan Bob Stone, Gerald
Kauvar, menyelenggarakan konferensi 14 negara mengenai penganggaran
pertahanan. Keempat belas negara sepakat bahwa “sebuah sistem manajemen sumber daya pertahanan modern harus mencakup:
pengetahuan tentang biaya penuh, anggaran gabungan (yaitu non-mata-anggaran);
desentralisasi kontrol atas uang dan personalia, baik militer maupun sipil;
kebebasan dari beban peraturan yang tidak perlu (yang dipaksakan secara intern
maupun ekstern); dan pertanggung jawaban atas hasil misi.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar