Gadjah Mada, selama ini kita kenal sebagai seorang negarawan yang ulung dan
bijaksana, seorang politikus yang cakap, tangguh dan penuh dedikasi, serta
seorang mahapatih yang jujur, berbakti dan bertanggung jawab. Dia adalah sosok
pemimpin yang tiada duanya. Namun apabila kita pelajari sejarah lebih mendalam,
akan diperoleh suatu gejala bahwa dalam mencapai ambisi atau cita-cita
politiknya, Gadjah Mada kadangkala mengorbankan kepentingan dan kesenangan
orang lain, termasuk rajanya. Tulisan ini bukanlah bermaksud mencari
keburukan-keburukan atau kesalahan-kesalahan Gadjah Mada, tetapi diusahakan
tercapainya kenyataan historis, kebenaran yang bernilai sejarah, tanpa
dipengaruhi oleh unsur-unsur subyektivitas.
Masa Pemerintahan Jayanegara (1309 - 1328 M)
Dalam buku karya Prof. Dr. Slametmulyana berjudul Menuju Puncak Kemegahan
dan dalam beberapa buku lain, dijelaskan bahwa Jayanegara adalah seorang raja
yang lemah, memiliki perilaku atau kelakuan kurang baik, serta sering menderita
sakit. Oleh karena itulah pada masa kepemimpinannya banyak terjadi
pemberontakan, seperti yang dilakukan oleh Nambi pada tahun 1316, Kuti tahun
1319 serta peristiwa Tanca yang mengakhiri hidup Jayanegara.
Jayanegara, sebenarnya bukan anak yang lahir dari permaisuri. Ibunya adalah
Dyah Dara Petak, puteri Melayu yang dijadikan isteri oleh Kertarajasa (nama
lain Raden Wijaya). Akan tetapi karena puteri ini lebih pandai mengambil hati
Kertarajasa dibanding isteri-isterinya terdahulu yaitu Tribuwanatunggadewi dan
Gayatri, maka Dara Petak dijadikan isteri yang dituakan (stri tinuheng pura).
Sikap Jayanegara terhadap Tribuwanatunggadewi Jayawisnuwardhani (anak
Tribuwana) dan Rajadewi Maharajasa (anak Gayatri), sangatlah tidak senonoh.
Kedua puteri ini tidak diijinkan kawin, karena Jayanegara bermaksud untuk
mengawini mereka berdua. Ditambah lagi dengan kondisinya yang sakit-sakitan,
menyebabkan Jayanegara dijuluki atau diparabi Kala Gemet yang berarti penjahat
yang lemah. Gadjah Mada sebagai bawahanpun tidak menyukai sifat-sifat
junjungannya. Dari paraban yang diberikan kepadanya, jelas bahwa banyak rakyat
yang tidak menghormati, bahkan membenci raja mereka yang berasal dari keturunan
Melayu.
Secara politis, dilarangnya puteri-puteri cucu Kertanegara (bapak mertua
Raden Wijaya) untuk kawin, mempunyai tujuan agar keturunan Melayu tetap
berkuasa atas tahta Majapahit. Disamping itu adalah untuk menjaga kemungkinan terjadinya
perebutan kekuasaan oleh keturunan Tribuwana atau Gayatri.
Telah disebutkan diatas bahwa pada masa pemerintahan Kala Gemet banyak
sekali bermunculan kekacauan sebagai wujud protes atas kepemimpinannya yang
lemah. Menurut Slametmulyana, rentetan peristiwa tersebut harus ditafsirkan
sebagai akibat ketidakpuasan para punggawa raja terhadap rajanya. Selain itu,
sikapnya yang kurang terpuji terhadap Tribuwanatunggadewi dan Rajadewi, menyulut
pula terjadinya berbagai bentuk "perlawanan". Sikapnya yang tidak
menghargai tata susial, selain diketahui sendiri oleh Gadjah Mada, juga isteri
Tanca yang kemudian menyebarluaskan kepada orang lain.
Gadjah Mada yang diam-diam memihak kepada puteri keturunan Kertanegara,
membakar hati Dharmaputra Tanca, sehingga kebenciannya kepada Kala Gemet
menjadi meluap. Dan ketika raja sakit bisul, dipanggillah Tanca untuk
mengobatinya. Kesempatan itu dipergunakan sebaik-baiknya oleh Tanca untuk
membedah bisul (baca: membunuh) Jayanegara, dan berhasil. Gadjah Mada yang
mengatur semua "skenarionya", sehingga sudah memperkirakan hal ini,
segera membunuh Tanca.
Pembunuhan yang serta merta ini mengandung kesan bahwa Gadjah Mada berhasil
menangkap dan kemudian membunuh pembunuh Raja, sehingga dia mendapat simpati
para pengikut Jayanegara. Disamping itu, peran yang dipegangnya sejak
mempengaruhi Tanca untuk membenci raja hingga kematiannya, tidak akan diketahui
orang lain. Terkuburlah rahasia bahwa sebenarnya Gadjah Mada ikut bermain dalam
kasus tersebut.
Untuk menggantikan kedudukan Jayanegara, diangkatlah Bhre Kahuripan
(Tribuwanatunggadewi Jayawisnuwardhani) dan Bhre Daha (Rajadewi Maharajasa).
Kebijaksanaannya ini menimbulkan kesan yang baik sekali dikalangan rakyat dan
para bangsawan, yang tidak suka melihat keturunan Melayu memerintah di
Majapahit.
Tindakan Gadjah Mada ini benar-benar merupakan cerminan tindakan seorang
politikus tangguh yang tiada bandingannya. Dia dapat menyelesaikan masalah yang
begitu besar dengan sangat memuaskan, tanpa menimbulkan pertikaian atau
perpecahan antara antara pengikut Jayanegara disatu pihak dengan pengikut
Tribuwanatunggadewi dan Rajadewi dilain pihak. Sekaligus pula Gadjah Mada
berhasil mengembalikan tahta Majapahit kepada orang yang betul-betul berhak
untuk itu.
Sikapnya yang bijaksana ini antara lain kita temui juga sewaktu dia
ditawari jabatan Patih Amangkubumi oleh Aria Tadah yang waktu itu masih
menjabat sebagai Patih Amangkubumi. Gadjah Mada menolak dengan halus, meskipun
jabatan itu sebenarnya memang cocok untuk dia. Ini dilakukannya karena tidak
ingin menyakiti hati orang lain dengan menduduki jabatannya. Disini dia
menghindari kemungkinan terjadinya perebutan jabatan yang berarti pecahnya
persatuan. Kalau ini terjadi, berarti dia tidak konsekuen dengan tujuannya yang
ingin menggalang persatuan diseluruh wilayah Nusantara dan sekitarnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar