Senin, 02 Agustus 2010

Gadjah Mada dan Ambisi Politiknya


Gadjah Mada, selama ini kita kenal sebagai seorang negarawan yang ulung dan bijaksana, seorang politikus yang cakap, tangguh dan penuh dedikasi, serta seorang mahapatih yang jujur, berbakti dan bertanggung jawab. Dia adalah sosok pemimpin yang tiada duanya. Namun apabila kita pelajari sejarah lebih mendalam, akan diperoleh suatu gejala bahwa dalam mencapai ambisi atau cita-cita politiknya, Gadjah Mada kadangkala mengorbankan kepentingan dan kesenangan orang lain, termasuk rajanya. Tulisan ini bukanlah bermaksud mencari keburukan-keburukan atau kesalahan-kesalahan Gadjah Mada, tetapi diusahakan tercapainya kenyataan historis, kebenaran yang bernilai sejarah, tanpa dipengaruhi oleh unsur-unsur subyektivitas.

Masa Pemerintahan Jayanegara (1309 - 1328 M)

Dalam buku karya Prof. Dr. Slametmulyana berjudul Menuju Puncak Kemegahan dan dalam beberapa buku lain, dijelaskan bahwa Jayanegara adalah seorang raja yang lemah, memiliki perilaku atau kelakuan kurang baik, serta sering menderita sakit. Oleh karena itulah pada masa kepemimpinannya banyak terjadi pemberontakan, seperti yang dilakukan oleh Nambi pada tahun 1316, Kuti tahun 1319 serta peristiwa Tanca yang mengakhiri hidup Jayanegara.

Jayanegara, sebenarnya bukan anak yang lahir dari permaisuri. Ibunya adalah Dyah Dara Petak, puteri Melayu yang dijadikan isteri oleh Kertarajasa (nama lain Raden Wijaya). Akan tetapi karena puteri ini lebih pandai mengambil hati Kertarajasa dibanding isteri-isterinya terdahulu yaitu Tribuwanatunggadewi dan Gayatri, maka Dara Petak dijadikan isteri yang dituakan (stri tinuheng pura).

Sikap Jayanegara terhadap Tribuwanatunggadewi Jayawisnuwardhani (anak Tribuwana) dan Rajadewi Maharajasa (anak Gayatri), sangatlah tidak senonoh. Kedua puteri ini tidak diijinkan kawin, karena Jayanegara bermaksud untuk mengawini mereka berdua. Ditambah lagi dengan kondisinya yang sakit-sakitan, menyebabkan Jayanegara dijuluki atau diparabi Kala Gemet yang berarti penjahat yang lemah. Gadjah Mada sebagai bawahanpun tidak menyukai sifat-sifat junjungannya. Dari paraban yang diberikan kepadanya, jelas bahwa banyak rakyat yang tidak menghormati, bahkan membenci raja mereka yang berasal dari keturunan Melayu.

Secara politis, dilarangnya puteri-puteri cucu Kertanegara (bapak mertua Raden Wijaya) untuk kawin, mempunyai tujuan agar keturunan Melayu tetap berkuasa atas tahta Majapahit. Disamping itu adalah untuk menjaga kemungkinan terjadinya perebutan kekuasaan oleh keturunan Tribuwana atau Gayatri.

Telah disebutkan diatas bahwa pada masa pemerintahan Kala Gemet banyak sekali bermunculan kekacauan sebagai wujud protes atas kepemimpinannya yang lemah. Menurut Slametmulyana, rentetan peristiwa tersebut harus ditafsirkan sebagai akibat ketidakpuasan para punggawa raja terhadap rajanya. Selain itu, sikapnya yang kurang terpuji terhadap Tribuwanatunggadewi dan Rajadewi, menyulut pula terjadinya berbagai bentuk "perlawanan". Sikapnya yang tidak menghargai tata susial, selain diketahui sendiri oleh Gadjah Mada, juga isteri Tanca yang kemudian menyebarluaskan kepada orang lain.

Gadjah Mada yang diam-diam memihak kepada puteri keturunan Kertanegara, membakar hati Dharmaputra Tanca, sehingga kebenciannya kepada Kala Gemet menjadi meluap. Dan ketika raja sakit bisul, dipanggillah Tanca untuk mengobatinya. Kesempatan itu dipergunakan sebaik-baiknya oleh Tanca untuk membedah bisul (baca: membunuh) Jayanegara, dan berhasil. Gadjah Mada yang mengatur semua "skenarionya", sehingga sudah memperkirakan hal ini, segera membunuh Tanca.

Pembunuhan yang serta merta ini mengandung kesan bahwa Gadjah Mada berhasil menangkap dan kemudian membunuh pembunuh Raja, sehingga dia mendapat simpati para pengikut Jayanegara. Disamping itu, peran yang dipegangnya sejak mempengaruhi Tanca untuk membenci raja hingga kematiannya, tidak akan diketahui orang lain. Terkuburlah rahasia bahwa sebenarnya Gadjah Mada ikut bermain dalam kasus tersebut.

Untuk menggantikan kedudukan Jayanegara, diangkatlah Bhre Kahuripan (Tribuwanatunggadewi Jayawisnuwardhani) dan Bhre Daha (Rajadewi Maharajasa). Kebijaksanaannya ini menimbulkan kesan yang baik sekali dikalangan rakyat dan para bangsawan, yang tidak suka melihat keturunan Melayu memerintah di Majapahit.

Tindakan Gadjah Mada ini benar-benar merupakan cerminan tindakan seorang politikus tangguh yang tiada bandingannya. Dia dapat menyelesaikan masalah yang begitu besar dengan sangat memuaskan, tanpa menimbulkan pertikaian atau perpecahan antara antara pengikut Jayanegara disatu pihak dengan pengikut Tribuwanatunggadewi dan Rajadewi dilain pihak. Sekaligus pula Gadjah Mada berhasil mengembalikan tahta Majapahit kepada orang yang betul-betul berhak untuk itu.

Sikapnya yang bijaksana ini antara lain kita temui juga sewaktu dia ditawari jabatan Patih Amangkubumi oleh Aria Tadah yang waktu itu masih menjabat sebagai Patih Amangkubumi. Gadjah Mada menolak dengan halus, meskipun jabatan itu sebenarnya memang cocok untuk dia. Ini dilakukannya karena tidak ingin menyakiti hati orang lain dengan menduduki jabatannya. Disini dia menghindari kemungkinan terjadinya perebutan jabatan yang berarti pecahnya persatuan. Kalau ini terjadi, berarti dia tidak konsekuen dengan tujuannya yang ingin menggalang persatuan diseluruh wilayah Nusantara dan sekitarnya.

Tidak ada komentar: