Senin, 02 Agustus 2010

Keseimbangan Kepentingan Ekonomis dan Ekologis dalam Menunjang Kebijakan Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable Development)


Pengantar


Dalam rangka pemenuhan berbagai macam kebutuhannya, manusia menyelenggarakan suatu kegiatan yang disebut dengan pembangunan. Dengan pembangunan ini, manusia mencoba untuk mengoptimalkan dan memanfaatkan seluruh potensi dan sumber daya alam, kemudian memberikan berbagai nilai tambah atas pemanfaatan sumber daya tersebut, sehingga pada gilirannya kepuasan manusia dapat tercapai secara optimal pula.

Namun, satu hal yang seringkali dilupakan oleh manusia adalah bahwa alam dan seisinya semakin lama semakin berkurang daya dukungnya, sehingga eksploitasi lingkungan yang didasarkan pada kepentingan ekonomis semata, pada suatu ketika akan menyebabkan tergangunya keseimbangan ekologis. Kondisi seperti inilah yang menurut Djojohadikusumo (1981: 60) disebut sebagai “krisis lingkungan”, yakni gejala akibat kesalahan atau kekurangan dalam pola dan cara pengelolaan sumber kebutuhan hidup manusia. Gejala-gejala tersebut dianggap sebagai tekanan krisis yang membahayakan kelangsungan hidup manusia, seperti ancaman terhadap kejernihan udara dan sumber air, terhadap bahan-bahan makanan, terhadap kelangsungan produktivitas kekayaan alam flora dan fauna, dan sebagainya.

Dan apabila kekuatan ekologis ini telah sedemikian melemah, maka kesejahteraan yang dicapai manusia menjadi tidak bermakna. Sebab, kesejahteraan tadi harus dibayar dengan recovery cost untuk memulihkan dan menjaga kelestarian lingkungan – dan bahkan social cost yang sulit dihitung tingkat kerugiannya. Dengan kata lain, trade off yang ditimbulkan dari proses pembangunan sangat tidak seimbang dengan tingkat kemakmuran ekonomis yang diraihnya.

Atas dasar pemikiran demikian, maka dalam kajian singkat ini akan dilakukan pembahasan mengenai perimbangan atau hubungan timbal balik antara pertimbangan ekonomi (dan politik) di satu pihak, dengan kepentingan ekologi (dan tata lingkungan) di lain pihak. Adapun sistematikanya akan dimulai dengan pembahasan tentang batas-batas pertumbuhan dan kaitannya dengan daya dukung lingkungan, perkembangan paradigma pembangunan, masalah eksternalitas pembangunan, serta kelestarian ekologis dan pembangunan berkelanjutan. Pada akhir kajian, akan disertai dengan cacatan penutup.


Lingkungan dan Batas-Batas Pertumbuhan

Apa yang dikemukakan diatas sesungguhnya menggambarkan bahwa proses pembangunan seringkali menimbulkan dampak yang tidak diinginkan. Dengan kata lain, pembangunan selalu memunculkan paradoks, yang salah satunya adalah makin berkurangnya kualitas dan daya dukung (carrying capacity) lingkungan. Sebab, keseluruhan kebutuhan manusia tidak dapat dipenuhi dengan memanfaatkan sumber-sumber daya yang dimiliki oleh alam. Oleh karena itu, dalam hal ini terjadi hubungan terbalik antara kebutuhan manusia dengan sumber daya alam atau lingkungan. Artinya, semakin banyak dan bervariasi kebutuhan manusia, maka kemampuan alam untuk menyediakannya semakin terbatas. Disisi lain, dalam rangka menyelenggarakan kebutuhannya, manusia melaksanakan usaha-usaha ekonomi dan industri yang mau tidak mau membawa akibat sampingan berupa pencemaran atau kontaminasi lingkungan.

Dalam hal ini justru terjadi hubungan tegak lurus antara kebutuhan manusia dengan pencemaran, dimana semakin banyak dan bervariasi kebutuhan manusia yang dipenuhi lewat usaha industri, maka tingkat pencemaran lingkungan dapat dipastikan semakin tinggi pula. Dan jika trend tersebut berlangsung terus-menerus, pada suatu saat akan terjadi suatu keadaan dimana pertumbuhan ekonomi tidak dapat ditingkatkan lagi, sementara kemampuan dan kualitas lingkungan sulit untuk diperbaiki kembali. Inilah yang disebut dengan the limits to growth yang diperkenalkan oleh Meadows (dalam Berry, et.al., 1993: 110).

Meadows membuat prediksi jangka waktu 200 tahun (1900 – 2100), dan menyatakan bahwa pada masa-masa awal, kondisi kependudukan, orde kebutuhan manusia serta aktivitas ekonomi dan industri masih relatif rendah, sementara kondisi lingkungan berada dipuncak ketangguhannya. Namun seiring dengan penambahan jumlah penduduk, dan tingkat polusi yang melekat pada ekspansi kegiatan industri, maka kualitas dan daya dukung (carrying capacity) lingkungan menjadi sedemikian merosot, hingga pada akhirnya keseimbangan menjadi goyah dan kurva sumber daya alam menjadi sangat merosot, bahkan sama sekali tidak mampu lagi mendukung aktivitas kemanusiaan. Dengan modelnya tersebut, Meadows secara berani juga memperkirakan bakal terjadinya kondisi gawat bagi penduduk dunia jika ekonomi dunia dan pertumbuhan penduduk tidak segera dibatasi secara ketat.

Sebagai salah satu upaya untuk mengatasi terjadinya the limits to growth ini adalah perlu adanya capital investment untuk menahan laju pertumbuhan penduduk beserta seluruh orde kebutuhannya, menekan polusi lingkungan sampai tingkat nihil, serta mempertahankan kualitas dan daya dukung lingkungan (sumber daya alam) secara lebih stabil. Jika hal ini bisa dilakukan, maka hasilnya adalah “era baru” dimana terdapat stabilitas jumlah penduduk dan peningkatan kualitas hidup manusia. Inilah anti tesa dari gagasan the limits to growth yang sering disebut sebagai konsep the greening of the globe. Dalam konteks pembangunan di Indonesia, konsep the greening of the globe ini dapat diidentikkan dengan konsep pembangunan berkelanjutan (sustainability development).


Perkembangan Paradigma Pembangunan


Pertanyaan yang perlu dijawab sehubungan dengan adanya proses pembangunan yang melanggar batas-batas dari daya dukung lingkungan adalah: mengapa hal itu dapat terjadi? Tentu saja hal ini tidak dapat dilepaskan dari model atau paradigma pembangunan yang dianut oleh suatu negara, khususnya di negara-negara sedang berkembang (developing countries).

Sebagaimana kita ketahui, sudah menjadi “pola umum” bahwa pembangunan yang dijalankan di negara-negara Dunia Ketiga (termasuk Indonesia), sebagian besar menerapkan model-model atau paradigma pertumbuhan. Paradigma ini secara nyata telah berhasil mempercepat laju pertumbuhan ekonomi (LPE) di negara yang bersangkutan, sehingga pada gilirannya akan meningkatkan taraf kesejahteraan masyarakatnya.

Dalam kaitannya dengan teori pembangunan, paradigma pertumbuhan ekonomi (economic growth) dianggap identik dengan paradigma pembangunan itu sendiri. Artinya, pertumbuhan ekonomi yang tinggi selalu dianggap sebagai indikator suksesnya pembangunan, dan sebaliknya pembangunan dapat dikatakan gagal jika tidak mampu mencapai target pertumbuhan ekonomi. Padahal jika diamati lebih lanjut, pada suatu titik kritis sering muncul suatu “anomali pembangunan”, dimana tingkat pertumbuhan ekonomi yang tinggi tidak identik dengan berkembangnya pembangunan. Hakikat dari anomali pembangunan ini adalah terjadinya the limits to growth seperti telah dijelaskan diatas. Terlebih lagi, paradigma pertumbuhan ini ternyata tidak dapat menggambarkan tingkat kesejahteraan masyarakat secara merata, melainkan hanya terbatas pada beberapa pengusaha papan atas dan sebagian pejabat tinggi. Oleh karena itu, wajarlah jika paradigma ini justru menimbulkan masalah sosial yang sangat berat yakni kesenjangan sosial, yang pada gilirannya mengakibatkan adanya kecemburuan sosial dan keresahan sosial.

Sehubungan dengan hal tersebut diatas, maka paradigma pertumbuhan disempurnakan dengan memperhatikan pemenuhan kebutuhan dasar (basic needs) bagi seluruh rakyat. Namun kebutuhan dasar disini tidak identik dengan kebutuhan primer (sandang, pangan dan papan), melainkan kebutuhan pokok sehari-hari dalam sembilan jenis (sembako).

Selanjutnya, paradigma basic needs juga dianggap tidak memuaskan, sehingga digunakanlah paradigma pemerataan. Hal ini terlihat sekali bahwa dalam Trilogi Pembangunan, pemerataan ditempatkan pada urutan pertama. Namun permasalahannya, upaya menciptakan pemerataan sangat sulit, sehingga kesenjangan sosial yang ada bukannya semakin berkurang, tetapi semakin lebar. Hal ini diutarakan juga oleh Sagir (1992) yang mengatakan bahwa pengusaha besar yang memiliki akses-akses ekonomi dalam bentuk modal, keahlian, keterampilan, monopoli, teknologi, lobby dan sebagainya, peningkatan kesejahteraan atau pendapatannya melesat sangat pesat seperti Chalenger. Sebaliknya, pengusaha kecil menengah yang “serba tuna” (tuna keahlian, keterampilan, modal teknologi, tuna lobby dan tuna monopoli), peningkatan kesejahteraannya tersendat-sendat seperti pesawat Dakota. Dengan demikian, issu keadilan sangat menonjol dalam implementasi paradigma pemerataan ini.

Meskipun pembangunan harus berkeadilan, namun disadari bahwa pertumbuhan tetap penting. Upaya memadukan konsep pertumbuhan dan pemerataan merupakan tantangan yang jawabannya tidak henti-hentinya dicari dalam studi pembangunan. Sebuah model, yang dinamakan pemerataan dengan pertumbuhan atau redistribution with growth (RWG) dikembangkan berdasarkan suatu studi yang disponsori oleh bank dunia pada tahun 1974. Ide dasarnya adalah pemerintah harus mempengaruhi pola pembangunan sedemikian rupa sehingga produsen yang berpendapatan rendah akan mendapat kesempatan meningkatkan pendapatan dan secara simultan menerima sumber ekonomi yang diperlukan. Paradigma ini sendiri oleh Kartasamita (1996) disebut sebagai paradigma pemberdayaan masyarakat.

Dari berbagai paradigma pembangunan diatas, masalah lingkungan terlihat belum diintegrasikan dengan kepentingan ekonomi, politik dan sosial. Artinya, saat ini telah terjadi superordinasi manusia terhadap alam semesta, dimana alam semata-mata dianggap sebagai asset potensial yang harus dipergunakan seoptimal mungkin bagi kemajuan peradaban manusia. Dengan kata lain, alam mengalami proses exploitation de ’lhomme par lhomme baik secara ekonomis, sosial, maupun politik (Utomo, 1998: 1). Atau dapat dikatakan juga, bahwa sebagai suatu konsep, pembangunan berkelanjutan (sustainability development) seolah-olah berdiri sendiri. Dan inilah yang menjadikan tidak seimbangnya kepentingan ekonomis politis dan sosial disatu pihak dengan kepentingan ekologis dipihak lain.


Teori Ekonomi Publik Dalam Masalah Ekologi


Mekanisme koordinasi dalam proses pemenuhan kebutuhan masyarakat, secara garis besar dapat dibagi kedalam dua kelompok, yakni mekanisme pasar (market mechanisme) dan mekanisme pemerintah (state mechanism). Mekanisme pasar adalah suatu paham yang menghendaki agar campur tangan pemerintah terhadap kehidupan ekonomi masyarakat ditekan sekecil mungkin. Dengan mengandalkan pada prinsip laissez faire, mereka berpandangan bahwa berbagai urusan akan dapat berjalan baik jika dibiarkan dengan sendirinya atau dikembalikan kepada hukum pasar yakni tarik menarik antara permintaan dan penawaran. Akan tetapi kenyataannya, mekanisme pasar ini sering menemui kegagalan (market failure), sehingga perlu campur tangan dari pemerintah.

Pentingnya peranan atau fungsi negara dalam penyelenggaraan kesejahteraan umum terutama dalam sistem ekonomi ini, menurut Rachbini (1994: 12-13) didasarkan paling tidak pada dua alasan. Pertama, timbulnya kegagalan pasar (market failure) dalam sistem ekonomi, membuka kemungkinan masuknya peranan negara untuk mendorong terwujudnya mekanisme pasar yang efektif sehingga kesejahteraan para pelaku ekonomi bisa tercapai secara lebih baik. Kedua, kenyataan terdapatnya kegagalan distribusi pendapatan dan ketimpangan kesejahteraan masyarakat, sehingga peranan pemerintah lebih tertuju untuk melakukan kebijakan redistribusi atau pengalokasian kembali sumber-sumber ekonomi. Inilah dasar teoritis dari mazhab Welfare Economics yang menjadi basis pembenaran terhadap intervensi pemerintah dalam kehidupan masyarakat. Cara yang ditempuh pemerintah utuk melakukan intervensi ini adalah dengan mengeluarkan peraturan (regulasi).

Dalam konteks pembangunan lingkungan ekologis misalnya, kelompok masyarakat yang menganut mekanisme pasar akan cenderung memproduksi barang dan jasa sebanyak mungkin untuk memenuhi setiap permintaan pelanggan. Akibatnya, eksploitasi bahan-bahan tambang, penebangan liar hutan dan pembuangan limbah secara merajalela akan ditempuh asal dapat memuaskan kebutuhan pelanggan. Akan tetapi dengan adanya campur tangan pemerintah, maka penebangan hutan dan pemanfaatan kayu hanya diijinkan sepanjang perusahaan yang bersangkutan melakukan peremajaan (reboisasi). Atau penambangan suatu barang tambang akan dilaksanakan jika setelah dilakukan feasibility study (AMDAL) ternyata cukup efisien dan profitable serta tidak merusak lingkungan sekitarnya. Selain itu, bagi suatu perusahaan yang melakukan pencemaran lingkungan dapat dikenakan sanksi dan atau hukuman sesuai dengan peraturan yang ditetapkan.

Dengan demikian jelaslah bahwa dalam persoalan ekologis, peranan pemerintah sangat penting, khususnya dalam merumuskan atau menciptakan berbagai instrumen hukum untuk menangkal kemungkinan timbulnya perusakan dan pencemaran oleh pihak-pihak yang tidak bertanggungjawab. Atau dengan kata lain, pemerintah dituntut untuk dapat merealisasikan konsep pembangunan berkelanjutan (sustainability development) secara konsekuen.

Penerapan Konsep Pembangunan Berkelanjutan


Menurut Emil Salim (dalam Brata, ed., 1992: 3-4), pembangunan berkelanjutan (sustainable development) adalah suatu proses pembangunan yang mengoptimalkan manfaat dari sumber daya alam dan sumber daya manusia, dengan menyerasikan sumber alam dan manusia dalam pembangunan. Perlunya konsep pembangunan berkelanjutan ini didasari oleh lima ide pokok. Pertama, proses pembangunan mesti berlangsung secara berlanjut, terus-menerus dan kontinyu, yang ditopang oleh sumber alam, kualitas lingkungan dan manusia yang berkembang secara berlanjut pula. Kedua, sumber alam – terutama udara, air dan tanah – memiliki ambang batas, dimana penggunaannya akan menciutkan kuantitas dan kualitasnya. Ketiga, kualitas lingkungan berkorelasi langsung dengan kualitas hidup. Keempat, bahwa pola penggunaan sumber alam saat ini mestinya tidak menutup kemungkinan memilih opsi atau pilihan lain di masa depan. Dan kelima, pembangunan berkelanjutan mengandaikan solidaritas transgenerasi, sehingga kesejahteraan bagi generasi sekarang tidak mengurangi kemungkinan bagi generasi selanjutnya untuk meningkatkan kesejahteraannya pula. Inilah prinsip utama yang dianut dan dikembangkan oleh World Commision on Environment and Development.

Konsepsi pembangunan berkelanjutan ini pada dasarnya merupakan reaksi dan koreksi terhadap konsepsi pembangunan konvensional yang beranggapan bahwa alam memiliki kemampuan tak terbatas dalam penyediaan ecological endowments (sebagai ruang tempat kehidupan, tempat pembuangan limbah, fungsi rekreasi dan estetika, dan sebagainya). Menurut paham konvensional ini, antara pembangunan bidang ekonomi dan kelestarian merupakan dikotomi yang terpisah satu sama lain. Padahal sesungguhnya, keduanya memiliki hubungan sangat erat dan secara bersama-sama menjadi agenda nasional yang harus diperhatikan oleh pemerintah dan masyarakat dalam suatu negara. Artinya, tanpa disertai dengan perlindungan lingkungan secara memadai, pembangunan akan kehilangan makna (undermined). Sebaliknya, tanpa pembangunan, upaya perlindungan terhadap lingkungan akan menemui kegagalan.

Untuk dapat menjamin proses pembangunan dalam konteks keberlanjutan, perlu diperhatikan beberapa faktor determinannya. Faktor-faktor itu adalah pertumbuhan penduduk (population), kegiatan atau ekspansi industri (industrial output per capita), kebutuhan bahan-bahan konsumsi (food per capita), polusi, serta sumber daya dan daya dukung lingkungan (resources); dimana keseluruhan faktor tersebut dapat di- jelaskan dengan pendekatan the limits to growth seperti telah disinggung diatas.

Pertumbuhan penduduk yang tinggi merupakan faktor pangkal yang memicu perdebatan mengenai pembangunan berkelanjutan akhir-akhir ini. Sebab, 4 milyar lebih penduduk dunia dan 200 juta lebih penduduk Indonesia ini membutuhkan bahan makanan untuk kelangsungan hidupnya, disamping kebutuhan-kebutuhan lain seperti perumahan, sandang dan sebagainya. Keseluruhan kebutuhan manusia ini dapat dipenuhi dengan memanfaatkan sumber-sumber daya yang dimiliki oleh alam. Oleh karena itu, dalam hal ini terjadi hubungan terbalik antara kebutuhan manusia dengan sumber daya alam atau lingkungan. Artinya, semakin banyak dan bervariasi kebutuhan manusia, maka kemampuan alam untuk menyediakannya semakin terbatas.

Disisi lain, dalam rangka menyelenggarakan kebutuhannya, manusia melaksanakan usaha-usaha ekonomi dan industri yang mau tidak mau membawa akibat sampingan berupa pencemaran atau kontaminasi lingkungan. Dalam hal ini justru terjadi hubungan tegak lurus antara kebutuhan manusia dengan pencemaran, dimana semakin banyak dan bervariasi kebutuhan manusia yang dipenuhi lewat usaha industri, maka tingkat pencemaran lingkungan dapat dipastikan semakin tinggi pula.

Dan jika trend tersebut berlangsung terus-menerus, pada suatu saat akan terjadi suatu keadaan dimana pertumbuhan ekonomi tidak dapat ditingkatkan lagi, sementara kemampuan dan kualitas lingkungan sulit untuk diperbaiki kembali. Inilah yang disebut dengan the limits to growth yang diperkenalkan oleh Meadows (dalam Berry, et.al., 1993: 110).

Sementara konsepsi the greening of the globe mengandaikan sebaliknya dari konsepsi the limits to growth. Dalam konsepsi yang dikemukakan oleh Boyd (dalam Berry, et.al., 1993: 111) dan merupakan modifikasi dari model Meadows ini, masa depan manusia hendaknya dikendalikan oleh teknologi. Artinya, diperlukan adanya capital investment untuk menahan laju pertumbuhan penduduk, menekan polusi lingkungan sampai tingkat nihil, serta mempertahankan kualitas dan daya dukung lingkungan (sumber daya alam) secara lebih stabil. Jika hal ini bisa dilakukan, maka hasilnya adalah “era baru” dimana terdapat stabilitas jumlah penduduk dan peningkatan kualitas hidup manusia. Dan pada gagasan the greening of the globe ini diharapkan tidak terjadi limits to growth. Inilah hakikat dari pembangunan berkelanjutan, dimana terjadi keseimbangan antara kepentingan ekonomis dengan kelestarian ekologis.


Catatan Penutup


Konsep the limits to growth disatu sisi dan konsep sustainability development disisi lain sesungguhnya menandakan bahwa alam memang memiliki hukumnya sendiri yang tidak bisa dilanggar oleh manusia. Hal ini berarti bahwa pada suatu titik, alam akan mengeluarkan peringatan, teguran maupun hukuman kepada manusia. Berbagai peristiwa bencana alam seperti kekeringan, banjir, longsor, kebakaran hutan, penipisan lapisan ozon, dan sebagainya dapat ditunjuk sebagai aksi resistensi alam terhadap eksploitasi yang dilakukan umat manusia terhadapnya.

Sehubungan dengan hal diatas, maka suatu kesadaran bahwa manusia dan alam merupakan dua dunia yang hidup bersama-sama secara harmonis, perlu lebih ditanamkan kepada generasi sekarang maupun yang akan datang. Dengan cara demikian, maka diharapkan pembangunan ekonomis yang memanfaatkan jasa dan daya dukung alam, tidak akan menimbulkan kerusakan secara ekologis. Dan ini berarti bahwa pembangunan akan lebih dapat dinikmati.


Daftar Pustaka

Berry, Brian J.L., Edgar C. Conkling and D. Michael Ray, The Global Economy: Resource Use, Locational Choice and International Trade, New Jersey: Prentice Hall, 1993.
Brata, Suwandi S., (ed.), Pembangunan Berkelanjutan: Mencari Format Politik, Jakarta: Gramedia, 1992
Djojohadikusumo, Sumitro, Indonesia Dalam Perkembangan Dunia: Kini dan Masa Datang, Jakarta: LP3ES, Cet. Kelima, 1981
Kartasasmita, Ginandjar, Pembangunan Untuk Rakyat: Memadukan Pertumbuhan dan Pemerataan, Jakarta: CIDES, 1996.
_____________, Administrasi Pembangunan, Jakarta: LP3ES, 1997.
Rachbini, Didik J., Teori Tentang Birokrasi dan Peranan Negara Dalam Sistem Ekonomi, Diktat Kuliah “Ekonomi Politik”, Jakarta: FISIP UI, 1994
Sagir, Soeharsono, Strategi Pembangunan Ekonomi yang Berkeadilan (Pengembangan Pemikiran Tentang Trilogi Pembangunan), makalah pada Sarasehan Pokok-pokok Pikiran Golkar untuk GBHN 1993, Padang, 7 Februari 1992.
Utomo, Tri Widodo Wahyu, Konsep Ekososialisme dan Ekopolitik: Sebuah Distorsi Ekologis?, Makalah pada Program Pascasarjana BKU Kebijakan Publik LAN – UNPAD, 1998

Tidak ada komentar: