Pengantar
Sebagaimana kita saksikan bersama,
dinamika lingkungan sektor publik dewasa ini sangat bergejolak (turbulence) dan tidak menentu (unpredictable). Disatu pihak, kondisi
tersebut perlu disyukuri sebagai wujud konkrit meningkatnya kesadaran hukum dan
politik dari masyarakat untuk berpartisipasi secara langsung dalam
penyelenggaraan kehidupan berpemerintahan di daerah. Namun pada pihak lain,
kita harus menghadapi wind of change tadi
dengan kesiapan yang matang, baik secara struktur kesisteman, manajemen
pemerintahan, maupun aspek sumber daya manusianya. Tanpa persiapan yang baik
dan matang, dapat dipastikan bahwa tugas dan fungsi pemerintahan daerah tidak
akan berjalan dengan optimal. Dan apabila fungsi
pemerintahan daerah mengalami kemandegan, maka kesejahteraan dan pelayanan
masyarakat jelas tidak dapat ditingkatkan secara signifikan.
Dalam konteks perubahan dan semangat untuk melakukan reformasi secara total
tersebut, salah satu kebijakan yang perlu dicermati adalah perubahan UU Nomor 5
tahun 1974 menjadi UU Nomor 22 tahun 1999. Semangat dan hakikat UU Nomor 22
tahun 1999 sendiri harus diakui sebagai UU Pemerintahan Daerah yang paling
demokratis – jika tidak dikatakan liberal. Hal ini terlihat dari ketentuan
pasal 7, 9 dan 11 yang secara eksplisit mengamanatkan bahwa kewenangan Daerah
Kabupaten / Kota mencakup semua
kewenangan pemerintahan selain kewenangan dalam bidang politik luar negeri,
pertahanan keamanan, peradilan, moneter dan fiskal serta kewenangan bidang lain
yang diatur kemudian oleh Peraturan Pemerintah (PP Nomor 25 Tahun 2000). Dengan
ketentuan ini, struktur kewenangan pemerintahan menjadi terbalik, yakni dari piramida terbalik menjadi piramida
normal. Artinya, kewenangan daerah sangat luas sesuai dengan
prinsip-prinsip otonomi yang luas, bulat dan utuh ; sementara kewenangan Pusat
dan Propinsi sangat limitatif. Inilah sesungguhnya makna dari penerapan
paradigma baru, yakni demokratisasi, pemberdayaan masyarakat, serta peningkatan
pemerataan dan keadilan daerah.
Perubahan paradigma dalam manajemen pemerintahan tersebut, tentu
membutuhkan gaya kepemimpinan yang berbeda. Garis kebijakan lama yang lebih
bernuansa sentralisasi, menempatkan pemerintah pusat sebagai “pemain tunggal”
yang memiliki otorisasi sangat kuat. Namun adanya the new paradigm yang lebih mengedepankan proses otonomisasi dan
desentralisasi, jelas tidak tepat jika gaya kepemimpinan lama yang bersifat
paternalistik dan cenderung otoriter masih dipraktekkan.
Dengan memimjam istilah Sarwono Kusumaatmadja[1], peran dan tanggung jawab pemerintah harus beralih dari ing ngarsa sung tuladha dan ing madya mangun karsa, menjadi lebih
berat pada fungsi tut wuri handayani.
Inilah barangkali yang diinginkan oleh Osborne dan Gaebler[2] bahwa peran baru bagi pemerintah hendaknya lebih diarahkan sebagai
pengatur dan pengendali daripada sebagai pelaksana langsung suatu urusan dan
pemberi layanan (steering rather than
rowing).
Dari sedikit uraian diatas kiranya dapat ditarik suatu benang merah adanya
hubungan yang tegak lurus antara perubahan kondisi lingkungan dengan tuntutan
terhadap gaya kepemimpinan dalam praktek penyelenggaraan pemerintahan daerah.
Permasalahannya sekarang adalah, jika telah diketahui bentuk perubahan lingkungan
suatu organisasi (cq. penggantian UU pemerintahan daerah), bagaimana seharusnya
gaya – termasuk visi – kepemimpinan diarahkan untuk memberikan nilai tambah
terhadap perubahan tersebut ?
Untuk menjawab permasalahan diatas, sebelumnya harus dipahami tentang visi
nasional dibidang aparatur negara sebagaimana tercantum dalam GBHN. Hal ini
penting mengingat bahwa visi kepemimpinan di daerah harus merupakan penjabaran
dari visi pembangunan sebagai payung kebijakan yang harus dioperasionalisasikan
pada tingkat daerah.
Visi Aparatur Negara dan Konsep Good Governance
Menurut GBHN 1999 – 2004, visi Pendayagunaan Aparatur
Negara adalah mewujudkan aparatur negara
yang netral, profesional, bertanggungjawab, produktif, transparan dan bebas
korupsi, kolusi dan nepotisme untuk melayani dan memberdayakan masyarakat.
Dalam kaitan tersebut, maka misi yang harus diemban diarahkan kepada
terciptanya tiga kondisi utama sebagai berikut :
1.
Membersihkan
penyelenggara negara dari praktek korupsi, kolusi dan nepotisme dengan memberikan
sanksi seberat-beratnya sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku,
meningkatkan efektivitas pengawasan internal dan fungsional serta pengawasan
masyarakat, dan mengembangkan etika dan moral.
2.
Meningkatkan kualitas
aparatur negara dengan memperbaiki kesejahteraan dan keprofesionalan serta
memberlakukan sistem karir berdasarkan prestasi dengan prinsip memberikan
penghargaan dan sanksi.
3.
Meningkatkan fungsi
dan keprofesionalan birokrasi dalam melayani masyarakat dan akuntabilitasnya
dalam mengelola kekayaan negara secara transparan, bersih dan bebas dari
penyalahgunaan kekuasaan.
Visi dan misi
Pendayagunaan Aparatur Negara tersebut jelas merupakan kondisi ideal yang
memerlukan kerja keras untuk merealisasikannya. Bahkan harus diakui bahwa
fakta-fakta obyektif yang ada mengindikasikan bahwa birokrasi Indonesia masih
dihadapkan pada penyakit-penyakit (patologi) yang menghambat kinerjanya. Secara
lebih konkrit dapat dikatakan bahwa kondisi aktual maupun faktual selama ini
menunjukkan bahwa organisasi pemerintah masih cenderung bersifat organik dengan
mekanisme kerja yang tidak efisien serta kurang memiliki daya saing yang
memadai dibanding sektor privat atau swasta, apalagi dibandingkan dengan pihak
luar negeri.
Dengan kata lain,
citra birokrasi dimata masyarakat dewasa ini sangat jatuh, bahkan cenderung
menjurus kepada terciptanya suatu krisis kepercayaan. Padahal, variabel ‘citra
aparatur’ yang merupakan refleksi dari kemampuan, loyalitas, dan tanggung
jawabnya, mempunyai pengaruh besar terhadap kepuasan masyarakat atas pelayanan
umum yang menjadi tugas / kewajiban aparatur. Dalam hal ini terdapat hubungan
tegak lurus, dimana kemerosotan citra aparatur selalu identik dengan tingkat
pelayanan publik yang rendah. Sebaliknya, kemampuan aparatur untuk memberikan
pelayanan secara prima akan berdampak terhadap perbaikan citra pemerintah
secara keseluruhan.[3]
Dalam upaya untuk meningkatkan citra birokrasi pemerintahan itulah, dewasa
ini telah disosialisasikan UU Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan
Pemerintahan yang Bersih dan Bebas KKN. Dengan UU ini, jajaran pemerintahan
pada seluruh lapisan harus benar-benar menerapkan asas-asas umum pemerintahan
yang baik. Ini berarti, dalam pelaksanaan tugas-tugas pemerintahan, pendekatan
yuridis formal bukan merupakan satu-satunya pegangan / pedoman, tetapi yang
lebih penting lagi adalah pendekatan etika. Konsekuensinya, pemberlakuan suatu
kebijakan publik dan upaya penegakannya tidak sekedar mempertimbangkan nilai benar – salah, tetapi juga nilai baik – buruk.
Dalam khazanah akademik, pemerintahan yang berpegang pada etika disamping
aspek hukum ini sering disebut sebagai clean
government. Sebab, kejujuran, kewibawaan dan kekuatan pemerintah tidak
hanya bergantung kepada sejauhmana suatu aturan ditegakkan tanpa pandang bulu,
namun juga sejauhmana para pelaku kebijakan menyertakan pertimbangan hati
nurani atau etika.
Pada perkembangan selanjutnya, tuntutan akan terwujudnya clean government dan strong government saja ternyata tidak
cukup. Yang menjadi tuntutan berikutnya adalah terciptanya good governance. Tuntutan terhadap good governance saat ini menjadi salah satu tema utama dalam
reformasi pemerintahan – termasuk di Daerah. Dalam konsepsi governance sendiri terkandung unsur
utama yang terdiri dari akuntabilitas
(accountability), transparansi (transparency), keterbukaan (openness), dan
aturan hukum (rule of law). Terhadap keempat unsur tersebut, Adamolekun dan
Bryant (1994) menambahkan dua unsur lainnya yaitu kompetensi manajemen (management competence) dan
hak-hak asasi manusia (human rights).
Hak-hak asasi manusia pada dasarnya merupakan bagian dari unsur governance (meskipun pada tingkatan
pengertian umum atau global). Sedangkan kompetensi manajemen lebih cenderung
merupakan akibat atau symptom dari
adanya good governance, daripada
sebagai bagian dari unsur utamanya.[4]
Dalam hubungan ini, menurut Institute On Governance
(1996) konsep good governance dapat
ditempuh dengan menciptakan hal-hal sebagai berikut :
1.
Kerangka kerja tim (teamworks) antar organisasi, departemen
dan antar wilayah;
2.
Hubungan kemitraan (partnership) antara pemerintah dengan
setiap unsur dalam masyarakat negara yang bersangkutan (jadi tidak hanya
sekedar kemitraan internal di antara sesama jajaran instansi pemerintahan
saja);
3.
Pemahaman dan komitmen
akan manfaat dan arti pentingnya tanggung jawab bersama dan kerjasama (cooperation) dalam suatu keterpaduan
serta sinergisme dalam pencapaian tujuan;
4.
Adanya dukungan dan
sistem imbalan yang memadai untuk mendorong terciptanya kemampuan dan
keberanian menanggung resiko (risk taking)
dan berinisiatif secara realistik;
5.
Adanya kepatuhan dan
ketaatan terhadap nilai-nilai internal (values)
administrasi publik, juga terhadap nilai-nilai etika dan moralitas yang diakui
dan dijunjung tinggi secara bersama-sama dengan masyarakat yang dilayani;
6. Adanya pelayanan
administrasi publik yang :
- Berorientasi
kepada masyarakat yang dilayani (client
centered);
- Mencerminkan
layanan yang mencakup secara merata seluruh masyarakat bangsa yang
bersangkutan, tanpa ada perkecualian (inclusive);
- Administrasi
pelayanan publik yang mudah
dijangkau (accessible)
masyarakat;
- Bersifat
bersahabat (user friendly);
- Berasaskan
pemerataan yang berkeadilan (equitable)
dalam setiap tindakan dan layanan yang diberikan kepada masyarakat;
- Mencerminkan
wajah pemerintah yang sebenarnya (tidak
bermuka dua) atau tidak menerapkan standar ganda (double standards) dalam menentukan kebijaksanaan dan
memberikan layanan terhadap masyarakat;
- Berfokus pada
kepentingan masyarakat dan bukannya kepentingan internal organisasi
pemerintah (outwardly focused);
- Bersikap profesional; dan
- Bersikap tidak memihak (non-partisan).[5]
Dalam konteks mewujudkan konsep good
governance tersebut, maka kepemimpinan yang ideal adalah tata cara
memerintah yang memperhatikan secara sungguh-sungguh ciri-ciri yang ada, serta
sungguh-sungguh melaksanakan berbagai upaya yang mengarah kepada terwujudnya good governance.
Teori Kepemimpinan dan Konsep Kepemimpinan Sunda
Menurut Weber, konsep kepemimpinan paling tidak dapat dibedakan menjadi
tiga jenis ideal (ideal type), yaitu
:
1.
Kepemimpinan tradisional yang tuntutan
keabsahannya didasarkan atas suatu kepercayaan yang telah ada (established) pada kesucian tradisi kuno.
2.
Kepemimpinan
rasional
yang berdasarkan kepada hukum atau legalitas peraturan.
3.
Kepemimpinan
kharismatik
yang didapatkan dari pengabdian diri terhadap kesucian, kepahlawanan tertentu
atau sifat yang patut dicontoh dari seseorang.[6]
Mengacu kepada tipe ideal
kepemimpinan Weber diatas, dapat diamati bahwa para pimpinan nasional maupun
daerah yang ada selama ini lebih mengandalkan kepada tipe ketiga, yaitu
pemimpin yang kharismatik, meskipun tidak mengabaikan aspek rasionalitasnya.
Implikasi yang kurang positif dari penerapan gaya kepemimpinan ini antara lain adalah :
1.
Pemimpin
dianggap sebagai orang yang setengah suci dan tidak bisa salah (the king can do no wrong), sehingga
setiap kebijakannya harus dilaksanakan (sumuhun
dawuh) ;
2.
Bawahan
atau orang yang dipimpin berusaha mendekati pemimpinnya dengan cara apapun,
sehingga melahirkan banyak pengikut yang munafik dan bersikap ABS.
3.
Karena
kedua faktor tersebut, maka kepemimpinan terlihat langgeng tanpa menimbulkan
permasalahan di tingkat bawah. Dengan kata lain,
pemimpin kurang dapat memahami realitas sosial yang berkembang pada tingkat grass root.
Gelombang reformasi yang menghendaki perombakan total dalam sistem
pemerintahan telah menyeret pula tuntutan terhadap pemimpin yang rasional. Rasionalitas
kepemimpinan disini dicirikan oleh beberapa aspek, misalnya :
1.
Sejauhmana
pemimpin tadi mendapat legitimasi formal baik secara yuridis maupun politis
2.
Besarnya
tuntutan akan perlunya keterbukaan dalam merumuskan serta mengimplementasikan
setiap kebijakan.
3.
Partisipasi
masyarakat untuk terlibat langsung maupun melaksanakan hak kontrolnya semakin
besar, dengan asumsi bahwa pemimpin
sesungguhnya adalah wakil rakyat. Dengan kata lain, kedudukan pemimpin
dengan pengikut adalah sejajar dan sederajat.
Dalam konteks penyelenggaraan
pemerintahan di tatar Sunda, konsep kepemimpinan rasional itulah yang semestinya
dikembangkan, meskipun tidak berarti menghilangkan sama sekali karakteristik
ketradisionalan maupun kekharismatisan. Sebagaimana kita ketahui bersama,
konsep kepemimpinan Sunda yang telah lama terbentuk, mensyaratkan 10
karakteristik yang harus dimiliki oleh seorang pemimpin atau calon pemimpin,
yang sering disebut dasa pasanta atau
10 cara untuk memberikan ketenteraman hati bagi masyarakat yang dipimpinnya.
Dasa pasanta tersebut meliputi (Hidayat Suryalaga, PR, 29 Juli 2000) :
1.
Guna, artinya pemimpin memberikan
pengertian kegunaan perintahnya kepada bawahan agar terjadi kesamaan persepsi.
2.
Ramah, artinya perintah
disampaikan dengan ramah tamah dan halus budi sehingga yang diperintah merasa
dihargai sebagai manusia.
3.
Hookeun, artinya
kepercayaan diri orang yang diperintah dapat ditumbuhkan dengan cara menghargai
prestasi kerjanya.
4.
Pesok, artinya pemimpin
perlu sering melakukan silaturahmi untuk memikat hati orang-orang yang
dipimpinnya serta menimbulkan perasaan tenang.
5.
Asih, artinya agar
orang yang diperintah ikut memiliki rasa tanggung jawab, pemimpin harus
menunjukkan rasa sayang kepada bawahannya.
6.
Karunia / karunya, artinya pemimpin harus
memiliki sifat penyayang dan memberi nilai lebih kepada bawahannya.
7.
Mukpruk, artinya pemimpin
perlu memberi kepercayaan kepada bawahan, sehingga mereka merasa dihargai
kemampuannya.
8.
Ngulas, artinya pemimpin
dituntut menumbuhkan kesadaran kepada bawahan agar tidak melaksanakan pekerjaan
karena terpaksa.
9.
Nyecep, artinya pemimpin
dalam mengkritik pekerjaan bawahan harus dilakukan dengan cara arif, teliti dan
bijaksana.
10. Ngala angen, artinya pemimpin perlu pula berbasa basi
untuk menarik simpati bawahan, misalnya dengan menanyakan keadaan keluarga.
Dasa pasanta diatas dapat dikatakan
sebagai kemampuan dasar yang harus dimiliki oleh seorang pemimpin atau calon
pemimpin. Namun untuk menumbuhkan kharisma dan pamor yang kuat, pemimpin
memerlukan persyaratan lainnya, yaitu : emet
(hemat), imeut (teliti), rajeun (rajin / pro aktif), leukeun (tekun / semangat tak gampang
menyerah), paka pradana (berani
tampil karena berkualitas), morogol-rogol
(teguh pendirian, etos kerja tinggi), purusa
ning sa (berjiwa pahlawan), widagda (bijaksana),
gapitan (berani berkorban untuk
keyakinannya), karawaleya (dermawan,
setia kawan), cangcingan (aktif,
inovatif), langsitan (terampil,
mempunyai nilai tambah). Untuk melengkapi syarat-syarat tersebut, seorang
pemimpin juga harus mengindari sifat-sifat buruk yang menjadi pantangan atau
hal yang ditabukan (paharaman).
Pantangan bagi pemimpin ini meliputi empat hal, yaitu : pundungan (merajuk, mengisolasi diri), babarian (mudah tersinggung), humandeuar
(keluh kesah), serta kukulutus (menggerutu).
(Hidayat Suryalaga, PR, 29 Juli 2000)
Dari konsep dan visi kepemimpinan
Sunda diatas, harus diakui bahwa rasionalitas kepemimpinan Sunda sesungguhnya
telah lama dipraktekkan, yang secara nyata tercermin dari semboyan “Masyarakat Yang Adil Dan Makmur Gemah Ripah,
Repeh, Rapih Dilandasi Tradisi Sunda Silih Asih, Silih Asah Dan Silih Asuh”.
Dengan semboyan ini, antara pemimpin dan pengikut, antara daerah yang kuat dan
daerah yang kurang kuat, antara golongan masyarakat mampu dengan golongan
masyarakat lemah, akan saling membantu serta dengan senang hati bekerjasama
dalam wadah kekeluargaan (gemeinschaft).
[1] Sapta
Nirwandar dan Ibrahim Tadju, (ed).,
Birokrasi dan Administrasi Pembangunan”,
Jakarta
: Sinar Harapan, 1992
[2] David
Osborne and Ted Gaebler, Reinventing
Government (How The Entrepreneurial Spirit is Transforming The Public Sector),
Addison-Wesley Publishing company, Inc, 1992
[3] Noorsyamsa
Djumara, Refungsionalisasi Analis
Manajemen Dalam Rangka Optimalisasi Pelayanan Umum, Jurnal Wacana Kinerja
No. 7 Tahun II, 1999.
[4] Perwakilan
LAN Jawa Barat dan Setwilda Tingkat I Jawa Barat, Kesiapan Daerah Dalam Menghadapi Pelaksanaan UU Nomor 22 tahun 1999
Tentang pemerintahan Daerah dan UU Nomor 25 tahun 1999 Tentang Perimbangan
Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah, 1999.
[5] Ibid.
[6] Sartono
Kartodirdjo (ed)., Kepemimpinan Dalam
Dimensi Sosial, Jakarta
: LP3ES, 1986.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar