Pengantar
Dalam
rangka pemenuhan berbagai macam kebutuhannya, manusia menyelenggarakan suatu
kegiatan yang disebut dengan pembangunan. Dengan pembangunan ini,
manusia mencoba untuk mengoptimalkan dan memanfaatkan seluruh potensi dan
sumber daya alam, kemudian memberikan berbagai nilai tambah atas pemanfaatan
sumber daya tersebut, sehingga pada gilirannya kepuasan manusia dapat tercapai
secara optimal pula.
Namun,
satu hal yang seringkali dilupakan oleh manusia adalah bahwa alam dan seisinya
semakin lama semakin berkurang daya dukungnya, sehingga eksploitasi lingkungan
yang didasarkan pada kepentingan ekonomis semata, pada suatu ketika akan
menyebabkan tergangunya keseimbangan ekologis. Kondisi seperti inilah yang
menurut Djojohadikusumo (1981: 60)
disebut sebagai “krisis lingkungan”, yakni gejala akibat kesalahan atau
kekurangan dalam pola dan cara pengelolaan sumber kebutuhan hidup manusia.
Gejala-gejala tersebut dianggap sebagai tekanan krisis yang membahayakan
kelangsungan hidup manusia, seperti ancaman terhadap kejernihan udara dan
sumber air, terhadap bahan-bahan makanan, terhadap kelangsungan produktivitas
kekayaan alam flora dan fauna, dan sebagainya.
Dan
apabila kekuatan ekologis ini telah sedemikian melemah, maka kesejahteraan yang
dicapai manusia menjadi tidak bermakna. Sebab, kesejahteraan tadi harus dibayar
dengan recovery cost untuk memulihkan
dan menjaga kelestarian lingkungan – dan bahkan social cost yang sulit dihitung tingkat kerugiannya. Dengan kata
lain, trade off yang ditimbulkan dari
proses pembangunan sangat tidak seimbang dengan tingkat kemakmuran ekonomis
yang diraihnya.
Atas dasar
pemikiran demikian, maka dalam kajian singkat ini akan dilakukan pembahasan
mengenai perimbangan atau hubungan timbal balik antara pertimbangan ekonomi
(dan politik) di satu pihak, dengan kepentingan ekologi (dan tata lingkungan)
di lain pihak. Adapun sistematikanya akan dimulai dengan pembahasan tentang
batas-batas pertumbuhan dan kaitannya dengan daya dukung lingkungan,
perkembangan paradigma pembangunan, masalah eksternalitas pembangunan, serta
kelestarian ekologis dan pembangunan berkelanjutan. Pada akhir kajian, akan
disertai dengan cacatan penutup.
Lingkungan
dan Batas-Batas Pertumbuhan
Apa
yang dikemukakan diatas sesungguhnya menggambarkan bahwa proses pembangunan
seringkali menimbulkan dampak yang tidak diinginkan. Dengan kata lain,
pembangunan selalu memunculkan paradoks, yang salah satunya adalah makin
berkurangnya kualitas dan daya dukung (carrying
capacity) lingkungan. Sebab, keseluruhan kebutuhan manusia tidak dapat
dipenuhi dengan memanfaatkan sumber-sumber daya yang dimiliki oleh alam. Oleh
karena itu, dalam hal ini terjadi hubungan
terbalik antara kebutuhan manusia dengan sumber daya alam atau lingkungan.
Artinya, semakin banyak dan bervariasi kebutuhan manusia, maka kemampuan alam
untuk menyediakannya semakin terbatas. Disisi lain, dalam rangka
menyelenggarakan kebutuhannya, manusia melaksanakan usaha-usaha ekonomi dan
industri yang mau tidak mau membawa akibat sampingan berupa pencemaran atau
kontaminasi lingkungan.
Dalam
hal ini justru terjadi hubungan tegak
lurus antara kebutuhan manusia dengan pencemaran, dimana semakin banyak dan
bervariasi kebutuhan manusia yang dipenuhi lewat usaha industri, maka tingkat
pencemaran lingkungan dapat dipastikan semakin tinggi pula. Dan jika trend
tersebut berlangsung terus-menerus, pada suatu saat akan terjadi suatu keadaan dimana
pertumbuhan ekonomi tidak dapat ditingkatkan lagi, sementara kemampuan dan
kualitas lingkungan sulit untuk diperbaiki kembali. Inilah yang disebut dengan the limits to growth yang diperkenalkan
oleh Meadows (dalam Berry ,
et.al., 1993: 110).
Meadows membuat prediksi
jangka waktu 200 tahun (1900 – 2100), dan menyatakan bahwa pada masa-masa awal,
kondisi kependudukan, orde kebutuhan manusia serta aktivitas ekonomi dan
industri masih relatif rendah, sementara kondisi lingkungan berada dipuncak
ketangguhannya. Namun seiring dengan penambahan jumlah penduduk, dan tingkat
polusi yang melekat pada ekspansi kegiatan industri, maka kualitas dan daya
dukung (carrying capacity) lingkungan
menjadi sedemikian merosot, hingga pada akhirnya keseimbangan menjadi goyah dan
kurva sumber daya alam menjadi sangat merosot, bahkan sama sekali tidak mampu
lagi mendukung aktivitas kemanusiaan. Dengan modelnya tersebut, Meadows secara berani juga
memperkirakan bakal terjadinya kondisi gawat bagi penduduk dunia jika ekonomi
dunia dan pertumbuhan penduduk tidak segera dibatasi secara ketat.
Sebagai
salah satu upaya untuk mengatasi terjadinya the
limits to growth ini adalah perlu adanya capital investment untuk menahan laju pertumbuhan penduduk beserta
seluruh orde kebutuhannya, menekan polusi lingkungan sampai tingkat nihil,
serta mempertahankan kualitas dan daya dukung lingkungan (sumber daya alam)
secara lebih stabil. Jika hal ini bisa dilakukan, maka hasilnya adalah “era
baru” dimana terdapat stabilitas jumlah penduduk dan peningkatan kualitas hidup
manusia. Inilah anti tesa dari gagasan the
limits to growth yang sering disebut sebagai konsep the greening of the globe. Dalam konteks pembangunan di Indonesia ,
konsep the greening of the globe ini
dapat diidentikkan dengan konsep pembangunan berkelanjutan (sustainability development).
Perkembangan Paradigma Pembangunan
Pertanyaan
yang perlu dijawab sehubungan dengan adanya proses pembangunan yang melanggar
batas-batas dari daya dukung lingkungan adalah: mengapa hal itu dapat terjadi?
Tentu saja hal ini tidak dapat dilepaskan dari model atau paradigma pembangunan
yang dianut oleh suatu negara, khususnya di negara-negara sedang berkembang (developing countries).
Sebagaimana
kita ketahui, sudah menjadi “pola umum” bahwa pembangunan yang dijalankan di
negara-negara Dunia Ketiga (termasuk Indonesia ), sebagian besar
menerapkan model-model atau paradigma pertumbuhan. Paradigma ini secara nyata
telah berhasil mempercepat laju pertumbuhan ekonomi (LPE) di negara yang
bersangkutan, sehingga pada gilirannya akan meningkatkan taraf kesejahteraan
masyarakatnya.
Dalam
kaitannya dengan teori pembangunan, paradigma pertumbuhan ekonomi (economic growth) dianggap identik dengan
paradigma pembangunan itu sendiri. Artinya, pertumbuhan ekonomi yang tinggi
selalu dianggap sebagai indikator suksesnya pembangunan, dan sebaliknya
pembangunan dapat dikatakan gagal jika tidak mampu mencapai target pertumbuhan
ekonomi. Padahal jika diamati lebih lanjut, pada suatu titik kritis sering
muncul suatu “anomali pembangunan”, dimana tingkat pertumbuhan ekonomi yang
tinggi tidak identik dengan berkembangnya pembangunan. Hakikat dari anomali
pembangunan ini adalah terjadinya the
limits to growth seperti telah dijelaskan diatas. Terlebih lagi, paradigma
pertumbuhan ini ternyata tidak dapat menggambarkan tingkat kesejahteraan
masyarakat secara merata, melainkan hanya terbatas pada beberapa pengusaha
papan atas dan sebagian pejabat tinggi. Oleh karena itu, wajarlah jika
paradigma ini justru menimbulkan masalah sosial yang sangat berat yakni
kesenjangan sosial, yang pada gilirannya mengakibatkan adanya kecemburuan
sosial dan keresahan sosial.
Sehubungan
dengan hal tersebut diatas, maka paradigma pertumbuhan disempurnakan dengan
memperhatikan pemenuhan kebutuhan dasar (basic needs) bagi seluruh rakyat. Namun
kebutuhan dasar disini tidak identik dengan kebutuhan primer (sandang, pangan
dan papan), melainkan kebutuhan pokok sehari-hari dalam sembilan jenis
(sembako).
Selanjutnya,
paradigma basic needs juga dianggap
tidak memuaskan, sehingga digunakanlah paradigma pemerataan. Hal ini
terlihat sekali bahwa dalam Trilogi Pembangunan, pemerataan ditempatkan pada
urutan pertama. Namun permasalahannya, upaya menciptakan pemerataan sangat
sulit, sehingga kesenjangan sosial yang ada bukannya semakin berkurang, tetapi
semakin lebar. Hal ini diutarakan juga oleh Sagir (1992) yang mengatakan bahwa pengusaha besar yang memiliki
akses-akses ekonomi dalam bentuk modal, keahlian, keterampilan, monopoli,
teknologi, lobby dan sebagainya, peningkatan kesejahteraan atau pendapatannya
melesat sangat pesat seperti Chalenger. Sebaliknya, pengusaha kecil menengah
yang “serba tuna” (tuna keahlian, keterampilan, modal teknologi, tuna lobby dan
tuna monopoli), peningkatan kesejahteraannya tersendat-sendat seperti pesawat
Dakota. Dengan demikian, issu keadilan sangat menonjol dalam implementasi
paradigma pemerataan ini.
Meskipun
pembangunan harus berkeadilan, namun disadari bahwa pertumbuhan tetap penting.
Upaya memadukan konsep pertumbuhan dan pemerataan merupakan tantangan yang
jawabannya tidak henti-hentinya dicari dalam studi pembangunan. Sebuah model,
yang dinamakan pemerataan dengan pertumbuhan atau redistribution with growth (RWG) dikembangkan berdasarkan suatu
studi yang disponsori oleh bank dunia pada tahun 1974. Ide dasarnya adalah
pemerintah harus mempengaruhi pola pembangunan sedemikian rupa sehingga
produsen yang berpendapatan rendah akan mendapat kesempatan meningkatkan
pendapatan dan secara simultan menerima sumber ekonomi yang diperlukan.
Paradigma ini sendiri oleh Kartasamita
(1996) disebut sebagai paradigma pemberdayaan masyarakat.
Dari
berbagai paradigma pembangunan diatas, masalah lingkungan terlihat belum
diintegrasikan dengan kepentingan ekonomi, politik dan sosial. Artinya, saat ini
telah terjadi superordinasi manusia terhadap alam semesta, dimana alam
semata-mata dianggap sebagai asset potensial yang harus dipergunakan seoptimal
mungkin bagi kemajuan peradaban manusia. Dengan kata lain, alam mengalami
proses exploitation de ’lhomme par lhomme
baik secara ekonomis, sosial, maupun politik (Utomo, 1998: 1). Atau dapat dikatakan juga, bahwa sebagai suatu
konsep, pembangunan berkelanjutan (sustainability
development) seolah-olah berdiri sendiri. Dan inilah yang menjadikan tidak
seimbangnya kepentingan ekonomis politis dan sosial disatu pihak dengan
kepentingan ekologis dipihak lain.
Teori Ekonomi Publik Dalam Masalah Ekologi
Mekanisme
koordinasi dalam proses pemenuhan kebutuhan masyarakat, secara garis besar
dapat dibagi kedalam dua kelompok, yakni mekanisme
pasar (market mechanisme) dan mekanisme
pemerintah (state mechanism). Mekanisme pasar adalah suatu paham yang
menghendaki agar campur tangan pemerintah terhadap kehidupan ekonomi masyarakat
ditekan sekecil mungkin. Dengan mengandalkan pada prinsip laissez faire, mereka berpandangan bahwa berbagai urusan akan dapat
berjalan baik jika dibiarkan dengan sendirinya atau dikembalikan kepada hukum
pasar yakni tarik menarik antara permintaan dan penawaran. Akan tetapi
kenyataannya, mekanisme pasar ini sering menemui kegagalan (market failure), sehingga perlu campur
tangan dari pemerintah.
Pentingnya
peranan atau fungsi negara dalam penyelenggaraan kesejahteraan umum terutama
dalam sistem ekonomi ini, menurut Rachbini
(1994: 12-13) didasarkan paling tidak pada dua alasan. Pertama, timbulnya kegagalan pasar (market failure) dalam sistem ekonomi, membuka kemungkinan masuknya
peranan negara untuk mendorong terwujudnya mekanisme pasar yang efektif
sehingga kesejahteraan para pelaku ekonomi bisa tercapai secara lebih baik. Kedua, kenyataan terdapatnya kegagalan
distribusi pendapatan dan ketimpangan kesejahteraan masyarakat, sehingga
peranan pemerintah lebih tertuju untuk melakukan kebijakan redistribusi atau
pengalokasian kembali sumber-sumber ekonomi. Inilah dasar teoritis dari mazhab Welfare Economics yang menjadi basis
pembenaran terhadap intervensi pemerintah dalam kehidupan masyarakat. Cara yang
ditempuh pemerintah utuk melakukan intervensi ini adalah dengan mengeluarkan
peraturan (regulasi).
Dalam
konteks pembangunan lingkungan ekologis misalnya, kelompok masyarakat yang
menganut mekanisme pasar akan cenderung memproduksi barang dan jasa sebanyak
mungkin untuk memenuhi setiap permintaan pelanggan. Akibatnya, eksploitasi
bahan-bahan tambang, penebangan liar hutan dan pembuangan limbah secara
merajalela akan ditempuh asal dapat memuaskan kebutuhan pelanggan. Akan tetapi
dengan adanya campur tangan pemerintah, maka penebangan hutan dan pemanfaatan
kayu hanya diijinkan sepanjang perusahaan yang bersangkutan melakukan
peremajaan (reboisasi). Atau penambangan suatu barang tambang akan dilaksanakan
jika setelah dilakukan feasibility study
(AMDAL) ternyata cukup efisien dan profitable
serta tidak merusak lingkungan sekitarnya. Selain itu, bagi suatu perusahaan
yang melakukan pencemaran lingkungan dapat dikenakan sanksi dan atau hukuman
sesuai dengan peraturan yang ditetapkan.
Dengan
demikian jelaslah bahwa dalam persoalan ekologis, peranan pemerintah sangat
penting, khususnya dalam merumuskan atau menciptakan berbagai instrumen hukum
untuk menangkal kemungkinan timbulnya perusakan dan pencemaran oleh pihak-pihak
yang tidak bertanggungjawab. Atau dengan kata lain, pemerintah dituntut untuk
dapat merealisasikan konsep pembangunan berkelanjutan (sustainability development) secara konsekuen.
Penerapan Konsep Pembangunan Berkelanjutan
Menurut
Emil Salim (dalam Brata, ed., 1992: 3-4), pembangunan
berkelanjutan (sustainable development)
adalah suatu proses pembangunan yang mengoptimalkan manfaat dari sumber daya
alam dan sumber daya manusia, dengan menyerasikan sumber alam dan manusia dalam
pembangunan. Perlunya konsep pembangunan berkelanjutan ini didasari oleh lima ide pokok. Pertama, proses pembangunan mesti
berlangsung secara berlanjut, terus-menerus dan kontinyu, yang ditopang oleh
sumber alam, kualitas lingkungan dan manusia yang berkembang secara berlanjut
pula. Kedua, sumber alam – terutama
udara, air dan tanah – memiliki ambang batas, dimana penggunaannya akan
menciutkan kuantitas dan kualitasnya. Ketiga,
kualitas lingkungan berkorelasi langsung dengan kualitas hidup. Keempat, bahwa pola penggunaan sumber
alam saat ini mestinya tidak menutup kemungkinan memilih opsi atau pilihan lain
di masa depan. Dan kelima,
pembangunan berkelanjutan mengandaikan solidaritas transgenerasi, sehingga
kesejahteraan bagi generasi sekarang tidak mengurangi kemungkinan bagi generasi
selanjutnya untuk meningkatkan kesejahteraannya pula. Inilah prinsip utama yang
dianut dan dikembangkan oleh World Commision on Environment and Development.
Konsepsi
pembangunan berkelanjutan ini pada dasarnya merupakan reaksi dan koreksi
terhadap konsepsi pembangunan konvensional yang beranggapan bahwa alam memiliki
kemampuan tak terbatas dalam penyediaan ecological
endowments (sebagai ruang tempat kehidupan, tempat pembuangan limbah,
fungsi rekreasi dan estetika, dan sebagainya). Menurut paham konvensional ini,
antara pembangunan bidang ekonomi dan kelestarian merupakan dikotomi yang
terpisah satu sama lain. Padahal sesungguhnya, keduanya memiliki hubungan
sangat erat dan secara bersama-sama menjadi agenda nasional yang harus
diperhatikan oleh pemerintah dan masyarakat dalam suatu negara. Artinya, tanpa
disertai dengan perlindungan lingkungan secara memadai, pembangunan akan
kehilangan makna (undermined).
Sebaliknya, tanpa pembangunan, upaya perlindungan terhadap lingkungan akan
menemui kegagalan.
Untuk
dapat menjamin proses pembangunan dalam konteks keberlanjutan, perlu
diperhatikan beberapa faktor determinannya. Faktor-faktor itu adalah pertumbuhan
penduduk (population), kegiatan atau
ekspansi industri (industrial output per
capita), kebutuhan bahan-bahan konsumsi (food per capita), polusi, serta sumber daya dan daya dukung
lingkungan (resources); dimana
keseluruhan faktor tersebut dapat di- jelaskan dengan pendekatan the limits to growth seperti telah
disinggung diatas.
Pertumbuhan
penduduk yang tinggi merupakan faktor pangkal yang memicu perdebatan mengenai
pembangunan berkelanjutan akhir-akhir ini. Sebab, 4 milyar lebih penduduk dunia
dan 200 juta lebih penduduk Indonesia ini membutuhkan bahan makanan untuk
kelangsungan hidupnya, disamping kebutuhan-kebutuhan lain seperti perumahan,
sandang dan sebagainya. Keseluruhan kebutuhan manusia ini dapat dipenuhi dengan
memanfaatkan sumber-sumber daya yang dimiliki oleh alam. Oleh karena itu, dalam
hal ini terjadi hubungan terbalik
antara kebutuhan manusia dengan sumber daya alam atau lingkungan. Artinya,
semakin banyak dan bervariasi kebutuhan manusia, maka kemampuan alam untuk
menyediakannya semakin terbatas.
Disisi
lain, dalam rangka menyelenggarakan kebutuhannya, manusia melaksanakan
usaha-usaha ekonomi dan industri yang mau tidak mau membawa akibat sampingan
berupa pencemaran atau kontaminasi lingkungan. Dalam hal ini justru terjadi hubungan tegak lurus antara kebutuhan
manusia dengan pencemaran, dimana semakin banyak dan bervariasi kebutuhan
manusia yang dipenuhi lewat usaha industri, maka tingkat pencemaran lingkungan
dapat dipastikan semakin tinggi pula.
Dan
jika trend tersebut berlangsung terus-menerus, pada suatu saat akan terjadi
suatu keadaan dimana pertumbuhan ekonomi tidak dapat ditingkatkan lagi,
sementara kemampuan dan kualitas lingkungan sulit untuk diperbaiki kembali.
Inilah yang disebut dengan the limits to
growth yang diperkenalkan oleh Meadows
(dalam Berry , et.al., 1993: 110).
Sementara
konsepsi the greening of the globe mengandaikan
sebaliknya dari konsepsi the limits to
growth. Dalam konsepsi yang dikemukakan oleh Boyd (dalam Berry ,
et.al., 1993: 111) dan merupakan modifikasi dari model Meadows ini, masa depan manusia hendaknya dikendalikan oleh
teknologi. Artinya, diperlukan adanya capital
investment untuk menahan laju pertumbuhan penduduk, menekan polusi
lingkungan sampai tingkat nihil, serta mempertahankan kualitas dan daya dukung
lingkungan (sumber daya alam) secara lebih stabil. Jika hal ini bisa dilakukan,
maka hasilnya adalah “era baru” dimana terdapat stabilitas jumlah penduduk dan
peningkatan kualitas hidup manusia. Dan pada gagasan the greening of the globe ini diharapkan tidak terjadi limits to growth. Inilah hakikat dari
pembangunan berkelanjutan, dimana terjadi keseimbangan antara kepentingan
ekonomis dengan kelestarian ekologis.
Catatan Penutup
Konsep
the limits to growth disatu sisi dan
konsep sustainability development
disisi lain sesungguhnya menandakan bahwa alam memang memiliki hukumnya sendiri
yang tidak bisa dilanggar oleh manusia. Hal ini berarti bahwa pada suatu titik,
alam akan mengeluarkan peringatan, teguran maupun hukuman kepada manusia.
Berbagai peristiwa bencana alam seperti kekeringan, banjir, longsor, kebakaran
hutan, penipisan lapisan ozon, dan sebagainya dapat ditunjuk sebagai aksi
resistensi alam terhadap eksploitasi yang dilakukan umat manusia terhadapnya.
Sehubungan
dengan hal diatas, maka suatu kesadaran bahwa manusia dan alam merupakan dua
dunia yang hidup bersama-sama secara harmonis, perlu lebih ditanamkan kepada
generasi sekarang maupun yang akan datang. Dengan cara demikian, maka
diharapkan pembangunan ekonomis yang memanfaatkan jasa dan daya dukung alam,
tidak akan menimbulkan kerusakan secara ekologis. Dan ini berarti bahwa
pembangunan akan lebih dapat dinikmati.
Daftar
Pustaka
Berry, Brian J.L.,
Edgar C. Conkling and D. Michael Ray, The
Global Economy: Resource Use, Locational Choice and International Trade,
New Jersey: Prentice Hall, 1993.
Brata, Suwandi S.,
(ed.), Pembangunan Berkelanjutan: Mencari
Format Politik, Jakarta: Gramedia, 1992
Djojohadikusumo, Sumitro , Indonesia Dalam Perkembangan Dunia: Kini dan Masa
Datang, Jakarta: LP3ES, Cet. Kelima, 1981
Kartasasmita,
Ginandjar, Pembangunan Untuk Rakyat:
Memadukan Pertumbuhan dan Pemerataan, Jakarta: CIDES, 1996.
_____________,
Administrasi Pembangunan, Jakarta:
LP3ES, 1997.
Rachbini,
Didik J., Teori Tentang Birokrasi dan
Peranan Negara Dalam Sistem Ekonomi, Diktat Kuliah “Ekonomi Politik”,
Jakarta: FISIP UI, 1994
Sagir, Soeharsono, Strategi Pembangunan Ekonomi yang
Berkeadilan (Pengembangan Pemikiran Tentang Trilogi Pembangunan), makalah
pada Sarasehan Pokok-pokok Pikiran Golkar untuk GBHN 1993, Padang, 7 Februari
1992.
Utomo, Tri Widodo
Wahyu, Konsep Ekososialisme dan
Ekopolitik: Sebuah Distorsi Ekologis?, Makalah pada Program Pascasarjana
BKU Kebijakan Publik LAN – UNPAD, 1998
Tidak ada komentar:
Posting Komentar