Senin, 02 Agustus 2010

Wacana Pemindahan Ibu Kota Negara RI


Latar Belakang
·        Ibukota suatu negara pada hakikatnya merupakan representasi / simbol dari eksistensi suatu negara. Itulah sebabnya, penentuan lokasi Ibukota menjadi sangat strategis dan harus dipikirkan secara masak dan mendalam. Sebab, kesalahan dalam menetapkan lokasi akan dapat berimplikasi pada tidak optimalnya penyelenggaraan fungsi-fungsi kenegaraan dan kepemerintahan.
·        Fungsi Ibukota dalam prakteknya terus berkembang tidak saja sebagai Pusat Pemerintahan, namun juga pusat perdagangan dan industri, pusat permukiman, pusat hiburan / kesenian dan budaya, serta pusat pendidikan dan jasa-jasa lainnya. Selain itu, data Bank Dunia menunjukkan bahwa 70 % uang beredar di Indonesia ada di Jakarta, sehingga Jakarta menjadi pusat seluruh aktivitas perekonomian Indonesia. Hal ini pulalah yang menyebabkan Kota Jakarta menjadi tujuan pertama dan utama para urbanisasi dengan segala problemanya. Berbagai hal tadi menjadikan wilayah Ibukota semakin lama semakin jenuh sekaligus menurunkan daya dukung lingkungan (carrying capacity). Dampak lanjutannya, tidak dapat dihindari terjadinya pemusatan / konsentrasi aktivitas yang cenderung menyebabkan people generator (bangkitan pertambahan penduduk), land use generator (bangkitan penggunaan lahan) dan traffic generator (bangkitan lalu lintas) yang tinggi. Inilah awal munculnya kerumitan penduduk, kepenatan tata ruang, dan kekacauan lalu-lintas (people congestion, land-use congestion, and traffic congestion).
·        Sebagai dampak dari kepenatan sosial dan lingkungan di Ibukota, lahirlah berbagai fenomena alam yang tidak bersahabat seperti banjir, produksi sampah diluar daya tampung, polusi, peningkatan suhu udara, dan sebagainya. Dampak ikutan dari fenomena alam tadi adalah munculnya berbagai jenis penyakit, kebutuhan terhadap pembangunan lokasi pengungsi, rusaknya jaringan komunikasi dan transportasi, serta kerugian materiil dan moril (immateriil) yang tidak terhingga.
·        Atas dasar berbagai fakta dan prakondisi diatas, maka muncullah kemudian gagasan untuk merelokasi Ibukota negara, DKI Jakarta, ke wilayah baru yang jauh lebih layak secara sosial, ekonomis, ekologis, maupun pertahanan dan keamanan.
·        Ide atau wacana untuk meneliti kemungkinan dapat dipindahnya Ibukota Negara RI sendiri mula-mula dilontarkan pada pertemuan FKKD di Balitbangda Kaltim di Samarinda oleh anggota FKKD Regional Tengah secara non-formal, kemudian dilanjutkan lagi pada saat berlangsungnya Rakornas Litbang ke VI di Semarang. Pada acara Rakornas Iptek di Bandung pada bulan November 2006, ide tersebut dibahas pada sidang paripurna dan menjadi agenda yang perlu ditindak lanjuti melalui langkah nyata dengan melakukan penelitian dilapangan.


Prinsip Umum Pemindahan Ibukota
·        Upaya pemindahan Ibukota bukan merupakan upaya reaktif terhadap sebuah persoalan aktual yang tengah dihadapi, tetapi merupakan kerangka strategi umum dalam rangka mengatasi persoalan multidimensional (poleksosbudhankam) serta meningkatkan fungsi-fungsi kenegaraan dan kepemerintahan pada umumnya.
·        Pemindahan Ibukota bukan merupakan sebuah keanehan atau kemustahilan. Berbagai negara telah sangat berpengalaman memindahkan Ibukotanya, misalnya Nigeria memindahkan Lagos ke Abuja tahun 1991, New Zealand (dari Auckland ke Wellington, tahun 1865), Australia (dari Melbourne ke Canberra, tahun 1927), Jepang (dari Kyoto ke Tokyo, tahun 1868), Pakistan (dari Karachi ke Islamabad, tahun 1967), India (dari Calcutta ke New Delhi, tahun 1912), Malaysia (dari Kuala Lumpur ke Putrajaya, tahun 2002), Philipina (dari Quezon City ke Manila, tahun 1976), Rusia (dari Saint Petersburg ke Moscow, tahun 1918), Amerika Serikat (dari Philadelphia – New York ke Washington DC, tahun 1800). Negara-negara tersebut juga berpengalaman dalam pemindahan Ibukota Negara Bagian / Provinsi dalam wilayahnya.
·        Selain itu, beberapa negara memiliki lebih dari satu Ibukota. Sebagai contoh Malaysia memiliki dua kota yang berfungsi sebagai Ibukota: Kuala Lumpur dan Putrajaya, atau Belanda yang memiliki Amsterdam dan Den Haag. Bahkan Afrika Selatan memiliki tiga buah Ibukota sekaligus: Pretoria, Cape Town, dan Bloemfontein.
·         Sementara di dalam negeri sendiri, pemindahan Ibukota juga cukup sering terjadi terutama di level Kabupaten/Kota. Sebagai contoh, Ibukota Kab. Musi Rawas dipindahkan dari Lubuk Linggau ke Muara Beliti (PP No. 46/2005), Kab. Lombok Barat (dari Mataram ke Gerung, PP No. 62/2000), Kab. Kupang (dari Kupang ke Oelamasi, PP No. 3/2006), Kab. Luwu (dari Palopo ke Balopa, PP No. 80/2005), Kab. Cirebon (dari Cirebon ke Sumber, PP No. 33/1979), Kab. Jayapura (dari Jayapura ke Sentani, PP No. 15/2000), Kab. Limapuluh Kota (dari Payakumbuh ke Sarilamak / Harau, PP No. 40/2004), Kab. Solok (dari Solok ke Arosuka, PP No. 39/2004), Kab. Semarang (dari Semarang ke Ungaran, PP No. 29/1993), Kab. Aceh Utara (dari Lhokseumawe ke Lhoksukon, PP No. 18/2003), dan sebagainya. Sedangkan di tingkat provinsi, Ibukota Sumatera Barat pernah dipindah dari Bukittinggi ke Padang (PP No. 29/1979), dan sebagainya.
·         Pemindahan Ibukota Negara harus memiliki landasan teoretik pragmatik yang kuat, serta alasan, argumentasi, dan tujuan yang jelas dan terukur. Iran, misalnya, sedang mempertimbangkan pemindahan Teheran ke Kota Isfahan, karena Ibukota yang lama sangat rentan terhadap gempa bumi (tahun 2003 telah terjadi gempa di kota bam yang menewaskan lebih dari 41.000 jiwa, dan diprediksikan akan muncul gempa susulan dengan kekuatan 6.8 skala richter yang dapat menewaskan 720.000 jiwa). Sementara Korsel berencara memindahkan Ibukota di Seoul ke barat Kota Taejon yang menawarkan kondisi transportasi dan lingkungan yang lebih baik, sehingga menciptakan pembangunan yang lebih seimbang di Korsel.
·         Pro dan kontra terhadap sebuah rencana kebijakan adalah hal yang biasa dan alamiah. Namun pemindahan Ibukota juga merupakan hal biasa dan alamiah, sehingga sebaiknya tidak disikapi secara apriori. Yang terpenting adalah mencari strategi dan metode terbaik tentang keputusan dipindahkan atau tidak dipindahkannya Ibukota Jakarta. Inilah sikap rasional yang harus dijunjung tinggi atas dasar kajian yang cermat, komprehensif, visioner, obyektif, multidisipliner, lintas pendekatan, dan lintas sektoral.
·         Pemindahan Ibukota adalah sebuah ”proyek” raksasa sehingga tidak dapat dilakukan dalam waktu singkat secara instan. Pengkajian terhadap kelayakan (feasibility study) pemindahan Ibukota minimal membutuhkan waktu 1 dekade (10 tahun) secara bertahap. Ini berarti, pemindahan Ibukota hanya dapat dilakukan jika disertai dengan Perencanaan Strategis (strategic planning), termasuk kerangka waktu (time-frame) yang jelas dengan target-target tahunannya.


Faktor Pendorong (push-factors) Pemindahan Ibukota
·         Pertambahan penduduk yang tidak terkendali. Jumlah penduduk di kawasan Jabodetabek saat ini 11,2 juta jiwa dengan laju pertambahan penduduk periode 1995-2005 rata-rata sebesar 3,6%, dengan angka migrasi masuk rata-rata 1,6 juta jiwa per tahun. Jumlah penduduk yang membengkak dan tidak diimbangi oleh pelayanan sosial, jelas akan menimbulkan krisis dan penyakit pembangunan (development pain).
·         Keadaan kependudukan seperti diatas dapat menimbulkan implikasi di bidang kehidupan lainnya, seperti lingkungan hidup yang terganggu, merebaknya pengangguran, masyarakat miskin, kriminalitas, dan kerawanan sosial lainnya semakin meningkat dan suatu saat bisa sampai pada satu keadaan yang diluar kendali dan menimbulkan tragedi kemanusiaan.
·         Dari tinjauan geografis, Kota Jakarta terletak diantara lempengan benua Asia dan Australia (lempeng Auresia) yang merupakan lempeng patahan kerak bumi yang sangat berpotensi terjadi gempa tektonis dan vulkanis serta potensi tsunami. Sedangkan dari tinjauan elevasi, Kota Jakarta terletak di ketinggian dari muka laut Minus 2 Meter DPL sampai 10 meter DPL. Keadaan ini memberikan peluang Kota Jakarta akan selalu mengalami banjir karena letaknya berada dibawah permukaan laut.


Faktor Penarik (pull-factors) Pemindahan Ibukota
·         Ketersediaan lahan yang masih luas di wilayah lain, khususnya diluar Pulau Jawa. Hal ini dapat dimanfaatkan untuk mendesain sebuah kota baru yang modern, ramah lingkungan, aman dan nyaman, sekaligus menjamin tetap terjaganya daya dukung (carrying capacity) lingkungan secara lestari.
·        Kebutuhan untuk melakukan redistribusi sumber-sumber ekonomi dan mengakselerasi pembangunan wilayah tertentu, sehingga tercipta keseimbangan pusat-pusat pertumbuhan (growth poles) dalam suatu negara. Prinsip pemerataan (distribution) dan keadilan (equity) sosial ekonomi ini, pada gilirannya akan membawa konsekuensi politis yang positif, yakni memperkuat jalinan persatuan bangsa dalam koridor NKRI.


Opsi Penanganan Permasalahan Ibukota
Pemindahan Ibukota pada dasarnya hanya salah satu pilihan (option) untuk mengatasi persoalan yang terlanjur membelit Kota Jakarta. Namun masih ada opsi lain yang dapat dipertimbangkan secara matang, yakni revitalisasi kota. Pemindahan Ibukota sendiri dapat dibagi dalam beberapa pilihan yang lebih spesifik. Dengan demikian, paling tidak dapat diidentifikasikan beberapa opsi penanganan permasalahan Ibukota sebagai berikut:
·         Revitalisasi dan Pembaharuan Kota, yang ditempuh melalui program pembangunan terintegrasi (integrated development), misalnya pembangunan kanal-kanal, pembersihan dan pengerukan sungai, pembatasan jumlah penduduk dan pengendalian pertumbuhan penduduk, pengetatan perijinan IMB, pengalihan kegiatan industri diluar kota, dan sebagainya, yang dilaksanakan secara simultan dan berkesinambungan. Dengan strategi city renewal program ini, pemindahan Ibukota dapat ditangguhkan sehingga dapat menekan pembiayaan yang tidak perlu. Salah satu success story yang dapat dijadikan sebagai benchmarking adalah Curitiba. Tercatat sebagai salah satu kota terkumuh dan termacet di Brasil pada dasawarsa 1970-an, Curitiba mampu bersolek diri secara radikal. Kota itu kini menjadi kawasan paling apik di Negeri Samba. Bahkan, pada 1996, Curitiba dianugerahi predikat the most innovative city in the world. Banyak pemerintah kota di berbagai dunia yang saat ini melirik Curitiba, yang dibangun dengan konsep Eco-city (kota berwawasan lingkungan).
·         Pemindahan Ibukota ke wilayah yang masih berdekatan. Pilihan ini memiliki kelebihan dapat memanfaatkan prasarana yang sudah ada di ibukota yang lama, sehingga yang diperlukan hanyalah membangun jaringan transportasi yang memadai dari Ibukota lama ke Ibukota yang baru. Opsi inilah yang dipakai Pemerintah Malaysia dalam memindahkan fungsi ibukota dari Kuala Lumpur ke Putrajaya secara bertahap. Dalam konteks wacara pemindahan DKI Jakarta, wilayah penyangga (buffer zone atau hinterland) di wilayah Jawa Barat menjadi pilihan terbaik opsi kedua ini.
·         Pemindahan Ibukota ke wilayah yang relatif jauh dari lokasi awal. pilihan kedua jauh lebih mahal karena semua infrastruktur harus dibuat dari awal, tetapi lebih baik secara politis karena letaknya berada di tengah-tengah negara. Dalam hal ini, Brazil memilih pilihan kedua dengan membuat kota Brasilia di tengah-tengah negara. Kabarnya, pilihan Brazil ini sempat melilit negara ini ke dalam jeratan hutang, namun saat ini Brasilia adalah salah satu kota terbaik di Brazil, dan pembangunan di seluruh negara Brazil menjadi lebih merata. Dalam konteks wacara pemindahan DKI Jakarta, wilayah yang ideal menurut opsi ini adalah kota-kota di Kalimantan seperti Palangkaraya atau Balikpapan.


Alternatif Kota Pengganti Ibukota
·         Kota-kota yang sudah banyak diwacanakan sebagai calon pengganti DKI Jakarta antara lain Jonggol, Bogor, dan Bekasi (semuanya berada di wilayah Jawa Barat sebagai penyangga Ibukota). Selain itu, Palangkaraya sudah lama dipersiapkan oleh Presiden Soekarno sebagai calon Ibukota pengganti Jakarta. Pemancangan tiang pendirian Kota Palangkaraya pada tahun 1957 merupakan awal ide untuk menggagas Palangkaraya sebagai ibu kota negara. Pertimbangan yang digunakan, ditinjau dari posisi geografisnya, posisi Palangkaraya cukup unik karena kota tersebut letaknya kira-kira berada tepat di tengah-tengah Indonesia. Dan apabila ditarik sumbu imajinernya, beberapa bangunan penting dari kota seluas sekitar 2.678,51 kilometer persegi ini segaris atau mengarah ke Jakarta.
·         Diluar kota-kota yang sudah masuk ”nominasi”, masih banyak pula kota-kota yang sangat layak untuk dipertimbangkan sebagai kandidat kuat, misalnya Balikpapan. Beberapa argumen yang dapat disampaikan adalah bahwa Kalimantan umumnya dan Balikappan khususnya merupakan wilayah yang sangat aman dan minim dengan kasus bencana, seperti tsunami (karena terlindung oleh pulau-pulau lain dan jauh dari jalur patahan bawah laut), atau letusan gunung (karena tidak ada gunung berapi di Kalimantan). Selain itu, secara infrastruktur Balikpapan sudah relatif lengkap, namun masih memiliki lahan yang luas untuk pemekaran wilayah. Balikpapan juga sangat strategis karena memiliki laut dan selat sebagai media pertumbuhan ekonomi kawasan. Apalagi jika sudah terbangun jembatan yang menghubungkan Balikpapan dengan Kab. Penajam dan Kab. Pasir, maka nantinya akan dapat terbangun koridor Balikpapan – Kalsel (Koridor Barat). Ditambah dengan kemungkinan pembangunan jalan tol Samarinda – Bontang, maka akan terbangun Koridor Selatan – Utara. Dua jalur koridor ini jelas sangat penting untuk pengembangan wilayah secara komprehensif dan cepat (rapid development).
·         Yang terpenting untuk dilakukan adalah membuat cost and benefit analysis atau model-model analisis lainnya, dengan menggunakan parameter, kriteria atau indikator yang obyektif, reliabel, dan akurat untuk menghitung tingkat probabilitas dari setiap kota yang potensial. Inilah salah satu aspek yang perlu dibahas dan disepakati dalam pertemuan FKK kali ini.


Landasan Teoretik
·         Dewasa ini, disparitas regional atau kesenjangan antar daerah/wilayah secara signifikan terlihat dalam peta regional pembangunan kita. Ini menunjukkan bahwa tingkat pembangunan di Pulau Jawa (plus Bali dan Sumatera) ternyata jauh lebih maju dibandingkan daerah-daerah lainnya di wilayah Indonesia Bagian Timur. Kesenjangan pembangunan tersebut akan lebih nyata terlihat secara jelas jika unit pengamatan kita turunkan hingga ke tingkat kabupaten, apalagi tingkat pedesaan.
·         Pendekatan perencanaan regional yang konvensional, berpendapat bahwa tindakan pemerintah sangat diperlukan untuk mencegah terjadinya apa yang disebut Gunnar Myrdal (1957) dengan backwash effect dari pembangunan di pusat-pusat pertumbuhan, yang akan menguras habis sumber-sumber ekonomi dan tenaga kerja yang relatif terlatih dari daerah (periphery). Untuk mengatasi hal tersebut, strategi "efek menetes kebawah" (trickle-down effect) disarankan untuk mengurangi dan menghilangkan kesenjangan antar wilayah. Konsepsi ini lebih lanjut dijabarkan oleh John Friedmann (1966) dalam model pembangunan wilayah yang disebutnya sebagai the four stage of spatial development. Model atau pendekatan Friedmann tersebut tampaknya diilhami oleh teori Rostow (1960) tentang pertumbuhan ekonomi sebagai suatu tahapan linier.
·         Pendekatan efek menetes kebawah ini cenderung menempatkan pemerintah pusat pada peranan yang dominan. Pendekatan yang bersifat top-down ini, pada kenyataan lebih berfokus pada upaya pembangunan untuk mendorong tingkat pertumbuhan ekonomi di beberapa pusat pertumbuhan, di beberapa kota besar tertentu atau beberapa wilayah tertentu yang kaya dengan berbagai faktor produksi, atau yang memiliki kemudahan akses terhadap infrastruktur ekonomi. Kecenderungan seperti ini malah semakin memperbesar kesenjangan antara pusat-pusat pertumbuhan dengan daerah pedalaman, antara masyarakat perkotaan yang semakin sejahtera dengan masyarakat daerah pedesaan dan pedalaman yang tetap miskin. Sebagaimana kritik yang dikemukakan oleh Michael Lipton (1977) dalam bukunya yang berjudul Why Poor People Stay Poor: Urban Bias in World Development, juga kritik Robert Chambers (1983) dalam tulisannya Rural Development - Putting the Last First.
·         Berdasarkan kritik atas pendekatan perencanaan dan pembangunan regional yang bersifat top-down tersebut, maka kemudian dikembangkan pendekatan dan kebijaksanaan desentralisasi dan dekonsentrasi yang mengarahkan perencanaan dan pelaksanaan pembangunan lebih ke daerah-daerah pinggiran atau daerah periferi, sehingga lebih mencerminkan terakomodasikannya aspirasi masyarakat, serta lebih mencerminkan proses yang bersifat bottom up. Pendekatan yang antara lain dipelopori oleh World Bank dan ILO pada tahun 1970-an ini, kemudian dikenal sebagai strategi "redistribution with growth".
·         Khususnya dalam perencanaan kota dan wilayah, secara teknis ada beberapa teori yang bisa dipertimbangkan, misalnya the concentric zone theory dari Burgess, the sector theory dari Homer Boyt, the theory of natural areas dari Harvey Zorbaugh, the theory of symbolical values dari Walter Firey, the transportation theory dari A. Weber, the statistical approach dari Calvin Schmid, dan sebagainya (Koesoemahatmadja, 1986). Diantara berbagai teori diatas, yang paling sederhana adalah teori Burges (semula dimaksudkan untuk membangun kota Chicago) yang membagi wilayah kota atau daerah menjadi 5 (lima) zona.
·         Dari berbagai teori tersebut, maka pemindahan Ibukota negara sesungguhnya sangat logis dan memiliki dasar konseptual yang cukup kuat, yakni dalam rangka membangun kapasitas perkotaan guna menunjang fungsi-fungsi sosial ekonomi umat manusia.


Tindak Lanjut Rencana Pemindahan Ibukota DKI Jakarta
·         Oleh karena memiliki arti sangat strategis, maka wacana pemindahan Ibukota ini perlu diteruskan sebagai bola salju (snowball effect), salah satunya melalui penyusunan Agenda Riset untuk mendukung framework pemindahan Ibukota. Agenda riset ini selanjutnya perlu disepakati dan kemudian di distribusikan secara merata kepada komunitas kelitbangan (anggota FKK Wilayah Tengah). Cara ini akan memiliki efek sinergis dan menjadi basis yang obyektif untuk pengambilan keputusan tentang rencana pemindahan Ibukota RI.
·         Agenda Riset tersebut harus menyentuh keseluruhan dimensi / sektor pembangunan dan harus mampu menawarkan formula kebijakan yang manjur, sehingga mampu menjamin Ibukota yang baru tidak terjangkiti penyakit-penyakit sebagaimana Ibukota yang lama. Adapun beberapa agenda riset yang dibutuhkan untuk mendukung framework pemindahan Ibukota antara lain adalah sebagai berikut (tentatif):
o        Kajian Perencanaan Makro dan Perencanaan Teknis Pemindahan Ibukota.
o        Kajian Biaya Manfaat (CBA – Cost Benefit Analysis) Pemindahan Ibukota.
o        Kajian Tata Ruang Wilayah Calon Ibukota Negara.
o        Kajian Analisis Kebutuhan Pembangunan Infrastruktur Ibukota Negara Baru.
o        Kajian Analisis Strategi Pembangunan Sektor Pertahanan dan Keamanan.
o        Kajian Dampak Sektor Demografis dan Sosiologis Kebijakan Pemindahan Ibukota.
o        Kajian Dampak Sektor Ekonomi (Perdagangan, Industri, Investasi, dll) Kebijakan Pemindahan Ibukota Negara.
o        Kajian Dampak Lingkungan dan Kelayakan Ekologis Pembangunan
o       Kajian Prospek Hubungan Internasional dan Fungsi Diplomasi Pasca Pemindahan Ibukota Negara.
o       Kajian Efektivitas Koordinasi dan Hubungan Antar Lembaga Negara dan Lembaga Pemerintahan Pasca Pemindahan Ibukota Negara.
o       Kajian Kemampuan Anggaran dan Sumber-Sumber Pembiayaan Dalam Pemindahan Ibukota Negara.
o       Kajian Akseptabilitas dan Responsivitas Stakeholder Dalam Upaya Memindahkan Ibukota Negara.
o       Kajian Sistem Transportasi (Darat/Udara/Laut/Sungai) Untuk Mendukung Kelancaran Tugas-Tugas Kenegaran dan Pemerintahan di Wilayah Baru.
o        Dan sebagainya.


Penutup
Pemindahan Ibukota Negara memiliki nilai strategis nasional, bahkan internasional. Itulah sebabnya, rencana kebijakan ini perlu didukung oleh komitmen yang kuat dari berbagai stakeholder, baik dari kalangan pemerintahan maupun non-pemerintahan (pelaku bisnis, media, LSM, dan sebagainya). Komitmen ini salah satunya dapat dibuktikan dengan penyusunan kerangka kerja yang lebih baik.


DAFTAR REFERENSI

Azis, Iwan Jaya, Ilmu Ekonomi Regional dan Beberapa Aplikasinya di Indonesia, Jakarta: LP FE UI, 1994
Berry, Brian J.L., Edgar C. Conkling and D. Michael Ray, The Global Economy: Resource Use, Locational Choice and International Trade, New Jersey: Prentice Hall, 1993
Chambers, Robert, Rural Development: Putting the Last First, New York: Longman, 1983
Fritschi, Bep, Agnes T. Kristayani dan Florian Steinberg, Partisipasi Masyarakat Dalam Operasionalisasi Pendekatan P3KT, dalam Nana Rukmana, Florian Steinberg dan Robert van der Hoff (ed.), Manajemen Pembangunan Prasarana Perkotaan, Jakarta : LP3ES, 1993
The Guardian, Iran considers moving capital from quake zone, January 6, 2004 http://www.guardian.co.uk/naturaldisasters/story/0,7369,1116676,00.html
Jawa Pos, Edisi 8 Februari, 2007, Ibu Kota Diusulkan Pindah ke Subang, http://www.jawapos.co.id/index.php?act=detail_c&id=270393
______________, Edisi 6 Februiari 2007, Masih Layakkah Jakarta Jadi Ibu Kota? http://www.jawapos.co.id/index.php?act=detail_c&id=270043
Kartasasmita, Ginandjar, 1996, Pembangunan Untuk Rakyat: Memadukan Pertumbuhan dan Pemerataan, Jakarta: CIDES.
Koesoemahatmadja, R.D.H., Peranan Kota Dalam Pembangunan : Ditinjau Secara Historis, Yudidis, Komparatif, Sosiologis, Ekonomis dan Politik, Cet. Kedua, Bandung : Bina Cipta, 1986
Lipton, Michael, 1977, Why Poor People Stay Poor: Urban Bias in World Development.
Nurcahyo, Priyadi Imam, Memindahkan Ibukota dari Jakarta? Personal Blog’s, Edisi 29 September 2006, http://priyadi.net/archives/2006/09/29/memindahkan-ibukota-dari-jakarta/
Pikiran Rakyat, RUU DKI tak Terkait Megapolitan, 10 Tahun Lagi Ibu Kota Negara Harus Dipindah ke Lokasi Lain, Edisi 16 Juni 2006, http://pikiran-rakyat.com/cetak/2006/062006/16/0209.htm
Republika, 6 Februari 2007, Ketua DPR: Pemindahan Ibukota tak Pecahkan Masalah Jakarta, http://www.republika.co.id/online_detail.asp?id=281669&kat_id=23
Rozi, Syafuan, Memindahkan Ibukota Negara, dalam Republika, Ed. 04-03-2006, http://www.republika.co.id/koran_detail.asp?id=237954&kat_id=16&kat_id1=&kat_id2=
Setiawan, Danny, Menyikapi Gagasan Megapolitan, dalam HU Pikiran Rakyat, edisi 14 Februari 2006, http://pikiran-rakyat.com/cetak/2006/022006/14/0901.htm Lihat juga, mailing-list archive, yahoo-groups Ki Sunda, http://www.mail-archive.com/kisunda@yahoogroups.com/msg03686.html
Suara Merdeka, Ibu Kota Korsel Tetap Akan Dipindah, Edisi 12 Agustus 2004, http://www.suaramerdeka.com/harian/0408/12/int07.htm
Tjahjati, Budhi, 1996, Arah Pengembangan Kota-Kota Baru Dalam Perspektif Kebijaksaaan Tata Ruang, dalam Analisis, Edisi Khusus Tahun II, Jakarta : BPPT.
Utomo, Tri Widodo W., 2003, Does Moving Capital Matter for Reducing Developmental Complexities in a State Capital – Jakarta Case, dalam Jurnal Wacana Kinerja, Vol. 6 No. 4, hal. 19 26, Bandung: PKP2A I LAN (ISSN 1411-4917).
Website Departemen PU, Pemindahan Ibukota Negara Dapat Masuk Dalam RUU PR, http://www.pu.go.id/index.asp?link=Humas/news2003/ppw080606rnd.htm
Wijanarka, Meraba Calon Ibukota Negara yang Tersisih, dalam acara Bedah Buku ‘Soekarno dan Desain Rencana Ibukota di Palangkaraya’, 3 Agustus 2006, Lemlit UNIKA Semarang, http://www.unika.ac.id/warta/05082006.htm

Tidak ada komentar: