Pengantar
Kehidupan manusia dan kehidupan alam
semesta dapat diibaratkan sebagai dua sisi dari satu keping mata uang. Atau
dengan kata lain, fokus pembangunan yang dilaksanakan harus selalu memperhatikan
kepentingan pada dua dimensi, yaitu mencapai peningkatan kesejahteraan dalam
kehidupan manusia, sekaligus menjamin keberlangsungan dan kelestarian kehidupan
alam semesta. Sehubungan dengan hal tersebut, pemanfaatan salah satu dimensi
untuk keperluan dimensi lain, jelas tidak dapat dimaklumi, serta merupakan
distorsi bagi kehidupan manusia dan kehidupan alam semesta itu sendiri.
Sebagaimana
diketahui, saat ini telah terjadi superordinasi manusia terhadap alam semesta.
Artinya, alam semata-mata dianggap sebagai asset potensial yang harus
dipergunakan seoptimal mungkin bagi kemajuan peradaban manusia. Dengan kata
lain, alam mengalami proses exploitation
de ’lhomme par lhomme baik secara ekonomis, sosial, maupun politik.
Secara
ekonomis dapat dilihat sangat jelas bahwa pengurasan sumber-sumber kekayaan
alam untuk kepentingan devisa dan perdagangan telah menjadikan alam kehilangan
daya dukungnya (carrying capacity).
Padahal sesungguhnya, hasil ekonomis yang dicapai ini tidaklah sebanding dengan
biaya yang harus dikeluarkan untuk membayar kerugian sosial (social cost) maupun biaya perbaikan (recovery cost) yang diderita alam.
Aspek ekonomis
dalam konteks pembangunan lingkungan seperti tersebut diatas, telah banyak
dikaji dan diungkapkan oleh para peneliti,
penulis maupun pemerhati lingkungan. Namun aspek sosial dan politik,
agaknya masih jarang diekspose secara luas. Untuk itu, penulis tertarik
membahas permasalahan sosial dan politik dalam kaitannya dengan masalah
lingkungan hidup, karena ternyata hal inipun dapat menimbulkan distorsi
ekologis atau menurunkan mutu dan daya dukung lingkungan.
Konsep Ekososialisme dan Ekopolitik
Munculnya
pemahaman Sosial Ekologi atau Ekososialisme didasari oleh keyakinan bahwa
segala permasalahan lingkungan hidup berakar pada masalah sosial, baik yang
bersifat institusional, ideologis, psikologis dan budaya (Bookchin, dalam Sidharta,
1997: 60).
Dengan kata lain,
munculnya masalah lingkungan selalu diakibatkan oleh sifat manusia yang ingin
menguasai alam semesta. Namun sesungguhnya, sifat tersebut bersumber pada
kehendak untuk menguasai manusia lainnya dan struktur alam. Untuk
mengantisipasi dan mencegah hasrat penguasaan terhadap alam ini dapat ditempuh
melalui penciptaan suatu masyarakat tanpa kelas dan tanpa hierarki, yang
mengunggulkan aturan-aturan dan kepatuhan-kepatuhan, baik dalam kehidupan
pribadi maupun masyarakat.
Ekososialisme
memandang evolusi manusia belum selesai karena manusia memiliki dua alam, yaitu
“alam sejarah evolusi biologi” dan “alam sosial manusia”.
Adapun
konsep Ekopolitik dipergunakan Pirages
(dalam Sidharta, 1997: 61) untuk
merujuk pada kebangkitan kesadaran manusia terhadap isu lingkungan serta
kaitannya dengan etika dan ekonomi. Pada perkembangan-nya, istilah ini kemudian
lebih erat dengan persoalan politik praktis lingkungan, terutama dengan
terbentuknya beberapa partai politik yang “mengatasnamakan” lingkungan, seperti
Partai Hijau (Green Party).
Dari Kosmosentris ke Antroposentris
Diatas telah disinggung bahwa masalah lingkungan
selalu diakibatkan oleh sifat manusia yang ingin menguasai, mengalahkan dan
mengeksploitasi alam semesta. Padahal jika dirunut dari sejarah alam pikir
kosmologis, keinginan manusia tersebut sesungguhnya belum lama berkembang.
Artinya, pada tahap sebelumnya manusia justru menganggap alam sebagai sesuatu
yang sakral dan dipuja-puja serta ditempatkan diatas eksistensi kemanusiaan.
Inilah yang sering disebut dengan pola pikir Kosmosentris, dimana alam
merupakan pusat dari kehidupan manusia.
Pandangan
kosmosentris ini selalu menganggap proses sejarah sebagai proses alam yang siklis dan berulang meliputi waktu yang
abadi, tidak ada akhir dan tujuannya (jadi merupakan ewige wiederkehr). Tidak ada hal yang baru, yang ada hanya kejadian
purba yang berulang. Dalam suasana pikiran kosmosentris ini tidak ada arti bagi
setiap tindakan atau perbuatan manusia, yang hanya menjalankan sesuatu yang
senantiasa terjadi dalam peredaran kejadian. Oleh karena itu, tidak dikenal
historisitas manusia, dan kejadian kemanusiaan direduksikan menjadi kejadian
alam. Disamping itu, antara manusia dan dunia sekitarnya disatukan dan tidak
ada pemisahan sama sekali (Kartodirdjo,
1986).
Dilain
pihak ada pandangan yang membedakan manusia dan alam semesta. Manusia disadari
dan dipandang sebagai pusat kejadian. Kesadaran ini tidak akan pernah
berkembang selama manusia dan kosmos dipandang sebagai satu totalitas, yang
dengan demikian manusia adalah identik dengan alam. Sebab, dalam pandangan
kosmosentris manusia hanya diberi sifat pasif sehingga dalam melakukan
partisipasi dengan proses kosmis, manusia tidak membuat sejarah. Namun akhirnya
manusia meninggalkan pandangan ini dan cenderung menguasai alam. Ia tidak
menyerah kepada fatum (nasib) saja,
tetapi ingin menghadapi alam dengan kekuataannya. Disini manusia berperan
aktif. Suatu kejadian dianggap bukan lagi akibat tindakan supranatural,
melainkan akibat perbuatan manusia sendiri. Kejadian siklis berubah menjadi
kronologis, dan alam pikiran siklisme berubah menjadi historisme. Inilah inti dari
perubahan pola pikir kosmosentris kearah antroposentris.
Beberapa Praktek Ekososialisme dan Ekopolitik
Contoh-contoh
mengenai keterlibatan politik dan politikus dalam masalah lingkungan dapat
ditunjukkan baik di dalam negeri maupun di luar negeri. Di Amerika Serikat,
sebuah perusahaan rokok terkemuka Philip
Morris Inc. (PMI), pernah menjadi sponsor utama rapat Partai Republik pada
1992. Perusahaan ini kemudian merekrut Craig Fuller – pemimpin rapat waktu itu
– menjadi eksekutif puncak PMI. Selain itu, PMI menyediakan dana sebesar US $
17 juta untuk dihibahkan kepada warga kulit hitam dan hispanik. Semua ini
ditujukan agar para politikus (dan juga masyarakat) yang telah mendapat dana
PMI mendukung rencana perubahan UU Anti Tembakau yang sangat ketat, sehingga
beberapa perusahaan rokok harus membatasi produksi (Hawken, dalam Sidharta,
1997: 61).
Sementara
itu untuk kasus dalam negeri dapat ditunjuk secara umum mengenai suatu proyek
pembangunan yang menggunakan sarana lingkungan dengan alasan kepentingan umum.
Dalam kaitan ini, pengertian “kepentingan umum” menurut lampiran Inpres RI No.
9 tahun 1973 tentang Pelaksanaan
Pencabutan Hak-Hak Atas Tanah dan Benda-Benda Yang Ada Diatasnya pada pasal
1 ayat (1) menyebutkan bahwa: “Suatu kegiatan dalam rangka pelaksanaan
Pembangunan mempunyai sifat kepentingan umum, apabila kegiatan tersebut
menyangkut: kepentingan bangsa dan negara, dan/atau kepentingan masyarakat
luas, dan/atau kepentingan rakyat banyak/bersama, dan/atau kepentingan
pembangunan”.
Selanjutnya dalam pasal 1 ayat (3)
dinyatakan bahwa: Presiden dapat menentukan bentuk-bentuk kegiatan pembangunan
lainnya kecuali sebagai dimaksud dalam ayat (1) pasal ini, yang menurut
pertimbangannya perlu bagi kepentingan umum.
Dari
rumusan diatas belum terlihat definisi dan kriteria kepentingan umum,
sehingga masih memungkinkan terjadinya
penafsiran yang amat luas. Tanpa itikad baik, kebijaksanaan dan keadilan dalam
menafsirkan kalimat tersebut, “kepentingan umum” justru akan menghambat
kepentingan pembangunan dan sekaligus melanggar hak asasi rakyat. Meskipun secara umum dapat dikatakan bahwa
pelaksanaan HAM di Indonesia mengalami peningkatan dalam 30 tahun terakhir –
khususnya yang menyangkut hak hidup, hak beragama, dan hak milik – namun hak
untuk berserikat, mengeluarkan pendapat atau menyalurkan aspirasi, masih banyak
pihak-pihak yang memprtanyakan.
Kasus
tewasnya beberapa warga di Nipah, Madura, menunjukkan bahwa suara arus bawah
masih belum begitu terpedulikan. Kedudukan rakyat masih ibarat pelanduk ditengah-tengah
sekawanan gajah, sehingga dalam segala gerak-geriknya, si pelanduk harus ekstra
hati-hati agar tidak terinjak oleh Sang Gajah. Dalam kasus pembangunan waduk di
Nipah ini, banyak pihak akan kesulitan menjawab pertanyaan, manakah yang
termasuk kepentingan umum, pembangunan waduk itu sendiri ataukah rakyat yang
tergusur tanahnya? Kalau disepakati bahwa pembangunan waduk itu adalah untuk
kepentingan umum, mengapa harus dibeli dengan empat nyawa masyarakat yang
sekedar ingin memperjuangkan nasibnya? Adakah dipertimbangkan aspek keadilan,
itikad baik dan kebijaksanaan dalam kasus tersebut?
Yang
pasti, hampir tidak ada seorangpun yang menyangkal teori bahwa pembangunan
haruslah menghasilkan maanfaat yang betul-betul dinikamati rakyat. Jadi, jika
ada suatu proyek pembangunan yang ditolak oleh rakyat, mana yang harus dikaji
kembali, sifat dan implikasi pembangunan ataukah sikap rakyat? Mungkin
kedua-duanya harus dipertimbangkan, namun berdasarkan asas salus populi suprema lex (keselamatan dan kesejahteraan rakyat
adalah hukum yang tertinggi) dan prinsip Kedaulatan Rakyat yang dianut oleh
Negara Indonesia ,
mestinya kepentingan rakyat diletakkan diatas segalanya.
Kasus-kasus
diatas menunjukkan bahwa kepentingan lingkungan atau ekologis, benar-benar
tidak memiliki bargaining power
terhadap kepentingan politik manusia.
Penutup
Alam pada hakikatnya diam, sementara
manusia pada hakikatnya selalu bergerak. Oleh karena itu, wajarlah jika manusia
seolah-olah mampu menguasai dan mengalahkan alam. Padahal sesungguhnya, alampun
memiliki hukum atau norma (sunatullah) yang tidak mungkin dilanggar oleh
manusia. Dengan kata lain, alam sesungguhnya juga memiliki gerakan, bahkan
memiliki mekanisme peringatan dini (early
warning system) bagi setiap aktivitas kemanusiaan. Terjadinya banjir
berkepanjangan, menipisnya lapisan ozon, mencairnya es di kutub utara dan
selatan, kebakaran hutan yang dramatis, sampai terjadinya pengungsi lingkungan,
menunjukkan bahwa alam sudah mulai tidak kuat menanggung beban kegiatan politik
dan sosial manusia. Jadi dapat disimpulkan bahwa aspek politis (ekopolitik)
maupun sosial (ekososialisme) akan sangat berpengaruh negatif terhadap alam
atau menimbulkan distorsi, jika pembangunan kedua aspek tersebut tidak
memperhatikan kelestarian dan keberlangsungan lingkungan.
Daftar
Pustaka
Sidharta, B.
Rahardjo, Wacana Sosial Budaya Persoalan
Lingkungan Hidup, Prisma Nomor 6 Juni-Juli 1997.
Kartodirdjo,
Sartono, Pemikiran dan Perkembangan Historiografi Tradisional: Suatu Alternatif,
Jakarta :
Gramedia, 1986.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar